Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, dalam buku konsep Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, berkaitan dengan tanggung jawab
seorang juru dakwah (da‟i) dalam melaksanakan tugasnya. Beliau menyatakan
tujuan, prilaku dan pola pikir, kemudian ikhlas, sabar dan jujur. Juga membekali dengan ilmu serta menguasai dengan teknis berdakwah dan
mengenal mad‟u, di samping itu juga harus menguasai materi dakwah.4
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dakwah yang bermutu ditandai oleh sifat tanggung jawab yang tercermin pada prilaku yang robbany, ikhlas sabar, dan jujur, dapat mengambil keputusan yang berwibawa serta mandiri dan propesional, memiliki keahlian tekhnis mengelolah dakwah, mampu mengajak mad‟u serta menguasai konsep. Dan juga disebutkan bahwa dakwah yang bermutu adalah da‟i yang membuat keputusan secara
profesional, bertanggung jawab dan memberi arahan pada masyarakat
(mad‟u). Sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur‟an pada surat al-Imran
146-148 sebagai berikut:
Artinya: Berapa banyak Nabi yang berperang bersama Robbaniyyin yang banyak, mereka tidak merasa lemah (di depan musuh) karena musibah di jalan Allah, mereka tidak lemah dan tidak merasa kalah (pesimis). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Bukanlah perkataan mereka kecuali (lantunan doa) Ya Robbana
4
Abdurrahman an-Nahlawi, Konsep Manajemen Mutu Dosen, ( Jakarta: logos wacana Ilmu) cet. Ke-1, h.26.
ampunilah dosa-dosa kami, kelebih-lebih sikap kami, teguhkanlah pendirian kami dan bantulah kami atas orang-orang kafir. Maka Allah memberikan balasan (pahala) di dunia dan kebaikan balasan akhirat, dan Allah menyukai orang-orang yang ihsan (QS. Ali Imran: 146-148)
Sifat asasi bagi setiap da‟i tergambar dalam ayat-ayat ini yang
menjelaskan tentang mereka yang mengikuti jejak langkah perjuangan dakwah para Nabi , khususnya Nabi Muhammad SAW.
Ribbiyyun: artinya orang-orang yang Robbaniyyun yaitu memiliki komitmen kuat kepada Allah Robb alam semesta; ada ulama yang menafsirkan Ribbiyun dengan kelompok ulama para pewaris Nabi yang berjuang membela dakwah Islam.
Katsir: banyak, maksudnya adalah para pengikut Nabi itu hendak diperhatikan kuantitasnya, kalau kata Ribbiyyun menerangkan aspek kualitas para pengikut Nabi yaitu Robbaniyyun, maka kata katsir menjelaskan aspek kuantitas para pengikut Nabi.
Sifat-sifat asasi para da‟i di jalan Allah SWT, sebagaimana tersurat dalam ayat-ayat ini adalah:
1.
 ا
, tidak lemah mental saat ditimpahmusibah dijalan Allah, dalam perjuangan mereka hanya menginginkan salah satu dari dua pilihan yang keduanya baik dalam pandangan” mati syahid atau kemenangan” karena kemenangan bagi mereka adalah karunia
Allah dan sekaligus perintahnya untuk terus melanjutkan perjuangan yang masih panjang menuju Ridho-Nya. mati syahid adalah pintu perjumpaan yang sangat mulia untuk bertemu dengan kekasih Allah SWT.
2.
(tidak lemah) Dakwah tidak menempuh jarak sepuluh atau dua puluh kilo meter, jalan dakwah tidak dihiasi bunga dan kenikmatan, tetapi jalan dakwah sarat dengan duri merintang dan hewan-hewan yang senantiasa mengganggu mereka yang melewatinya. Karenanya dakwah dalam mencapai tujuannya memerlukan orang-orang yang tangguh dankuat dari segi fisik, dengan fisik yang sehat dan kuat para da‟i itu
diharapkan dapat melewati rintangan dan cobaan dalam dakwah dengan penuh keikhlasan dan ketabahan.
3.
