• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Ekstra Kurikuler

BAB II PERANAN LEMBAGA PENDIDIKAN AL JAM’IYATUL

3. Pendidikan Ekstra Kurikuler

Usaha untuk meningkatkan kemampuan dalam membaca kitab kuning, para pelajar al-Qismul Ali tidak hanya sekedar belajar di madrasah saja, tetapi sebagian pelajar melakukan belajar kelompok atau mengulang pelajaran bersama para muallim di rumah mereka. Hal ini dijelaskan oleh Abdul Muin Isma Nasution, sebagai berikut:

Kebiasaan kami dahulu belajar ke rumah-rumah beberapa guru seperti Ustaz Muhammad Arsyad Thalib Lubis, pada beliau kami belajar ushul fikih. Ada beberapa orang kawan lain yang ikut belajar dengan Ustaz Muhammad Arsyad Thalib Lubis, di antaranya Hamzah harahap, Abdul Muluk dan Aliuddin. Namun kami lebih sering belajar kerumah Ustaz Rasyad Yahya, karena keluarganya sedang berada di Padang masa itu. Bersama Ustaz Rasyad Yahya kami belajar fikih, setelah itu kami mengadakan diskusi tentang pelajaran yang sedang dibahas tadi. Ke rumah Ustaz Haji Hamdan Abbas, masa itu beliau baru pulang belajar di Makkah, kepada kami beliau mengajar balaghah. Setelah selesai belajar biasanya kami minta didoakan agar diberkahi ilmu yang dipelajari dan bisa belajar keluar negeri.53

Pelajar al-Qismul Ali Al Jam’iyatul Washliyah memperdalam pemahaman terhadap kitab-kitab kuning yang dipelajari di madrasah dengan ber-talaqqī atau mengulang pelajaran ke rumah para ustaz atau muallim. Dengan kelompok-kelompok kecil dilakukan diskusi seputar pembahasan dalam kitab kuning yang dipelajari, terutama sebelum berangkat ke Timur Tengah dan pada akhirnya minta didoakan oleh guru yang dianggap akan memberikan berkah terhadap ilmu yang dipelajari dan meraih kesuksesan pada masa yang akan datang, hal ini dijelaskan oleh Jamaluddin Batubara sebagai berikut:

Sebelum berangkat ke Mesir pada tahun 1993 di Menteng, kami memperdalam pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab dengan mengkaji kitab Lughah al-‘Arabiyah untuk memperdalam pengetahuan bahasa

53

Abdul Muin Isma Nasution, alumni Madrasah al-Qismul Ali Al Jam’iyatul Washliyah Jalan Ismailiyah Medan dan Rektor Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Kisaran, wawancara di Medan, tanggal 15 Januari 2016.

90

Arab. Saya dan Aminullah melakukan pendalaman bahasa Arab ini selama satu bulan penuh. Apa yang dipelajari bersama Ustaz Abdullah Tamimi ini sangat berpengaruh besar ketika kami berada di Mesir, sebab guru kami ini juga pernah belajar di Mesir dan Sudan. Sebelum berangkat saya dan Jasmi as-Suyuti mendatangi Ustaz Mahmud Syihabuddin di Jalan Pasir, untuk pamit dan minta didoakan. Ustaz Mahmud Syihabuddin mendoakan dengan meletakkan telapak tangannya di kepala kami dan berdoa sambil berwasiat: ‘Wattaqullah

wayuallimukumullah’. 54

Kebiasaan mempelajari kitab kuning di luar jam sekolah ini juga pernah dilakukan oleh pelajar-pelajar putri Al Jam’iyatul Washliyah terutama menjelang keberengakatan ke Mesir hal ini juga disampaikan oleh Tjek Tanti, berikut ini:

Sebelum berangkat ke Mesir saya dahulu belajar nahu sama Tuan Thahir Abdullah di Tanjungbalai, belajar dengannya saya merasa banyak sekali mendapatkan ilmu terutama yang menggunakan kitab gundul, sementara waktu sekolah di PGA kebanyakan menggunakan buku-buku berbahasa Indonesia. Kami belajar di Akademi Syariah al-Falah (ASFAH), sekolah ini tidak diakui pemerintah. Tuan Thahir masa itu merupakan kepala dinas pendidikan agama Asahan, kemudian dia membuka Madrasah Muallimin di PGA Al Washliyah, gedungnya Madrasah al-Falah, bukan Al Washliyah punya. Waktu itu saya sudah tamat di PGA, dipilihnya murid yang pintar-pintar dibuatlah muallimin, karena muallimin ini mau dibuat sekolah yang pengantarnya berbahasa Arab, jadi kami belajar itu supaya isi yang di dalam sesuai dengan ijazah, belajar sama Tuan Thahir ini hanya memperdalam ilmu nahu bukan untuk mendapatkan ijazah. Akhirnya dari situlah saya berangkat ke Mesir, dibantu oleh Tuan Thahir untuk mendapatkan beasiswa pemerintah daerah dengan perjanjian setelah tamat dari Mesir mengabdi terlebih dahulu di Kisaran. Namun menjelang keberangkatan saya tidak jadi menerima bantuan beasiswa tersebut, akhirnya berangkat dengan biaya pribadi. Setelah sampai di universitas al-Azhar, saya tidak merasa keberatan untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di al-Azhar, kekurangannya hanya pada segi bahasa yang agak lemah, tapi kalau masalah nahu tidak ada kesulitan, begitu juga pelajaran-pelajaran yang lain kecuali pelajaran-pelajaran Adab yang perlu ada pendampingan.55

Belajar di madrasah tentunya memiliki keterbatasan waktu dan bahan yang diajarkan juga terbatas, ditambah lagi pemahaman dari setiap murid berbeda-beda dalam memahani materi yang diajarkan terutama kitab kuning. Untuk itu bagi murid yang merasa kurang puas dengan pelajaran di madrasah maka mendatangi

54 Jamaluddin Batubara, Kepala Madrasah al-Qismul Ali Al Jam’iyatul Washliyah Jalan Ismailiyah Medan, wawancara para tanggal 18 Januari 2016.

55 Tjek Tanti, Ulama Perempuan Al Jam’iyatul Washliyah Sumatera Utara, wawancara di Medan pada tanggal 30 Januari 2015.

91

guru-guru yang memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Tjek Tanti, dan beberapa teman-teman lain belajar dengan guru nahu di luar jam madrasah untuk memperdalam ilmu nahu yang diajarkan terbatas di sekolah mereka.

Selain itu pelajar-pelajar Madrasah Al Jam’iyatul Washliyah tidak bisa dipisahkan dari tradisi hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim. Kehadiran para pelajar ini memberikan dampak sosial yang besar di tengah masyarakat Kota Medan khususnya. Ada semacam hubungan simbiosis mutualisme yang terjalin secara otomatis dengan lingkungan. Para pelajar ini lebih memilih tinggal di pusat-pusat konsentrasi masyarakat sehari-hari, yaitu di tempat-tempat ibadah seperti langgar, musala dan masjid. Keberadaan ini memberi berbagai manfaat baik oleh pelajar maupun masyarakat setempat. Hal ini disampaikan oleh Mukhtar Amin, sebagai berikut:

Faktor utamanya para pelajar al-Qismul Ali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat karena bisa membantu berbagai kegiatan di masjid dengan pengetahuan sedikit yang mereka miliki namun bisa dikembangkan di lingkungan tersebut. Karena masjid memerlukan orang-orang yang rutin tinggal untuk menjaga waktu salat, sanggup menjadi muazzin dan menjadi imam, ketika imam tetapnya berhalangan hadir. Pelajar al-Qismul Ali, lebih mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dari pelajar-pelajar madrasah lain untuk mendapatkan posisi ini.56

Para pelajar yang beradaptasi di lingkungan masyarakat ini tidaklah dengan sembarangan bisa masuk ke tengah lingkungan masyarakat awam kalau tidak memiliki kemampuan yang tidak di miliki oleh remaja lain seusia mereka. Kemampuan ini tentunya memainkan peran tersendiri dan memberikan kepuasan terhadap lingkungannya. Hal ini sudah menjadi lumrah, dalam setiap acara maupun kegiatan sosial masyarakat. Para pelajar dari Madrasah Al Jam’iyatul Washliyah mendapatkan kesempatan untuk tampil di tengah-tengah masyarakat, dalam acara seremonial keislaman.

