• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bekal Da'i dalam tafsir al-Misbah karya Muhammad quraish Shihab (analisis al-Quran surat al-muddatsir ayat 1-7

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bekal Da'i dalam tafsir al-Misbah karya Muhammad quraish Shihab (analisis al-Quran surat al-muddatsir ayat 1-7"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk memenuhi Syarat-syarat Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh: SITI MASITOH NIM. 104051001847

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk memenuhi Syarat-syarat Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh: SITI MASITOH NIM. 104051001847

Di bawah bimbingan

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang telah gunakan dalam penulisan skripsi telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya saya merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universiatas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta.

Jakarta, 04 Desember 2010

(4)

i

Buku tafsir Al-Misbah adalah salah satu hal yang menarik bagi penulis, karena ia merupakan buku yang dikarang oleh seorang mufassir terkenal yaitu: M. Quraish Shihab. Dakwah yang dilakukannya sangat beragam mulia dari ceramah mimbar yang monolog, diskusi interaktif dalam kajian dan seminar, hingga dalam bentuk buku, sehingga beliau telah menerbikan puluhan judul buku dan salah satunya yaitu buku Tafsir Al-Misbah, Pesan-kesan dan keserasian Al-Qur’an Juz 29. Penulis mengambil buku tafsir Al-Misbah ini karena menilai buku Tafsir ini khususnya Tafsir al-Misbah Juz 29 yang menerangkan Surat Al-Muddatsir ayat 1 – 7 ini sangatlah membantu penulis dalam menulis skripsi ini sehingga menambah pengetahuan dari berbagai persoalan yang telah menghimpit kita sekarang ini.

Bagaimanakah kualitas dan kapabilitas yang harus dimiliki dari dalam Tafsir Al-Misbah ? Dan bagaimana relevansi bekal yang harus dimiliki Da’i terhadap keadaan zaman sekarnag ini ?.

Dalam Tafsir Al-Misbah ini kualitas dan kapabilitas memang harus seimbang dimiliki oleh Da’i dimana adanya bekal spiritual, moral, intelektual serta hal-hal yang positif yang dapat membantu dalam membangun kepribadian Da’i itu sendiri. Sedang relevansi bekal da’i dalam kehidupan sekarang ini sangatlah relevan, karena Tafsir yang ditulis oleh M. Quraish Shihab ini mencangkup dari segi keagamaan, pembaharuan dan ke Indonesian.

Penelitian ini menggunakan analisis Al-Qur’an khususnya surat Al -Muddatsir ayat 1 – 7 dimana dengan pendekatan yaitu penafsiran yang menerangkan arti ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan aturan -aturan ayat, hubungan ayat-ayatnya, hadits serta para pendapat para Mufassirin itu sendiri. Hakekatnya study tafsir ini adalah menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an yang sebagian besar masalah dalam bentuk global. Adapun sarana pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Qur’an dilengkapi dengan buku-buku yang terikat dengan ayat yang akan ditafsirkannya.

Dengan penelitian ini dalam menganalisis Al-Qur’an surat Al-Muddatsir ayat 1 – 7 ini dalam tafsir Al-Misbah, maka ini menjadi landasan penulisan teori bekal da’i apa saja yang harus dimiliki da’i. Sebagai media penulisan dalam membangun kepribadian da’i sehingga sangatlah efektif dalam penyampaiannya dan dapat diterapkan dalam kehidupan da’i sehari-hari.

(5)

ii

panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga skripsi ini selesai.

Tak lupa Shalawat serta salam kepada Habibullah Rasulullah Muhammmad SAW serta para sahabatnya yang telah membawa kebaikan kepada umatnya dari jalan kegelapan menuju jalan kebenaran.

Skripsi ini tidak akan selesai tanpa jasa dari berbagai pihak, maka penulis ingin menganturkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bpk. Dr. H. Arief Subhan, MA. Sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

2. Bpk. Drs. Jumroni, M.Si. Sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

3. Ibu Umi Musyarofah, MA. Sebagai Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

4. Bpk. Dr. A. Ilyas Ismail, MA. Selaku Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu selam proses Skripsi ini.

(6)

iii

SWT selalu melindungi kalian, Ananda sangat menyayangi kalian.

7. Kakak-Kakakku yang tersayang, Syarfunnajah, Syarif Muawan, Siti Mutiah, Siti Novilah, Nur’ani, M. Ya’la, Nurul Hikmah, dan Siti

Fakhriyah. yang telah memberikan motivasi tiada henti agar ananda bisa lulus kuliah dan bisa meraih cita-cita terimakasih atas dukungannya selam ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan kalian.

8. Untuk sahabatku yang tercantik Emma Masrurah terimakasih atas dukunganmu selama ini semoga persahabatan ini membawa kebaikan untuk kita amin.

9. Dan untuk sehabatku di KPI C Pay, Edwin, Ray, Eriz, Ratih, Sukriah, Ade, Lilis, Nia, Intan, dan Eti terimakasih atas dukungan kalian yang tiada henti, semoga silaturahmi kita tetap terjalin.

(7)

iv

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II RUANG LINGKUP TENTANG DA’I A. Pengertian da’i ... 13

B. Sifat-Sifat Asasi da’i Rabbani ... 15

C. Perjuangan da’i ... 24

BAB III TINJAUAN ANALISIS TAFSIR AL-MISBAH A. Riwayat Hidup Penulis ... 31

B. Pembahasaan Mengenai Tafsir ... 34

(8)

v

B. Asbabul Nuzul Surat Al-Mudatsir ayat 1-7 ... 39 C. Analisis Ayat dan Bekal Da’i Dalam Surat

AL-Mudatsir ayat 1-7 ... 41

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulam ... 80 B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(9)

1 A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang diwahyukan Allah SWT dengan jalan-Nya. Untuk itu Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya dalam menyampaikan ajaran Islam senantiasa berlandaskan pada norma-norma yang jelas. Diantara norma-norma yang jelas itu, telah ditegaskan dalam Al-Qur‟an pada surat fushshilat :33 berikut:





























Artinya: ”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (Q.S. Fushshilat : 33)1

Ayat di atas menunjukkan bahwa Islam adalah agama dakwah, yang menegaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan ajaran Nya kepada seluruh umat manusia. sehingga Al-Qur‟an pun secara Imperatif menegaskan bahwa Allah SWT menegaskan bahwa Allah SWT memerintahkan setiap muslim untuk menyeru umat manusia ke jalan-Nya, dengan cara yang bijaksana, dengan nasehat yang baik dan argumentasi yang rasional. Hal ini telah ditegaskan dalam Al-Qur‟an pada surat an-Nahl:125 berikut:



































1

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Bandung :Jumnatul‟ Ali, 2004),

(10)

























Artinya : ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”( An-Nahl : 125 )2

Keberhasilan dakwah harus didukung oleh semua aspek, mulai dari politik, ekonomi, hukum, agama dan budaya yang kesemuanya itu mendukung

proses berjalannya dakwah. Artinya dakwah itu harus bersifat mu‟asyirah

ghoiru taqlidiyah (modern dan tidak kuno). Secara metode dakwah dilakukan berdasarkan keasliannya yaitu Al-Qur‟an dan hadits. Namun cara, sarana, serta strategi yang digunakan harus seiring dengan perkembangan zaman, artinya dakwah harus melihat situasi, kondisi, suasana, peristiwa, sikap, keperluan yang kemudian dikaitkan dengan sasaran tetapi tetap dalam koridor yang sesuai dengan ajaran agama.3

Sedangkan menurut Ahmad Mubarak, keberhasilan dakwah dimungkinkan oleh beberapa hal:

1. Karena pesan dakwah yang disampaikan oleh seorang da‟i memang

relevan dengan kebutuhan masyarakat yang merupakan satu keniscayaan yang tidak mungkin ditolak, sehingga mereka menerima pesan dakwah itu dengan antusias.

2

Ibid, h. 282

3

(11)

2. Karena faktor seorang da‟i yaitu da‟i tersebut memiliki daya tarik personal yang menyebabkan masyarakat sudah dapat menerima pesan dakwahnya meski kualitas dakwahnya boleh jadi sederhana saja.

3. Karena kondisi psikologi masyarakat yang sedang haus terhadap siraman

rohani dan mereka terlanjur memilki persepsi positif pada setiap da‟i

sehingga pesan dakwah sebenarnya kurang jelas ditafsirkan sendiri oleh masyarakat dengan penafsiran yang jelas.

