• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 4 Liberalisasi Usaha dan Manajemen

BAB IV : KESIMPULAN DAN PENUTUP

III. 3 4 Liberalisasi Usaha dan Manajemen

Di bulan November 1981, PM Zhao menyampaikan rancangan kerja pemerintah kepada parlemen (Kongres Rakyat Nasional), Rancangan kerja pemerintah itu berupa 10 petunjuk pembangunan ekonomi RRC yang isinya:

1. Pemerintah ingin mempercepat pembangunan pertanian dengan menggunakan kebijakan yang tepat dan pemikiran yang ilmiah.

2. Pemerintah memberikan perhatian terhadap pembangunan industri barang-barang konsumsi dan mengatur orientasi pembangunan industri berat.

3. Pemerintah meningkatkan rasio penggunaan energi dan transportasi 4. Pemerintah mengadakan transformasi teknik setahap dalam unit-unit

kunci, dan menjalankan penggunaan yang maksimal terhadap perusahaan-perusahaan yang ada.

5. Pemerintah melakukan konsolidasi disegala bidang dan penstrukturan kembali perusahaan-perusahaan menurut kelompoknya.

6. Pemerintah meningkatkan dana-dana pembangunan dan menggunakannya secara hemat, melalui perbaikan metode persyaratan, akumulasi dan pengeluaran.

7. Pemerintah tetap melaksanakan kebijakan pintu terbuka dan meningkatkan kemampuann untuk berdikari.

8. Pemerintah dengan aktif melakukan reformasi sistem ekonomi negara dan memperlihatkan inisiatif dalam setiap hal yang berkaitam dengan usaha ini.

9. Pemerintah berupaya mempertinggi taraf keilmuan dan kebudayaaan seluruh rakyat pekerja dan mengorganisasi kiemampauan untuk menjalankan proyek-proyek penelitian ilmiah yang penting.

10. Pemerintah berusaha mewujudkan konsep segalanya ditujukan untuk rakyat dan memberikan perhatian menyeluruh terhadap produksi, pembangunan dan penghidupan rakyat.

Rancangan pemerintah diatas merupakan petunjuk perubahan kebijakan di RRC, dimana struktur ekonomi yang rasional berusaha dibangun oleh pemerintah Deng dengan menggunakancara-cara yang intensif, seperti perubahan sistem manajemen, pemekaian ilmu dan teknologi canggih, pembaruan di bidang keuangan, introduksi pentingnya peranan bank, rasionalisasi produksi, aplikasi disiplin pekerja yang lebih baik, implementasi cara pembayaran upah yang baik, dan sebagainya. Rasionalisasi ekonomi yang dilakukan setelah Deng mempunyai kekuasaan yang dominan, menurut keterangan pemerintah, telah memperlihatkan

perkembangan yang positif, terutama di sektor pertanian, dimana terjadi peningkatan yang besar, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Karena reformasi ekonomi di pedesaan membawa hasil yang baik, pemerintah tergerak inisiatifnya untuk melakukan reformasi ekonomi di wilayah perkotaan. Lalu dalam sidang Pleno Komite Sentral PKC XII, 20 Oktober 1984 ditetapkan kebijakan mengenai perombakan struktur ekonomi perkotaan khususnya yang menyangkut kehidupan sektor ekonomi modern. Perombakan tersebut memberikan kebebasan yang lebih besar lagi kepada para manajer lokal dalam mengambil keputusan, baik keputusan tentang target produksi, komersialisasi produksi maupun pengadaannya.

Dalam perombakan itu pemerintah melonggarkan ikatan akibat perencanaan yang terlalu ketat. Memperbaiki struktur gaji dan mendesentralisasi kekuatan ekonomi ditingkat perusahaan-perusahaan. Sementara perusahaan- perusahaan ini sendiri menjadi kesatuan ekonomi yang merdeka dengan status hukum seperti dibarat, dimana para manajernya mempunyai hak otonomi yang lebih luas. Komite Sentral dengan biaya US$300 juta, dimana masing-masing pihak diberikan modal 50%. Sebelumnya, para pemilik modal keturunan Cina di Amerika Serikat dan Kanada telah memutuskan untuk menanamkan modal mereka dalam pembangunan hotel-hotel di RRC. Menurut pengamatan mereka, dengan meningkatnya aktifitas ekonomi RRC, jumlah pendatang dari luar negeri akan meningkat pesat, sehingga akan membawa pemasukan yang besar bagi mereka.

