• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cina Pusat “Gravitasi” Ekonomi Dunia

BAB IV : KESIMPULAN DAN PENUTUP

III. 1 Cina Pusat “Gravitasi” Ekonomi Dunia

Pada era 1960-an dan 1970-an muncul suatu perspektif teoritis yang kemudian dikenal sebagai dependensi. Ciri khas teori ini adalah analisnya yang membagi negara-negara di dunia menjadi dua kutub besar, yakni pusat (center) dan pinggiran (periferi). Negra-negara yang berada di pusat (center) adalah negara-negara maju, sedagkan yang berada di periferi adalah negara-negara Dunia ketiga. Apa yang terjadi di negara-negra periferi merupakan refleksi dari apa yang terjadi di negara-negara center. Negara periferi bertindak sebagai negara penyuplai bahan mentah, sedangkan negara maju bertindak sebagai pengolah bahan-bahan mentah atau sebagai pemilik industri padat modal.24

Asumsi itu sekarang patut diperdebatkan”. Mengutip ekonom Harvard University, Richard B. Freeman, Pete Engardio mengemukakan, “ apa yang mengagetkan tentang Cina adalah untuk pertama kalinya kita menemukan negara

Kemudian, oleh karena negara periferi hanya menjadi pemasok bahan mentah, maka ia tidak akan pernah mengalami kemajuan. Sebaliknya, mereka menjadi bahan eksploitasi negara-negara maju (center) secara terus menerus.

Dari sudut pandang dependensi, Cina sebelum reformasi tidak lebih merupakan negara periferi yang hanya berkutat sebagai penghasil bahan mentah atau indutri berketerampilan rendah. Namun, keberhasilan Cina ternyata menentang asumsi tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Pete Engardio, “... Asumsi yang dianut selama ini adalah AS dan negara industri lain bakal terus memimpin dalam industri padat ilmu, sementara negara berkembang berfokus pada sektor berketerampilan rendah.

24

Prof.Drs.Budi Winarno, MA, Ph.D, ,2010.Melawan Gurita Neoliberalisme, Jakarta : Erlangga. Hal. 137- 141

besar dan miskin yang dapat bersaing baik dengan gaji yang amat rendah maupun dalam teknologi.25

Keberhasilan ekonomi Cina tidak bisa dilepaskan dari reformasi yang dicanangkan oleh Deng Xiaoping setelah kegagalan Lopatan Jauh Ke Depan (Great Leap Forward) Mao. Lompatan Jauh Kedepan merupakan suatu rencana ekonomi dan sosial yang bertujuan untuk mendayagunakan populasi raksasa Cina untuk mentransformasikan Cina daratan dari perekonomian agraris menjadi masyarakat komunis yang modern dan terindustrialisasi. Ironisnya, lompatan jauh kedepan dan revolusi kebudayaan yang dilakukan Mao Zedong justru menciptakan kesengsaraan dan stagnasi ekonomi. Diperkirakan tidak kurang dari 30 juta penduduk Cina meninggal, menurut angka yang dilaporkan, selama masa tersebut. Produktifitas sektor pertanian menurun karena petani-petani di pedesaan kehilangan motivasi. Kelaparan pun terjadi dimana-mana hingga menyebabkan kematian puluhan juta Penduduk Cina.

Selama kurang lebih tiga dekade sejak reformasi, pencapaian Cina memang cukup luar biasa. Jika pada era Perang Dingin Cina hampir tidak pernah diperhitungkan kecuali karena posisi ideologisnya sebagai negara komunis, maka pembicaraaan tentang Cina sekarang ini hampir sama sekali berlainan. Pertumbuhan ekonomi, pengusaan teknologi, investasi, ataupun pasar- pasar yang sedang tumbuh (emerging market) merupakan tema-tema yang lazim kita temukan dalam berita-berita koran, majalah, liputan berita televisi maupun terbitan-terbitan ilmiah.

Meskipun beberapa laporan tersebut memberikan analisis kritis atas apa yang terjadi di Cina dalam beberapa dekade belakangan, hampir sebahagian besar merefleksikan kekaguman atas prestasi yang diraih Cina dalam beberapa dekade terakhir. Ancaman Cina, kini, tidak lagi berasal dari komunisme, tetapi lebih kepada ancaman-ancaman yang yang bersifat ekonomi sebagaimana sering direfleksikan dalam bentuk serbuan produk-produk Cina.

