• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS STRUKTUR TERHADAP NOVEL CERITA CALON ARANG

4.2 Tokoh

Tokoh adalah unsur intrinsik yang paling penting dalam sebuah karya fiksi. Tokoh dapat menyampaikan ide pengarang pada pembaca karena tokohlah yang diceritakan, melakukan sesuatu dan dikenai sesuatu, membuat konflik, dan lain-lain. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai tokoh ini sangat menarik dalam menganalisis sebuah karya sastra (fiksi).

Abrams (dalam Nurgiyantoro 1995: 165) menyatakan “Tokoh cerita adalah orang- orang yang ditampilkan dalam cerita naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”.

Sudjiman (1987: 17-21) menyatakan bahwa berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapatlah dibedakan dalam tokoh sentral dan bawahan. Tokoh yang memegang peran pimpinan disebut tokoh utama atau protagonis. Adapun tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut antagonis atau tokoh lawan. Antagonis termasuk tokoh sentral. Dalam karya sastra tradisional, seperti cerita rakyat, biasanya pertentangan antara protagonis dan antagonis jelas sekali. Tokoh utama yang menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Kriterium yang digunakan bukan frekuensi kemunculan tokoh, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, sedangkan tokoh tambahan, yakni tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, namun kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Berdasarkan cara menampilkan tokoh dibedakan atas tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar atau tokoh sederhana adalah tokoh yang disoroti satu segi wataknya saja, tokoh ini bersifat statis, watak tokoh ini sedikit sekali berubah, bahkan tidak berubah sama sekali, sedangkan tokoh bulat atau tokoh kompleks adalah tokoh yang dilihat dari segala seginya, segi wataknya berangsur-angsur berganti dan mampu memberikan kejutan.

Jika kita membicarakan tokoh pasti berhubungan dengan watak atau karakter yang dimilikinya. Setiap tokoh memiliki watak atau karakter sendiri. Penyajian watak tokoh ini

oleh pengarang dapat melalui penggambaran sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, perasaan, atau dengan menyisipkan komentar mengenai sifat-sifat tokoh itu. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut dengan penokohan (Sudjiman, 1987: 23).

Nurgiyantoro (1995: 166) menyatakan:

Istilah ‘penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh’ dan ‘perwatakan’, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan perkembangan tokoh dalam sebuah cerita. Jadi, dapat dikatakan bahwa melalui pemaparan dan penyajian watak tokoh (penokohan) oleh pengarang dalam karyanya dapat memberi gambaran yang jelas mengenai karakter yang dimiliki setiap tokoh cerita yang dapat membedakannya dari tokoh yang lain. Karakter ini merujuk kepada sifat, pikiran, perasaan para tokoh, serta kualitas pribadinya.

Dari keterangan di atas, dapatlah dianalisis perwatakan para tokoh dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer.

1. Calon Arang

Calon Arang adalah seorang janda yang tinggal di Dusun Girah. Ia memiliki seorang anak perawan yang berumur lebih dari 25 tahun. Calon Arang adalah wanita yang sangat jahat. Seluruh penduduk takut padanya. Ia selalu berbuat keji pada penduduk dusun itu. Ia juga mempunyai murid (pengikutnya). Ia dan pengikutnya ini setiap hari menyebarkan penyakit melalui ilmu yang mereka miliki bahkan membunuh penduduk. Calon Arang tidak peduli akan penderitaan penduduk, yang ia inginkan adalah melihat orang lain menderita dan mati di tangannya. Sebenarnya kejahatan Calon Arang ini semakin kaji disebabkan karena tidak ada seorang lelaki yang mau memperistri putri

tunggalnya. Penduduk dusun takut berteman dengan putrinya karena Calon Arang dikenal sebagai wanita yang memiliki ilmu hitam dan seluruh penduduk membicarakannya.

“itulah Ratna Manggali, anak Calon Arang. Hati-hati dengan dia, engkau tak boleh sembarangan.”

“O, itukah Ratna Manggali? Ngeri aku melihatnya.”

Bukan satu dua orang saja yang mempercakapkan seperti itu. Hampir semua orang. Malah seluruh negeri mendengar belaka namanya dan juga nama ibunya, si Calon Arang itu.

