• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ciri-ciri Ulama Al Jam’iyatul Washliyah

BAB II PERANAN LEMBAGA PENDIDIKAN AL JAM’IYATUL

C. Tipologi Ulama Al Jam’iyatul Washliyah

2. Ciri-ciri Ulama Al Jam’iyatul Washliyah

Sejarah perkembangan dan penyebaran Islam di Nusantara, mencatat bahwa ulama yang membawa ajaran tersebut memiliki ciri-ciri khusus, baik dari aliran dan ajaran yang disampaikan, cara berpakaian dan metode dakwah yang dilakukan, begitu juga ulama yang ada di Sumatera Utara. Ulama Al Jam’iyatul Washliyah memiliki beberapa perbedaan yang membedakan dengan ulama dari beberapa organisasi Islam lain yang ada di Sumatera Utara. Hal ini dapat dilihat dari keterangan yang disampaikan oleh Ramli Abdul Wahid dalam sebuah makalah yang dipaparkan pada acara: Penyamaan Persepsi di Kalangan Para Dai Al Jam’iyatul Washliyah di Kantor Wilayah Al Jam’iyatul Washliyah, bertempat di Medan pada tanggal 27 Juli 2011.

Ulama Al Jam’iyatul Washliyah akan mudah sekali dikenali dari beberapa hal, di antaranya adalah penampilan dan isi dakwah/ceramah. Ramli Abdul Wahid, menjelaskan bahwa berdasarkan pengalamannya dalam mengamati beberapa penampilan para ulama Al Jam’iyatul Washliyah mulai dari tahun

149

an sampai tahun 2015, maka penampilan para ulama dari kalangan Al Jam’iyatul Washliyah dapat dicatat sebagai berikut:

Ustaz dan dai Al Jam’iyatul Washliyah biasanya pakai kain sarung, baju jas atau safari lengan panjang, selempang serban, dan pakai peci. Waktu berkhutbah tidak memakai peci dan jubah. Khatib memegang tongkat bila disediakan di tangga mimbar. Dai Al Jam’iyatul Washliyah tidak memakai dasi dan ketika khutbah tidak mengangkat-angkat tangan sebagai isyarat untuk mendukung isi khutbahnya, tetapi bergerak dan mengangkat-angkat tangan dalam ceramah. Sesekali ia bercanda sekedarnya, tidak terlalu sering dan tidak membumbuinya dengan kisah-kisah bohong.184

Di samping penampilan yang memiliki perbedaan dengan style atau gaya dengan ulama lain, ulama Al Jam’iyatul Washliyah juga dapat dibedakan dari isi ceramah serta metode dakwahnya. Hal ini dijelaskan oleh Ramli Abdul Wahid, sebagai berikut:

Ustaz dan dai Al Jam’iyatul Washliyah memulai ceramahnya langsung dengan salam tanpa didahului basmalah atau kata-kata penghormatan, pendahuluan ceramah tidak terlalu spesifik. Biasanya penceramah membaca hamdalah, shalawat atas Nabi, keluarganya dan para sahabat-sahabatnya. Setelah itu biasanya membaca ayat landasan Al Jam’iyatul Washliyah:

ٍميِلَأ ٍباَذَع ْنِّم مُكيِجنُت ٍةَراَِتج ىَلَع ْمُكُّلُدَأ ْلَه اوُنَمَآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

.

ِهَّللاِب َنوُنِمْؤُ ت

ْمُكِلاَوْمَأِب ِهَّللا ِليِبَس ِفي َنوُدِهاَُتجَو ِهِلوُسَرَو

َنوُمَلْعَ ت ْمُتنُك نِإ ْمُكَّل ٌرْ يَخ ْمُكِلَذ ْمُكِسُفنَأَو

.

Berbeda dengan dai Muhammadiyah, biasa membaca

ا ِهِدْهَ ي ْنَم ،اَنِسُفْ نَأ ِروُرُش ْنِم ِهَّللاِب ُذوُعَ نَو ،ُهُرِفْغَ تْسَنَو ُهُنيِعَتْسَنَو ُهُدَمَْنَ ،ِهَّلِل َدْمَْلحا

،ُهَّلل

َّلِضُم لاَف

َنَسْحَأَو ،ِهَّللا ُباَتِك ِثيِدَْلحا َقَدْصَأ َّنِإف ،ُهَل َيِداَه لاَف ،ْلِلْضُي ْنَمَو ،ُهَل

ُّلُكَو ،ٌةَل َلاَض ٍةَعْدِب ُّلُكَو ٌةَعْدِب ٍةَثَدُْمح ُّلُكَو ،اَهُ تاَثَدُْمح ِروُمُْلأا ُّرَشَو ،ٍدَّمَُمح ُيْدَه ِيْدَْلها

ِراَّنلا ِفي ٍةَل َلاَض

.