Sedangkan para pemilik modal Cina dari keturunan Muangthai dan Singapura, berniat menanamkan modalnya dalam industri perhotelan di Amoy dan Kanton. Hong Leon Group menginvestasikan modalnya sebanyak US$ 48 juta, sementara perusahaan Metrobuilt bersama lima rekannya masih menghitung- hitung nilai investasi mereka. Bangkon Bank, bank swasta yang terbesar di Muangthai dan mempunyai acabang dijakarta, tidak disangkah ternyata telah lama menginvestasikan modalnya melalui pendirian perusahaan ferry yang

menghubungkan Hongkong dengan Cina daratan. Diberitakan pula, bank itu sedang mempertimbangkan investasi modal dibidang pariwisata dan lainnya.

Terhadap pemilik modal keturunan Cina yang ada di indonesia, kalau Menlu RRC, Wu Xueqien, tatkala menghadiri peringatan KAA ke-30 april 1985, pernah mengatakan bahwa ia belum mengetahui dengan pasti apakah investor keturunan Cina di Indonesia telah menginvestasikan modal mereka kepada RRC, maka dewasa ini hal tersebut malah tidak diragukan lagi. Kita ingat diawal dasawarsa 1990, pernah terjadi perdebatan hangat tentang isu pelarian modal (capital flight) yang disinyalir telah dilakukan oleh para pengusaha Keturunan Cina yang ada di Indonesia. Masyarakat Indonesia kwatir kalau terjadi pelarian modal, mengingat Deng Xiaoping sendiri pernah menyerukan kepada paran pengusaha keturunan Cina diseluruh dunia agar mengirimkan uang mereka untuk membantu pembangunan tanah asal atau negeri leluhurnya. Diberitakan, pemerintah RRC telah menyiapkan segala sesuatunya untuk mengantisivasi niat investasi para pengusaha keturunan Cina dari indonesia yang begitu tinggi.

Penyelesaian maslah Hong Kong dengan damai- Hong Kong akan dibiarkan hidup dengan sistem kapitalismenya setelah penyeraha kedaulatan dari tangan inggris 1997- menyebabkan pemerintah RRC bisa menyerap banyak modal asing dari koloni inggris tersebut. Ini mengingatkan Hong-Kong sebagai pusat finansial terbesar ke-3 di dunia, setelah New York dan London,dan sebagai kota perdagangan yang termasuk 16 besar di dunia. Dimana terdapat perusahaan- perusahaan raksasa yang mempunyai mata rantai bisnis dengan banyak negara di berbagai penjuru dunia dengan basis modal yang tinggi. RRC juga memiliki lusinan perusahaan di Hong Kong, dsibawah status kepunyaan negara, diantaranya adalah China Resources Co, yang bergerak dalam bidang pembangunan perumahan, toserba, hasil seni dan kerajinan. Nilai investasi RRC di Hong Kong diperkirakan sebesar US $ 3 milyar.

Bersama dengan penduduk Hong Kong keturunan Cina yang sering di juluki “kapitalis merah”, pemerintah RRC dapat membentuk usaha patungan untuk mengembangkan Kawasan Ekonomi Luar Biasa di negerinya. Sebagai

contoh, Huaneng Internasional Power Development Corporation, perusahaan patungan dalam pembanguanan industri pembangkit tenga listrik, akan didirikan oleh pemerintah RRC dan perusahaan Hong Kong. Pihak RRC diwakili oleh China Fine Coal Corporation, dengan nilai saham 60%, serta China International Water and Electricity Corporation dan China Development Bank, dengan nilai saham keduanya berjumlah 15%.