4. Karena faktor kemasan yang menarik, masyarakat yang semula acuh tak

acuh terhadap agama juga da‟i, setelah melihat paket dakwah yang diberi

kemasan lain4, maka paket dakwah berhasil menjadi stimuli yang menggelitik persepsi masyarakat dan akhirnya merekapun merespon positif.

Mempelajari lingkungan dan tempat dakwah adalah perkara yang

sangat urgen, karena sesungguhnya da‟i dalam medan dakwahnya sangat

membutuhkan pengetahuan tentang keadaan dan kondisi sang mad‟u baik

mengenai i‟tikadnya (keyakinan), kejiwaannya, sosial kemasyarakatan,

ekonomi dan mengetahui pusat-pusat kesesatan, tempat-tempat penyimpangan

mereka. Demikian juga seorang da‟i butuh pengetahuan tentang bahasa

mereka, adat kebiasaannya, dan paham tentang problem mereka serta titik penyimpangan akhlak mereka, tsaqofah (kebudayaan) mereka, tingkatan debat

4

(12)

mereka, syubhat yang banyak menyebar dikalangan mereka serta madzhab-madzhab mereka.5

Untuk mensyiarkan ajaran Islam diperlukan para da‟i dan yang mampu

menjadi teladan bagi para mad‟unya baik dalm kehidupan pribadi maupun

sosialnya. Di mana Mereka yang memiliki kecerdasan esensial dalam kehidupan bermasyarakat yaitu kecerdasan emosional dan spritual. Kecerdasan emosional disebutkan beberapa contoh sifat yaitu: lemah lembut, tidak sombong dan pemaaf. Sedangkan kecerdasan spiritual digambarkan dengan sifat-sifat pokok yaitu: selalu dekat dengan Allah SWT, berdo‟a di siang dan malam hari, bertaubat dan mohon ampun kepada Allah SWT.

Di antara sifat kepribadian da‟i yang diteladani Imam para da‟i Rasulullah SAW adalah sifat lemah-lembut, tidak sombong, pemaaf bahkan

siap mendo‟akan mereka yang melakukan kekhilafan, mengajak mereka untuk

bermusyawarah guna mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi. Dan ini semua merupakan rahmat bagi mereka yang ingin menteladani dari sifat Rasulullah SAW. Karena sebaliknya mereka yang bersikap kasar terhadap

Mad‟u nya lama kelamaan akan ditinggalkan karena tak seorang pun

menyukai sikap kasar dan kekerasan.6

Ini semuanya kembali kepada Al-Qur‟an dan Hadits, karena pada hakikatnya Al-Qur‟an menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman. Di samping itu keberadaan Al-Qur‟an ditambah dengan keinginan mereka untuk memahami petunjuk dan mukzizat-mukjizatnya.di mana telah

5

Muzaldi Hazbulah, LC. 9 Pilar keberhasilan Da’I di medan Dakwah, (Solo : Pustaka Arafah, 2000) h. 106

6

(13)

melahirkan sekian banyak disiplin Ilmu keislaman dan metode - metode penelitian. sehingga dengan lahirnya berbagai metode penafsiran Al-Qur‟an

(yang terakhir adalah maudhu‟i atau tauhidiy).7

Tafsir merupakan suatu hasil pemahaman seorang mufassir terhadap

Al-Qur‟an dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang

dilakukan mufassir, dan di maksudkan untuk memperjelas suatu makna teks ayat-ayat Al-Qur‟an. Sehingga ketika Al-Qur‟an ditafsirkan dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu, misalnya menggunakan pendekatan filsafat, maka akan melahirkan produk penafsiran yang bercorak filosofis. Jika Al-Qur‟an ditafsirkan menggunakn pendekatan sufistik dan sebagainya. Realita seperti ini merupakan suatu kewajaran.8

Munculnya beragam sudut pandang dalam menafsirkan Al-Qur‟an, sesungguhnya merupakan suatu keniscayaan sejarah, sebab setiap generasi

ingin selalu ”mengkonsumsi” dan menjadikan Al-Qur‟an sebagai pedoman

hidup, bahkan terkadang dijadikan sebagai legitimasi bagi tindakan perilakunya. Menurut Ignaz Goldziher, setiap aliran pemikiran yang muncul dalam sejarah ummat Islam selalu cenderung untuk mencari legitimasi dan justifikasi dari kitab sucinya. (Al-Qur‟an).9

Teks Al-Qur‟an sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable) dan masing-masing mufassir, ketika masing-masing menafsirkan Al-Qur‟an dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial-kultur di mana ia tinggal, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat mempengaruhi, serta adanya

7

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Mizan ; 2007) Cet. 1 hal. 237

8

Abdul Mustakin Madzahibut al-islami, (Beirut ; daar Iqra, 1983), h. 3

9

(14)

kecenderungan dalam diri mufassir untuk memahami Al-Qur‟an sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni, sehingga meskipun kajiannya satu yaitu teks

Al-Qur‟an , tetrapi hasil penafsiran Al-Qur‟an tidaklah satu melainkan beraneka

ragam (plural).

Dalam sejarah perkembangan tafsir, dikenal beberapa metode tafsir, antara lain tafsir tahlili, yaitu penafsiran secara kronologis, tafsir mendahului, yaitu tafsir yang bersifat tematis dan sebagainya. Corak tafsir pun dikenal beberapa macam, seperti corak bahasa, sastra, filsafat, sastra budaya

kemasyarakatan (adabi ijtima‟i ) dan lain-lain. Beragamnya metode dan corak

penafsiran Al-Qur‟an menunjukkan adanya dinamika didalam diri Al-Qur‟an. Perspektif sastra budaya kemasyarakatan atau adabi ijtima‟i dimulai oleh muhammad abduh yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Serta usaha-usaha mencari solusi atau menanggulangi masalah-masalah yang muncul kepada mereka, berdasarkan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dipahami.

Dakwah ternyata tidak hanya bicara tentang upaya mengajak, tetapi banyak kunci-kunci dakwah yang tersirat di dalamnya Muhammad Quraish Shihab mengartikan dakwah tidak hanya suatu kewajiban ummat Islam, tetapi sesungguhnya merupakan dimensi kehidupan manusia yang terkait dalam corak sastra budaya, sosial, ekonomi, dan lain-lain semua terangkum di dalam

(15)

Kitab tafsir Al-Misbah yang ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab di mana masuk dalam kategori Tafsir adabi ijtima‟i. Tafsir inilah yang menjadi fokus dalam pembahasan karena penulis sangat tertarik untuk mengkaji secara komprehensip terhadap masalah tersebut dalam sebuah skripsi yang berjudul:

Bekal Da’i Dalam Tafsir AL-Misbah Karya Muhammad Quraish Shihab ( analisis Al-Qur’an surat al-Mudatsir ayat 1-7 )

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembahasan masalah bekal da‟i sangatlah luas dan kompleks tetapi

karena keterbatasan penulis, maka penelitian ini dibatasi pada harapan

bahwa seorang Da‟i mempunyai bekal yang terdapat dalam surat al

-Mudatsir ayat 1-7 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :

Bagaimana kualitas dan kapabilitas yang harus dimiliki da‟i dalam tafsir

Al-Misbah?

(16)

Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam pembahasan skripsi ini

adalah ”Untuk mengetahui bagimanakah bekal da‟i menurut tafsir al

-Misbah yang tertuang dalam surat al-Mudatsir ayat1-7 khususnya yang

berkenaan dengan da‟i di mana dalam konteks ini da‟i menjadi objek

dalam berdakwah”

2. Manfaat Penelitian

a. Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu tafsir dan perkembangan masyarakat dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam

b. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang tafsir, dan sumbangan pikiran, sehingga dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya

c. Sumbangan terhadap dinamika ilmu pengetahuan yang selalu berkembang

D. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam pencarian sumber melalui Studi Tafsir yang diperoleh dari:

(17)

sebagainnya. Hakekatnya adalah menjelaskan maksud ayat-ayat

Al-Qur‟an yang sebagian bisa masih dalam bentuk global, adapun sarana

pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Qur‟an itu meliputu berbagai Ilmu yang berhubungan dengan hal itu dan juga dilengkapi dengan buku-buku yang terkait dengan ayat yang akan ditafsirkannya.