Ulama Al Jam’iyatul Washliyah bila membaca ayat dan tidak menyebut surah dan nomor ayat. Demikian juga hadis tanpa menyebutkan periwayatnya dan nilainya. Ustaz dan dai Muhammadiyah selalu menyebut surah dan nomor ayatnya, sedang hadis disertai dengan periwayat dan kadang-kadang nilainya.185

184

Ramli Abdul Wahid, Ciri-ciri Dakwah di Kalangan Al Washliyah (Makalah tidak diterbitkan).

150

Ulama Al Jam’iyatul Washliyah, sudah dapat dibedakan dari awal ceramahnya, hal ini sudah kelihatan dari mukadimah ulama tersebut. Selanjutnya, akan dilihat dari isi pembahasan atau materi ceramah yang disampaikan. Ramli Abdul Wahid, menjelaskan sebagai berikut:

Isi ceramah atau khutbah selalu berkisar di seputar iman, ibadah, akhlak dan tasawuf dalam akidah Ahl as-Sunah wa al-Jamā‘ah dan fikih mazhab Syafi‘i. Waktu berdiri khutbah memegang tongkat bila disediakan di tangga mimbar, dan menyertakan lafaz Sayyidina kepada nama Nabi Muhammad. Ulama atau ustaz Al Jam’iyatul Washliyah selalu dalam bahasa Arab, tidak dalam bahasa Indonesia. Tolak bala dengan menelungkupkan telapak tangan. Khutbah kedua selalu dibaca lengkap. Sebelum doa untuk kaum Muslimin dan Muslimat dibaca doa untuk khalifah yang empat, Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Disambung lagi doa untuk yang enam sisa dari 10 (sepuluh) sahabat yang dijamin masuk Surga oleh Rasul saw, yaitu Talhah, az-Zubair, Sa’d, Sa’id, Abdur-Rahman ibn Auf dan Abu Ubaidah ibn Jarrah. Kemudian doa untuk Mukmin laki-laki dan Mukmin perempuan, doa ditutup dengan kata-kata

‘ibadallah’, kemudian dilanjutkan:

اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي ِِّبَِّنلا ىَلَع َنوُّلَصُي ُهَتَكِئلاَمَو َهَّللا َّنِإ

اًميِلْسَت اوُمِّلَسَو ِهْيَلَع اوُّلَص

.

Baca salawat atas Nabi saw, baca:

ِرَكنُمْلاَو ءاَشْحَفْلا ِنَع ىَهْ نَ يَو َبَْرُقْلا يِذ ءاَتيِإَو ِناَسْحِلإاَو ِلْدَعْلاِب ُرُمْأَي َهَّللا َّنِإ

َنوُرَّكَذَت ْمُكَّلَعَل ْمُكُظِعَي ِيْغَ بْلاَو

ِزَي للها ُرُكْذَف

ْمُكْد

ُرَ بْكَأ ِهَّللا ُرْكِذَلَو

.

Baca basmalah di awal al-Fatihah secara nyaring. Baca surah selalu surah secara lengkap karena memandang membaca surah secara lengkap afdhal (lebih utama) daripada membaca beberapa ayat dari bagian surah. Membaca al-Fatihah dan surah dilagukan dengan lagu lokal, tidak meniru lagu-lagu daerah lain. Beda dari khatib Muhammadiyah yang selalu singkat saja, tanpa doa untuk khalifah dan sahabat yang enam lainnya. Biasanya, setelah membaca ayat:

ُي ُهَتَكِئلاَمَو َهَّللا َّنِإ

اًميِلْسَت اوُمِّلَسَو ِهْيَلَع اوُّلَص اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي ِِّبَِّنلا ىَلَع َنوُّلَص

Kemudian mereka juga membaca:

ِراَصْبَْلأا ِلِوُأ اَي اوُِبرَتْعاَف

.

186

Ramli Abdul Wahid, juga menambahkan bahwa pada penutup ceramah: Ulama Al Jam’iyatul Washliyah selalu membaca “wabillahi tawfiq wal

hidayah” dan ada juga yang membaca “nasrum minallahi wa fathum qarib wa basysyiril mukminin”. Ulama NU seragam menutup pidato dan ceramah

151

dengan kalimat “wallahul muwafiq ila aqwamith thariq”. Sementara dai Muhammadiyah menutup ceramahnya dengan kalimat “fastabiqul khairat”.187

Penggunaan kalimat nasrum minallahi wa fathum qarib wa basysyiril

mukminin, menurut Mukhtar Amin:

Lebih sering dipraktikkan oleh ustaz-ustaz belakangan ini. Pada masa Ustaz Muhammad Arsyad Thalib Lubis dan beberapa ustaz lain seperti Ustaz Mahmud Syihabuddin dan Ustaz Arifin Isa masih hidup tidak pernah menggunakan kalimat-kalimat tersebut secara khusus dalam ceramah-ceramah mereka. Penggunaan kalimat tersebut adalah sebagai kelanjutan dari ayat pembukaan yang selalu dibaca pada awal ceramah, karena mengandung nilai perjuangan yang sama.188