(tidak tunduk kepada musuh). Diantara cobaan dalam dakwah adalah rayuan dan iming-iming yang dilakukan musuh-musuhdakwah untuk memperdayakan para da‟i, agar merek dengan leluasa
melakukan kehendak dan keinginan mereka dalam menyebarkan kebatilan di muka bumi. Secara kontekstual ayat ini memberikan pengertian bahwa
hendaknya da‟i tidak boleh menjadi orang yang lemah operasional, dalam beraktifitas setiap da‟i dituntut untuk dinamis, proaktif dan kreatif
inovatif, sehingga tidak mudah dirayu dan diperdayakan oleh orang-orang yang tidak suka kepada dakwah Islam.
4.
 َ  
(perkataan mereka tidak lainadalah permohonan ampunan Allah). Mengapa da‟i masih juga memohon
ampun kepada Allah SWT? bukankah ia sudah banyak berbuat untuk banyak memperoleh pahala dari Allah? oh tiada demikian halnya da‟i
merasa amalnya kecil dan lemah dihadapan Allah yang maha kuasa dan perkasa. Karenanya ia selalu tetap memohon ampunan kepadaNya, seperti
sang teladan para da‟i Rasulullah SAW tidak kurang dari 70 kali dalam
sehari beliau membaca istighfar, di samping senantiasa meningkatkan amal-amal ibadahnya. Ketika beliau ditabya mengapa engkau masih melakukan hal itu, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa sebelum
dan sesudahnya? Nabi SAW menjawab: ” kenapa aku tidak menjadi
hamba yang pandai bersyukur? Maksudnya : ampunan Allah SWT adalah karunia dan anugrah dariNya, maka setiap anugrah itu harus disyukuri dengan terus meningkatkan amal penghambaan kepadaNya.
Merealisasi hal-hal di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan, sangat membutuhkan kerja keras dan keseriusan aktivitas juga memerlukan kebersihan hati, niat dan motivasi. Beratnya realisasi itu bukan berarti tidak ada upaya merealisasinya.5
Menurut pandangan Paradigma Dakwah Sayyid Quthub bahwasanya kedudukan Akhlak dihadapan Allah sangat jelas tingginya dan Akhlak merupakan salah satu prinsip yang amat penting dalam agama Islam, terlebih
lagi seorang da‟i, lebih lanjut lagi Sayyid Quthub menegaskan sebagai berikut:
Barang siapa memperhatikan agama Islam dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, ia akan mengetahui bahwa akhlak merupakan salah satu ajaran dasar Islam yang terang benderang yang di atasnya dibangun prinsip-prinsip penetapan hukum dan pendidikan moral Islam. Dakwah dalam agama
5
ini, adalah seruan keras (besar) kepada kesucian moralitas, kebersihan, amanah, kejujuran, keadilan, kasih sayang, kebajikan, tepat janji, integritas (kesesuaian perkataan dengan tingkah laku perbuatan dan kesesuaian keduanya dengan tingkah laku dan hati nurani), dan mencegah manusia dari tindakan sewenang-wenang, zhalim, menipu, curang, makan harta manusia dengan bathil, menodai kehormatan manusia, dan mencegah berkembangnya perbuatan asusila dalam bentuk apapun.penetapan hukum dan undang-undang Islam ini menurut Sayyid Quthub dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi prinsip-prinsip moralitas. ini juga dimaksudkan agar nilai-nilai akhlak itu tetap terjaga dan terpelihara baik dalam rasa, jiwa, dan perilaku, maupun dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat, baik dalam masalah pribadi, sosial- kemasyarakatan. Maupun dalam masalah bangsa dan Negara.6
Adapun Akhlak da‟i dalam pandangan Sayyid Quthub sebagai berikut:
1. Kasih sayang
Menurut Sayyid Quthub, diantara sifat- sifat mulia yang amat penting dan mutlak harus dimiliki seorang da‟i adalah sifat kasih sayang (rahmah),
seperti kasih sayang yang dimiliki dan diperlihatkan oleh pelaku dakwah yang pertama, yaitu Rasulullah SAWdimana kasih sayang Nabi yang luas dan lapang. Dikatakan bahwa Rasulullah SAW, tidak pernah marah karena dirinya sendiri, tidak pula sempit dada karena kesalahan atau kelemahan orang lain. Beliau tidak pernah berebut sesuatu yang bernilai duniawi untuk kepentingan dirinya. Bahkan beliau memberikan semua yang
6
dimilikinya untuk orang lain dengan lapang dada dan penuh kesenangan. Manusia dapat menikmati kesantunan beliau, kasih sayang, dan keluhuran budi pekerti beliau. Setiap orang yang pernah berteman atau bergaul dengan Nabi, ia pasti terkesan dan jatuh hati kepada beliau, ini tidak terlepas dari keluhuran budi pekerti beliau dan kasih-sayangnya.7
Pentingnya kasih sayang ini, menurut pemikiran Sayyid Quthub, dapat dilihat dari sudut kepentingan da‟i dan mad‟u itu sendiri. Dari sudut kepentingan da‟i dapat ditegaskan bahwa kasih sayang bukan hanya diperlukan, tetapi merupakan kebutuhan bagi seorang da‟i. hal ini karena
da‟i pada dasarnya seorang pemimpin, pembimbing rohani, pengajar dan
pendidik (mu‟allim wa murabbi). Dalam kedudukan dan kapasitasnya
sebagai semua itu, da‟i merupakan orang pertama yang harus memiiki sifat
kasih sayang dan mewujudkan kasih sayang itu dalam proses dakwah yang harus dilakukan.