Bahkan pun anak-anak kecil, sampai-sampai kepada kakek-kakek dan nenek-nenek, semua tahu betapa jahatnya pendeta perempuan itu. Betapa busuk namanya sebagai tukang sihir yang menyebar penyakit dan merusak bagi sesama manusia. (Cerita Calon Arang, 2003: 12).

Ketika mengetahui bahwa tidak ada yang mau berteman dengan putrinya bahkan menjauhi putrinya, maka kemarahan Calon Arang pun muncul. Ia ingin membalasnya dengan berbuat keji kepada seluruh penduduk dusun Girah bahkan sampai ke ibukota.

Lama-lama marahlah Calon Arang karena tak banyak orang yang suka padanya. Dari murid-muridnya itu banyak mendengar bahwa anaknya jadi buah percakapan, karena tak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya yang jahat pun tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya supaya puaslah hatinya (Cerita Calon Arang, 2003: 12).

Calon Arang dan murid-muridnya menyebarkan penyakit ke seluruh Dusun, untuk menyakiti, bahkan membunuh penduduk. Seluruh penduduk sangat ketakutan. Berangsur- angsur penduduk Dusun Girah dan ibukota mati di tangan Calon Arang dan murid-murinya.

Calon Arang merasa bahagia bila telah menyakiti dan menewaskan orang-orang yang dibencinya, dan kalau orang-orang yang dibencinya itu telah mati, maka mereka bersenang-senang merayakan kemenangan.

Tiap-tiap waktu murid-muridnya harus berkeramas. Yang dipergunakan mengeramasi rambut adalah darah. Darah itu adalah darah manusia juga. Karena itu rambut murid-murid Calon Arang lengket-lengket dan tebal. Kalau mereka sedang berpesta tak ubahnya dengan sekawanan binatang buas. Takut orang melihatnya. Kalau ketahuan ada orang yang mengintip, orang itu diseret ke tengah pesta dan dibunuh, dan darahnya dipergunakan keramas (Cerita Calon Arang, 2003: 23-24).

Sifat dan perbuatan jahat Calon Arang ini jelas menunjukkan bahwa tokoh ini memiliki watak yang antagonis. Tokoh ini adalah tokoh yang menciptakan seluruh konflik dalam novel ini. Ini menunjukkan bahwa kedudukan tokoh Calon Arang dalam cerita ini sangat sentral. Keteribatan dan intensitas tokoh ini dalam peristiwa yang tejadi dalam cerita ini sangat besar. Jadi, dapat dikatakan bahwa tokoh ini tergolong tokoh sentral (antagonis). Berdasarkan perwatakannya atau cara menampilkan watak tokoh, tokoh Calon Arang ini tergolong tokoh bulat atau kompleks, yaitu tokoh yang memiliki segi watak yang berangsur-angsur berubah dan dapat memberi kejutan bagi pembacanya. (Sudjiman, 1987: 21). Calon Arang yang pada awal hingga bagian teangah cerita digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sifat jahat, sombong juga tidak pernah takut dengan siapapun ini berubah menjadi tokoh yang mau berubah meminta ampun atas dan mengakui kejahatannya di depan pendeta Empu Baradah yang dapat mengalahkannya.

“Ampun sang maha pendeta, sungguh berbahagia hamba dapat bertemu dengan Paduka, tuan. Tolonglah hamba yang durhaka ini. Lenyapkanlah segala dosa hamba dan berilah hamba jalan pada budi yang luhur. Ya maha pendeta segeralah Paduka tuan menyucikan jiwa raga hamba yang durhaka ini”. (Cerita Calon Arang, 2003: 80)

Kutipan ini menunjukkan bahwa Calon Arang yang pada awalnya mempunyai watak yang jahat dan keras, mau berubah dan meminta ampun agar bisa disucikan hatinya menjadi jiwa yang baik.