2. Skiripsi ini termasuk kajian tafsir metode Tahlily (Analisis), dengan pendekatan yaitu penafsiran yang menerangkan arti ayat-ayat Al-Qur‟an dari berbagai seginya, berdasarkan aturan-aturan ayat atau surat dari mushaf dengan menonjolkan kandungan lafaznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, sebab-sebab turunnya, haditsnya yang berhubungan dengannya serta pendapat-pendapat para mufasirin itu sendiri.

3. Adapun kitab-kitab tafsirnya sebagai berikut:

Tafsir Al-Misbah, karya Muhammad Quraish Shihab juz 29 Tafsir Al-Azhar, karya Prof Dr. Hamka juz 29

Tafsir Qur‟an Karim, karya Prof. Dr. H. Muhammad Yunus.

Tafsir Fizhillah.

Pengantar Ilmu Tafsir, karya Drs. Rif‟at Syauqi Nawawi, Drs. M. Ali Hasan.

(18)

E. Tinjauan kepustakaan

Tinjauan kepustakaan (literatur) yang berkaitan dengan topik pembahasaan, atau bahkan yang nemberikan inspirasi dan mendasari dilakukannya penulisan skripsi ini salah satunya:

Skripsi atas nama syukriah, judul skripsi ”Analisis Isi pesan Dakwah M.

Quraish Shihab dalam buku menabur pesan ilahi”. Fakultas Ilmu dakwah dan

Ilmu Komunikasi, jurusan Komunikasi Penyiaraan Islam, NIM:104051001847 tahun pembuatan 2008. Skripsi ini juga melakukan analisis buku dari Quraish shihab dengna salah satu bukunya yang berjudul menabur pesan illahi. Sebagai seorang penulis beliau sangatlah relevan baik dari segi keagamaan, pembaharuan dan keIndonesiaan. dimana dalam buku beliau ditekankan pada tiga poin pesan dakwah yang di ambil yaitu: dalam bidang ibadah, akidah dan muamalah.

(19)

F. Sistematika Penulisan BAB I. Pendahuluan

Pada bab pertama ini penulis menyampaikan latar belakang masalah penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan tinjauan kepustakaan

BAB II. Kerangka Pemikiran Teoritis

Pada bab kedua ini penulis membahas teoritis tentang ruang lingkup tentang da‟i, sifat-sifat asasi da‟i Rabbani serta perjuangan

da‟i.

BAB III. Gambaran umum tentang tafsir AL-Misbah

Dalam bab ini penulis membahas tinjauan anlisis tafsir Al-Misbah, melingkupi riwayat hidup penulis, metode, dan perspektif penafsiran Tafsir Misbah serta ciri-ciri khusus Tafsir Al-Misbah.

BAB IV. Analisis

(20)

BAB V. Kesimpulan dan Saran.

Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan tentang Da‟i dan

bekal Da‟i dari pada uraian menurut Muhammad Quraish Shihab.

(21)

13 A. Pengertian Da’i

Di dalam Al-Qur‟an kata”Ulama” secara eksplisit dinyatakan di dalam dua ayat, pertama dalam surat As-Syu‟ara‟ ayat 197, dan kedua di dalam surat surat Fathir ayat 28. Ayat pertama meskipun berkaitan dengan Bani Israel, menunjukkan bahwa seseorang itu dikatakan ulama apabila memiliki keluasan dan kedalaman ilmu-ilmu agama, tempat orang bertanya dan meminta fatwa. Ayat kedua menunjukkan bahwa seseorang dikatakan ulama, apabila memiliki

khasysyah takut dan cinta yang tinggi kepada Allah SWT, senantiasa memelihara hubungan dengan-Nya. Fatwa dan Ilmu yang disampaikan kepada masyarakat, mencerminkan takwanya kepada Allah SWT. Bahwasanya

kata-kata ulama, kiayi, da‟i dan lain sebagainya itu semua hanya sebutan saja

bukan sebagai nama, dimana da‟i adalah orang yang melakukan atau

melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan dan perbuatan secara individu,

kelompok, organisasi atau lembaga. da‟i sering disebut juga mubaligh (orang

yang menyampaikan ajaran Islam). Pada dasarnya semua pribadi muslim itu berperan secara otomatis, sebagai mubaligh atau da‟i dalam bahasa komunikasi disebut sebagai komunikator. Untuk itu dalam komunikasi

dakwah yang berperan sebagai da‟i atau mubaligh adalah:

(22)

b) Secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian (mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama, kiayi

ataupun da‟i.

Profil da‟i yang dimaksud di sini adalah tentang karakteristik da‟i yang harus memiliki seperti sikap, kepribadian, pengetahuan, dan lainnya untuk melakukan dakwah.1karena da‟i merupakan salah satu unsur penting dalam proses dakwah. Sebagai pelaku dan penggerak kegiatan dakwah, da‟i menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan atau kegagalan dakwah.2 Da‟i pada dasarnya adalah penyeru kejalan Allah, pengibar panji-panji Islam, dan pejuang (mujahid) yang mengupayakan terwujudnya sistem Islam dalam

realitas kehidupan umat manusia. Sebagai penyeru kejalan Allah, da‟i tidak

bisa tidak, harus memilki pemahaman yang luas mengenai Islam sehingga ia dapat menjelaskan ajaran Islam kepada masyarakat dengan baik dan benar. Ia juga harus memiliki semangat dan gairah keislaman yang tinggi yang menyebabkan ia setiap saat dapat menyeru manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kejahatan, meskipun untuk itu ia harus menghadapi tantangan yang berat

Bahkan da‟i adalah identik dengan dakwah itu sendiri.3 Dikatakan

demikian, karena seorang da‟i harus menjadi teladan dan panutan yang baik di

tengah-tengah masyarakat. Menurut Abd al-Badi Saqar, tidak dapat

membedakan antara da‟i dan dakwah. Diantara keduanya, tidak boleh ada

kontradiksi. Bagi Saqar, da‟i adalah arsitek (muhandis), pembina dan

1

M. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, ( Jakarta : kencana 2002 ), cet. Ke-1, hal.79

2„Abd al

-Badi Saqar, op.cit., h. 6-7

3

(23)

pengembang masyarakat (banna). da‟i bukan hanya aktor atau pemain

sandiwara yang hanya mencari tepuk tangan penonton, dan bukan juga seniman yang hanya mencari penghargaan. Sebagai arsitek dan pengembang

sosial, da‟i harus melakukan rekayasa sosial dan melakukan perubahan,

khususnya perubahan mental manusia (taghyir al-nafs al-insaniyah) dengan metode yang tepat. Dengan perubahan ini, diharapkan masyarakat, bahkan umat manusia mencapai kesempurnaan dan kemajuan. Jika demikian sungguh keliru menurut Saqar, orang yang berpendapat bahwa dia telah menyampaikan

pidato, ia merasa telah berdakwah. da‟i harus melakukan perubahan dan

gerakan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu da‟i harus memiliki sifat-sifat yang terpuji atau akhlak yang mulia. Keluhuran budi pekerti ini menjadi salah satu pendorong yang memungkinkan masyarakat (mad’u) dapat mengikuti jalan kebenaran yang diserukan sang da‟i. Sifat-sifat yang mulia itu adalah

sifat yang harus dimiliki semua kaum muslim. Namun bagi seorang da‟i sifat

-sifat itu haruslah memiliki nilai lebih. Dengan perkataan lain -sifat--sifat yang

mulia itu bagi seorang da‟i harus tampak lebih mantap, lebih sempurna, dan

lebih menonjol, sehingga ia dapat menjadi dakwah yang hidup dan menjadi teladan yang bergerak.