Dari sudut kepentingan mad‟u, kasih sayang diperlakukan karena
watak dan jiwa manusia mengalami perkembangan. pada kenyataannya jiwa manusia tidaklah sempurna. Namun, dalam waktu yang bersamaan, jiwa itu menerima pertumbuhan dan perkembangan sehingga mencapi tingkat kesempurnaan tertentu. Dalam suatu komunitas pastilah di situ terdapat orang-orang yang memiliki kelemahan dan kekurangan.
Al-Qur‟an sendiri sama sekali tidak menyangkal kenyataan ini.8
2. Integritas (Keutuhan Pribadi)
7
Sayyid Quthub,Ibid, Fi Zhilal, jilid 1, h. 500-501
8
Di samping kasih sayang, seorang da‟i harus pula memiliki integritas atau keutuhan pribadi. Integritas mengandung beberapa makna, antara lain, keterpaduan, kebulatan, keutuhan, jujur dan dapat dipercaya. Dalam pengertian ini, orang yang memiliki integritas adalah orang yang pada dirinya berpadu dan bersatu antara kata dan perbuatan. Dengan kata lain, ia bersifat benar dan jujur, serta jauh dari sifat dusta.9
Menurut Sayyid Quthub, integritas menunjuk pada sikap konsistensi dan persesuaian antara kata dan perbuatan dan antara keduanya dengan hati nurani. Dalam Integritas itu mengandung makna kejujuran (al-shidq) dan konsistensi ( al- Istiqomah) dalam memperjuangkan kebenaran. Kedua sifat ini, menurut Sayyid Quthub, adalah orang yang dimensi batinnya sama dengan dimensi lahirnya dan laku perbuatannya sama dengan perkataanya.10
Oleh larena itu tanpa kejujuran dan integritas, kata-kata para da‟i dan
pemuka agama itu, meski amat indah dan dengan retorika tinggi, tidak akan ada pengaruhnya apa-apa. Bahkan, tidak seorangpun dapat mendengar dan mempercayai ucapan mereka, kecuali mereka mampuh membuktikan diri menjadi terjemah hidup dari apa yang mereka katakan dan mewujudkan dalam kehidupan nyata. ketika itu, masyarakat (mad‟u)
dapat mendengar dan mempercayai perkataan mereka dan memegang teguh janji dan seruan mereka.11
9
Depdikbud, Kamus Besar, op.cit., h. 335
10
Sayyid Quthub, Fi Zhilal, op.cit., jilid VI, h. 3553
11
Seperti halnya Al-Qur‟an Hadits (al-sunnah), menurut Sayyid Quthub, juga memberikan perhatian besar terhadap pembentukan pribadi muslim yang memiliki integritas tinggi. Perhatian itu menurutnya, dapat dilihat dari keterangan Nabi tentang ciri-ciri orang munafik, yaitu dusta, tidak tepat janji, dan khianat (tidak amanah). Sayyid Quthub juga mengutip hadits riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari Abd Allah Ibn Amir ibn Rabiah yang dianggapnya amat mengesankan dalam masalah ini.12
3. Kerja Keras
Sifat lain yang harus dimiliki seorang da‟i ialah sikap sungguh
-sungguh dan kerja keras (al-jidd wa‟amal). Sifat ini mengharuskan para
da‟i untuk menggunakan waktunya secara efisien bagi kepentingan
dakwah. Ia harus menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia dan tidak berguna. Ini berarti kerja keras harus menjadi watak pribadi muslim,
terlebih lagi para da‟i.13
Menurut Sayyid Quthub, keharusan kerja keras ini, merupakan tuntutan dari sistem Islam itu sendiri. yaitu sistem hidup yang realistik yang tidak mungkin diwujudkan hanya angan-angan dan ilusi semata. Islam adalah aqidah dan perbuatan atau kerja (amal) yang membuktikan aqidah itu. Komitmen seorang terhadap aqidah Islam harus ditunjukkan
12
Ibid., Fi Zhilal, jilid VI, H. 3553.