2. Empu Baradah

Empu Baradah merupakan seorang pendeta yang ahli bertapa. Ia juga seorang guru bertapa. Empu Baradah adalah orang yang baik, saleh, dan taat beragama. Ia juga selalu bertakwa kepada dewa yang ia puja. Ia tinggal di sebuah asrama di Lemah Tulis. Ia juga memiliki banyak pengikut. Karena kharisma dan kebaikannya, semua penduduk Lemah Tulis hormat padanya. Ia selalu ramah dan senang menolong orang yang sedang kesulitan. Ia tidak pernah menolak jika ada yang membutuhkan pertolongannya. Empu Baradah

sangat berbeda dengan Calon Arang. Menolong orang lain adalah pekerjaan yang sangat diutamakan. Karena itu, lama-kalamaan penduduk Lemah Tulis menganggapnya sederajat dengan dewa. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai dewa yang menjelma sebagai manusia. Selain penolong, pengasih, dan penyayang pada sesama, ia pun orang yang pandai belajar. Ia menguasai kitab, seperti kitab Weda, yaitu kitab suci agama Hindu. Empu Baradah memiliki istri dan seorang putri yang cantik. Ia adalah kepala keluarga yang baik. Empu Baradah sangat menyayangi putrinya. Ia selalu memberikan perhatian yang cukup pada putrinya itu. Ia sangat sedih ketika mengetahui putrinya Wedawati meninggalkan rumah karena bertengkar dengan ibu tirinya. Ia pun langsung cepat-cepat mencari putrinya.

Segera Sang Empu bangun dari tempat duduknya. Kaget benar ia. Cepat-cepat ia kenakan jubahnya kembali. Katanya kepada istrinya:

“baiklah biar kucari sendiri”

Kemudian jalanlah ia mencari Wedawati. Cepat sekali jalannya. Sebentar-bentar ia bertanya pada orang di jalan:

“ada engkau melihat anakku? Ke mana perginya?”

Tiap orang yang mengetahui menjawab dengan segera dan hormat

Sampai di padang rumput Sang Empu sekarang. Anak-anak gembala masih banyak di sana pada salah seorang di antara mereka, bertanyalah ia:

“Ada di antara engkau tahu ke mana anakku pergi?” “Kak Wedawati yang cantik?” tanya seorang gembala. “Yang menangis sepanjang jalan?” tanya yang lain.

“Ya, itulah anakku Wedawati. Ke mana dia?” tanya Sang Empu.

“pergi ke luar dusun, bapak Empu,” seorang menjawab. “Lurus ke selatan. Barangkali ke kuburan ibunya” (Cerita Calon Arang, 2003: 48).

Setelah mengetahui tempat keberadaan putrinya, Empu Baradah langsung menuju tempat putrinya itu.

Hati-hati Empu Baradah memandang ke kanan dan ke kiri. Kemudian terlihat olehnya Wedawati duduk terpekur di tanah di samping kuburan mendiang ibunya. Perlahan dan hati-hati ia mendekati. Ia tak mau gadis yang dikasihinya itu terkejut. “sudahlah, anakku, sudahlah” bisik empu Baradah pada anaknya.

Bukan kepalang kaget Wedawati. Waktu melihat ayahnya ada di sampingnya segera orangtua itu dirangkulnya.

Diajaknya Wedawati pulang. Dan gadis itu tidak menolak. Anak dan ayah pun pelan-pelan pulang ke asrama Lemah Tulis. (Cerita Calon Arang, 2003: 49)

Empu Baradah memiliki sikap kepahlawanan yang tinggi. Ia tidak menolak ketika Kanduruan yang diutus Sri Baginda Erlangga mendatanginya untuk menyampaikan permintaan Raja untuk menghadapi Calon Arang demi menyelamatkan seluruh penduduk dari penyakit yang disebarkan oleh Calon Arang dan murid-muridnya itu. Empu Baradah dianggap mampu mengalahkan Calon Arang. Empu Baradah setuju dan bersedia menolong seluruh penduduk karena belum ada seorang pendeta pun yang mampu mengalahkan kekuatan CalonArang.

“Hamba ini dari ibukota, membawa perintah anada Sri Baginda Raja”

Apakah yang dapat kupersembahkan kepada Sri Baginda?” tanya Sang Pendeta. “Paduka tuanku diharapkan oleh Sri Baginda sudi datang ke Daha untuk membatalkan teluh Calon Arang.”

“Siapa itu Calon Arang” tanya Sang Empu.

“Itulah janda dari Desa Girah. Dia tukang sihir yang manjur teluhnya. Telah banyak penduduk yang meninggal karena tingkahnya,” ujar Kanduruan.

Apakah sebabnya janda Girah itu marah-marah priyayi?” tanya Sang Empu.