B. Sifat Asasi da’i Rabbani

Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, dalam buku konsep Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, berkaitan dengan tanggung jawab

seorang juru dakwah (da‟i) dalam melaksanakan tugasnya. Beliau menyatakan

(24)

tujuan, prilaku dan pola pikir, kemudian ikhlas, sabar dan jujur. Juga membekali dengan ilmu serta menguasai dengan teknis berdakwah dan

mengenal mad‟u, di samping itu juga harus menguasai materi dakwah.4

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dakwah yang bermutu ditandai oleh sifat tanggung jawab yang tercermin pada prilaku yang robbany, ikhlas sabar, dan jujur, dapat mengambil keputusan yang berwibawa serta mandiri dan propesional, memiliki keahlian tekhnis mengelolah dakwah, mampu mengajak mad‟u serta menguasai konsep. Dan juga disebutkan bahwa

dakwah yang bermutu adalah da‟i yang membuat keputusan secara

profesional, bertanggung jawab dan memberi arahan pada masyarakat

(mad‟u). Sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur‟an pada surat al-Imran

146-148 sebagai berikut:







































































































Artinya: Berapa banyak Nabi yang berperang bersama Robbaniyyin yang banyak, mereka tidak merasa lemah (di depan musuh) karena musibah di jalan Allah, mereka tidak lemah dan tidak merasa kalah (pesimis). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Bukanlah perkataan mereka kecuali (lantunan doa) Ya Robbana

4

(25)

ampunilah dosa-dosa kami, kelebih-lebih sikap kami, teguhkanlah pendirian kami dan bantulah kami atas orang-orang kafir. Maka Allah memberikan balasan (pahala) di dunia dan kebaikan balasan akhirat, dan Allah menyukai orang-orang yang ihsan (QS. Ali Imran: 146-148)

Sifat asasi bagi setiap da‟i tergambar dalam ayat-ayat ini yang

menjelaskan tentang mereka yang mengikuti jejak langkah perjuangan dakwah para Nabi , khususnya Nabi Muhammad SAW.

Ribbiyyun: artinya orang-orang yang Robbaniyyun yaitu memiliki komitmen kuat kepada Allah Robb alam semesta; ada ulama yang menafsirkan Ribbiyun dengan kelompok ulama para pewaris Nabi yang berjuang membela dakwah Islam.

Katsir: banyak, maksudnya adalah para pengikut Nabi itu hendak diperhatikan kuantitasnya, kalau kata Ribbiyyun menerangkan aspek kualitas para pengikut Nabi yaitu Robbaniyyun, maka kata katsir menjelaskan aspek kuantitas para pengikut Nabi.

Sifat-sifat asasi para da‟i di jalan Allah SWT, sebagaimana tersurat dalam ayat-ayat ini adalah:

1.











ا



, tidak lemah mental saat ditimpah

musibah dijalan Allah, dalam perjuangan mereka hanya menginginkan salah satu dari dua pilihan yang keduanya baik dalam pandangan” mati

syahid atau kemenangan” karena kemenangan bagi mereka adalah karunia

(26)

2.





(tidak lemah) Dakwah tidak menempuh jarak sepuluh atau dua puluh kilo meter, jalan dakwah tidak dihiasi bunga dan kenikmatan, tetapi jalan dakwah sarat dengan duri merintang dan hewan-hewan yang senantiasa mengganggu mereka yang melewatinya. Karenanya dakwah dalam mencapai tujuannya memerlukan orang-orang yang tangguh dan

kuat dari segi fisik, dengan fisik yang sehat dan kuat para da‟i itu

diharapkan dapat melewati rintangan dan cobaan dalam dakwah dengan penuh keikhlasan dan ketabahan.

3.





(tidak tunduk kepada musuh). Diantara cobaan dalam dakwah adalah rayuan dan iming-iming yang dilakukan musuh-musuh

dakwah untuk memperdayakan para da‟i, agar merek dengan leluasa

melakukan kehendak dan keinginan mereka dalam menyebarkan kebatilan di muka bumi. Secara kontekstual ayat ini memberikan pengertian bahwa

hendaknya da‟i tidak boleh menjadi orang yang lemah operasional, dalam

beraktifitas setiap da‟i dituntut untuk dinamis, proaktif dan kreatif

inovatif, sehingga tidak mudah dirayu dan diperdayakan oleh orang-orang yang tidak suka kepada dakwah Islam.

4.

















َ

(perkataan mereka tidak lain

adalah permohonan ampunan Allah). Mengapa da‟i masih juga memohon

(27)

merasa amalnya kecil dan lemah dihadapan Allah yang maha kuasa dan perkasa. Karenanya ia selalu tetap memohon ampunan kepadaNya, seperti

sang teladan para da‟i Rasulullah SAW tidak kurang dari 70 kali dalam

sehari beliau membaca istighfar, di samping senantiasa meningkatkan amal-amal ibadahnya. Ketika beliau ditabya mengapa engkau masih melakukan hal itu, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa sebelum

dan sesudahnya? Nabi SAW menjawab: ” kenapa aku tidak menjadi

hamba yang pandai bersyukur? Maksudnya : ampunan Allah SWT adalah karunia dan anugrah dariNya, maka setiap anugrah itu harus disyukuri dengan terus meningkatkan amal penghambaan kepadaNya.

Merealisasi hal-hal di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan, sangat membutuhkan kerja keras dan keseriusan aktivitas juga memerlukan kebersihan hati, niat dan motivasi. Beratnya realisasi itu bukan berarti tidak ada upaya merealisasinya.5

Menurut pandangan Paradigma Dakwah Sayyid Quthub bahwasanya kedudukan Akhlak dihadapan Allah sangat jelas tingginya dan Akhlak merupakan salah satu prinsip yang amat penting dalam agama Islam, terlebih

lagi seorang da‟i, lebih lanjut lagi Sayyid Quthub menegaskan sebagai berikut:

Barang siapa memperhatikan agama Islam dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, ia akan mengetahui bahwa akhlak merupakan salah satu ajaran dasar Islam yang terang benderang yang di atasnya dibangun prinsip-prinsip penetapan hukum dan pendidikan moral Islam. Dakwah dalam agama

5

(28)

ini, adalah seruan keras (besar) kepada kesucian moralitas, kebersihan, amanah, kejujuran, keadilan, kasih sayang, kebajikan, tepat janji, integritas (kesesuaian perkataan dengan tingkah laku perbuatan dan kesesuaian keduanya dengan tingkah laku dan hati nurani), dan mencegah manusia dari tindakan sewenang-wenang, zhalim, menipu, curang, makan harta manusia dengan bathil, menodai kehormatan manusia, dan mencegah berkembangnya perbuatan asusila dalam bentuk apapun.penetapan hukum dan undang-undang Islam ini menurut Sayyid Quthub dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi prinsip-prinsip moralitas. ini juga dimaksudkan agar nilai-nilai akhlak itu tetap terjaga dan terpelihara baik dalam rasa, jiwa, dan perilaku, maupun dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat, baik dalam masalah pribadi, sosial- kemasyarakatan. Maupun dalam masalah bangsa dan Negara.6

Adapun Akhlak da‟i dalam pandangan Sayyid Quthub sebagai berikut:

1. Kasih sayang

Menurut Sayyid Quthub, diantara sifat- sifat mulia yang amat penting dan mutlak harus dimiliki seorang da‟i adalah sifat kasih sayang (rahmah), seperti kasih sayang yang dimiliki dan diperlihatkan oleh pelaku dakwah yang pertama, yaitu Rasulullah SAWdimana kasih sayang Nabi yang luas dan lapang. Dikatakan bahwa Rasulullah SAW, tidak pernah marah karena dirinya sendiri, tidak pula sempit dada karena kesalahan atau kelemahan orang lain. Beliau tidak pernah berebut sesuatu yang bernilai duniawi untuk kepentingan dirinya. Bahkan beliau memberikan semua yang

6

(29)

dimilikinya untuk orang lain dengan lapang dada dan penuh kesenangan. Manusia dapat menikmati kesantunan beliau, kasih sayang, dan keluhuran budi pekerti beliau. Setiap orang yang pernah berteman atau bergaul dengan Nabi, ia pasti terkesan dan jatuh hati kepada beliau, ini tidak terlepas dari keluhuran budi pekerti beliau dan kasih-sayangnya.7

Pentingnya kasih sayang ini, menurut pemikiran Sayyid Quthub, dapat dilihat dari sudut kepentingan da‟i dan mad‟u itu sendiri. Dari sudut kepentingan da‟i dapat ditegaskan bahwa kasih sayang bukan hanya diperlukan, tetapi merupakan kebutuhan bagi seorang da‟i. hal ini karena

da‟i pada dasarnya seorang pemimpin, pembimbing rohani, pengajar dan

pendidik (mu‟allim wa murabbi). Dalam kedudukan dan kapasitasnya

sebagai semua itu, da‟i merupakan orang pertama yang harus memiiki sifat

kasih sayang dan mewujudkan kasih sayang itu dalam proses dakwah yang harus dilakukan.