13
melalui perbuatan yang dapat dilihat oleh Allah, Rasulullah SAW dan kaum muslimin.14
Bagi seorang da‟i tuntutan kerja keras ini makin tinggi. Hal ini
karena seorang da‟i pada dasarnya tidak tidak bekerja dan tidak hidup
untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain, (umat). Oleh karena itu, ia harus mampuh mengatur waktunya secara efisien bagi kepentingan dakwah dan harus menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermakna dan sia-sia.
C. Perjuangan Da’i
Dakwah sebagai usaha membangun sistem Islam pada dasarnya
merupakan suatu proses perjuangan yang amat panjang. Dalam proses ini da‟i
tidak saja memerlukan berbagai bekal seperti telah dijelaskan, tetapi juga membutuhkan komitmen perjuangan yang amat tinggi. Hal ini karena dakwah pada dasarnya identik dengan perjuangan itu sendiri. Dalam kaitan ini, cukup beralasan bila Sayyid Quthub memposisikan da‟i sebagai pejuang (mujahid).
Sebagai mujahid, da‟i tentu harus bekerja keras dan berjuang tanpa kenal lelah
sepanjang hayatnya.
Dalam pemikiran Sayyid Quthub, perjuangan da‟i dapat dilihat, antara
lain, dari tiga bentuk, pertama, dari kesaksian (komitmen) yang ia tunjukkan kepada Islam. Kedua, dari pengorbanan dan kesanggupan menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Ketiga, perjuangan itu pada akhirnya harus
14
mencapai kemenangan, tentu dengan izin pertolongan Allah SWT. Berikut disajikan tiga bentuk perjuangan itu secara berurutan.
1. Kesaksian Da‟i
Kesaksian (syahadah) sebagai ungkapan keimanan kepada Allah dan Rasul, ini merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Semua bangunan Islam yang meliputi ibadah, syariah dan mu‟amalah. Dalam
pengertian ini syahadat bukan kesaksian yang bersifat verbalistik semata, melainkan sebuah komitmen dari setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul untuk secara sungguh-sungguh dan konsisten mengembangkan sistem hidup Islam.15
Kesaksian sebagai bagian tak terpisahkan dari proses dakwah itu sendiri, memiliki tahapan-tahapanya sendiri. Kesaksian itu harus dimulai dari diri sendiri, keluarga dan sanak famili atau kerabat. Semua ini harus menunjukkan sistem Islam dan menjadi terjemah yang baik dari Islam. Selanjutnya, dengan mengajak orang lain atau umat agar mewujudkan Islam dari berbagi segi kehidupan baik menyangkut masalah pribadi, kemasyarakatan, ekonomi maupun politik. Lalu tahapan terakhir, kesaksian itu ditunjukkan dengan perjuangan atau jihad untuk menghilangkan berbagai hambatan yang memfitnah dan menyesatkan
manusia. Jika seseorang gugur di jalan ini, ia baru dinamai ”pahlawan” (
syahid), artinya ia telah memenuhi kesaksian kepada agama Nya dan menghadap Tuhan Nya.
15
2. Ujian dan Coba‟an Da‟i
Sebagai pejuang yang berusaha mengkokohkan sistem Islam, tentu
da‟i akan menghadapi berbagai coba‟an dan ujian. Ujian dan coba‟an itu
beraneka ragam dari yang ringan dan yang paling berat. Ujian dan
cobaa‟an ini dapat dipandang sebagai konsekwensi logis dari iman.