Tidak hanya dari cari berpakaian dan isi ceramah yang disampaikan, ulama Al Jam’iyatul Washliyah juga akan kelihatan perbedaannya dengan ulama lain dengan cara melaksanakan salat dan zikir-zikir yang dilakukan setelah selesai salat fardu lima waktu. Hal ini juga diterangkan oleh Ramli Abdul Wahid, \ berikut ini:

Ulama Al Jam’iyatul Washliyah membaca zikir sesudah salat secara berjemaah dan doa berjemaah. Doanya selalu juga dua kali dengan diselingi membaca al-Fatihah di antara dua doa itu. Tapi doa kedua singkat saja. Sementara ulama NU hanya satu kali saja secara berjemaah. Adapun dai Muhammadiyah membaca zikir dan doa secara sendirian dan secara pelan.189

Perbedaan lain juga akan kelihatan di saat memasuki bulan suci Ramadhan, khususnya ketika melaksanakan salat tarawih. Ramli Abdul Wahid, juga menjelaskan sebagai berikut: Ulama Al Jam’iyatul Washliyah membawakan salat tarawih 20 rakaat, salat witir 3 rakaat dengan 2 salam. Sementara dai Muhammadiyah qiyamul lail 8 rakaat dengan empat-empat rakaat tanpa diselingi salawat dan doa. Witirnya 3 rakaat dengan satu kali salam dan tanpa doa berjemaah.190

187 Ibid.

188 Mukhtar Amin, mantan Kepala Madrasah al-Qismul Ali Al Jam’iyatul Washliyah Jalan Ismailiyah Medan, wawancara di Medan tanggal 15 Februari 2016.

189

Ramli Abdul Wahid, Ciri-ciri Dakwah di Kalangan Al Washliyah (Makalah tidak diterbitkan).

152

Fenomena ini sudah menjadi pemandangan umum di tengah masyarakat Sumatera Utara. Lambat laun perbedaan-perbedaan ini sudah menjadi semacam tradisi yang terjaga dengan baik dan tidak mengalami gesekan antara Al Jam’iyatul Washliyah dengan organsisasi Islam lainnya. Ramli Abdul Wahid, menyatakan bahwa:

Apa yang dikemukakan sebelumnya adalah hasil pengamatan terhadap fenomena yang terjadi pada para ulama dan ustaz terutama ulama dan ustaz Al Jam’iyatul Washliyah. Ini berarti bukan persoalan hukum sah atau batal. Akan tetapi, ada beberapa catatan. Penampilan dai, cara baca atau lagu yang kebetulan berbeda dengan dai dan ustaz dari organisasi lain adalah sah-sah saja, tidak harus dipandang sebagai perpecahan. Salah satu rahasianya adalah agar pendengar tidak bingung. Paham yang dikemukakan ini paham yang mana, dengan mendengar pembukaan ceramah dan isinya pendengar akan paham bahwa penceramah berlatar belakang Al Jam’iyatul Washliyah maka ceramah yang akan disampaikan adalah paham Ahl as-Sunah wa al-Jamā‘ah, cara khalaf dan fikih mazhab Syafi‘i. Dalam pada itu, perlu juga mencari titik-titik persamaan antara Al Jam’iyatul Washliyah dan NU di satu pihak dan Muhammadiyah dan Persis di pihak lain harus bersikap toleran.191

Cara berpakaian ulama Al Jam’iyatul Washliyah akan sangat mudah untuk dikenali oleh masyarakat, terlebih lagi pada masa Muhammad Arsyad Thalib Lubis dan Nukman Sulaiman, memimpin organisasi ini dan beberapa lembaga pendidikannya, hal ini disampaikan oleh Mukhtar Amin, sebagai berikut:

Ustaz Muhammad Arsyad Thalib Lubis, biasanya dalam mengajar dan kehidupan sehari-hari selalu mengenakan kain sarung dan memakai kopiah, begitu juga ketika mengisi pengajian. Penampilan seperti ini tidak jarang pula diikuti oleh murid-murid beliau. Bahkan di al-Qismul Ali ini dahulu, para siswa juga mengenakan kain sarung dalam mengikuti kegiatan belajar. Sebagian guru-guru juga mengenakan kain sarung dan memakai kopiah, seperti Ustaz Mahmud Syihabuddin, Ustaz Khatib Syarbaini, dan beberapa ustaz lainnya.192

Ciri-ciri ulama Al Jam’iyatul Washliyah ini, dominan dijumpai di tengah-tengah masyarakat Sumatera Utara pada awal-awal berdirinya organisasi ini sampai tahun 1990-an. Namun fenomena ini sudah mulai berubah dengan kondisi sosial masyarakat Sumatera Utara yang sudah mulai dimasuki oleh

191

Ibid.

192 Mukhtar Amin, mantan Kepala Madrasah al-Qismul Ali Al Jam’iyatul Washliyah Jalan Ismailiyah Medan, wawancara di Medan tanggal 15 Desember 2015.

153

organisasi selain Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kondisi perpolitikan di Indonesia juga turut mempengaruhi perubahan ini, munculnya partai-partai politik yang bergerak dalam bidang pergerakan juga turut mewarnai perubahan ini.