Dikawasan Ekonomi Luar Biasa, selama enam bulam pertama tahun 1984, terdapat lebih dari 300 persetujuan penanaman modal asing senilai US$ 267,71 juta, yang telah ditandatangani oleh pemerintah RRC. Persetujuan tersebut terdiri dari paket penanaman modal asing yang baru. Selanjutnya diketahui bahwa Bank Dunia berkenan memberikan kredit sebesar US$ 25 juta kepada RRC, yaitu hampir setengah dari jumlah kredit yang diberikan Bank Dunia kepada empat negara berkembang lainnya, dalam rangka penelitian untuk meningkatkan produksi pertanian. Pemerintah RRC merencanakan untuk mendapatkan lagi sebesar US $ 50 milyar bantuan luar negeri, dalam masa 10 tahun mendatang. Menurut Sekjen PKC, Hu Yaobang, ekonomi RRC mampu membayar kembali hutang-hutang itu dengan mudah, apabila negaranya bisa menyisihkan 25% dari pendapatan ekspornya. Pembangunan sumber-sumber energi di RRC dan meningkatnya ekspor memungkinkan RRC untuk meningkatkan pinjamannya. III. 3. 5 Integrasi Dalam Ekonomi Internasional

Setelah 1978, terlihat cakrawala baru dalam dunia ekonomi RRC. Negara besar di asia timur ini mulai mulai melibatkan dirinya secara luas dalam mata rantai ekonomi internasional. RRC tidak hanya mentelorir pendekatan kapitalis terhadap kebijakan ekonomi domestiknya, tetapi juga terhadap ekonomi luar negarinya. Sikap menerima dengan tangan terbuka atas modal asing adalah salah satu bagian dari keterkaitannya dengan aktifitas ekonomi internasional. Sedangkan bagian lain yang menguraikan linkage RRC secara lebih mendalam lagi, ada dalam pembahasan berikut ini.

Laju pertumbuhan ekonomi RRC pada akhir tahun 1984 mencapai rata- rata 7,9%, dengan Produk Nasional Kotor perkapitanya sebesar US$ 310. Eksport

utama RRC terdiri dari 30% bahan makanan, 25% tekstil dan pakaian jadi, 15% minyak mentah dan sisanya komoditi lain. RRC kemudian mencurahkan perhatiannya pada ekspor kapas, kacang kedele, jagung dan hasil pertanian lainn, yang harganya mampu bersaing di pasar dunia, menyisihkan Amerika Serikat, sebagai negara pensuplai utama. Peningkatan ekspor komoditi –komoditi ini dimungkinkan karena telah dilakukannya reformasi ekonomi nasional dan perbaikan infrastruktur distribusi.

Impor RRC terdiri dari peralatan transportasi, masin, besi baja, dan bahan- bahan kimia. Selama tiga kwartal pertama 1984, sebesar 23,4% dari jumlah keseluruhan impor. Sementara persentase impor besi baja dan bahan-bahan kimia masing-masing sebesar 16,2%. Perkembangan memperlihatkan, terdapatnya kecenderungan baru dalam kenaikan angka impor yang tinggi, yaitu untuk impor barang-barang elektronik, berupa pesawat TV, dan alat pemasak listrik, yang mengalami kenaikan 10-15 kali lipat dari nilai periode yang sama tahun 1983. Demikian juga untuk mesin cuci dan lemari es, yang mengalami angka kenaikan sebesar 200-300% dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Hingga akhir 1983, RRC telah menjalin hubungan dagang dengan 190 negara dan kawasan, serta menandatangani persetujuan dagang dengan 95 nagara dan organisasi Masyarakat Ekonomi Eropa. Hubungan dagang yang terbanyak dilakukan dengan negara-negara yang menjunjung tinggi ekonomi pasar. Tempat pertama samapai saat itu di duuki oleh jepang, dimana RRC membeli sebanyak 24% dari semua kebutuhan impornya. Sejak hubungan diplomatik dengan jepang dibuka (1978), nilai perdagangan kedua negara meningkat 20% setiap tahun, sampai tahun 1984. Selanjutnya dengan Amerika Serikat, dalam lima tahun terakhir laju peningkatan perdagangan setiap tahun labih dari 60%. Sedangkan hubungan dagang dengan Masyarakat Ekonomi Eropa, untuk tahun 1983, nilai perdagangan RRC mencapai US$ 5,696 milyar.

