• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS STRUKTUR TERHADAP NOVEL CERITA CALON ARANG

5.1 Cinta

Cinta merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pada umumnya manusia tidak dapat terlepas dari cinta karena setiap manusia itu memiliki cinta. Ini disebabkan karena manusia adalah makhluk atau individu sosial yang hidup dengan individu lainnya. Manusia tidak dapat hidup tanpa ada pembauran, perhatian, pertolongan, dan bantuan orang lain. Pembauran, pertolongan, perhatian, dan bantuan antara sesama individu itu merupakan bentuk rasa cinta kepada orang lain. Oleh karena itu, cinta merupakan sebuah kebutuhan manusia dalam menjalani kehidupannya. Cinta dapat dirasakan oleh setiap orang tanpa memandang usia, waktu, tempat, dan status sosial seseorang. Cinta dapat dirasakan oleh setiap manusia dan memberi arti yang berbeda pada setiap yang merasakannya, sehingga sulit memberi satu definisi yang pasti mengenai cinta..

Wibowo Turnad beberapa definisi cinta dari beberapa sumber, yaitu: 1) Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang (Wikipedia), 2) Cinta adalah kasih sayang yang mendalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia), 3) Cinta adalah perasaan sayang pada orang lain (Dictionary.com), 4) Cinta adalah ikatan atau perasaan yang kuat yang menimbulkan rasa hormat dan sayang (Arddictionary.com), 5) Cinta adalah perasaan sayang dan tertarik yang sangat kuat kepada seseorang ( Answer.com), 6) Cinta adalah fenomena sosial yang kognitif (ilmu sosiologi), 7) Cinta adalah emosi yang dalam dan kompleks yang membuat seseorang yang bertindak heroik. (ehow.com), 8) Cinta adalah emosi positif yang kuat.(Lexipedia.com), dan 9) Cinta adalah ketertarikan rasa sayang pada lawan jenis (biology-online.org).

Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (dalam

Cinta adalah sebuah perasaan yang membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih

sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakuka apapun yang diinginkan objek tersebut.

Wahdi (dalam menyatakan bahwa ada beberapa macam bentuk cinta, yaitu:

1) Eros, adalah cinta manusia semata, yang diinspirasi oleh sesuatu yang menarik pada objeknya. Eros merupakan cinta yang tumbuh dari seseorang kepada yang lain, 2) Storge, adalah ikatan alami antara ibu dan anak, bapak dan anak, dan saudara, 3) Philia, setingkat lebih tinggi dari eros, berhubungan dengan jiwa daripada tubuh. Menyentuh kepribadian manusia-intelektual, emosi, dan kehendak, melibatkan saling berbagi, 4) Agape, adalah tingkat kasih yang paling tinggi. Ini adalah kasih Tuhan, kasih yang tidak mencari kesenangan sendiri, tetapi senang memberi tanpa menuntut balas.

Dari keempat bentuk cinta tersebut hanya dijumpai tiga bentuk cinta dalam novel Cerita Calon Arang karya Paramoedya Ananta Toer ini, yaitu:

5.1.1 Storge; Cinta Ayah Kepada Putrinya dan Cinta Ibu Kepada Putrinya

Storge, adalah perasaan atau ikatan alami antara ibu dan anak, bapak dan anak, dan saudara. Cinta ini tergambar pada Empu Baradah yang sangat mencintai putrinya Ratna Manggali. Ia sangat sedih melihat putrinya yang belum dapat menerima kepergian ibu kandungnya. Empu Baradah turut merasakan kepedihan yang dirasakan oleh putrinya itu.

Sekarang ibunya telah meninggal. Siapa tak akan bersedih hati. Siapa lagi yang akan bercerita begitu indah kepada Wedawati? Siapa lagi yang akan mengasihinya? Lalu dengan tersedu-sedu dirangkulnya mayat ibunya.

“Ya, siapa lagi yang mengasihi daku? Tangisnya. Ayah ‘kan masih ada,” hibur ayahnya.

Tapi tapi gadis itu menangis juga.

“Siapakan yang mencintaiku sekarang?” ratapnya lagi.

Lalu Sang Empu tak tahan lagi melihat tingkah laku anaknya. Dirangkulnya Wedawati, diusap-usapnya rambut dan pipi anaknya yang piatu itu, sambil mengucurkan airmata (Cerita Calon Arang, 2003: 17).