Dari sudut kepentingan mad‟u, kasih sayang diperlakukan karena watak dan jiwa manusia mengalami perkembangan. pada kenyataannya jiwa manusia tidaklah sempurna. Namun, dalam waktu yang bersamaan, jiwa itu menerima pertumbuhan dan perkembangan sehingga mencapi tingkat kesempurnaan tertentu. Dalam suatu komunitas pastilah di situ terdapat orang-orang yang memiliki kelemahan dan kekurangan.

Al-Qur‟an sendiri sama sekali tidak menyangkal kenyataan ini.8

2. Integritas (Keutuhan Pribadi)

7

Sayyid Quthub,Ibid, Fi Zhilal, jilid 1, h. 500-501

8

(30)

Di samping kasih sayang, seorang da‟i harus pula memiliki integritas atau keutuhan pribadi. Integritas mengandung beberapa makna, antara lain, keterpaduan, kebulatan, keutuhan, jujur dan dapat dipercaya. Dalam pengertian ini, orang yang memiliki integritas adalah orang yang pada dirinya berpadu dan bersatu antara kata dan perbuatan. Dengan kata lain, ia bersifat benar dan jujur, serta jauh dari sifat dusta.9

Menurut Sayyid Quthub, integritas menunjuk pada sikap konsistensi dan persesuaian antara kata dan perbuatan dan antara keduanya dengan hati nurani. Dalam Integritas itu mengandung makna kejujuran (al-shidq) dan konsistensi ( al- Istiqomah) dalam memperjuangkan kebenaran. Kedua sifat ini, menurut Sayyid Quthub, adalah orang yang dimensi batinnya sama dengan dimensi lahirnya dan laku perbuatannya sama dengan perkataanya.10

Oleh larena itu tanpa kejujuran dan integritas, kata-kata para da‟i dan pemuka agama itu, meski amat indah dan dengan retorika tinggi, tidak akan ada pengaruhnya apa-apa. Bahkan, tidak seorangpun dapat mendengar dan mempercayai ucapan mereka, kecuali mereka mampuh membuktikan diri menjadi terjemah hidup dari apa yang mereka katakan dan mewujudkan dalam kehidupan nyata. ketika itu, masyarakat (mad‟u) dapat mendengar dan mempercayai perkataan mereka dan memegang teguh janji dan seruan mereka.11

9

Depdikbud, Kamus Besar, op.cit., h. 335

10

Sayyid Quthub, Fi Zhilal, op.cit., jilid VI, h. 3553

11

(31)

Seperti halnya Al-Qur‟an Hadits (al-sunnah), menurut Sayyid Quthub, juga memberikan perhatian besar terhadap pembentukan pribadi muslim yang memiliki integritas tinggi. Perhatian itu menurutnya, dapat dilihat dari keterangan Nabi tentang ciri-ciri orang munafik, yaitu dusta, tidak tepat janji, dan khianat (tidak amanah). Sayyid Quthub juga mengutip hadits riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari Abd Allah Ibn Amir ibn Rabiah yang dianggapnya amat mengesankan dalam masalah ini.12

3. Kerja Keras

Sifat lain yang harus dimiliki seorang da‟i ialah sikap sungguh

-sungguh dan kerja keras (al-jidd wa‟amal). Sifat ini mengharuskan para

da‟i untuk menggunakan waktunya secara efisien bagi kepentingan

dakwah. Ia harus menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia dan tidak berguna. Ini berarti kerja keras harus menjadi watak pribadi muslim,

terlebih lagi para da‟i.13

Menurut Sayyid Quthub, keharusan kerja keras ini, merupakan tuntutan dari sistem Islam itu sendiri. yaitu sistem hidup yang realistik yang tidak mungkin diwujudkan hanya angan-angan dan ilusi semata. Islam adalah aqidah dan perbuatan atau kerja (amal) yang membuktikan aqidah itu. Komitmen seorang terhadap aqidah Islam harus ditunjukkan

12

Ibid., Fi Zhilal, jilid VI, H. 3553.

13

(32)

melalui perbuatan yang dapat dilihat oleh Allah, Rasulullah SAW dan kaum muslimin.14

Bagi seorang da‟i tuntutan kerja keras ini makin tinggi. Hal ini

karena seorang da‟i pada dasarnya tidak tidak bekerja dan tidak hidup

untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain, (umat). Oleh karena itu, ia harus mampuh mengatur waktunya secara efisien bagi kepentingan dakwah dan harus menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermakna dan sia-sia.

C. Perjuangan Da’i

Dakwah sebagai usaha membangun sistem Islam pada dasarnya

merupakan suatu proses perjuangan yang amat panjang. Dalam proses ini da‟i

tidak saja memerlukan berbagai bekal seperti telah dijelaskan, tetapi juga membutuhkan komitmen perjuangan yang amat tinggi. Hal ini karena dakwah pada dasarnya identik dengan perjuangan itu sendiri. Dalam kaitan ini, cukup beralasan bila Sayyid Quthub memposisikan da‟i sebagai pejuang (mujahid).

Sebagai mujahid, da‟i tentu harus bekerja keras dan berjuang tanpa kenal lelah

sepanjang hayatnya.

Dalam pemikiran Sayyid Quthub, perjuangan da‟i dapat dilihat, antara

lain, dari tiga bentuk, pertama, dari kesaksian (komitmen) yang ia tunjukkan kepada Islam. Kedua, dari pengorbanan dan kesanggupan menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Ketiga, perjuangan itu pada akhirnya harus

14

(33)

mencapai kemenangan, tentu dengan izin pertolongan Allah SWT. Berikut disajikan tiga bentuk perjuangan itu secara berurutan.

1. Kesaksian Da‟i

Kesaksian (syahadah) sebagai ungkapan keimanan kepada Allah dan Rasul, ini merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Semua bangunan Islam yang meliputi ibadah, syariah dan mu‟amalah. Dalam pengertian ini syahadat bukan kesaksian yang bersifat verbalistik semata, melainkan sebuah komitmen dari setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul untuk secara sungguh-sungguh dan konsisten mengembangkan sistem hidup Islam.15

Kesaksian sebagai bagian tak terpisahkan dari proses dakwah itu sendiri, memiliki tahapan-tahapanya sendiri. Kesaksian itu harus dimulai dari diri sendiri, keluarga dan sanak famili atau kerabat. Semua ini harus menunjukkan sistem Islam dan menjadi terjemah yang baik dari Islam. Selanjutnya, dengan mengajak orang lain atau umat agar mewujudkan Islam dari berbagi segi kehidupan baik menyangkut masalah pribadi, kemasyarakatan, ekonomi maupun politik. Lalu tahapan terakhir, kesaksian itu ditunjukkan dengan perjuangan atau jihad untuk menghilangkan berbagai hambatan yang memfitnah dan menyesatkan

manusia. Jika seseorang gugur di jalan ini, ia baru dinamai ”pahlawan” (

syahid), artinya ia telah memenuhi kesaksian kepada agama Nya dan menghadap Tuhan Nya.

15

(34)

2. Ujian dan Coba‟an Da‟i

Sebagai pejuang yang berusaha mengkokohkan sistem Islam, tentu

da‟i akan menghadapi berbagai coba‟an dan ujian. Ujian dan coba‟an itu

beraneka ragam dari yang ringan dan yang paling berat. Ujian dan

cobaa‟an ini dapat dipandang sebagai konsekwensi logis dari iman.

Dikatakan demikian, karena iman sesungguhnya bukan hanya kata-kata, tetapi kesanggupan seorang melaksanakan tugas-tugas agama yang timbul dari iman, serta sabar menghadapi berbagai kesulitan dijalan iman itu.16

Ujian dan coba‟an itu sendiri beraneka ragam baik jenis maupun

bentuknya. Menurut Sayyid Quthub, perangkat-perangkat ujian itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun secara umum

ada enam bentuk ujian yang biasa dihadapi para da‟i dan pejuang Islam.