Barang-barang jadi (manufaktur) RRC, berdasarkan data tahun 1979-1982, menjadi pesaing berat bagi komoditi yang dihasilkan oleh negara-negara ASEAN. Perhitungan yang disusun oleh Jhon Wong dari Universitas Nasional Singapura

menilai bahwa ekpor komoditi manufaktur RRC meningkat sebesar 10% setiap tahun selama dasawarsa 1980. Bahkan setelah tahun 1985, tingkat kenaikan mencapai 15% setiap tahunnya. Perkembangan ini mengartikan bahwa laju kenaikan ekspor RRC yang dibantu oleh teknologi imor Amerika Serikat, Eropa Barat dan jepang, dan oleh penambahan bahan—bahan keterampilan dalam mencari daerah pemasaran di luar negeri, secara kumulatif berakibat menggeser terhadap negara-negara anggota ASEAN yang ingin memperluas daerah pemasarannya di luar negeri.

Keberhasilan RRC menduduki posisi yang baik dalam perekonomia internasional, semakin didukung oleh banyaknya keuntungan yang diperoleh negara itu dalam fora internasional. Kalangan pemerintah dan bisnis di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang menganggap berdagang dengan RRC sebagai hal yang pantas, serta sebagai sesuatu yang harus dilakukan, karena perhitungan politik dan strategi. Sebagai implikasinya, mereka perlu mendukung RRC sejak kehadirannya sebagai anggota Dana Moneter Internasional (IMF) di tahun1980. Pemerintah RRC telah memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh organisasi internasional itu dan telah memperoleh pinjaman sebesar US$ 1,1 milyar.

Tidak kurang dari 27 perusahaan minyak asing melakukan kerjasama modal dalam ekplorasi minyak bumi dan gas alam di RRC. Sedangka perusahaan- perusahaan asing berikutnya, menanamkan modal di area yang berbeda umpamanya RI Reynold menanamkan modalnya lewat pabrik rokok terbesarnya di Xiamen; AMC lewat produksi kendaraan Jip di Beijing, Gillette melalui pembangunan perusahaannya di manchuria; dan Foxboro Corporation melalui pembangunan sistem kontrol proses produksi di Shanghai.Jika ingin diketahui data tentang berapa banyak perusahaan patungan dan komposisi modal mereka yang telah disetujui oleh pemerintah RRC, maka dikemukakan sebagai berikut:

Ada 172 perusahaan dalam enam bulan pertama tahun 1984 dengan nilai investasi sebesar US$ 1,44 milyar, yang terdiri dari US$ 510 juta dana dari pengusaha asing dan US$ 925 juta modal dari pemerintah RRC. Dari pemerintah

Jepang, pada tahun 1979, pemerintah RRC menerima bantuan ekonomi sebesar 300 milyar yen (US$ 1,3 milyar), dalam bentuk pinjaman lunak melalui Organisasi Kerjasama Ekonomi (OECF). Diluar ini, masih ada lagi bantuan ekonomi jepang dalam berbagai bentik senilai US$ 2 milyar, bak dari sektor pemerintah maupun sektor swasta. Tiga tahun sesudahnya, sebagai hasl pendekatan RRC-Jepang sebesar US$ 244 juta, untuk membangun dan perluasan beberapa pelabuhan laut da jalan KA merupakan sarana perhubungan strategis di RRC.