Cinta Empu Baradah kepada putrinya ini juga tercermin melalui kegelisahan yang dirasakannya ketika ia pulang ke asrama dan mengetahui Wedawati tidak berada di rumah karena bertengkar dengan ibu tirinya. Kemudian cepat-cepat Empu Baradah berangkat mencari anaknya.

Segera Sang Empu bangun dari tidurnya. Kaget benar ia. Cepat-cepat dikenakan kembali jubahnya. Katanya kepada istrinya:

“Baiklah, ku cari sendiri”.

Kemudian jalanlah ia mencari Wedawati. Cepat sekali jalannya. Sebentar-sebantar ia bertanya kepada orang di jalan:

“Ada engkau melihat anakku? Kemana perginya?”

Tiap orang yang mengetahui menjawablah dengan segera dan hormat.

Sampai di padang rumput Sang Empu sekarang. Anak-anak gembala masih banyak di sana. Pada salah seorang mereka bertanyalah ia:

“Ada di antara engkau tahu kemana anakku pergi?” (Cerita Calon Arang, 2003: 48).

Perasaan cinta Empu Baradah kepada putrinya Ratna Manggali juga terlihat ketika Empu Baradah sangat bersedih karena Ratna Manggali tidak mau pulang ke rumah saat pergi dari rumah untuk kedua kalinya. Empu Baradah menemui Ratna Manggali di kuburan istrinya dan membujuk Ratna Manggali agar tidak meninggalkan dirinya dan mau kembali pulang ke Lemah Tulis.

“Anakku, manis! Buat apa engkau meninggalkan rumah? Engkau membuat aku bersedih hati. Mari pulang, anakku!”

Wedawati menggelengkan kepala. Ia tak mau pulang lagi. Ia tak ingin hidup bersama ibu tirinya. Karena tak mau menyusahkan orang lain, ia pun tak sudih bila disuruh tinggal di tempat orang lain.

Lama Empu Baradah mengambil hati anaknya. Tapi Wedawati tak mau mengubah pendiriannya. Lama juga ayah itu mengusap-usap rambut dan bahu anaknya. Wedawati tetap tidak peduli.

Sudah lama juga Sang Pendeta memberi nasehat. Banyak juga pelajaran disuarakannya. Tidak, Wedawati tetap tak mau ikut pulang.

“Mengapa engkau hendak menyedihkan hati ayahmu, Wati?”

“Ayahanda.” Kata Wedawati sopan, “hamba sudah berniat tinggal di kuburan ini. Hamba tak ingin pulang.”

“Kalau engkau tinggal di sini anakku, angin, hujan, panas, dan dingin udara itu akan membuat engkau tidak sehat,” ayahnya menasehati lagi.

“Biarlah hamba sakit, ayahanda. Biarlah hamba sakit,” jawab Wedawati.

“Mengapa engkau hendak menyedihkan hatiku, Wati?” tanya Sang Pendeta (Cerita Calon Arang, 2003: 64).

Cinta ini juga jelas terlihat ketika Empu Baradah rela mengorbankan keinginannya membawa Ratna Manggali kembali pulang. Empu Baradah rela menuruti permintaan Wedawati untuk tinggal di kuburan ibunya, walaupun hatinya sangat sedih. Ia sudah membujuk anaknya, namun tidak berhasil. Wedawati tetap pada pendiriannya. Empu Baradah pun menyuruh murid-muridnya untuk membuat sebuah bangunan di kuburan itu sebagai tempat tinggal Wedawati agar putrinya itu terlidung dari bahaya. Selama Wedawati tinggal di tempat itu, Empu Baradah setiap hari mengunjungi putrinya itu. Ia juga mengajarkan ilmu kepada putrinya yang memutuskan menjadi pertapa itu.

“Kalau sudah tetap niatmu, anakku,” katanya perlahan, “ untuk tinggal di kuburan, sebaiknya engkau tinggal di rumah yang aku suruh buat itu.”

Wedawati tidak menjawab. Juga ia tidak menoleh ke arah orang-orang yang sibuk mendirikan rumah.

“Dan ini ibumu berkirim makanan. Jangan kau biarkan kosong perutmu di bawah hawa dingin seperti semalam. Ibumu bilang sejak kemarin pagi kau belum makan.” Wedawati tak mau juga bicara.