Kebiasaan-kebiasaan ini terus terjadi dari generasi-kegenerasi berikutnya. Artinya ada suatu tradisi yang tidak dapat dipisahkan antara generasi pendahulu dan generasi berikutnya. Kesempatan ini tidaklah didapat begitu saja melainkan

56 Mukhtar Amin, mantan Kepala Madrasah al-Qismul Ali Al Jam’iyatul Washliyah Jalan Ismailiyah Medan, wawancara di Medan tanggal 15 Desember 2015.

92

ada usaha untuk mengasah kemampuan tersebut. Untuk memperoleh kemampuan ini tidak selamanya dipelajari di Madrasah Al Jam’iyatul Washliyah, tetapi bisa juga diperoleh dari para senior yang sudah berkiprah di masyarakat. Untuk wilayah Sumatera Utara, biasanya sangat menonjol para ulama atau mubalig alumni Madrasah Al Jam’iyatul Washliyah. Walaupun ada seorang guru yang pada awalnya tidak dikenal oleh juniornya, tapi setelah melalui proses belajar, seperti marhaban dan barzanji, maka diketahui latar belakang pendidikan guru marhaban tersebut adalah dari Madrasah Al Jam’iyatul Washliyah. Hal ini dijelaskan oleh Mukhtar Amin, sebagai berikut:

Mereka ini adalah pelajar-pelajar yang memiliki minat dan bakat khusus dalam bidang tersebut. Mereka belajar di halakah-halakah yang spesial tentang qiraah Alquran baik dari sudut bacaan, faṣahah dan lagu-lagunya. Pelajar-pelajar ini bergabung dengan komunitas tersebut untuk mengembangkan kemampuannya dan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang baru. Walaupun jumlahnya tidak banyak namun tetap ada saja secara terus-menerus. Dari bekal yang mereka peroleh semasa belajar di luar tersebut, menjadi modal untuk mengikuti berbagai kegiatan musabaqah yang diadakan oleh pemerintahan baik tingkat kepenghuluan, kecamatan, provinsi bahkan tingkat internasional. Kondisi ini masih terus berlanjut, ada sebagian pelajar al-Qismul Ali yang sudah pernah menjuarai Musabaqah Tilawah Alquran sampai tingkat internasional seperti Ja’far Hasibuan dan Darwin Hasibuan yang sudah beberapa kali tampil di panggung internasional. Memang kebanyakan mereka ini menambah ilmu pengetahuan di bidang tersebut di luar madrasah, dengan berguru pada guru-guru tertentu. Guru-guru tempat pelajar al-Qismul Ali belajar seni membaca Alquran ini adalah Nur Asiah Jamil, Khuwailid Daulay dan Hasan Basri di Labuhan. Sedangkan guru yang paling senior adalah Haji Azra’i Abdul Rauf, beliau merupakan sumber pengetahuan di Medan ini. Beliau belajar seni membaca Alquran di Mesir, sehingga wajar kalau guru-guru yang ada saat ini adalah murid beliau57

Bukan hanya sebatas pendidikan barzanji dan marhaban saja, banyak lagi pendidikan-pendidikan yang bersifat praktikum lainnya yang pada awalnya di Al Jam’iyatul Washliyah sudah diajarkan teorinya melalui kitab kuning, namun praktiknya baru bisa diterapkan di tengah lingkungan masyarakat, seperti menyelenggarakan fardu kifayah, menyembelih hewan kurban dan sebagainya. Kegiatan ini jarang sekali ditemukan di Madrasah-madrasah Al Jam’iyatul

93

Washliyah, tetapi kerap ditemukan di tengah lingkungan masyarakat. Untuk memperoleh pendidikan itu semua kebanyakan didapatkan di luar madrasah, akan tetapi lebih lumrah diperoleh dari para guru yang pernah belajar di Madrasah Al Jam’iyatul Washliyah, yang pada umumnya memiliki profesi sebagai

qari-qari’ah, pembaca barzanji, marhaban, bilal mayit, tukang potong hewan kurban

dan sebagainya.