Sebagai realisasi bantuan tahap kedua, pemerintah Jepang telah menyetujui pinjaman sebesar 400 milyar yen (US$ 1,7 milyar ), yang disepakati ketika PM Nakasone mengunjungi RRC tahun 1984. Walaupun ditinjau dari jumlah pedagang yang berkunjung ke RRC, orang Jepang adalah yang terbanyak, tetapi dilihat dari segi investasi konkrit, sebenarnya investasi Jepang masih kurang sekali. Demikian halnya, dari 931 buah perusahaan asing yang dibentuk antara tahun 1979-1984, hanya 48 buah saja yang melibatkan perusahaan-perusahaan Jepang. Tidak heran, apabila para pemimpin RRC selalu menekankan supaya negara Jepang memperluas investasinya di sektor-sektor ekonomi yang lainnya.

Di sektor transportasi Jepang memang merupakan negara pengekspor kendaraan terbesar di RRC. Kendaraan merek Toyota, Mitsubishi dan Nissan, membanjiri kota-kota di RRC, dan biasanya digunakan sebagai kendaraan angkutan umum, berupa taksi dan bus, dan kendaraan angkutan khusus bagi para pemimpin PKC. Sedangkan di sektor pertambangan, perusahaan NKK (Nippon Kabushiki Kaisha) dan Marubeni Jepang membangun usaha patungan dalam ekplorasi dan ekspolitasi minyak bumi bersama perusahaan Tienjin, milik pemerintah RRC. Kedua perusahaan Jepang terkenal itu menanamkan saham sebesar 40% , sementara saham pemerintah RRC sendiri sebesar 60%. Sampai tahun 1985, pemerintah Jepang masih enggan menanamkan modalnya lebih banyak lagi di RRC, karena belum cukupnya dirasakan untuk melindungi para penanam modal. Walaupun ada UU tentang Usaha Bersama yang disusun Kongres Rakyat Nasional ke-5 bulan juli 1979, untuk mengabsahkan partisipasi

pihak asing dalam pembangunan ekonomi RRC, tetapi pertanyaan yang masih mengkwatirka pemerintah Jepang ketika itu: siapa yang bisa memberikan jaminan terhadap perkembangan politik dan hukum RRC dimasa yang akan datang?

Dari Amerika Serikat, negara maju yang telah memiliki hubungan ekonomi dalam waktu yang relatif lama dengan RRC – perhatikan bantuan- bantuan ekonomi yang direalisasikan para pemimpin Amerika Serikat sejak kunjungan bersejarah di tahun 1972, 1979, 1982, dan 1984- pemerintah RRC belum bisa mengharapkan investasi modal dalam jumlah besar, karena para penanam modal yang bonafid dari Amerika Serikat, belum memperoleh jaminan keamanan yang pasti dalam bentuk perjanjian khusus terhadap modal yang akan mereka tanamkan di RRC. Masalah yang sama juga dihadapi oleh pemerintah AS dalam rencana pembangunan 10 proyek nuklir di negerinya.

Proyek yang bertujuan meningkatkan aktifitas indutri di RRC ini menelan biaya antara US$ 20-25 milyar, dengan mengharapka modal dari AS seluruhnya untuk menutupi ongkos pembuatan. Perusahaan-perusahaan Amerika baru berani menanamkan modalnya dalam jumlah yang terbatas dari sektor-sektor yang umum saja. Seandainya kendala investasi modal ini dapat diatasi maka, perusahaan- perusahaan Amerika akan melebarkan investasinya di bidag teknologi luar angkasa. Perusahaan-perusahaan penerbangan seperti McDonnel Douglas, Boeing, General Electric dan sebagainya, telah menyatakan sepakat untuk mengadakan usaha patungan bernialai milyaran dollar AS dengan pemerintah RRC, dalam bentuk produksi pesawat terbang sipil, sistem kendali radar, teknologi penerbangan dan lain-lain.