Pertama, ancaman dan siksaan fisik, dalam menghadapi ancaman

ini biasanya da‟i berjuang sendiri, tidak ada orang lain yang

membantunya. Ia sendiri tidak dapat mencegahnya dan tidak ada kekuatan yang dapat digunakan untuk melawan kesewenangan ini, dan ini merupakan ujian yang umum yang dialami oleh para da‟i.17

Kedua, ujian dari keluarga dan orang-orang terdekat, pihak

keluarga bisa mendapat musibah atau kesulitan karena sang da‟i. Menurut

kelazimannya, pihak keluarga akan meminta sang da‟i melakukan berbagi

16

Fi Zhilal, jilid V, h. 2720

17

(35)

kompromi dengan pihak yang memusuhi atau kalau perlu berhenti berdakwah demi keselamatan dan keamanan keluarga.18

Ketiga, ujian kekayaan dan kemewahan duniawi, para pendukung kejahatan, musuh-musuh da‟i justru merupakan orang-orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah. Masyarakat memandang mereka sebagai orang-orang yang berhasil dan sukses. Mereka mendapat

ujian, dihormati dari masyarakat, sebaliknya sang da‟i tidak memiliki apa

-apa dan sama sekali kurang diperhitungkan ia berjuang sendiri, tidak ada orang lain yang membelanya. Juga tidak ada yang memberi apresiasi terhadap nilai kebenaran yang ia bawa, kecuali segelintir orang dari mereka seperjuangan, yaitu orang-orang yang tidak memiliki apa-apa dalam urusan dunia.19

Keempat, ujian keterasingan, seorang da‟i pasti merasa terasing ketika ia melihat lingkungan dan orang-orang disekitarnya tenggelam dalam gelombang kesesatan yang amat dalam. Dia menjadi gelisah dan bingung sendiri, menjadi orang asing di tengah-tengah lingkungannya sendiri.20

Kelima, ujian modernisasi, ujian ini tampak jelas pada masa sekarang ini. Di satu pihak, orang mukmin melihat umat dan bangsa-bangsa lain tenggelam dalam kehinaan. Namun di pihak lain, kehidupan sosial mereka tampak maju dan berbudaya. Dalam kehidupan mereka ada penghargaan dan perlindungan yang tinggi terhadap hak-hak asasi

18

Ibid., h. 2723.

19

Ibid., Fi Zhilal, jilid VI, h. 3288.

20

(36)

manusia. Mereka juga kaya dan kuat. Namun mereka melawan dan memerangi agama dan Tuhan.21

Keenam, ujian dan goda‟an nafsu, ini merupakan ujian yang paling

besar dan paling berat, melebihi ujian-ujian yang lain. Godaan nafsu dapat berwujud konsumerisme, kecintaan yang berlebihan pada tahta dan harta, serta pola hidup yang berorientasi pada kesenangan dan kenikmatan. Godaan nafsu dapat pula berubah kesulitan membangun sikap hidup istiqamah di jalan iman ditambah lagi dengan hambatan baik dari diri sendiri, orang lain, lingkungan, masyarakat, maupun dalam pemikiran dan gagasan. Ujian ini sungguh berat, tidak banyak orang yang dapat bertahan dengan ujian ini, kecuali sedikit orang yang mendapat perlindungan dari Allah SWT.22

Inilah berbagi macam dan bentuk ujian yang biasa dihadapi oleh

para da‟i mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat, serta

ringannya ujian sangat bergantung kepada da‟i tersebut bisa dilihat dari

kualitas iman seseorang, karena makin tinggi kualitas iman seseorang, makin berat pula ujiannya.

Pengemban amanah ini tidak bisa tidak, memerlukan latihan dan pembekalan, baik berupa kesulitan hidup, kemampuan mengendalikan hawa nafs, maupun kesabaran atas duka dan derita. Mereka harus tetap

yakin terhadap pahala dan pertolongan Allah, meskipun ujian dan coba‟an

itu tidak kunjung berakhir, malahan kadang-kadang dalam waktu yang

21

Ibid

22

(37)

cukup lama. Pada waktunya, sesuai dengan kebijaksanaan Tuhan, para da‟i

yang berjuang dijalan Allah akan memetik kemenangan dengan izin dan pertolongan-Nya.

3. Kemenangan da‟i

Dalam Al-Qur‟an terdapat sekian banyak ayat yang menjanjikan kemenangan bagi orang-orang yang menolong Allah SWT. Keterangan mengenai hal ini dapat dibaca, antara lain, dalam surah Muhammad:7, Ghafir:51 dan surah al-Hajj: 40-41. dalam ayat-ayat tersebut kemenangan yang dijanjikan Tuhan dikaitkan dengan perjuangan menolong Allah SWT sehingga timbul pertanyaan bagaiman cara manusia menolong Allah SWT? Menurut Sayyid Quthub, menolong Allah SWT bermakna menolong agama-Nya.

Menolong agama Allah berarti menerima kebenaran agama itu dan mewujudkan dalam kehidupan yang nyata. Untuk keperluan ini, ada dua jalan yang harus dilakukan. Pertama, menolong Allah dengan menolong dirinya sendiri. Kedua, menolong Allah dengan menolong orang lain (umat) dengan mewujudkan sistem atau syariatnya.23

Proses yang pertama (menolong diri sendiri) harus dilakukan dengan memperkuat iman, yaitu iman yang benar-benar bersih dari unsur-unsur

kemusrikan baik kemusrikan yang nyata (jali) maupun yang samar (khafi)24.

23

Ibid., Fi Zhilal jilid VI, h. 3288.

24

(38)

Sedangkan proses yang kedua (menolong orang lain) harus dilakukan dengan membangun dan mewujudkan sistem Islam dalam realitas kehidupan baik dalam tataran individu, keluarga, masyarakat dan umat. Kemashlahatan dan kebaikan yang akan timbul dari tegaknya sistem dan syariat Islam, tentu tidak lagi bersifat personal, melainkan berwujud kebaikan umum yang akan dirasakan oleh setiap orang.25

Dalam surah al-Hajj yang dikutip di atas, Allah memperlihatkan contoh dari orang yang telah menolong agama-Nya, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan melakukan amr

ma‟ruf dan nahi mungkar. Ketiganya merupakan prinsip-prinsip Islam

yang amat penting. Orang-orang yang dalam hidupnya telah berjuang untuk dapat menegakkan ketiganya, mereka diidentifikasi sebagai penolong agama Allah SWT.26

Para da‟i yang berjuang untuk mewujudkan sistem Islam, tentu

merupakan pertolongan agama Allah SWT. Mereka dengan sendirinya berhak mendapat kemenangan sebagaimana dijanjikan. Namun kemenangan ini bukanlah hadiah gratis yang dapat dicapai begitu saja. Untuk menggapainya diperlukan proses perjuangan yang agak panjang dan melelahkan jalan kemenangan itu meliputi iman, jihad, ujian dan coba‟an, sabar dan tahan uji, serta orientasi menuju tuhan semata, lalu setelah itu datang kemenangan dan kenikmatan.27

25

Ibid.

26

Ibid, Fi Zhillah, jilid IV, H. 2427.

27

(39)

31 A. Riwayat Hidup Penulis

1. Kehidupan Awal Muhammad Quraish

Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rampang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 februari 1994, ia keturunan Arab.1 Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab, ádalah seorang rektor IAIN Allaudin Ujung Pandang dan menjadi guru besar dalam bidang dakwah di kampus itu. Bukan itu saja, Abdurrahman Shihab juga seorang wiraswastawan sekaligus mubaligh yang handal. Walaupun beliau Sangat sibuk dalam berbagai hal, tetapi ia tidak lupa mendidik anak-anaknya, seperti Umar Shihab, Alwi Shihab dan Quraish Shihab. Beliau sering mengajak anak-anaknya, untuk menghadiri pengajian dan mendengarkan petuah agama. Hal ini seperti kemukakan Quraish Shihab, yaitu:

“ Sering kali ayah mengajak anak-anaknya bersama . pada saat-saat

inilah beliau menyampaikan petuah keagamaannya. Dari petuah-petuah keagamaanya. Dari petuah-petuah-petuah-petuah tersebut saya banyak mengetahui ayat-ayat Al-Qur‟an atau petuah Nabi, sahabat, atau pakar-pakar

Al-Qur‟an yang ingat detik ini saya masih ingat .dari sanalah benih cinta

tumbuh pada studi Al-Qur‟an.

