• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Pertukaran dan Evolusi Pasar

PEMIKIRAN EKONOMI IMAM AL-GHAZALI Khilmi Zuhroni

1) Hukum Pertukaran dan Evolusi Pasar

Al-Ghazali dalam Ihya „Ulumuddin, membahas secara detail peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan. Menurutnya, pasar merupakan bagian dari

18

Imam Al-Ghazali, Mukhtasar al- Ihya‟ Ulum al-Din, (Terj. Zaid Husein Al Hamid), Jakarta: Pustaka Amani, 1995, h. 114

19

Muhammad Findi, Membedah Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali, Iqtishodia: Jurnal Ekonomi Islam Republika, 30 September 2010, h. 8

keteraturan alami. Kedalaman dan keluasan pandangannya dapat kita lihat dari kutipan pendapatnya :

“Apabila makanan-makanan itu luas dan banyak sedangkan orang-orang tidak membutuhkannya dan mereka tidak senang terhadapnya kecuali dengan harga yang sedikit maka pemilik makanan menuggu hal itu.”

Terkait pertukaran, Al-Ghazali menyuguhkan pembahasan yang rinci mengenai aktivitas perdagangan yang dilakukan atas dasar sukarela, serta proses timbulnya pasar yang didasarkan pada hukum permintaan dan penawaran untuk menentulan harga dan laba. Dari konsep ini al-Ghazali tampaknya membangun dasar-dasar dari apa yang dalam ekonomi konvensional disebut dengan “semangat kapitalisme”.21

Bagi al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari “hukum alam” segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Dalam sebuah karyanya al-Ghazali mendeskripsikan tentang hubungan ekonomi antara petani, pandai besi dan tukang kayu untuk menggambarkan proses kebutuhan barang-barang dan tenaga antara ketiganya serta kemungkinan-kemungkinan hubungan pertukatan dan permintaan ketiganya yang didasarkan pada kebutuhan masing-masing barang yang dimiliki oleh ketiganya serta kemungkinan terbentuknya pasar dari adanya kebutuhan ekonomi antara petani, pandai besi dan tukang kayu tersebut.22

“Mungkin saja petani hidup ketika peralatan pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup ditempat yang tidak memiliki lahan pertanian. Jadi, petani membutuhkan pandai besi dan tukang kayu, dan mereka pada gilirannya membutuhkan petani. Secara alami, masing

21

Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam… h. 323

– masing akan ingin untuk memenuhi kebutuhannya dengan memberikan sebagian miliknya untuk dipertukarkan. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan dengan menawarkan alat-alatnya tersebut. Atau, jika petani membutuhkan alat-alat, tukang kayu tidak membutuhkan makanan. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat – alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian di lain pihak. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai dengan kebutuhannya masing – masing, sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi kepasar ini. Bila dipasar ini juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.”23

Pada proses hubungan mutual antara petani, pandai besi dan tukang kayu tersebut, al-Ghazali selanjutnya mengisaratkan adanya harga yang berlaku sebagaimana ditentukan oleh praktik pasar hingga menunjukkan harga yang adil (al-Tsaman

al-Adl) atau harga keseimbangan (equilibrium price). Menurut

al-Ghazali, dalam pertukaran tersebut, kurva penawaran berada pada slope positif jika petani tidak mendapatkan pembeli pada produk-produknya sehingga ia akan menjualnya pada harga yang sangat rendah. 24

23

Abu Hamid al-Ghazali, Ihya „Ulum al-din, Beirut: Dar al Nadwah, t.t, juz 3, h. 227 dalam Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam… h. 326

Dalam pandangan al-Ghazali, pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para pelakunya. Segala interaksi yang terjadi antara pembeli dan penjual harus memenuhi prinsip-prinsip etika yang berlaku, yakni sesuai dengan syariah. Ia berpendapat bahwa pasar harus berjalan dengan bebas dan bersih dari segala bentuk penipuan. Perilaku para pelaku pasar harus mencerminkan kebajikan, yakni memberikan suatu tambahan di samping keuntungan material bagi orang lain dalam bertransaksi. Tambahan ini bukan merupakan kewajiban, tetapi hanya kebajikan. Adapun kebajikan yang dimaksud di pasar yaitu bersikap lunak ketika berhubungan dengan orang miskin dan fleksibel dalam transaksi utang, dan membebaskan utang orang-orang miskin tertentu. Secara khusus al-Ghazali memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Penimbunan barang merupakan kezaliman yang besar, terutama disaat terjadi kelangkaan. Oleh karenanya pelakunya harus dikutuk.25

