• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Teks Al- Qur’an Surat Al-Muddatsir ayat 1-7 Serta Terjemahnya

1. Teks Ayat dan Terjemahnya













































Artinya: Wahai orang yang berselubung (1) Bangunlah, lalu peringatkanlah! (2) Dan Tuhan engkau hendaklah engkau agungkan (3) Dan pakaian engkau, hendaklah bersihkan (4) Dan perbuatan dosa hendaklah engkau jauhi (5) Dan janganlah engkau memberi karena ingin balasan lebih banyak(6) Dan hanya kepada Tuhanmu saja maka bersabarlah (7).

2. Asbab Al-Nuzul

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ketika aku seledai uzlah, selama sebulan di gua Hira aku turun kelembah. Setelah sampai ketengah lembah ada yang memanggilku, tetapi aku tidak melihat seorangpun disana. Aku mengadahkan kepalaku kelangit, dan tiba-tiba aku melihat malaikat yang pernah mendatangiku digua hira, aku cepat-cepat pulang dan berkata (kepada orang rumah) “

selimutilah-selimutilah aku” maka turunlah ayat ini surat Al-Mudatsir sebagai perintah

Diriwayatkan oleh Asyaikhani yang bersumber dari jabir.

Surah ini disepakati oleh ulama turun sebelum Nabi berhijrah, bahkan sekian ayatnya ( ayat 1-7) di nilai oleh banyak ulama sebagai bagian dari wahyu-wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan ada yang berpendapat awal surah ini turun setelah turunnya lima ayat pertama Surah Iqra.

Ditemukan riwayat dalam sahih Bukhari dan sahih Muslim, yang menyatakan bahwa surah al-Muddatsir merupakan wahyu kedua yang diterima Nabi SAW. Memang ada pendapat yang menjadikan surah al-Muzammil sebagai wahyu kedua antara lain didasarkan pada riwayat Ibn Ishaq. Hanya saja walaupun kiah yang diutarakannya mirip dengan kisah turunnya awal surah aal-Muddatsir namun pada akhir redaksi riwayat tersebut ditemukan semacam keraguan dari perawinya, apakah ia Muddatsir atau al-Muzammil.

Hadits yang ditemukan oleh Bukhari dan Muslim menyangkut sejarah turunnya surah ini, justru menjelaskan bahwa surah al-Muddatsir turun sebelum turunnya Iqra, namun ulama-ulama hadits tidak berpendapat demikian, karena mereka menemukan dalam redaksi hadits tersebut suatu petunjuk yang dapat dijadikan dasar bagi pendapat yang menyatakan Iqra adalah wahyu pertama yang turun, apalagi jika dilihat banyaknya riwayat lain yang mendukung kedudukaan surah Iqra sebagai wahyu pertama.

Sejarah turunnya Al-Qur‟an menceritakan bahwa pernah terjadi selang waktu yang relatif lama setelah turunnya Iqra, dimana ketika itu Nabi

SAW tidak meneriam wahyu, sehingga kalau surah l-Muddatsir ini akan dinamakan juga surah yang pertama yang turun, maka yang dimaksud surah pertama setelah selang waktu tersebut, bukan yang pertama scara keseluruhan.

Antara al-Muddatsir dan al-Muzammil tidak dapat dipastikan yang mana yang terdahulu dan yang mana yang kemudian. Kisah turunnya sangat mirip, yakni seperti yang diceritakan Jabir di atas. Ayat-ayat awalnya pun berbicara menyangkut hal yang sama. Yaitu pembinaan terhadap diri Rasulullah SAW, dalam rangka menghadapi tugas-tugas penyebaran agama.1

3. Ayat Tentang Bekal Da’i dan penjelasannya

(

1

)   Artinya : “Hai yang berselimut.”

Kata ( ) al-Muddatsir terambil dari kata ( ) iddatsara. Kata ini apapun bentuknya, tidak ditemukkan dalam Al-Qur‟an kecuali sekali, yaitu pada ayat pertama surah ini.Iddatsara berarti mengenakan ( ) ditsar, yaitu sejenis kain yang diletakkan di atas baju yang dipakai dengan tujuan menghangatkan atau dipakai sewaktu berbaring tidur (selimut). Disepakati oleh ulama tafsir bahwa yang dimaksud dengan yang berselimut adalah Nabi Muhammad SAW.

