• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artinya: “bagi mereka ganjaran yang tiada putus -putusnya"

2. Menjaga penampilan dan kebersihan

Al-Qur‟an paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu

libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas diremukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukannya sebanyak delapan kali dan sarabil ditemukannya sebanyak tiga kali dalam dua ayat.

Libas pada mulanya berarti penutup apapun yang ditutup, fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi perlu dicatat bahwa ini tidak harus menutup aurat, karena cincin yang menutupi sebagian jari juga disebut libas. Kata libas digunakan oleh Al-Qur‟an untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin.

Sedangkan tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir, kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.

Sarabil, kamus-kamus bahasa mengartikan kata ini sebagai pakaian. Apapun jenis bahannya hanya dua ayat yang menggunakan kata tersebut. Satu diantaranya diartikan sebagai pakaian yang berfungsi menankal sengatan panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan. (QS. An-Nahl:16:81) satu lagi dalam surah (QS.Ibrahim:14:50) tentang siksa yang dialami oleh oang yang berdosa kelak dihari kemudian dalam artian tidak menutup auratnya.

Bahwasanya sama-sama kita ketahui bahwa kebersihan itu sebagian dari pada iman, 0leh karena itu kita dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan baik lahiriah dari segi cara berpakaian, karna pada dasarnya Islam tidak menganjurkan berpakaian mahal ataupun bermerek. Akan tetapi pakaian yang bersih dan menutup auratnya. Adapun dari segi bathiniah yaitu menyucikan hati, jiwa, dan budi pekerti.

Bagi seorang pemimpin sangat dianjurkan untuk menjaga penampilannya, karena ini juga merupakan suatu cara untuk memberikan contoh yang patut diteladani karena ini merupakan penilaian dari segi

penampilan seorang da‟i. di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis

bagi pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian meliternya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kemal Ataturk di turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis tutup kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggntinya dengan topi ala barat, karena tabusy dianggapnya mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan lambang keterbelakangan.

3. Akhlak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. kata akhlak walaupun teambil dari kata bahasa Arab (yang biasa diartikan tabiat, perangai kebiasaan bahkan agama), namun kata seperti itu tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam surah al-Qalam ayat 4.

Bertitik tolak dari pengetian bahasa di atas, yakni akhlak sebagai kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak adalah kelakuan manusia sangat beragam, keragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain kelakuan yaang berkaitan dengan baik dan buruk, serta objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditunjukkan.

Adapun yang tertulis dalam surah al-Muddatsir ayat keenam ini Nabi Muhammad dinjurkan untuk selalu rendah hati, tidak sombong dalam menjalankan dakwahnya, tidak mengharap imbalan dalam berbuat kebaikan dan jangan menganggap usahamu (dakwah) sebagai suatu anugrah yang dimiliki oleh manusia melainkan berupa gaanjaran dari Allah SWT untuk dipertanggung jawabkan dalam menjalankan dakwahnya. Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi oleh sopan-santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya, misalnya yang berkaitan dengan sikap bathin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencangkup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah SWT, hingga kepada sesama makhluk

(manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda yang tak bernyawa sekalipun). Berikut pemaparan sekilas beberapa akhlak islamiyah:

a. Akhlak terhadap Allah SWT.

Titik tolak akhlak tehadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT, Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian agung sifat itu jangankan manusia malaikat pun tidak bisa menjangkau hakikat-Nya.

b. Akhlak terhadap sesama manusia.

Banyaak sekali rincian yang di kemukakan Al-Qur‟an bekaitan denan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk dalam hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang dibelakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberi materi kepada yang disakitinya itu.

c. Akhlak terhadap lingkungan

Yang dimaksud lingkunan disini adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda yang tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur‟an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini bearti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencaapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampuh menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertagung jawab, sehinga ia tidak melakukan pengrusakan, bahkan dengan kata lain,” setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri”

Membentuk bekal spritualnya dalam artian keimanannya, karena kuat atau lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari prilaku akhlaknya. Dengan iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan akhlak yang jahat dan buruk, mudah terkilir pada perbuatan keji yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

4. Sabar

Adapun bekal yang terakhir yang harus dimiliki oleh da‟i yaitu sabar dalam menjalankan syi‟ar agama Islam. Sudah pasti kesabaran ini harus dimiliki oleh da‟i karena mengemban tugas menjadi da‟i bukanlah tugas

yang ringan melainkan amanah yang harus dapat dipertanggung jawabkan baik untuk dirinya sendiri dan pertanggung jawaban kepada Allah SWT.