Hari itu juga rumah telah berdiri di pekarangan pekuburan. Berloteng rumah itu. Dengan kasih sayangnya Sang Pendeta memegang tangan anaknya. Wedawati didirikan. Dan gadis itu tidak membantah. Lambat-lambat mereka berjalan ke arah rumah yang sudah jadi itu.

Saban hari Sang Pendeta datang membawa weda-weda dan mengajarkan pada anaknya berbagai ilmu yang patut diketahui oleh setiap orang. Dan bila berhadapan dengan ayahnya, tak pernah gadis itu bertanya tentang ibu, tentang adik, tentang asrama. Ia tak bertanya apa-apa selain tentang pelajarannya. Kalau ia bercerita kepada ayahnya, ia hanya bercerita tentang kuburan dan suburnya bunga-bunga yang tumbuh (Cerita Calon Arang, 2003: 66-67).

Cinta ayah kepada putrinya ini semakin jelas terlihat ketika Empu Baradah pada akhirnya memutuskan hidup menjadi pertapa putrinya. Setelah Empu Baradah berhasil menyelamatkan penduduk Daha dari kejahatan Calon Arang, ia pun meninggalkan seluruh hartanya dan mengajak putrinya Wedawati pergi ke tempat yang jauh sekali untuk bertapa.

Sesampainya di asramanya sendiri, segala kekayaan itu diserahkannya kepada anak yang lelaki. Setelah menyerahkan seluruh harta-bendanya, pergilah ia ke tempat Wedawati bertapa. Diajaknya anaknya yang dicintai itu pergi jauh, jauh sekali. Maka nampaklah kedua orang itu berjalan bersama-sama, naik gunung. Tambah lama tambah kecil kelihatannya. Akhirnya tak kelihatan sama sekali. Sejak itu tak pernah orang mendengar berita di mana mereka berdua berada (Cerita Calon Arang, 2003: 92).

Bentuk cinta storge ini juga tergambar dari cinta yang dimiliki oleh Calon Arang (ibu) kepada putrinya Ratna Manggali. Calon Arang sangat mencintai putri tunggalnya itu. Karena begitu dalam cintanya itu, Calon Arang rela membunuh banyak orang sebagai bentuk kemarahannya kepada para penduduk yang sering membicarakan tentang putrinya yang belum juga ada yang melamar. Mendengar kabar itu, Calon Arang menjadi marah dan bertekad membunuh orang sebanyak-banyaknya demi memuaskan amarahnya.

Lama-lama marahlah Calon Arang karena tak banyak orang yang suka padanya. Dari murid-muridnya banyak mendengar bahwa anaknya sering menjadi buah percakapan, karena tidak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya yang jahat pun tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya, supaya puaslah hatinya (Cerita Calon Arang, 2003: 12).

Calon Arang pun menyebarkan penyakit yang menyebabkan banyak penduduk di Daha yang meninggal. Tindakan ini dilakukan terus-menerus sebagai bentuk dendamnya kepada penduduk yang menjadikan putrinya sebagai bahan perbincangan. Suatu ketika ada lelaki yang bernama Empu Bahula yang menemui Calon Arang untuk melamar putri Calon Arang. Mendengar itu, Calon Arang sangat senang. Ia menyambut gembira lamaran itu dan menerima dengan terbuka.

“Sangat girang hati hamba, Sang Pendeta, karena tuan sudi memperistri anak hamba. Tetapi sudah hamba katakan tadi, Ratna Manggali anak kampung yang tak tahu adat kota. Kerjanya kaku dan kikuk. Dialah anak hamba satu-satunya.”

“Bagaimanakah pendapat tuan tentang permintaan hamba? Tanya Bahula. “Hamba bersyukur, Pendeta. Hamba serahkan anak hamba kepada tuan.” “Dan emas kawin apakah yang harus hamba penuhi? tanya Bahula.

“O, itu perkara gampang, tuan Pendeta! Sembarang hadiah tuan pendeta akan hamba terima dengan perasaan syukur, beribu-ribu syukur,” jawab janda Girah itu (Cerita Calon Arang, 2003: 70).