Sabab nuzul yang dikemukakan di atas mengundang kita untuk

memahami kata “berselimut” dalam arti yang hakiki, bukan dalam arti kiasan

seperti “berselubung dengan pakaian keNabian” atau dengan “akhlak yang

mulia” bila kalimat “orang yang berselimut“ dikaitkan lebih jauh dengan sebab

1

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta :

turunnya ayat, maka arti yang ditunjuk oleh peristiwa tersebut adalah orang yang diselimuti. Pengertian ini didukung oleh suatu bacaan yang dinisbahkan kepada Ikrimah, yaitu: ( ) menyelimuti adalah istri beliau, khadijah ra.

Menyelimuti diri atau diselimuti, tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa takut yang menyelimuti jiwa Nabi Muhammad SAW, beberapa saat sebelum turunnya ayat-ayat ini. biasanya bila seseorang takut, ia akan menutupi dirinya atau ia akan menggigil, dan saat itu selimut akan sangat bermanfaat. Inilah yang tejadi pada diri Nabi Muhammad SAW. Khususnya pada masa awal kedatangan malaikat jibril kepada beliau. Hal ini terbukti setelah mengamati pula surah

Al-Muzzammil yang turun berselang dengan surah ini dan yang artinya sama, yaitu”

orang yang berselimut”.

Perasaan takut yang meliputi diri Nabi Muhammad SAW. Pada awal kedatangan wahyu agaknya disebabkan karena pengalaman pertama beliau alami ketika menerima wahyu Iqra. Beliau dirangkul oleh malaikat sedemikian kuatnya sehingga, seperti yang beliau akui sendiri dalam hadits yang diriwayatkan Bukhariy, “Telah kurasakan (puncak) kepayahan “atau, dengan kata lain, pada

riwayat Ath-Thabariy, “Aku mengira bahwa itulah kematian mungkin juga

perasaan takut tersebut akibat pandangannya kepada malaikat yang diberi sifat oleh Al-Qur‟an sebagai “yang mempunyai kekuatan disisi Allah, Pemilik „Arsy”

(QS 81:20); atau karena beratnya wahyu yang beliau terima itu (QS 73:5). Adapun penyebab rasa takut beliau yang dipahami dari sebab nuzul ayat serta dari

celah-celah kata “Al-Muddatsir”, namun ia sama sekali tidak mengurangi keagungan

melihat tongkatnya berubah menjadi ular (QS. 27:10). Hal-hal semacam ini untuk menggambarkan bahwa para Nabi, walaupun mempunyai keistimewaan-keistimewaan dari segi spiritual, namun mereka tidak luput dari naluri kemanusian, seperti rasa takut tersebut. Dan memang tidak mungkin bagi seorang manusia untuk tidak merasa gentar atau takut ketika menghadap untuk pertama kalinya hal-hal semacam itu.2

(

2

)

Bangkitlah, lau berilah peringatan”

Kata (

مق)

qum terambil dari kata (

م ق

) qawama yang mempunyai banyak bentuk. Secara umum, kata-kata yang dibentuk dari akar kata tersebut diartikan

sebagai “melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya”. Karena

itu, perintah di atas menuntut kebangkitan yang sempurna , penuh semangat dan percaya diri, sehingga yang diseru dalam hal ini Nabi Muhammad SAWharus membukabselimut, menyingsingkan lengan baju untuk berjuang menghadapi kaum musrikin.

Kata

( نا)

andzir berasal dari kata

( ن)

nadzara yang mempunyai banyak arti, antara lain, sedikit, awal sesuatu dan janji untuk melaksanakan sesuatu bila tepenuhi syaratnya. Pada ayat di atas, kata ini biasa ditejemahkan dengan peringatkanlah. Peringatan didefinisan sebagai “penyampaian yang mengandung unsur menakut-nakuti.”

Bila diperhatikan arti asal kosa kata tersebut, maka peringatan yang disampaikan itu merupakan sebagian kecil serta pendahuluan dari satu hal yang besar dan berkepanjangan dan apa yang diperingatkan itu pasti akan terjadi selama syaratnya telah terpenuhi. Syarat tersebut adalah pengabaian kandungan peringatan tersebut.