Pengertian sabar disini bukanlah arti dari segi kelemahan atau menerima apa adanya, akan tetapi adalah perjuangan yang menggambarkan

kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan keinginan nafsunya. Kesabaran disini harus disertai niat karena Allah SWT, karena Nabi pun menjalankan kesabaran ini benar-benar semata-mata karena Allah bukan karena diiming-imingi oleh pencapaian target.

Dengan demikian jika hati sudah mantap dengan langkah yang diambil untuk menjalankan syi‟ar agama Islam sudah barang tentu ujian dan

coba‟an akan datang silih berganti akan tetapi mereka- mereka ini akn

memperoleh kemenangan apabila disertai dengan sabar, karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.5

Kelima bekal ini hanyalah sebagian kecil yang terulis dalam surah al-Muddatsir 1-7, masih banyak lagi ayat- ayat yang menerangkan tentang da‟i

dalam menjalankan dakwahnya.

Seiring berjalannya waktu perubahan sosial budaya dalam masyarakat kita kian terasa, semakin nyata pula gejala yang menuntut agar peran agama

lebih ditingkatkan dan menuntut kehadiran da‟i yang dapat diandalkan. Ini terjadi bukan saja karena kepergian satu persatu da‟i besar sementara penggantinya belum muncul. Tetapi juga dari kualifikasi da‟i yang

diperlukan tidak sederhana yang sudah dihasilkan. Inilah agaknya yang

memperhatikan banyak orang, dengan timbulnya apa yang di sebut dengan ” krisis ulama atau da‟i”. Hemat saya, persoalannya lebih banyak menyangkut

kualitas, intensitas dan efektivitas lembaga-lembaga pendidikan yang kita miliki.

5

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran:Tafsir Maudu‟I atas berbagai persolan umat

Da‟i yang diperlukan pada masa kini dan masa yang akan datang tentu tidak sama dengan da‟i yang sudah dilahirkan pada masa lalu, baik

kualifikasi maupun kapabilitasnya. Karena itu, dengan tidak bermaksud mengingkari prestasi pesantren yang telah berhasil mencetak kiayi dan da‟i

pada masa lalu, tentu saja untuk saat ini tidak dapat bertahan terus dengan sistem pendidikan dan pengajarannyaseperti puluhan tahun yang lalu. Ini dimaksudkan jika pesantren tersebut tidak bermaksud mencetak kiayi atau

da‟i yang terlambat lahir atau dengan kata lain, jika pesantren tetap ingin

mempertahankan dedikasi kiayi dan pengaruhnya yang mengakar.

Seorang da‟i dituntut untuk dapat memahami perkembangan

masyarakatnya. Dalam dunia modern sekarang ini, seorang da‟i tidak dapat

hanya sekedar mendalami ilmu-ilmu fiqih, tafsir, atau hadits saja. Apalagi jika pengetahuannya itu hanya bersifat hafalan yang statis. Untuk menjawab tantangan dan problem masa kini dan masa yang akan datang, diperlukan penguasaan ilmu-ilmu tentang Islam yang lengkap dan dinamis. Di samping perangkat ilmu dan wawasan yang dapat dipakai untuk memahami

perkembangan masyarakat. Dengan demikian da‟i selalu dapat memberikan

bimbingan dan pengarahan yang apat diterima, tidak tertimggal atau terjerat karena pemahaman agama yang statis dan wawasan yang sempit.