1

(40)

2. Perjalanan Intelektual Muhammad Quraish Shihab

Ia pertama kali menyelesaikan pendidikannya di sekolah rakyat di Ujung Pandang, kemudian melanjutkannya ke sekolah menengahnya di

padang, sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah

pada tahun 1956-1958. kemudian atas saran ayahnya ia melanjutkan sekolahnya di Kairo, Mesir pada tahun 1958. Di sana ia diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Karena kepiawaiannya, ia masuk Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuludin jurusan Tafsir Hadits dan meraih gelar Lc (S-1) pada tahun 1967. tidak puas dengan gelar yang diraihnya, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dengan mengambil spesialisasi (jurusan) Tafsir Al-Qur‟an. Pada tahun 1969 tepatnya berumur 25 tahun, ia meraih gelar MA, dengan tesis yang berjudul “al-Ijaz al-

Tasyri’iy li Al-Qur’an al-Karim”. setelah itu kembali ke kampung

halamannya, Ujung Pandang.2

Di ujung Pandang, ia mendapat kepercayan untuk menjabat sebagai wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan di IAIN Allaudin, Ujung Pandang, selain itu ia juga menjabat sebagai koordinator Perguruan Tinggi Swasta (wilayah VII Indonesia Bagian Timur) dan pembantu kepolisian Indonesia Bagian Timur bidang pembinaan mental, serta pernah

melakukan penelitian dengan tema “Penerapan kerukunan Hidup

Beragama di Indonesia Bagian Timur (1975), dan “Masalah Wakaf

Sulawesi Selatan (1978).”

2

(41)

Setelah mengabdikan dirinya pada tanah kelahirannya, ia melakukan studinya S-3 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir pada tahun 1980, karena kesungguhan serta kejeniusannya, ia mampu menyelesaikan S-3 nya dalam waktu 2 tahun, tepatnya pada tahun 1982 dengan disertainya yang berjudul “Nazhm al- Durar li al-Biaa’iy Tahqiq wa Dirasah” ia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Qur‟an dengan Yudisium Summa

Cum Laude disertai dengan peringkat I (Mumtaz ma‟a Martabat al-Syaraf

al-„ula ).3 Dengan prestasinya itu ia tercatat sebagai orang yang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.

Pada tahun 1984, ia kembali ke Indonesia kemudian ia mendapat tugas mengajar di Fakultas Ushuluddian dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu ia juga mendapat amanah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat pada tahun 1984, Anggota Lajnah Pentasih Al-Qur‟an Departemen Agama pada tahun 1989 dan Ketua Lembaga Pengembangan. Beliau juga terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari‟ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cenekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di dalam kesibukannya ia aktif dalam kegiatan ilmiah di dalam maupun di luar negeri, dan aktif dalam tulis menulis di berbagai surat kabar seperti Pelita, majalah Ulumul Quran, dan Mimbar Ulama.

3

(42)

B. Pembahasan mengenai tafsir dan perkembangannya

Al-Qur‟an sebagai sumber asasi Islam memuat banyak makna. Hal itu

misalnya sepeerti dikutip Quraish Shihab dari Abdullah Diras, “ayat-ayat

Al-Qur‟an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda

dengan apa yan terpancar dari sudut lainnya. Dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya dari sudut lainnya, maka dia akan

melihat banyak dibanding apa yang kita lihat”. Kekayaan makna itu pula yang

mendorong nabi memerintahkan Muadz bin Jabal menggunakan ijtihad dalam memutus sesuatu yang tidak dapat secara harfiah di dalam Al-Qur‟an. Tidak hanya sebatas itu, tindakan berijtihadnya saja diberi imbalan pahala, lebih-lebih jika ijtihadnya benar, sejalan dengan anjuran Nabi, Ali bin Abi Thalib

menyatakan “Al-Qur‟an baina daftay al-mushaf la yantiq, innama yantiqu

(yatakallamu) bihi ar-rijal”. Artinya manusialah yang bertugas mengungkap pesan Al-Qur‟an agar ia berfungsi memberi petunjuk. Karena itu, makna-makna itu tidak akan membuahkan hasil apa-apa jika tidak digali.

Dalam mengungkap makna pesan Tuhan di dalam Al-Qur‟an dikenal

dua pendekatan, tafsir dan ta‟wil. Dilihat dari segi bahasa, tafsir bermakna

menyingkap, menjelaskan dan menampakan. Dan dilihat dari segi istilah,

(43)

secara ilmiah maupun praksis. Atau memalingkan makna haqiqi pada makna

majazi sebagaimana diteorisasi oleh Ibnu Rusyd.

Dilihat dari sumber penafsirannya, para peneliti tafsir acap kali membedakan dua model tafsir: tafsir bi al-ma’sur yang juga dikenal dengan

tafsir riwayah atau manqul, apabila sumber penafsirannya adalah riwayat-riwayat. Dan tafsir bi ar- ray yang juga dikenal dengan tafsir ma’qul atau

tafsir dirayah, jika sumber yang diambil adalah ijtihad. Sebagai turunan dari kedua model tafsir itu, Hay Farmawi meringkas berbagai metode tafsir menjadi empat macam: tafsir tahlili, tafsir ijmali, tafsir muqarin, dan tafsir

tematik (maudhu’i).

Dikatakan tafsir tahlili apabila ayat-ayat ditafsirkan satu persatu menurut urutannya sebagai mushaf. Atau, menjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap deluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antarpemisah sampai keterkaitan riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi,

Sahabat, tabi‟in dan prosedurnya dengan cara mengikuti urutan mushaf.

Menurut Farmawi, para mufassir berbeda-beda dalam mengoperasionalkan metode ini. Karena itu, lahirlah metode tafsir bi al-ma’sur, tafsir bi ar-ra’yi,

(44)

adalah tafsir yang membahas persoalan-persoalan tertentu dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang senada yang membahas persoalan tertentu.

Sementara itu, dilihat dari tren atau kecenderungan studi Al-Qur‟an mulai klasik hingga kontemporer, Ignaz Goldzhiher mencatat adanya lima kecenderungan, yakni studi Al-Qur‟an tradisional, studi Al-Qur‟an dogmatis, studi Al-Qur‟an mistik, studi Al-Qur‟an sektarian dan studi Al-Qur‟an modern. Kecenderungan sudi Al-Qur‟an modern, oleh Gholdziher dikaitkan dengan gerakan pemikiran yang berkembang di India dan Mesir, kendati dengan titik tolak yang berbeda. Gerakan Islam di India dengan figurnya Ahmad Khan bertolak pada pembaruan pemikiran keislaman dengan figur utamanya Muhammad Abduh. Muhammad Abduh tercatat sebagai pelopor studi Al-Qur‟an modern.

Yang dimaksud studi Al-Qur‟an modern dalam hal ini adalah sebuah

usaha “mengontekskan” Al-Qur‟an dengan tuntutan zaman. Tujuan seperti itu

sebenarnya telah dirintis sejak Zaman Nabi Muhammad. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur‟an merupakan sumber asasi Islam sebagai agama universal, yang acap kali sesuai dengan kepentingan setiap masyarakat, Zaman dan berbagai peradaban, di mana pun dan kapan pun, sehingga ia tetap memberi petunjuk pada mereka dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Tafsir

modern Muhammad Abduh ini kemudian dikenal sebagai tafsir adabi ijtima‟i.

Tafsir adabi ijtima‟i ini mempunyai empat unsur pokok yaitu:

(45)

b. Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Quran dengan susunan kalimat yang indah.

c. Aksentuasi pada tujuan utama di uraikannya.

d. Penafsiran yang dikaitkan dengan sunatullah dalam masyarakat. Kecenderungan tafsir modern dibagi lagi menjadi tiga model, yakni tafsir ilmi, tafsir realis (waqi‟i) dan tafsir sastra (adabi). Secara singkat, ketiga tafsir modern itu dapat di pahami demikian.

Tafsir ilmi berprinsip bahwa Al-Qur‟an mendahului ilmu pengetahuan modern sehingga mustahil Al-Qur‟an bertentangan dengan sains modern.

Tafsir waqi‟i berprinsip Al-Qur‟an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia

dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sehingga ia harus ditafsiri dengan pendekatan tertentuyang membuatnya mampuh menjawab berbagai tantangan yang dihadapi manusia . dan tafsir adabi berprinsip bahwa

Al-Qur‟an merupakan kitab sastra terbesar dan bacaan mulia yang mampu

mempengaruhi jiwa terdalam manusia secara estetik. Berbeda dengan dua model lainnya, model tafsir sastra tidak berpotensi untul menjawab berbagai tantangan yang dihadapi umat manusia sebagaimana pendekatan lainnya, melainkan hendak mengembalikan Al-Qur‟an kepada pesan awalnya yang ditunjukan kepada jiwa pendengar awalnya.