Disini timbul pertanyaan, siapakah yang diperingatkan dan apa kandungan peringatan tersebut? Pertanyaan ini tidak tersurat jawabannya dalam

2

M. Quraish Shihab, Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah Cet. ke 3 1999) h. 219

redaksi ayat, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama tafsir. Satu pihak beranggapan bahwa mereka yang diperingatkan sengaja tidak dikemukakan. Hal ini, dissamping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat ini dengan bunyi akhir ayat yang lain dan ayat-ayat kemudian, masing-masing berakhir dengan huruf ra

( )

juga untuk memberikan cakupan yang umum bagi perintah tersebut. Dalam Surah Yunus ayat 2 dijelaskan, Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang lelaki diantara mereka bahwa, “Berikanlah peringatan kepada manusia”3

Ada juga ulama yang berpendapat bahwa pada dasarnya perintah di sini belum ditujukan secara khusus kepada siapapun. Yang penting adalah melakukan peringatan, kepada siapa saja, terserah kepada Rasulullah SAW. Hal ini sama dengan perintah makan dan minum, baik yang ditemukkan dalam Al-Qur‟an

maupun ucapan seseorang yang mempersilahkan tamunya untuk makan dan minum.

Penulis cenderung untuk mendukung pendapat kedua ini, karena sejarah memberitakan bahwa realisasi perintah itu dilaksanakan oleh rasul SAW. Dalam bentuk rahasia yang ditunjukan kepada orang-orang yang tertentu, baik keluarganya maupun teman-teman yang beliau anggap dapat menerima ajaran Islam, atau minimal tidak menimbulkan reaksi yang dapat menghalangi lajunya dakwah. Realisasi perintah ini secara terbuka dimulai setelah berlau tiga tahun dari turunnya wahyu pertama, yakni dengan turunnya QS. Asy-Syua‟ra : 26: 214

3







Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. Dan ayat 94 Surah Al-Hijr













Artinya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”.

Adapun kandungan peringatan, maka berdasarkan petunjuk ayat-ayat yang menggunakan redaksi yang sama dengan redaksi ayat ini, dapat kita

katakana bahwa peringatan tersebut menyangkut “siksa di hari kemudian” dalam

Surah Ghafir Ayat 18 dinyatakan:































Artinya: “Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu)

ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan

kesedihan.”

Demikian pula dengan surah ibrahim ayat 44:











Artinya: “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka”.

Apa yang dikemukakan di atas tentang kandungan peringatan ini lebih di perkuat lagi dengan hadits yang menceritakan kandungan perintah Nabi SAW.

Ketika turunya firman Allah SWT yang memerintahkan beliau untuk memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya yang dekat.

Dalam redaksi ayat itu juga tidak disebutkan kandungan peringatan, namun didalam hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabriy diinformasikan bahwa

ketika itu beliau menyampaikan, “Seandainya kuberikan kepada kalian bahwa

dibelakang bukit (Shafa) ini telah terkumpul barisan berkuda untuk menyerang

kalian, apakah kalian mempercayaiku ?” mereka menjawab, “kami tidak pernah mengenal kebohongan dari engkau” Rasul bersabda: “ketahuilah bahwa

sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian tentang siksa yang

akan datang dan amat pedih”.

Meyakini bahwa kandungan peringatan tersebut adalah “siksa tuhan”

menurut hemat penulis, lebih tepat dari pada menjadikan kandungan ayat ketiga

(“Dan tuhanmu, Agungkanlah !”) sebagai peringatan yang ditugaskan kepada

Nabi untuk menyampaikannya. Sebab, kaidah kebahasaan tidak mendukungnya, walaupun terdapat suatu ayat dalam Al-Qur‟an yang memerintahkan kepada Nabi-Nabi untuk memberi keringatan tentang keesaan tuhan (QS. 15:2).

(3) 

Dan Tuhanmu, maka agungkanlah“

Karena memberi peringatan dapat mengakibatkan kebencian dan gangguan dari yang diperingati, maka ayat di atas melanjutkan bahwa dan bersamaan itu hanya tuhan pemelihara dan pendidikmu saja, apapun yang terjadi maka agungkanlah!

Ayat ketiga surah ini sampai dengan ayat ketujuh yang turun sebagai suatu rangkaian dengan ayat pertama dan kedua, merupakan petunjuk Allah SWT dalam rangka pembinaan diri Nabi SAW. Demi suksesnya tugas-tugasvkeNabian.

Petunjuk yang pertama adalah “ dan Tuhanmu, maka agungkanlah!