“Ia beranak seorang perempuan. Sampai sekarang tak ada yang mau memperistri anaknya itu. Itulah sebabnya ia marah-marah,” dan setelah memperbaiki dudknya, Kanduruan meneruskan: “Tidaklah buruk anaknya itu. Cantik bukan kepalang, kata orang-orang Ratna Manggali namanya. Apakah jawabnya yang dapat hamba sembahkan kepada Sang Baginda Raja, Maha Empu?”

“jadi itulah yang menyebabkan. Hmm,” kata Empu Baradah kepada dirinya sendiri. Sangat pelan katanya itu. Kemudian suaranya dikeraskan. “Baiklah, priyayi. Tuan lebih baik segera kembali menghadap Sri Baginda. Sembahkan pada Baginda, bahwa aku, Empu Baradah, sanggup membatalkan telih janda dari Girah yang bernama Calon Arang itu. Sembahkan juga bahwa penyakit pasti akan tumpas dan rakyat akan hidup aman kembali.” (Cerita Calon Arang, 2003: 57)

Empu Baradah adalah tokoh penyelamat dalam cerita ini. Ia berhasil mengetahui rahasia kelemahan Calon Arang dan mulai membebaskan penduduk desa dari penyakit dan kematian, sehingga penduduk kembali senang seperti keadaan sebelum Calon Arang dan murid-muridnya menyebarkan ilmu hitamnya.

Setelah mengetahui rahasia kitab itu, Empu Baradah pergi ke tempat-tempat yang diamuk penyakit. Tiga orang di antara murid-muridnya engiringnya.

Sepanjang jalan mereka bertemu dengan orang mati. Dengan tuah mantranya, Sang Empu mengobati orang-oang yang sakit. Segera saja mereka sembuh. Tentu saja girang benar yang disembuhkan itu. Mereka mengucapkan beribu-ribu terimakasih. Sang pendeta pun menolong orang-orang yang telah meninggal bila mayat itu belum membusuk, Sang Pendeta memercikan dengan air. Dan hiduplah kembali mayat-mayat yang telah meninggal kena teluh itu. Kadang-kadang hanya dengan pandang, sentuhan, atau hembusan nafas, mayat-mayat itu dapat hidup kembali (Cerita Calon Arang, 2003: 75).

Pada akhir cerita tokoh ini berhasil mengalahkan janda itu dengan kebijakan dan kekuatan yang dimilikinya hingga membuat Calon Arang mati (meninggal) dan penduduk bebas dari penderitaan.

“Keluarkan seluruh kepandaianmu,” kata Baradah.

Api dari tubuh janda itu kian jadi besar keluar-masuk bersama nafasnya. Bunyi api keluar-masuk itu mengerikan seperti rumah kebakaran.

Akhirnya Sang Maha Pendeta berkata dengan kepastian: “He, kau, Calon Arang mesti mati!”

Waktu itu juga matilah Calon Arang. Lenyap apai yang keluar-masuk dari tubuhnya. Lenyap api yang besar yang seperti rumah terbakar itu (Cerita Calon Arang, 2003: 83).

Tokoh Empu Baradah ini tergolong tokoh sentral (protagonis) yang memiliki kedudukan sentral. Ia adalah tokoh yang memiliki peran penting dan memiliki keterlibatan yang besar dalam membangun cerita dalam novel ini. Tokoh sentral (protagonis) ini adalah penentang tokoh sentral (antagonis). Dalam hal ini adalah kejahatan pasti dapat dikalahkan dengan kebaikan dan kebijakan. Berdasarkan perwatakan atau menampilkannya, tokoh ini tergolong tokoh datar atau sederhana, karena tokoh ini hanya disoroti satu segi wataknya saja, yaitu memiliki watak yang baik. Watak baik yang dimiliki tokoh ini tidak mengalami perubahan dari awal hingga akhir cerita.