Dari negara-negara Eropa Barat, pemerintah RRC telah mendapatkan investasi modal dalam pembangunan industri modern. Sayangnya tidak diketahui dengan pasti berapa besar modal yang di investasikan disana. Yang sangat menonjol diantaranya adalah perusahaan VW, melalui pembangunan pabrik penghasil mobil penumpang model mutakhir bermerk Santana, yang diarahkan untuk komoditi ekspor, dengan nilai investasi terbesar US$ 220 juta. Kemudian,

dalam yahun 1985, Spanyol telah menandatangani kontrak pembuatan kilang minyak di RRC seharga US$ 300 juta, mengikuti Inggris dengan Britist Petroleum-nya, disamping perjanjian kontrak pembuatan beberapa pabrik yang lain.

Perjalan keliling sekjen PKC, Hu Yaobang, ke negara-negara dikawasan pasifik, memperlihatkan keinginan RRC lebih lebih jauh untuk mendapatkan bantuan ekonomi. Persetujuan dengan pemerintah Australia menghasilkan proyek kerjasam biji besi senilai US$ 3,5 milyar dan beberapa kontrak dagang tambahan. Sedangkan persetujuan dengan pemerintah Selandia Baru menghasilkan sebuah proyek patungan dalam pembangunan model pertanian di RRC. Proyek tersebut dikelola oleh konsorsium perusahaan Selandia Baru di propinsi Shansi dan akan mengaplikasikan teknologi pertanian canggih. Beberapa bentuk kerja sama ekonomi lain yang meliputi banyak bidang, tengah dirintis oleh pemerintah RRC bersama dengan pemerintah negara-negara dikawasan Pasifik, secara intensif.

Singapura negara Asia paling maju, sangat tertarik untuk menanamkan modalnya di RRC sambil mengembangkan perdagangannya. Singapra dilatar belakangi oleh potensi yang tinggi, yang dimiliki oleh pasar domestik RRC, dan didorong oleh upaya untuk membangkitkan kembali perekonomiannya dari tingkat kemunduran yang mengkwatirkan. Diketahui, para pengusaha singapura telah menanakan modalnya sebesar US$ 450 juta di proyek-proyek pembangunan RRC, termasuk dalam investasi hotel dan minyak bumi. Sementara PM Lee Kuan Yew beserta para ahli ekonomi negarinya, telah menawarkan perluasan investasi dalam penyulingan minyak, jasa p[erbankan, pengaspalan dan lain-lain.

Walau negara singapura tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan RRC, namun para pengusaha singapura memperoleh prioritas di RRC, karena mereka diandalkan tuan rumah sebagai perantara dengan para pengusaha asing yang hendak mengembangkan investasi dan perdagangan mereka disana. Malahan Dr. Goh Keng Swie, arsitek kemakmuran ekonomi Singapura yang terkenal dengan kebijakannya dalam mengubah rawa bakau di jurong menjadi pusat

industri multinasional, telah ditawarkan oleh pemerintah RRC untuk ditempatkan sebagai konsultan ekonomi negara itu.

Beijing sedang melancarkan kampanye ekonomi yang gesit sekali untuk merangkul modal pengusaha keturunan Cina yang ada dimana saja, terutama di Asia, Amerika dan Kanada. Orang kaya Malaysia, Robert Kwok, telah menandatangani sebuah perjanjian untuk mendirikan gedung pusat perdagangan Dunia di Beijing di fora kerjasama multilateral, khusunya dalam bank dunia dan Bank Pembangunan Asia, dan tidak terkecuali juga di forum MFA ( Multi Fibre Arrangement), yang selama ini di jaga ketat oleh para pengekpor kawasan yang terdiri dari Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan.

Pukulan yang serupa dilakukan RRC dalam ekspor minyak bumi. Kali ini yang menjadi korbannya, setelah negara itu melibatkan diri secara luas dalam perekonomian internasional, tidak hanya negara-negara anggota ASEAN, tetapi juga negara-negara anggota OPEC, termasuk negara-negara kaya didalamnya, seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Persatuan Emirat Arab. Hal tersebut disebabkan karena RRC telah menjual minyaknya dengan harga yang tidak kompromis terhadap kondisi keuangan OPEC.Di saat negara-negara OPEC sedang gencar- gencarnya mempertahankan harga patokan yang sudah begitu rendah, RRC malah dengan mudah menurunkan harga juak minyaknya persatuan secara lebih rendah lagi.