Kata (

كب )

Tuhanmu pada ayat di atas disebutkan mendahului kata

( ك) agungkan. Itu disamping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat, bahkan yang lebih penting untuk menggambarkan bahwa perintah takbir (mengagungkan) hendaknya hanya diperuntukkan baginya semata-mata, tidak terhadap sesuatu pun selain-Nya. Mengagungkan tuhan dapat berbentuk ucapan, perbuatan, atau sikap bathin. Takbir dengan ucapan adalah mengucapkan Allahu akbar. Takbir dengan sikap bathin adalah menyakini bahwa dia maha besar, kepada-Nya tunduk segala makhluk dan kepada-Nya kembali keputusan segala sesuatu. Apapun dihadapan-Nya adalah kecil dan tidak berarti, sehingga bila terjadi benturan dengan kehendak atau ketetapan-Nya, maka dia pasti yang menentukan. Sedang takbir dengan perbuatan adalah pengejawantahan makna-makna yang dikandung”takbir

dengan sikap bathin” tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Perintah bertakbir disini mencakup ketiga hal di atas, bahkan diamati bahwa dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan perintah untuk “mengucapkan takbir”,

berbeda hanya dengan Hamdallah (ucapan al-hamdullah). Perintah bertakbir hanya ditemukan dua kali dalam Al-Qur‟an. Yaitu pada surah Al-Muddatsir ini pada Surah Al-Isra ayat 111:











































Artinya: “Dan Katakanlah: Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya”.

Ketika seseorang mengucapkan takbir, maka pada hakikatnya ada dua hal yang seharusnya ia capai, pertama, pernyataan keluar sikap bathinnya tersebut.

Kedua, mengatur sikap lahirnya sehingga setiap langkahnya berada dalam kerangka makna kalimat tersebut.

Dampak dari kedua hal ini adalah terhujamnya kedalam jiwa, rasa memiliki serta kesediaan mempertahankan hakikat yang diucapkannya itu. Disamping tertanamnya kesadaran akan kecil dan remehnya segala sesuatu selainnya. Betapapun ia dinamai “besar” atau “agung” dan pada saat yang sama

pengucapannya merasa kuat dan mampu menghadapi segala tantangan karena ia telah mengaggungkan jiwa raganya kepada yang maha agung itu, dan dengan demikian ia tidak akan meminta perlindungan kceuali kepadanya. Ia tidak akan mengharapkan sesuatu yang lebih besar kecuali darinya. Ia akan selalu melaksanakan perintahnya, ini terjadi akibat rasa takut kepadanya, butuh kepadanya, atau bahkan akibat rasa kagum.

Inilah petunjuk pertama yang merupakan titik tolak bagi segala aktivitas. Karena itu, adalah sangat wajar apabila hakikat ini merupakan pelajaran pertama yang diberikan kepada Muhammad SAW. dalam rangka menghadapi tugasnya yang berat.

(

4

) 

“Dan Pakaianmu, maka bersihkanlah”

Inilah petunjuk kedua yang diterima oleh Rasulullah SAW. Dalam rangka melaksanakan tugas tabligh, setelah pada petunjuk pertama dalam ayat ditekankan keharusan mengkhususkan pengagungan (takbir) hanya kepada Allah SWT ayat di atas menyatakan “Dan pakaianmu bagaimanapun keadaanmu maka

Kata

( يث )

tsiyab adalah bentuk jamak dari kata

( ث)

tsaub/ pakaian. Disamping makna tersebut ia gunakan juga sebagai majaz dengan makna-makna antara lain: hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri.

Kata

( ط

) thahir adalah bentuk perintah, dari kata

( ط)

thahara yang berarti membersihkan dari kotoran.

Kata ini dapat juga dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri dari dosa atau pelanggaran. Gabungan kedua kata tersebut dengan kedua kemungkinan makna hakiki atau majaz itu mengakibatkan beragamnya pendpat ulama yang dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok:

1. Memahami kedua kosa kata tesebut dalam arti majaz, yakni perintah untuk menyucikan hati, jiwa, usaha, budi pekerti dan segala macam pelanggaran, serta mendidik keluarga agar tidak terjerumus di dalam dosa atau tidak memilih untuk dijadikan istri kecuali wanita-wanita yang terhormat serta bertakwa.

2. Memahami keduanya dalam arti hakiki, yakni membersihkan pakaian dan segala macam kotoran, dan tidak mengenakannya kecuali apabila ia bersih sehingga nyaman dipakai dan dipandang.