Rasa cinta Calon Arang kepada putrinya ini juga jelas tergambar ketika ia membuat pesta yang meriah untuk merayakan pernikahan putri tunggalnya itu. Ia rela mengorbankan sebagian hartanya untuk membuat pesta yang megah. Ia ingin pernikahan pestanya itu membuat putrinya bahagia.

Perhelatan perkawinan itu dibuat besar-besaran oleh Calon Arang. Tentu saja, karena Ratna Manggali anak tunggal. Dan anak itu disayangi sekali. Harta benda janda itu banyak, melimpah-limpah. Tentu saja ia tak sayang kehilangan dari sebagian dari harta bendanya. Beribu-ribu orang datang. Bukan karena sayang mereka datang menyaksikan pernikahan itu. Tetapi karena ketakutan. Tua-muda, laki-perempuan semua keluar rumah masing-masing. Segala permainan ada di pesta itu. Segala makanan dan minuman tersedia.

Hari itu Calon Arang adalah orang yang paling berbahagia di seluruh dunia. Sebentar-sebentar ia tertawa-tawa. Ia merasa puas. Sekarang anaknya telah bersuami (Cerita Calon Arang, 2003: 71).

Tindakan Calon Arang tersebut dilakukan untuk membahagiakan putri tunggalnya Ratna Manggali. Ini merupakan bentuk cinta. Bentuk cinta ini merupakan ikatan yang terdapat dalam hubungan antara ibu dan anaknya.

Bentuk cinta yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang ini, yaitu cinta ayah kepada putrinya dan cinta ibu kepada putrinya (storge) memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah yaitu sama-sama rela melakukan apa saja demi membahagiakan anaknya. Empu Baradah rela menuruti permintaan putrinya untuk berpisah tempat tinggal dengan ayahnya dan memutuskan menjadi seorang pertapa. Empu baradah menerima keputusan itu, meskipun itu sangat menyedihkan baginya. Empu Baradah membangun sebuah rumah tinggal untuk putrinya di lokasi pertapaan itu agar putrinya terlindung.

Demikian juga dengan Calon Arang yang sangat marah ketika penduduk membicarakan putrinya yang belum juga ada yang melamar. Calon Arang kemudian melampiaskan amarahnya itu dengan membunuh penduduk sebanyak-banyaknya. Hingga suatu hari, putrinya dilamar oleh Empu Bahula. Calon Arang pun sangat senang dan mengadakan pesta yang sangat meriah untuk pernikahan putri tunggalnya walaupun harus mengorbankan sebagian besar dari hartanya.

Perbedaan dari kedua cinta ini, yaitu cinta ayah (Empu Baradah) kepada putrinya Wedawati menghasilkan hal yang baik, artinya tidak merugikan orang lain di sekitarnya. Sebaliknya, cinta ibu (Calon Arang) kepada putrinya Ratna Manggali, menyebabkan hal buruk bagi orang lain, yaitu sanpai menghilangkan nyawa orang lain.

5.1.2 Philia; Cinta Seorang Pemimpin Kepada Rakyatnya (sesama)

Philia adalah cinta yang setingkat lebih tinggi dari eros, berhubungan dengan jiwa daripada tubuh. Menyentuh kepribadian manusia-intelektual, emosi, dan kehendak, melibatkan saling berbagi. Bentuk cinta philia dalam novel Cerita Calon Arang ini terlihat dari rasa cinta yang dimiliki oleh pemimpin negara Daha, Sri Baginda Erlangga kepada seluruh rakyatnya (sesama). Ia adalah raja yang memimpin dengan bijaksana dan berbudi. Sri Baginda selalu memperhatikan keadaan seluruh rakyatnya, dari daerah pelosok sampai ibukota. Karena ia ramah dan sangat peduli akan rakyatnya, seluruh rakyatnya pun mencintai Baginda.

Namun keadaan penduduk Daha yang makmur dan sejahtera menjadi berubah. Seluruh penduduk hidup dalam ketakutan dan penderitaaan. Ini disebabkan oleh penyakit yang disebarkan oleh Calon Arang dan murid-muridnya. Akibatnya, banyak rakyat yang

menderita penyakit panas dingin, bahkan banyak yang meninggal setiap harinya. Mengetahui keadaan ini, Sri Baginda Erlangga sangat sedih. Ia gelisah melihat rakyat dan yang dicintainya hidup dalam penderitaan. Ia pun terus-menerus memikirkan cara untuk melawan kejahatan Calon Arang agar rakyatnya bebas dari penderitaan. Kemudian ia mengutus pasukan balatentara dari istananya untuk menangkap dan menaklukkan Calon Arang.