(46)

mengandalkan nalar bayani dan memiliki kecenderungan ideologis. Sedangkan tafsir di era modern tidak lagi bertumpuh pada verbal- tekstual, tetapi telah memanfaatkan metode-metode kontemporer. Kebenaran tafsir era ini diukur melalui apakah sebuah produk tafsir sesuai dengan teori pengetahuan atau tidak. Dan apakah produk tafsir mampuh menjawab persoalan-persoalan sosial keagamaan yang melanda kehidupan masyarakat atau tidak.

C. Ciri-ciri tafsir Al-Misbah

a. Menerangkan arti ayat-ayat Al-Qur‟an dari berbagai segi berdasarkan aturan urutan ayat atau surat dalam mushaf.

b. Menerangkan lebih rinci kandungan lafadznya. c. Adanya muhasabah dengan ayat dan antar surat.

d. Adanya muhasabah dengan hadits-hadits dan pendapat-pendapat para mufasir.

(47)

39

A. Teks Al-Qur’an Surat Al-Muddatsir ayat 1-7 Serta Terjemahnya

1. Teks Ayat dan Terjemahnya















































































Artinya: Wahai orang yang berselubung (1) Bangunlah, lalu peringatkanlah! (2) Dan Tuhan engkau hendaklah engkau agungkan (3) Dan pakaian engkau, hendaklah bersihkan (4) Dan perbuatan dosa hendaklah engkau jauhi (5) Dan janganlah engkau memberi karena ingin balasan lebih banyak(6) Dan hanya kepada Tuhanmu saja maka bersabarlah (7).

2. Asbab Al-Nuzul

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ketika aku seledai uzlah, selama sebulan di gua Hira aku turun kelembah. Setelah sampai ketengah lembah ada yang memanggilku, tetapi aku tidak melihat seorangpun disana. Aku mengadahkan kepalaku kelangit, dan tiba-tiba aku melihat malaikat yang pernah mendatangiku digua hira, aku cepat-cepat pulang dan berkata (kepada orang rumah) “

selimutilah-selimutilah aku” maka turunlah ayat ini surat Al-Mudatsir sebagai perintah

(48)

Diriwayatkan oleh Asyaikhani yang bersumber dari jabir.

Surah ini disepakati oleh ulama turun sebelum Nabi berhijrah, bahkan sekian ayatnya ( ayat 1-7) di nilai oleh banyak ulama sebagai bagian dari wahyu-wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan ada yang berpendapat awal surah ini turun setelah turunnya lima ayat pertama Surah Iqra.

Ditemukan riwayat dalam sahih Bukhari dan sahih Muslim, yang menyatakan bahwa surah al-Muddatsir merupakan wahyu kedua yang diterima Nabi SAW. Memang ada pendapat yang menjadikan surah al-Muzammil sebagai wahyu kedua antara lain didasarkan pada riwayat Ibn Ishaq. Hanya saja walaupun kiah yang diutarakannya mirip dengan kisah turunnya awal surah aal-Muddatsir namun pada akhir redaksi riwayat tersebut ditemukan semacam keraguan dari perawinya, apakah ia Muddatsir atau al-Muzammil.

Hadits yang ditemukan oleh Bukhari dan Muslim menyangkut sejarah turunnya surah ini, justru menjelaskan bahwa surah al-Muddatsir turun sebelum turunnya Iqra, namun ulama-ulama hadits tidak berpendapat demikian, karena mereka menemukan dalam redaksi hadits tersebut suatu petunjuk yang dapat dijadikan dasar bagi pendapat yang menyatakan Iqra adalah wahyu pertama yang turun, apalagi jika dilihat banyaknya riwayat lain yang mendukung kedudukaan surah Iqra sebagai wahyu pertama.

(49)

SAW tidak meneriam wahyu, sehingga kalau surah l-Muddatsir ini akan dinamakan juga surah yang pertama yang turun, maka yang dimaksud surah pertama setelah selang waktu tersebut, bukan yang pertama scara keseluruhan.

Antara al-Muddatsir dan al-Muzammil tidak dapat dipastikan yang mana yang terdahulu dan yang mana yang kemudian. Kisah turunnya sangat mirip, yakni seperti yang diceritakan Jabir di atas. Ayat-ayat awalnya pun berbicara menyangkut hal yang sama. Yaitu pembinaan terhadap diri Rasulullah SAW, dalam rangka menghadapi tugas-tugas penyebaran agama.1

3. Ayat Tentang Bekal Da’i dan penjelasannya

(

1

)   Artinya : “Hai yang berselimut.”

Kata ( ) al-Muddatsir terambil dari kata ( ) iddatsara. Kata ini apapun bentuknya, tidak ditemukkan dalam Al-Qur‟an kecuali sekali, yaitu pada ayat pertama surah ini.Iddatsara berarti mengenakan ( ) ditsar, yaitu sejenis kain yang diletakkan di atas baju yang dipakai dengan tujuan menghangatkan atau dipakai sewaktu berbaring tidur (selimut). Disepakati oleh ulama tafsir bahwa yang dimaksud dengan yang berselimut adalah Nabi Muhammad SAW.

Sabab nuzul yang dikemukakan di atas mengundang kita untuk

memahami kata “berselimut” dalam arti yang hakiki, bukan dalam arti kiasan

seperti “berselubung dengan pakaian keNabian” atau dengan “akhlak yang

mulia” bila kalimat “orang yang berselimut“ dikaitkan lebih jauh dengan sebab

1

(50)

turunnya ayat, maka arti yang ditunjuk oleh peristiwa tersebut adalah orang yang diselimuti. Pengertian ini didukung oleh suatu bacaan yang dinisbahkan kepada

Ikrimah, yaitu: ( ) menyelimuti adalah istri beliau, khadijah ra.

Menyelimuti diri atau diselimuti, tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa takut yang menyelimuti jiwa Nabi Muhammad SAW, beberapa saat sebelum turunnya ayat-ayat ini. biasanya bila seseorang takut, ia akan menutupi dirinya atau ia akan menggigil, dan saat itu selimut akan sangat bermanfaat. Inilah yang tejadi pada diri Nabi Muhammad SAW. Khususnya pada masa awal kedatangan malaikat jibril kepada beliau. Hal ini terbukti setelah mengamati pula surah

Al-Muzzammil yang turun berselang dengan surah ini dan yang artinya sama, yaitu”

orang yang berselimut”.

Perasaan takut yang meliputi diri Nabi Muhammad SAW. Pada awal kedatangan wahyu agaknya disebabkan karena pengalaman pertama beliau alami ketika menerima wahyu Iqra. Beliau dirangkul oleh malaikat sedemikian kuatnya sehingga, seperti yang beliau akui sendiri dalam hadits yang diriwayatkan Bukhariy, “Telah kurasakan (punc

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu modifikasi produk krim probiotik yang telah dimikroenkapsulasi, analisis sifat fisik krim probiotik dan krim non

Ilmu le!ih utama ari harta, karena ilmu akan men*agamu sementara harta malah engkau yang harus men*aganya#!. Ilmu le!ih utama ari harta karena i akherat nanti pemilik harta

lnstitut lnsinyur Wageningen di Hindia Belanda pada tahun 1932 mengungkapkan beberapa keinginan mengenai masa praktek sebagai berikut : "banyak orang menganggap

Aplikasi ini merupakan aplikasi dari analisa yang terjadi di lapangan bagaimana prosedur penyewaan fasilitas yang ada digambarkan ke dalam rancangan sistem

Kepatuhan perawat dalam handover antar shift terhadap keselamatan pasien merupakan bidang baru di dalam pelayanan di rumah sakit, sehingga melalui penelitian ini

Uji aktivitas antibakteri dilakukan untuk mengetahui kombinasi antibiotik gentamisin pada bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus dengan ekstrak kulit biji

Napomena 1.4.2. Primijetimo da se graf na slici 1.3 sastoji od ulaznog sloja te potpuno povezanih slojeva, odnosno, na njemu nisu prikazani aktivacijski slojevi. Aktivacijski

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat motivasi belajar antara mahasiswa yang berasal dari dalam dan luar daerah Jombang