3. Memahami tsiyab/ pakaian dalam arti majaz dan thahir dalam arti hakiki,

sehingga ia bermakna: “Bersihkanlah jiwa (hati) mu dari kotoran-kotoran”.

4. Memahami Tsiyab/ pakaian dalam arti hakiki dan thahir dalam arti majaz, yakni perintah untuk menyucikan pakaian dalam arti memakainya secara halal sesuai ketentuan-ketentuan agama (antara lain menutup aurat) setelah memperolehnya dengan cara-cara yang halal pula. Atau dalam arti “pakailah

pakaian pendek sehingga tidak menyentuh tanah yang mengakibatkan kotornya pakaian tersebut. Adat kebiasaan orang arab ketika itu adalah

memakai pakaian-pakaian yang panjang untuk memamerkannya, yang memberikan kesan keangkuhan pemakainya walaupun mengakibatkan pakaian tersebut kotor karena menyentuh tanah, akibat panjangnya.

Penulis cenderung memilih pendapat yang menjadikan kedua kata tersebut dalam arti hakiki. Bukan saja karena kaidah tafsir yang menyatakan

bahwa “satu kata tidak dialihkan kepada pengertian kiasan (majazi) kecuali bila

arti hakiki tidak dapat dan atau terdapat petunjuk yang kuat untuk mengalihkan kepada makna majaz, tetapi juga karena memperhatikan konteks yang merupakan sabab nuzul ayat ini yang menjelaskan bahwa ketika turunnya, Nabi Muhammad SAW.yang ketakutan melihat jibril, bertekuk lutut dan tejatuh ketanah ( sehingga tentu mengakibatkan kotornya pakaian beliau).

Dan perlu kita ketahui bahwa semua pemeluk agama apapun agamanya lebih-lebih lagi Islam menyadari bahwa agama pada dasarnya menganjurkan menganjurkan kebersihan bathin seseorang. Membersihkan pakaian tidak akan banyak artinya jika badan seseorang kotor, selanjutnya membersihkan pakaian dan badan belum berarti jika jiwa masih ternodai oleh dosa. Ada orang yang ingin

menempuh jalan pintas, dengan berkata, “yang penting adalah hati atau jiwa,

biarlah badan atau pakaian yang kotor, karena tuhan tidak memandang kepada bentuk-bentuk lahir. ”Sikap tersebut jelas tidak dibenarkan oleh ayat ini, jika kita memahaminya dalam arti hakiki. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pengertian hakiki tersebut mengantar kepada keharusan memperhatikan kebersihan badan dan jiwa, karena jangankan jiwa atau badan , pakian pun diperintahkan untuk dibersihkan. sebagai contoh, jika terdapat perintah untuk menghormati kakak,

maka tentu lebih diperintahkan lagi untuk menghormati ayah, walaupun tidak tersurat dalam redaksi perintah. Disisi lain, dipahami dari petunjuk ayat ini, bahwa seseorang yang bertugas melayani masyarakat dan membimbingnya harus memiliki penampilan yang menyenangkan, antara lain kebersihan pakaiannya.

Kalau dalam petunjuk pertama pada ayat ketiga ditekankan pembinaan jiwa dan sikap mentaal, maka dalam ayat keempat ini yang ditekankan adalah penampilan lahiriah demi menarik simpati mereka yang diberi peringatan dan bimbingan.

Dalam ayat di atas, Rasullah SAW diperintahkan untuk membersihkan pakaian-pakaian beliau. Telah diuraikan bahwa perintah ini berkaitan dnegan konteks ayat, sehingga kita tidak perlu menduga bahwa sebelum ini Rasullah SAW. Kurang memperhatikan kebersihannya karena sejarah membuktikan kekeliruan dugaan tersebut. Di sisi lain, dapat pula dipahami perintah di atas sama dengan perintah kepada orang-orang beriman. Dalam surah An-Nisa ayat 136, Allah memerintahkan: Wahai orang-orang yang beriman: berimanlah kepada Allah dan Rasulnya. Perintah tersebut tentu bukan berarti bahwa mereka sebelumnya belum beriman, tetapi ia merupakan perintah untuk mempertahankan. Memantapkan dan meningkatkan iman tersebut, perintah kepada Rasullah SAW untuk membersihkan pakaian-pakaian beliau daapt dipahami demikian pula,

dalam arti, ”pertahankanlah, mantapkan dan tingkatkanlah kebiasaanmu selama ini dalam kebersihan pakainmu”.