Al-Ghazali menyebutkan ada enam pedoman mengenai pelaksanaan kebijakan di pasar :

a) Penjual tidak boleh menetapkan harga yang mengasilkan keuntungan berlebihan.

b) Pembeli harus toleran ketika tawar-menawar dengan penjual miskin dan ketat saat bertransaksi dengan penjual yang kaya.

c) Ketika mencari pembatalan transaksi atau meminta pembayaran utang, seseorang harus lembut dan fleksibel untuk mengakomodasi keadaan pihak lain.

d) Ketika seseorang berutang kepada yang lain, dia harus cepat dalam pembeyaran sehingga tidak ada ketidaknyamanan bagi pihak lain.

e) Jika seseorang ingin membatalkan transaksi, pihak lain harus mencoba untuk mengakomodasi permintaan tersebut. f) Seseorang harus bersedia untuk menjual kepada orang

miskin yang tidak memiliki sarana dan harus memberikan kredit kepada mereka tanpa harapan pelunasan.26

Al-Ghazali mengingatkan beberapa hal pokok yang wajib diketahui oleh setiap individu dalam menjalankan aktivitas perekonomian mereka, yaitu pengaturan Islam tentang ba‟i (jual beli), riba (bunga), salam (pembelian di muka), ijarah (sewa-menyewa), musyarakah (kerjasama), dan mudharabah (bagi hasil). Pada prinsipnya aktivitas perekonomian tersebut harus dijalankan sesuai dengan aturan yang tertera dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Khusus mengenai aturan

al-Ba‟I atau jual-beli, al-Ghazali menjelaskan bahwa dalam

transaksi jual beli, harus menuhi tiga elemen (unsur), yaitu: adanya dua orang/pihak yang bertransaksi, yakni adanya pembeli dan penjual, adanya komoditas yang diperjualbelikan, baik barang maupun jasa, dan adanya akad atau pernyataan kesepakatan dalam perdagangan antara pembeli dan penjual.27

Menurut al-Ghazali, komoditas yang diperjualbelikan tersebut harus memenuhi beberapa kriteria, yakni: Pertama, barang atau jasa yang diperjualbelikan harus halal. Kedua, barang yang diperjualbelikan harus memiliki nilai guna dan kemanfaatan bagi si pembelinya. Karena itu, al-Ghazali berpendapat bahwa memperjualbelikan binatang seperti ular dan tikus yang dapat membahayakan bagi si pembelinya dilarang dalam ekonomi Islam.28

26

Yadi Janwari, Pemikiran Ekonomi Islam..., h. 195

27

Muhammad Findi, Membedah Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali, Iqtishodia: Jurnal Ekonomi Islam Republika, 30 September 2010, h. 8

Terkait makanisme pasar, dimana terjadi proses permintaan dan penawaran sekalipun al-Ghazali tidak menggunakan istilah-istilah modern, ia telah memperlihatkan pemikirannya yang mendalam bahwa dalam proses permintaan dan penawaran tersebut berlaku harga sebagaimana yang ditentukan oleh praktik-praktik pasar. Tatkana seseorang tidak mendapatkan pembeli bagi prosuk-prosuknya, maka ia akan menjual dengan harga yang lebih rendah. Pemahamannya tentang kekuatan pasar terlihat jelas ketika membicarakan harga makanan yang tinggi. Al-Ghazali mengatakan bahwa harga tersebut harus didorong ke bawah dengan menurunkan permintaan yang berarti menggeser kurva permintaan ke kiri.29

Tentang konsep elastisitas permintaan, ia menyatakan bahwa pengurangan margin keuntungan dengan mengurangi harga akan menyebabkan peningkatan penjualan, sehingga dalam waktu tertentu akan meningkatkan laba. Khusus makanan sebagai kebutuhan pokok, ia mengatakan bahwa motivasi laba harus seminimal mungkin mendorong perdagangan makanan, karena dapat terjadi eksploitasi melalui penerapan tingkat harga dan laba yang berlebihan. Oleh karena laba merupakan kelebihan, maka lebih baik dicari melalui barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.30