25

Pete Engardio, 2008.Chindia : Strategi Cina dan India Menguasai Bisnis Global, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, hal.75

Meskipun demikian, keberhasilan reformasi Deng dalam mentransformasikan ekonomi salah dimengerti. IMF dan Bank Dunia, misalnya, mengatakan bahwa keberhasilan ekonomi Cina tidak bisa diepaskan oleh liberalisasi yang dilakukan oleh negara tersebut. Oleh karena itu, baik IMF dan Bank Dunia sering kali menggunakan Cina sebagai contoh keberhasilan liberalisasi ekonomi meskipun negara ini menolak resep-resep yang ditawarkan oleh IMF maupun Bank Dunia,26

Dalam capitalist developmental state, negara tidak keluar dari pembangunan ekonomi sebagaimana diinginkan oleh para pendukung neoliberal, tetapi lebih pada bagaimana negara dan pasar saling bersinergi untuk melakukan pembangunan ekonomi. Disini, negara melakukan intervensi untuk mengurangi distorsi pasar atau secara lebih ekstrem mengatasi akibat-akibat merusak yang ditimbulkan oleh the blind forces of market. Dalam negara pembangunan kapitalisme, kebebasan pasar dan integrasi pasar bersifat relatif yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan tempat tertentu.

yag tentu sangat bercorak Neoliberal.

Rusia dan Indonesia adalah korban kegagalan IMF dalam masa reformasi ekonomi. Indonesia bahkan menjadi nagara yang lebih lama recovery dan dengan pengorbanan sosial politik yang teramat besar dibanding dengan negara-negara yang tidak membabi buta “membebek” pada resep-resep IMF : Sebaliknya, Cina menuai sukses besar ketika mereka mampu menemukan jalan reformasi mereka sendiri.

Tidak bisa di pungkiri, keberhasilan ekonomi Cina merupaka buah reformasi Deng dalam mendorong Cina untuk lebih membuka diri (open door policy) terhadap investasi asing. Namun, tentunya, kekeliruan besar jika dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Cina merupakan buah dari berbagai kondisi; salah satu diantaranya adalah kemampuan negara mengelola perekomian, yang lebih tampak merefleksikan diri sebagai suatu model capitalist developmental state.

26

Dough Guthrie mengemukakan bahwa dalam membahas reformasi ekonomi ada dua aliran pemikiran yang saling bersitegang. Aliran pertama adalah pemikiran yang berpijak pada keyakinan bahwa dalam era reformasi ekonomi negara seharusnya membangun dan memelihara pasar-pasar baru, sedangkan aliran kedua berpijak pada pemikiran bahwa proses-proses ekonomi secara fundamental merupakan proses politik27

Perubahan ekonomi dan politik yang terjadi di Cina sedikit banyaknya telah mendeskripsikan betapa sebenarnya ideologi komunis yang dianut oleh negara tersebut perlu dilakukan pembaharuan. Pembaharuan tersebut justru terlihat lebih bersifat pragmatis dengan tujuan tercapainya kebutuhan nasioanl negara tersebut.

. Menurut Dough Guthrie, apa yang terjadi di Cina merupakan contoh bagaimana transisi ekonomi kapitalisme merupakan proses politik. Sebagaimana ia kemukakan, “ China’s reform process server as a perfect example of the extent to which economic development and transition to capitalism are, inded political process”.

Sentimental peran negara dalam konteks pembangunan Cina adalah penting. Negara, dalam kerangka reformasi ekonomi, dengan sabar mengalokasikan sumber-sumber ekonomi dan investasi agar lebih produktif, dan yang terpenting adalah bagaimana negara berperan secara dinamis ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi global. Dengan demikian, penciptaan zona-zona ekonomi dan liberalisasi bertahap merupakan kunci sukses peran negara, selain secara terus-menerus menjaga stabilitas politik yang merupakan salah satu prakondisi penting demi keberhasilan pembangunan ekonomi. Sebagaimana disimpulkan Guthrie, “ the critical point here is that China’s seccessfull path though two-and-a-half decades of economic reform has been gradual, experimental, and fundamentally political”.

28

27

Dough Guthrie, 2006.China and Globalization: The Social, Economi, and Political Transformation of Chinese Society, New York, London: Routledge,.Hal. 13

28

J. Soedjati Djiwandono, 1990. Pengaruh Pembaharuan Gorbachev di Dunia Komunis dalam Perubahan Politik di Negara Negara Eropa Timur, Jakarta: PT Gramedia. Hal. 35

Dokumen terkait