Sejarah menjelaskan bahwa pakain yang paling disukai Rasullah SAW dan yang paling sering dipakainya adalah pakain-pakain yang berwarna putih. Hal

ini tentunya bukan saja disebabkan karena warna tersebut menangkal panas yang merupakan iklim umum daerah Mekkah dan sekitarnya, tetapi juga mencerminkan kesenangan pemakainya terhadap kebersihan, karena sedikit saja noda pada pakain yang putih itu akan segera tampak. Sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau juga telah dikenal sebagai seorang yang sangat mendambakan kebersihan. Tidak semua jenis makanan di makannya. Bawang misalnya, karena memiliki aroma yang tidak menyenangkan dihindarinya. Bahkan dianjurkan kepada para sahabatnya untuk tidak mengunjungi masjid bila baru saja memakan bawang. Noda dan kotoran yang mengotori dinding (masjid) dibersihkannya guna mmeberi contoh kepada umatnya. Pakain-pakainnya, walaupun tidak mewah bahkan sobek dan dijahitnya sendiri, namun selalu rapih dan bersih ini merupakan sifat bawaan sejak kecilnya, kemudian dikukuhkan oleh pendidikan Al-Qur‟an demi suksesnya tugas-tugas pembinaan masyarakat. Karena, seseorang yang bertugas memimpin dan membimng harus mendapat simpati masyarakatnya sekaligus memberi contoh kepada mereka. Dan hal inilah yang dimintakan perhatian oleh Al-Qur‟an kepada Rasullah SAW. Bahkan kepada setiap orang, khususnya yang mengemban tugas-tugas kemasyarakatan.





( 5 ) “Dan dosa maka tinggalkanlah“

Petunjuk yang ketiga adalah, dan dosa yakni menyembah berhala betapapun hebat atau banyaknya orang yang menyembah nya maka tinggalkanlah.

Kata ( ج لا) ar-rujz (dengan dhammah pada ra) atau ( ج لا) ar-rijz, dengan kasrah pada ra) keduanya merupakan cara yang benar untuk membaca ayat ini, dan sebagian Ulama tidak membedakan arti yang dikandungnya. Ulama yang tidak membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya dengan dosa, sedangkan ulama yang membedakannya menyatakan bahwa ar-rujz berarti berhala. pendapat ini dipelopori oleh Abu Ubaidah. lebih jauh, sebagian ahli bahasa berkata bahwa huruf ( ) zay pada kata ini dapat dibaca dengan ( ) sin dengan demikian kata ar-rijz sama pengertiannya dengan ( ج لا) ar-rijs/ dosa. Dengan demikian kata yang digunakan ayat ini dapat berarti berhala, atau siksa atau dosa.

Kata

( جه ف)

fa-hjur, terambil dari kata

( جه)

hajara yang digunakan untuk menggambarkan “sikap meninggalkan sesuatu karena kebencian

kepadanya.” Dari akar kata ini dibentuk kata-kata hijrah, karena Nabi dan

sahabat-sahabatnya meninggalkan mekkah atas dasar ketidaksenangan beliau terhadap pelakuan penduduknya. kata (

ج ه

) hajirah berarti ”tengah hari” karena pada saat itu pemakai bahasa ini ”meninggalkan pekerjaannya” akibat terik panas matahari yang tidak mereka senangi.

Dalam hadits dinyatakan bahwa: ”Tidak dibenarkan meninggalkan untuk

tidak bercakap-cakap dengan saudara lebih dari tiga hari.” yang dimaksud ”meninggalkan” adalah apabila hal tersebut dilakukan karena dorongan kebencian

atau kemarahan, karena hadits tersebut menggunakan kata Yahjuru ( ج ي). Ayat ini, dengan demikian berarti: ”Tinggalkanlah, atas dorongan kebencian dan ketidaksenangan, dosa, siksa atau berhala.”

Penulis cenderung untuk memilih arti ”Berhala” bukan saja dengan

alasan yang dipelopori oleh Abu Ubaidah, tetapi juga dengan memperhatikan pendapat yang mempersamakan antara ar-rijz dan ar-rijs serta gaya dan bentuk redaksi ayat ini. Yang dimaksud dengan gaya dan bentuknya adalah bahwa ayat ini secara tegas mencegah Nabi untuk melakukan sesuatu, bahkan dapat dikatakan bahwa ayat ini merupakan larangan petama yang diterima Nabi Muhammad

Dokumen terkait