• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sri Dewi Patimah

2. Ciri-Ciri Sistem Ekonomi Islam

a. HAk yang Relatif dan Terbatas bagi individu, Masyarakat, dan Negara.

Dari semua hak yang dianugerahkan kepada manusia, Siddiqi menganggap bahwa “hak untuk mendapatkan kebebasan menyembah Allah Swt. Sebagai hak primer manusia”. Tak boleh ada yang menghalangi atau membatasi hak fundamental ini. Atas dasar inilahSiddiqi mencoba menghubungkan ekonomi Islam. Karena orang hanya dapat mencapai sukses dengan memenuhi

8

Naryati. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm, 185

kebutuhan materialnya secara jujjur dan benar, maka ia harus diberi kebebasan untuk memiliki, memanfaatkan dan mengatur milik maupun barang dagangannya. Namun semua hak itu memancar dari kewajiban manusiasebagai kepercayaan dan khalifah Allah SWT dimuka bumi, jadi Siddiqi memandang kepemilikan –Swasta atau Pribadi sebagai suatu hak individual selama ia melaksanakan kewajibannya seta tidak menyalah gunakan haknya itu.

b. Peranan Negara yang Positif dan Aktif.

Tidak seperti Mannan, Siddiqi konsisten dalam dukungannya terhadap peran aktif dan positif negaa didalam system ekonomi. Sekalipun ia menyetujui dan membela perlunya system pasar berfungsi dengan baik, ia tidak memandangnya sebagai suatuyang keamat dan tak bias dilanggar. Jika pasar gagal mencapai keadilan, maka Negara harus campur tanan. Ia menyebut penyediaan kebutuhan dasar bagi semua orang serta penyediaan barang-barang public dan sosial. Kewajiban amar ma‟ruf nahi munkar diperkuas jangkauannya ke lingkungan ekonomi dan Siddiqi meruujuk pada lembaga Hisbah. Sekalipun ia menghendaki adanya peran aktif pemerintah, Siddiqi bersikukuh menyatakan bahwa hal itu tidaklah dapat disamakan dengan system sosialis. Ada dua alas an untuk itu: pertama: kepemilikan pribadi diakui dan secara umum menjadi norma; dan kedua: alasan serta tujuan campur tangan Negara berdasarkan pada aturan Negara.

c. Implementasi Zakat dan Penghapusan Riba.

Siddiqi menyatakan bahwa tidak ada system ekonomi yang dapat disebut islami jika dua cirri utama ini tidak ada, karena keduanya disebutkan secara eksplisit daklam Al-Qur‟an dan Sunnah. Zakat adalah hak mereka yang tak berpuntya dalam harta siberpunya. Siddiqi tidak memiliki pandangan lain mengenai bunga. Baginya, bunga adalahr iba, dan oleh karenanya harus dilenyapkan. Ia mengusulkan system Mudharabah sebagai gantinya. Siddiqi merupakan pengkritik yang paling setia terhadap bank-bank Islam

yang ada karena bank-bank itu berkonsentrasi kepada kedua praktik tersebut adalah kelangsungan hidup ekonomis dan penyalah gunaan dana yang dipinjam. Siddiqi mempertahankan pandangannya dengan menyatakan bahwa bank di dalam perekonomian Islam harus melihat kembali pada fungsinya, yakni tidak hanya sebagai lembaga perantara melainkan juga sebagai agen ekonomi, dan bagaimanapun harus secara langsung terlibat dalam penciptaan kegiatan ekonomi.

d. Jaminan Kebutuhan Dasar Bagi Manusia.

Siddiqi memandang jaminan akan terpenuhi kebutuhan dasar bagi semua orang sebagai salah satu cirri utama system ekonomi Islam. Memang diharapkan orang dapat memenuhi kebutuhan melalui usaha mereka sendiri. Namun, ada saja diantara mereka yang untuk sementara tidak dapat bekerja karena meenganggur atau sebagian lagi malah menganggur permanen karena memang tidak mampu bekerja dan oleh karenanya harus dujaman kebutuhannya. Pandangan Sidiqi terhadap penyediaan kebutuhan dasar dapat ditafsirkan mirip dengan strategi kebutuhan dasar ataau dengaan praktik-praktik di beberapaa program kesejahteraan kapitalis. Siddiqi menekankan bahwa suatu jaminan berupa kebutuhan hidup minimal bagi semua orang itu paling baik dilakukan melalui distribusi asset yang menghasilkan pendapatan yang lebih adil daloam jangka panjang.