Mereka yang hadir di bangsal diam merenung-renung menunggu putusan Raja. “Penyakit itu harus dilenyapkan. Kalau tidak bisa setidak-tidaknya harus dibatasi. Kirimkan balatentara ke dusun Girah. Tangkap Calon Arang. kalau melawan, bunuh dia besama-sama murid-muridnya.” (Cerita Calon Arang, 2003: 30).

Balatentara istana yang dikirim oleh Sri Baginda Raja Erlangga tidak berhasil menangkap Calon Arang. Bahkan, tiga dari pasukan itu dibunuh oleh Calon Arang. Mendengar kabar itu, Sri Baginda pun sangat sedih. Ia pun berdoa kepada dewa agar diberi petunjuk. Namun tidak ada dewa yang datang. Ia pun bertambah sedih memikirkan rakyatnya belum bisa terbebas dari penyakit yang disebarkan Calon Arang itu.

Setelah sidang dibubarkan, segera Sri Baginda Erlangga masuk ke sanggar pemujaaan. Di sana Baginda memuja pada dewanya agar diberi petunjuk untuk memberantas penyakit yang telah begitu banyak membunuh rakyat kerajaanya. Tetapi tak ada dewa yang datang.

Dengan hati sedih ditinggalkan sanggar pemujaaan itu dan seorang diri berjalan di taman.

Tetapi keindahan taman itu tak menarik perhatiannya lagi. Lama Sri Baginda duduk diam-diam di bangku dalam taman. Kepalanya tunduk ke bawah. Di atasnya burung bernyanyi-nyanyi girang di dahan-dahan. Itupun tak menarik perhatiannya lagi. Tak senang ia duduk. Sebentar saja telah bangkit pula. Lambat-lambat ia melangkah ke kali kecil yang mengalir ke tengah-tengah taman. Ikan yang senag berenang- renang di air jernih itu pun tak menarik perhatiannya (Cerita Calon Arang, 2003: 35).

Penyakit yang disebarkan Calon Arang pun semakin hebat. Sri Baginda terus menerus memikirkan bagaimana cara menaklukkan Calon Arang. Hingga pada suatu hari

Sri Baginda mengadakan rapat dengan pendeta-pendeta terbaik. Sri Baginda menyadari bahwa kekuatan mantra Calon Arang memang tidak bisa dikalahkan dengan senjata, melainkan harus dengan mantra juga. Lalu mereka pergi bersama-sama ke candi untuk meminta petunjuk dari Dewa Agung, yaitu Dewa Guru yang akhirnya mmberi petunjuk bahwa yang dapat mengalahkan kekuatan Calon Arang hanya ada satu orang yaitu Sang Pendeta dari Lemah Tulis, yang bernama Empu Baradah. Setelah mendapat petunjuk itu, maka kemudian Sri Baginda Erlangga mengutus Kanduruan untuk memohon pertolongan Empu Baradah. Empu Baradah pun bersedia membantu Sri Baginda. Empu Baradah akhirnya dapat menaklukkan Calon Arang dan seluruh penduduk terbebas dari penyakit. Penduduk Daha pun hidup makmur kembali.

Kepedulian yang dimiliki Sri Baginda Erlangga dalam cerita ini menunjukkan rasa cintanya kepada seluruh penduduk Daha. Sri Baginda juga merasakan kesedihan yang mendalam akibat penyakit dan penderitaan yang dirasakan rakyatnya. Ia selalu mencari jalan keluar menaklukkan Calon Arang, sampai akhirnya ia menemukan Empu Baradah sebagai orang yang memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan Calon Arang. Hal ini menunjukkan rasa cinta yang dalam dari seorang pemimpin kepada anggota (rakyatnya). Cinta ini menghasilkan sesuatu yang baik, yaitu kesejahteraan seluruh rakyat yang dipimpinnya.