3. Sri Baginda Raja Erlangga

Sri Baginda Raja Erlangga adalah pemimpin Negara Daha. Ia adalah raja yang bijaksana, baik, ramah, dan berbudi terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, seluruh penduduk menyayanginya. Dalam memerintah negaranya, ia sangat melindungi rakyatnya. Di bawah pimpinannya, negara Daha aman, tidak ada kejahatan yang terjadi, karena setiap orang hidup makmur, cukup makan, dan cukup pakaian. Panen pun selalu baik hasilnya. Namun, keadaan negara itu berubah semenjak Calon Arang dam murid-muridnya menyebarkan penyakit dan membunuh penduduk. Penduduk banyak yang mati, keadaan sawah menjadi gersang, dan jalanan sunyi seperti kota mati. Penduduknya hidup dalam ketakutan. Sri Baginda Erlangga pun sangat sedih dan gelisah melihat kejahatan Calon Arang yang berlarut-larut yang membuat rakyatnya hidup dalam penderitaan. Ia tidak sanggup melihat penduduk terjangkit penyakit bahkan setiap hari banyak yang meninggal. Sri Baginda Erlangga terus mencari bagaimana caranya menaklukkan Calon Arang sehingga rakyatnya bebas dari penderitaan. Ia pun mengutus balatentara istananya ke Dusun Girah untuk mengalahkan Calon Arang.

“Penyakit itu harus dilenyapkan. Kalau tidak bisa setidak-tidaknya harus dibatasi. balatentara raja ke dusun Girah. Tangkap Calon Arang. Kalau melawan, bunuh dia bersama murid-muridnya.”

Tenang sebentar ruangan di bangsal. Orang bergirang hati. Mendengar putusan Sri Baginda. Tiba-tiba terdengarlah sorak-sorai yang gemuruh di alun-alun. Semua orang yang hadir di sana menyetujui putusan Sri Baginda.

Hari itu juga ratusan prajurit berbaris di alun-alun. Mereka ini diperintahkan pergi ke Dusun Girah untuk menangkap Calon Arang (Cerita Calon Arang, 2003: 30). Namun, pasukan balatentara yang diutus Sri Baginda tidak berhasil menangkap Calon Arang. Bahkan tiga dari anggota balatentara itu meninggal karena kekuatan Calon Arang. Mengetahui hal itu, Sri Baginda semakin sedih. Ia terus mencari dan berpikir bagaimana

cara mengalahkan Calon Arang. Ia tidak mau penyakit dan kematian terus-menerus menimpa rakyatnya. Suatu hari ia dan pendeta-pendeta Daha bertapa untuk meminta petunjuk Dewa Guru mengenai siapa yang dapat mengalahkan Calon Arang. Maka melalui pertapaan itu, Sri Baginda dan para pendeta mendapat jawaban dari Dewa Guru bahwa yang dapat mengalahkan Calon Arang hanya satu orang saja yaitu pendeta dari Lemah Tulis yang bernama Empu Baradah. Maka segera ia mengutus Kanduruan kerajaan menemui Empu Baradah. Dan pendeta ini bersedia. Hingga akhirnya dapat mengalahkan Calon Arang dan membebaskan penderitaan penduduk Daha.

“Penyakit ini disebabkan karena mantra. Karena itu, balatentara tidak bisa menumpaskannya. Kalau balatentara dikerahkan juga, akan buruklah akibatnya,” kata Sri Baginda. “Karena itu, mantra harus dilawan dengan mantra. Tak ada yang lain.”

Hadirin membenarkan pendapat Sang Baginda. “Karena itu pula,” Baginda meneruskan, “kami perintahkan pada semua pendeta di seluruh negara untuk turut mencari jalan yang baik.”

Pendeta-pendeta yang dipanggil itu adalah pendeta yang pandai-pandai belaka, mahir dalam segala mantra dan maklum akan segala teluh oarang-orang jahat.

“Kami perintahkan sekarang, semua pendeta yang mengahadap pergi memuja ke candi, mohon petunjuk dari Dewa Agung guna mendapat obat mujarab untuk memberantas penyakit ini.” (Cerita Calon Arang, 2003: 55).

Tokoh ini tergolong tokoh sentral yang protagonis karena ia memiliki intensitas keterlibatan yang besar dalam membangun cerita. Ia merupakan tokoh yang menghubungkan tokoh sentral (antagonis) dengan tokoh sentral (protagonis). Pertemuan antara tokoh ini menyebabkan konflik atau pertentangan yaitu antara Calon Arang dan Empu Baradah dalam cerita ini. Tokoh ini memiliki watak sederhana (datar) dan statis yang menunjukkan satu segi watak saja, yaitu watak kepemimipinan yang baik. Dalam perkembangan cerita, watak ini tidak berubah hingga akhir cerita.