3. Distribusi

Distribusi sebagai konsekuensi konsumsi (permintaan) dan produksi (penawaran). Baginya hal itu mengekalkan gagasan palsu tentang kekuasaan konvensional, menciptakan khayalan bahwa masyarakt melakukan permintaan terhadap apa yang mereka ingin konsumsi, kaum produsen memproduksi karena menuruti kontribusi yang diberikan kepada proses produksi (distribusi fungsional). Tetapi permintaan, menurut Siddiqi, dibatasi atau ditentukan oleh distribusi awal pendapatan dan kekayaan. Oleh karena itu, distribusi, semua

determinan dan ketimpangannya, haruslah dipelajari dan dikoreks dari sumbernya, bukan hanya sekedar mengatakan saja seperti yang terjadi dalam ekonomi konvensional (neoklasik). Dalam kenyataannya siddiqi menganggap bahwa pendapatan dan kekayaan awal yang tak seimbang dan tak adil sebagai salah satu situasi yang menjadi jalan bagi berlakunya campur tangan negara, disamping pemenuhan kebutuhan dan mempertahankan praktik-praktik pasar yang jujur.9

Kekayaan dapat di usahakan maupun diwarisi namun dipandang sebagai suatu amanah dari dari Allah Swt, sang pemilik mutlak. Siddiqi tegas sekali menggariskan bahwa oleh karena tidak ada pernyataan eksplisit didalam Al-Quran dan sunnah yang melarang kepemilikan kekayaan oleh swasta, maka dibolehkan. Hanya saja, hak memiliki kekayaan itu terbatas sifatnya. Hak itu terbatas dalam pengertian bahwa masing-masing individu, negara dan masyarakat memiliki klaim untuk memiliki yang dibatasi oleh tempat dan hubungannya di dalam sistem sosio –ekonomi Islam. hak memiliki kekayaan ini, menurut Siddiqi tidak boleh menimbulkan konflik karena semua lapisan masyarakat akan bekerja demi tujuan bersama yakni menggunakan semua sumber daya yang diberikan oleh Allah Swt. Bagi kebaikan semua orang. Jika terjadi konflik kepentingan, maka kepentingan masyarakat atau kepentingan umum harus didahulukan mengingat komitmen Islam terhadap kepentingan umum (maslahah „aammah).

Oleh karena itu, sekalipun kepemilikan swasta itu merupakan hal mendasar didalam aturan islam, siddiqi memandang tujuan memiliki kekayaan sebagai penciptaan keadilan dan penghindaran ketidakadilan dan penindasan itu sebagai persoalan yang lebih mendasar didalam masalah hak kepemilikan. Menurut Siddiqi Islam menolak pandangan sosialisme bahwa kepemilikan sosial atas semua sarana produksi itu merupakan kondisi harus menghapuskan eksploitasi. Yang jelas, didalam Islam sumber daya alam itu seerti

sungai, gunung, laut, jembatan, jalan raya, adalah milik umum dan tidak dapat dimiliki oleh swasta.

Kepemilikan individual terbatas dalam pengertian bahwa hak itu ada jika kewajiban-kewajiban sosial sudah ditunaikan. Dalam pengertian itu, kekayaan swasta dipandang sebagai suatu hal yang mengandung maksud tertentu yakni untuk memberi kebutuhan materiil kepada manusia, pada waktu yang sama, bekerja bagi kebaikan masyarakat. penggunaan kekayaan swasta haruslah benar bersamaan dengan norma-norma kerja sama, persaudaraan, simpati, dan pengorbanan diri. Setiap pelanggaran terhadap semua persyaratan tersebut seperti penimbunan, eksploitasi dan penyalahgunaan akan menyebabkan hilangnya hak memiliki. Negara dan masyarakat adalah penjaga kepentingan sosial dalam hal ini.

4. Produksi

Pendekatan Siddiqi pada produksi tenggelam dalam paradigma neoklasik. Perubahannya adalah bahwa, didalam sistem ekonomi islam, kta berhubungan dengan apa yang disebut Islamic man. Perubahan mendasar ini dikatakan akan mentransformasikan tujuan produksi dan norma perilaku para produsen. Baginya maksimisasi laba bukanlah satu-satunya motif dan bukan pula motif utama produksi. Menurut siddiqi adalah keberagaman tujuan yang mencakup maksimisasi laba dengan memerhatikan kepentingan masyarakat (maslahah aammah), produksi kebutuhan dasar masyarakat, penciptaan employment serta pemberlakuan harga rendah untuk barang-barang esensial. Tujuan utama perusahaan yakni pemuhan kebutuhan seseorang secara sedrhana, mencukupi tanggungan keluarga, persediaan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan masa depan, ersediaan untuk keturunan dan pelayan sosial, serta sumbangan dijalan Allah Swt. Dengan kata lain, produsen sebgaimana konsumen, diharapkan memiliki sikap mementingkan kepentingan orang lain. Bukannya hanya mengejar laba maksimum, produsen memproduksi sejumlah tertentu yang masih menghasilkan