5.1.3 Agape; Cinta Empu Baradah Kepada Penduduk Daha

Agape adalah tingkat kasih yang paling tinggi. Ini adalah kasih yang senang memberi tanpa menuntut balas. Cinta ini tergambar dari cinta yang dimiliki oleh Empu Baradah yang rela bersedia menolong penduduk di sekitarnya. Empu Baradah memiliki

kekuatan yang luar biasa. Ia menguasai banyak ilmu. Oleh karena itu, banyak penduduk yang sering meminta tolong kepadanya. Empu Baradah tidak pernah menolak permintaan itu. Ia dengan senang hati membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan.

Karena sangat taat kepada agamanya, penduduk dusun sujud belaka padanya. Lagipula ia selalu ramah, senang menolong orang sengsara, dan tak pernah menolak bila ada orang yang minta tolong.

Menolong orang adalah pekerjaan yang sangat diutamakan. Karena itu lama-lama penduduk Dusun di Lemah Tulis menganggapnya sederajat dengan dewa. Malah ada yang menganggapnya sang dewa yang menjelma sebagai manusia.

Selain penolong, pengasih, dan penyayang pada sesama manusia, ia pun orang yang pandai dan banyak belajar (Cerita Calon Arang, 2003: 15-16).

Empu Baradah juga bersedia membantu raja untuk menolong penduduk Daha agar bebas dari penyakit yang disebarkan Calon Arang. Ia dengan senang hati membantu mengalahkan Calon Arang agar seluruh penduduk hidup sejahtera kembali.

“Sembahkan pada baginda bahwa aku, Empu Baradah , sanggup membatalkan teluh janda dari Girah yang bernama Calon Arang itu. Sembahkan juga bahwa penyakit pasti akan tumpas dan rakyat akan hidup aman kembali.” (Cerita Calon Arang, 2003: 57).

Rasa cinta yang dimiliki oleh Empu Baradah ini juga terlihat ketika menyembuhkan penduduk Daha yang sakit bahkan menghidupkan kembali mayat-mayat yang belum membusuk dengan ilmu yang dimilikinya.

Sepanjang jalan mereka bertemu dengan orang mati. Dengan tuah mantranya Sang Empu mengobati orang-orang yang sakit. Segera saja mereka sembuh. Tentu saja girang benar yang telah disembuhkan itu. Mereka mengucapkan beribu-ribu terimakasih.

Sang Pendeta pun menolong orang-orang yang telah meninggal. Bila mayat itu belum membusuk Sang Pendeta memercikinya dengan air. Dan hiduplah kembali mayat-mayat itu (Cerita Calon Arang, 2003: 75)

Rasa cinta yang dimiliki oleh Empu Baradah ini membawa keberhasilannya melawan kekuatan Calon Arang yang sebelumnya belum ada tandingannya, hingga pada akhirnya

penduduk bebas dari rasa takut dan penderitaan. Penduduk akhirnya dapat hidup sejahtera seperti sebelumnya.

Anak-anak kecil senang kembali bermain-main di alun-alun atau di padang rumput sambil menggembalakan binatang masing-masing. Tak ada seorang pun merasa ketakutan. Calon Arang pun telah tiada lagi. Penyakit tak lagi sebanyak dahulu. Sedikit benar orang yang meninggal. Kebanyakan mati ialah karena sudah tua. Sawah dan ladang diolah lagi. Panen yang bagus tidak berkeputusan. Tak seorang pun yang takut akan kelaparan. Demikianlah keadaan kerajaan Daha setelah Calon Arang mati (Cerita Calon Arang, 2003: 87).

Perbuatan baik itu dilakukan oleh Empu Baradah tanpa mengharap imbalan. Ia melakukannya dengan rela hati. Ini tergambar ketika Empu Baradah berhasil membebaskan penduduk dari kekuaatan jahat Calon Arang, ia mendapat hadiah dari Raja Erlangga, namun ia memyerahkan seluruh hadiah itu kepada anak laki-lakinya dan memutuskan hidup dengan putrinya Wedawati untuk bertapa ke tempat yang jauh.

Dan untuk jasanya ini Sang Maha Pendeta mendapat hadiah dari kedua raja serta Sri Erlangga segala macam emas berlian dan perak.

Sesampai di asramanya sendiri, segala kekayaan itu diserahkannya kepada anaknya yang lelaki. Setelah menyerahkan semua harta-bendanya itu, pergilah ia ke tempat Wedawati bertapa. Diajaknya anaknya yang dicintai itu pergi jauh, jauh sekali Cerita Calon Arang, 2003: 92).

Dokumen terkait