Bahan-bahan literatur lama berupa kitab-kitab karya para ulama

terdahulu tetap mempunyai karya ilmiah yang tinggi. Sebagai calon da‟i

yang bersangkutan harus mempelajarinya dengan sikap kritis agar dapat mengetahui bagaimana dan mengapa pengarang tersebut berpendapat

demikian. Sebagai calon da‟i tidak wajar jika terpaku pada satu Imam atau madzhab saja. Ia harus mempunyai wawasan yang menyelami khazanah intelektual yang diwarisi oleh para da‟i terdahuluditambah dengan

pemikiran dan pengetahuan yang tidak kalah penting.

Akhirnya untuk tidak melambung dalam utopia, perlu disadari bahwa

bagaimanapun profil da‟i yang kita idealakan ia tetap manusia biasa dan

tidak mungkin dapat sempurna, ulama hanya pewaris Nabi yang tidak dapat memerankan kenabian dalam seluruh aspek yang ditemukan di atas secara sempurna.

80 A. KESIMPULAN

1. Da’i

Menurut pandangan Muhammad Qurish Shihab, bahwasanya sebagai da’i dalam mensyairkan ajaran agama islam haruslah dibentengi dengan kepribadian da’i itu sendiri, dengan demikian sebagai seorang pemimpin harus mencontoh para nabi-nabi terdahulu dalam menjalankan dakwahnya. Karena sesungguhnya dalam menjalankan dakwah bukanlah hal yang mudah, akan tetapi banyak rintangan dan halangan yang datang silih berganti, ini semua semata-mata untuk menegakkan ajaran agama islam.

Sebagai da’i yang dianggap sebagai panutan umatnya, haruslah dapat menjaga tingkah laku, ucapan, serta perbuatan karena ini semua akan menjadi sorotan umatnya, walau dari juga manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan akan tetapi ini semua dapat diatasi bila da’i tersebut selalu menjaga pola kehidupannya baik pribadinya maupun dalam masyarakat.

2. Bekal Da’i

Sebagai pewaris nabi dalam menjalankan dakwah dan mensyiarkan ajaran agama islam, haruslah mempunyai bekal yang harus dimiliki agar da’i tersebut dapat menjalankan dakwahnya. Dengan berbagai bekal yang dimilikinya baik dalam segi spiritual, moral dan intelektual.

Dari segi spiritual inilah tujuannya hablumminallah dimana terjadinya suatu hubungan yang erat antara keduanya dalam artian beribadah kepada Allah, ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat, karena pada dasarnya sumber kekuatan da’i adalah berasal dari Allah SWT, sehingga sebagai da’i hendaknya mempersiapkan jiwa dan mental mereka dengan iman dan takwa kepada Allah SWT karena ini merupakan bekal utama bagi para da’i.

Dari segi moral, seseorang da’i dituntut untuk menerapkan akhlak yang baik, baik dari segi perkataan, perbuatan maupun tingkah lakunya sehingga dengan demikian dapat menjalankan visi misi Rasulullah SAW untuk menyempurnakan Akhlakul Karimah dan ini semua berkaitan karena kuat lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari perilaku akhlaknya. Akhlak islamiyah dapat terbagi menjadi 3 yaitu akhlak terhadap Allah SWT, Akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap lingkungan.

Dan yang terakhir dari segi intelektual, sebagai da’i haruslah membekali dirinya baik dari ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, karena dengan membekali dirinya dengan ilmu yang dimilikinya maka hidup ini akan semakin terarah. Kehidupan dari zaman ke zaman mengalami perubahan dari segi ilmu pengetahuan, oleh karena itu hendaknya sebagai da’i dapat mengikuti perkembangan yang terjadi khususnya dalam ilmu pengetahun.

B. SARAN-SARAN.

Dengan berakhirnya penulisan skripsi ini, maka penulis menyarankan kepada:

1. Lembaga-lembaga dakwah maupun penerbit-penerbit Islam untuk memberikan perhatian yang lebih, agar buku-buku yang disajikanadalah buku-buku yang sangat bermanfa’at dan diperlikan oleh pembacadalam mensyi’arkan ajaran Islam.

2. Para praktisi khususnya da’i, hendaknya pandai memilih topik sesuai yang dibutuhkan para mad’u (pembaca).

3. Masyarakat dan pembaca buku Islami, khususnya para intelektual

Dokumen terkait