Dikatakan demikian, karena iman sesungguhnya bukan hanya kata-kata, tetapi kesanggupan seorang melaksanakan tugas-tugas agama yang timbul dari iman, serta sabar menghadapi berbagai kesulitan dijalan iman itu.16
Ujian dan coba‟an itu sendiri beraneka ragam baik jenis maupun
bentuknya. Menurut Sayyid Quthub, perangkat-perangkat ujian itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun secara umum
ada enam bentuk ujian yang biasa dihadapi para da‟i dan pejuang Islam. Pertama, ancaman dan siksaan fisik, dalam menghadapi ancaman
ini biasanya da‟i berjuang sendiri, tidak ada orang lain yang
membantunya. Ia sendiri tidak dapat mencegahnya dan tidak ada kekuatan yang dapat digunakan untuk melawan kesewenangan ini, dan ini merupakan ujian yang umum yang dialami oleh para da‟i.17
Kedua, ujian dari keluarga dan orang-orang terdekat, pihak
keluarga bisa mendapat musibah atau kesulitan karena sang da‟i. Menurut kelazimannya, pihak keluarga akan meminta sang da‟i melakukan berbagi
16
Fi Zhilal, jilid V, h. 2720
17
kompromi dengan pihak yang memusuhi atau kalau perlu berhenti berdakwah demi keselamatan dan keamanan keluarga.18
Ketiga, ujian kekayaan dan kemewahan duniawi, para pendukung kejahatan, musuh-musuh da‟i justru merupakan orang-orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah. Masyarakat memandang mereka sebagai orang-orang yang berhasil dan sukses. Mereka mendapat
ujian, dihormati dari masyarakat, sebaliknya sang da‟i tidak memiliki apa
-apa dan sama sekali kurang diperhitungkan ia berjuang sendiri, tidak ada orang lain yang membelanya. Juga tidak ada yang memberi apresiasi terhadap nilai kebenaran yang ia bawa, kecuali segelintir orang dari mereka seperjuangan, yaitu orang-orang yang tidak memiliki apa-apa dalam urusan dunia.19
Keempat, ujian keterasingan, seorang da‟i pasti merasa terasing
ketika ia melihat lingkungan dan orang-orang disekitarnya tenggelam dalam gelombang kesesatan yang amat dalam. Dia menjadi gelisah dan bingung sendiri, menjadi orang asing di tengah-tengah lingkungannya sendiri.20
Kelima, ujian modernisasi, ujian ini tampak jelas pada masa sekarang ini. Di satu pihak, orang mukmin melihat umat dan bangsa-bangsa lain tenggelam dalam kehinaan. Namun di pihak lain, kehidupan sosial mereka tampak maju dan berbudaya. Dalam kehidupan mereka ada penghargaan dan perlindungan yang tinggi terhadap hak-hak asasi
18
Ibid., h. 2723.
19
Ibid., Fi Zhilal, jilid VI, h. 3288.
20
manusia. Mereka juga kaya dan kuat. Namun mereka melawan dan memerangi agama dan Tuhan.21
Keenam, ujian dan goda‟an nafsu, ini merupakan ujian yang paling
besar dan paling berat, melebihi ujian-ujian yang lain. Godaan nafsu dapat berwujud konsumerisme, kecintaan yang berlebihan pada tahta dan harta, serta pola hidup yang berorientasi pada kesenangan dan kenikmatan. Godaan nafsu dapat pula berubah kesulitan membangun sikap hidup istiqamah di jalan iman ditambah lagi dengan hambatan baik dari diri sendiri, orang lain, lingkungan, masyarakat, maupun dalam pemikiran dan gagasan. Ujian ini sungguh berat, tidak banyak orang yang dapat bertahan dengan ujian ini, kecuali sedikit orang yang mendapat perlindungan dari Allah SWT.22
Inilah berbagi macam dan bentuk ujian yang biasa dihadapi oleh
para da‟i mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat, serta
ringannya ujian sangat bergantung kepada da‟i tersebut bisa dilihat dari
kualitas iman seseorang, karena makin tinggi kualitas iman seseorang, makin berat pula ujiannya.