Bukan itu saja, negara yang sebenarnya kaya dengan sumber daya alam namun belum banyak dimanfaatkan ini, ternyata memproduksi sumur-sumur minyaknya secara maksimal, justru disaat negara-negara anggota OPEC sedang dihantui banjir produksi.Akibatnya, RRC menjadi produsen minyak terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Ekspansi ekspor RRC berkembang dengan pesat, sehingga mendesak komoditi yang dihasilkan oleh negara-negara industry maju.Kejadian yang pertama di alami oleh negara Taiwan.Hal itu dapat dilihat dari pernyataan yang disampaikan oleh berbagai asosiasi perdagangan Taiwan pada bulan maret 1985 kepada pemerintah mereka.Adapun pernyataan mereka mengemukakan bahwa,

pertumbuhan komoditi RRC telah sampai kepada keadaan yang semakin menyaingi komoditi Taiwan dan mengancam peluang ekspornya. Oleh karena itu, mereka meminta perhatian pemerintah segera dan mnyarankan supaya para pejabat perdagangan Taiwan menciptakan saluran yang tepat, untuk menghimpun informasi RRC, sehingga dapat membantu para eksportir Taiwan dalam membuat strategi menghadapi komoditi RRC yang harganya jauh lebih rendah.

Kejadian kedua dialami oleh Hong Kong.Perkembangan membuktikan bahwa komoditi ekspor RRC telah membanjiri pasar Hong Kong, sehingga berpengaruh kuat mengganggu stabilitas tekstil negeri itu.Sedangkan yang berikutnya, secara berturut-turut dialami oleh Inggris, Irlandia, Prancis (anggota- anggota Masyarakat Ekonomi Eropa) dan Amerika Serikat. Sebagai akibatnya, Komisi Eksekutif Masyrakat Ekonomi Eropa memerintahkan kepada ketiga negara anggotanya untuk menghentikan impor beberapa jenis tekstil dari RRC, sementara Amerika Serikat pernah menerapkan proteksionisme terhadap komoditi dalam negerinya, melalui pembatasan komoditi RRC yang masuk. Sesungguhnya, apa yang diperdebatkan dalam jenkin’s Bill, tidak luput dari perjuangan Amerika Serikat dalam menghadapi arus ekspor tekstil RRC yang semakin meningkat. Dari perkembangan diatas, pemerintah RRC menyadari bahwa, walaupun negaranya belum lama mengintegrasikan diri secara luas dalam aktifitas ekonomi internasional, namun sudah dapat memetik hasil yang besar manfaatnya bagi program modernisasi.

Sebagai konsekuensinya, pemerintah RRC terus memperluas aktifitas ekonomi luar negerinya, sebagaimana tercermin oleh kunjungan para pemimpin RRC ke negara-negara Pasifik Selatan, Amerika Serikat, Eropa Barat, Amerika Latin, dan lain-lain, atau sebaliknya, kunjungan para pemimpin negara-negara asing ke RRC, mengingat dalam kesempatan itu RRC memperoleh peluang untuk mencari daerah pemasaran baru dan bahan-bahan baku, untuk industry ekspornya.

Keterkaitan RRC dengan mata rantai perekonomian internasional membawa pula konsekuensi buruk. Mau tidak mau, segala sesuatu yang menimpa ekonomi internasional (ekonomi dunia), akan turut member implikasi

terhadapekonomi nasional RRC. Sebagai contoh adalah merosotnya cadangan devisa RRC akibat pembatalan kontrak dengan pihak asing dan deficit perdagangan negara lain. Namun kemudian, pemerintah RRC cepat mengambil keputusan, dengan mengontrol mekanisme impor secara ketat, membatasi impor barang yang kurang berguna, meningkatkan impor barang yang mendukung

Dokumen terkait