4. Wedawati

Wedawati adalah putri dari Empu Baradah. Ia adalah gadis yang cantik, ramah, rajin dan cekatan bekerja, dan dia tidak mau merugikan orang lain. Oleh karena itu, ia menjadi gadis yang dikagumi di Lemah Tulis. Ia juga dihormati di lingkungan asrama tempat tinggalnya, di kampung, dan di sawah serta di ladang, di hutan, dan di lapangan tempat biasanya anak-anak menggembalakan binatang peliharaannya. Namun, kesedihan menggeluti hatinya sejak ibunya meninggal.

“Ya, siapa lagi yang mengasihi daku?” tangisnya. “Ayah ‘kan masih ada,” hibur ayahnya.

Tapi gadis itu menangis juga.

Siapakah yang akan mencintaiku sekarang?” ratapnya lagi.

Lalu Sang Empu tak tahan lagi melihat tingkah laku anaknya itu. Dirangkulnya Wedawati, diusap-usapnya rambut dan pipi anaknya yang piatu itu, sambil mengucurkan airmata.

Tetapi gadis itu tetap menagis.

“Ya, Dewata,” ratapnya, “izinkan daku turut mati bersama ibuku (Cerita Calon Arang, 2003: 17).

Tidak lama setelah kematian ibunya, Wedawati memiliki ibu tiri. Ibunya ini sangat membenci Wedawati. Ia juga telah memiliki adik laki-laki yang mulai besar. Ibu tirinya hanya menyayangi anak kandungnya saja. Ia selalu memarahi Wedawati. Padahal Wedawati selalu berbuat baik dan rajin bekerja, tetapi ibu tirinya tetap ingin Wedawati keluar dari rumah.

Di Lemah Tulis sibuklah Wedawati bekerja. Ia gadis yang suka bekerja. Ia tak senang bermalas-malasan, apalagi bertopang dagu dan tak tentu apa yang dipikirkan. Sudah lama ibu tirinya ingin agar ia pergi dari rumah.ia ingin agar semua kasih sayang Sang Empu jatuh padanya dan anaknya lelaki. Karena itu dicari-carinya alasan untuk memarahi Wedawati (Cerita Calon Arang, 2003: 18- 19).

Akhirnya Wedawati tidak tahan tinggal bersama ibu tirinya, dan ia rela berpisah dengan ayahnya karena ia tidak ingin selalu ada pertengkaran antara ia dan ibu tirnya. Ia tetap tinggal di sana walaupun ayahnya membujuknya untuk kembali ke Lemah Tulis.

“Anakku, manis, buat apa engkau meninggalkan rumah? Engkau membuat aku berseduh hati. Mari pulang anakku!”

Wedawati menggelengkan kepala. Ia tak mau pulang lagi. Karena tak mau menyusahkan orang lain, ia pun tak sudi bila disuruh tinggal di tempat orang lain. Lama Empu Baradah mangambil hati anaknya. Tapi Wedawati tak mau mengubah pendiriannya. Lama ia juga ayahnya itu mengusap-usap rambut dan bahu . Wedawati tetap tidak peduli ( Cerita Calon Arang, 2003: 64).

Maka, Wedawati memutuskan menjadi seorang pertapa. Ia tinggal di tanah dekat dengan kuburan ibunya. Di sana, ayahnya membangun tempat tinggal untuknya. Tidak lama kemudian tanah kuburan itu berubah menjadi taman yang indah, karena Wedawati rajin menanam bunga-bunga dan merawatnya setiap hari. Di sana, Wedawati setiap hari beribadah pada arwah orang yang cinta kepadanya, dan juga kepada semua dewanya.

Tokoh ini tergolong tokoh tambahan (tambahan). Tokoh ini tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, kemunculannya pun hanya sedikit saja. Selain itu keterlibatan tokoh ini dalam membangun cerita sangat kecil. Berdasarkan perwatakannya, atau cara menampilkannya, tokoh ini tergolong tokoh bulat yang memiliki watak yang berangsur-angsur berubah. Ketika meninggalkan rumah pertama kalinya, ia menuruti permintaan ayahnya untuk kembali ke rumah. Namun, pada akhirnya, ia memilih untuk

Dokumen terkait