Pengemban amanah ini tidak bisa tidak, memerlukan latihan dan pembekalan, baik berupa kesulitan hidup, kemampuan mengendalikan hawa nafs, maupun kesabaran atas duka dan derita. Mereka harus tetap
yakin terhadap pahala dan pertolongan Allah, meskipun ujian dan coba‟an
itu tidak kunjung berakhir, malahan kadang-kadang dalam waktu yang
21
Ibid
22
cukup lama. Pada waktunya, sesuai dengan kebijaksanaan Tuhan, para da‟i
yang berjuang dijalan Allah akan memetik kemenangan dengan izin dan pertolongan-Nya.
3. Kemenangan da‟i
Dalam Al-Qur‟an terdapat sekian banyak ayat yang menjanjikan kemenangan bagi orang-orang yang menolong Allah SWT. Keterangan mengenai hal ini dapat dibaca, antara lain, dalam surah Muhammad:7, Ghafir:51 dan surah al-Hajj: 40-41. dalam ayat-ayat tersebut kemenangan yang dijanjikan Tuhan dikaitkan dengan perjuangan menolong Allah SWT sehingga timbul pertanyaan bagaiman cara manusia menolong Allah SWT? Menurut Sayyid Quthub, menolong Allah SWT bermakna menolong agama-Nya.
Menolong agama Allah berarti menerima kebenaran agama itu dan mewujudkan dalam kehidupan yang nyata. Untuk keperluan ini, ada dua jalan yang harus dilakukan. Pertama, menolong Allah dengan menolong dirinya sendiri. Kedua, menolong Allah dengan menolong orang lain (umat) dengan mewujudkan sistem atau syariatnya.23
Proses yang pertama (menolong diri sendiri) harus dilakukan dengan memperkuat iman, yaitu iman yang benar-benar bersih dari unsur-unsur
kemusrikan baik kemusrikan yang nyata (jali) maupun yang samar (khafi)24.
23
Ibid., Fi Zhilal jilid VI, h. 3288.
24
Sedangkan proses yang kedua (menolong orang lain) harus dilakukan dengan membangun dan mewujudkan sistem Islam dalam realitas kehidupan baik dalam tataran individu, keluarga, masyarakat dan umat. Kemashlahatan dan kebaikan yang akan timbul dari tegaknya sistem dan syariat Islam, tentu tidak lagi bersifat personal, melainkan berwujud kebaikan umum yang akan dirasakan oleh setiap orang.25
Dalam surah al-Hajj yang dikutip di atas, Allah memperlihatkan contoh dari orang yang telah menolong agama-Nya, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan melakukan amr
ma‟ruf dan nahi mungkar. Ketiganya merupakan prinsip-prinsip Islam
yang amat penting. Orang-orang yang dalam hidupnya telah berjuang untuk dapat menegakkan ketiganya, mereka diidentifikasi sebagai penolong agama Allah SWT.26
Para da‟i yang berjuang untuk mewujudkan sistem Islam, tentu
merupakan pertolongan agama Allah SWT. Mereka dengan sendirinya berhak mendapat kemenangan sebagaimana dijanjikan. Namun kemenangan ini bukanlah hadiah gratis yang dapat dicapai begitu saja. Untuk menggapainya diperlukan proses perjuangan yang agak panjang dan melelahkan jalan kemenangan itu meliputi iman, jihad, ujian dan coba‟an,
sabar dan tahan uji, serta orientasi menuju tuhan semata, lalu setelah itu datang kemenangan dan kenikmatan.27
25
Ibid.
26
Ibid, Fi Zhillah, jilid IV, H. 2427.
27
31 A. Riwayat Hidup Penulis
1. Kehidupan Awal Muhammad Quraish
Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rampang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 februari 1994, ia keturunan Arab.1 Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab, ádalah seorang rektor IAIN Allaudin Ujung Pandang dan menjadi guru besar dalam bidang dakwah di kampus itu. Bukan itu saja, Abdurrahman Shihab juga seorang wiraswastawan sekaligus mubaligh yang handal. Walaupun beliau Sangat sibuk dalam berbagai hal, tetapi ia tidak lupa mendidik anak-anaknya, seperti Umar Shihab, Alwi Shihab dan Quraish Shihab. Beliau sering mengajak anak-anaknya, untuk menghadiri pengajian dan mendengarkan petuah agama. Hal ini seperti kemukakan Quraish Shihab, yaitu:
“ Sering kali ayah mengajak anak-anaknya bersama . pada saat-saat