Proses pendidikan tidak saja didapatkan oleh siswa di madrasah, akan tetapi siswa bisa memperkaya pemahaman keagamannya di luar madrasah. Karena sebagian besar ulama yang mengajar di Madrasah Al Jam’iyatul Washliyah mempunyai bebeberapa program pengajian rutin di tengah-tengah masyarakat tempatnya berdomisili. Hal ini dikenal dengan ‘Majelis Taklim’. Pengajian ini biasanya dilaksanakan secara rutin di tempat-tempat tertentu seperti langgar, musala, masjid, maupun di rumah-rumah warga setempat. Hal ini dijelaskan Mukhtar Amin, sebagai berikut:

Masjid juga mempunyai majelis taklim, dan ada guru-guru yang datang untuk mengisi majelis taklim tersebut. Secara tidak langsung pelajar-pelajar al-Qismul Ali yang tinggal di masjid tersebut berkesempatan mengikuti pengajian-pengajian yang dilaksanakan di tempat tersebut dengan guru atau ustaz yang berbeda-beda sehingga memberikan berbagai pengetahuan terhadap pelajar-pelajar al-Qismul Aly.58

Majelis taklim sebagai sebuah institusi pendidikan non formal dalam bidang keagamaan memiliki peran yang sangat penting bagi pengayaan pemahaman siswa maupun masyarakat tentang agama Islam. Karena selama di madrasah pengetahuan yang diajarkan lebih bersifat formal dan terbatas kepada literatur yang digunakan saja. Sedangkan dalam majelis taklim, suatu kajian disampaikan secara lugas dan mudah dimengerti oleh masyarakat awam dengan memberikan berbagai contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari.

Materi yang diajarkan di majelis taklim beragam pula, mulai dari fikih, hadis, tafsir dan tasawuf. Artinya tidak ada kurikulum yang baku dalam kajian ini, akan tetapi lebih disesuaikan dengan dengan kondisi jemaah. Namun ada juga majelis taklim yang membahas kajian-kajian umum tentang fenomena sehari-hari

94

yang terjadi di tengah lingkungan masyarakat maupun perkembangan yang terjadi dalam skala nasional maupun internasional. Hal ini disampaikan Mukhtar Amin, sebagai berikut:

Materi yang diajarkan di majelis taklim ini beragam mulai dari masalah fikih, tauhid, dan akhlak. Namun penjabarannya lebih luas lagi dengan contoh-contoh yang lebih sederhana pula. Tujuannya agar mudah dimengerti oleh masyarakat awam. Sebagai contoh masalah penyelenggaraan ibadah haji, maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan pembantaian umat Islam di luar negeri dan sebagainya. 59

Dari kajian-kajian ini membuka cakrawala pikiran siswa yang belajar di Madrasah Al Jam’iyatul Washliyah, dan pengalaman ini tidak ditemukan ketika belajar di madrasah. Pada suatu kesempatan lain ketika seorang ulama yang biasa memberikan pengajian rutin di sebuah majelis taklim berhalangan hadir, maka siswa yang belajar di Madrasah Al Jam’iyatul Washliyah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk menggantikan memberikan ceramah atau kajian tersebut. Kesempatan ini biasa dipergunakan untuk mengasah pemahaman dan kemampuan beretorika di tengah-tengah masyarakat luas. Banyak para ulama Al Jam’iyatul Washliyah yang memulai aktivitas ceramah atau tablignya dengan cara seperti ini. Ketika masyarakat merasa tertarik dengan apa yang dipaparkan dan penjelasan dari siswa tersebut, maka tidak bisa dipungkiri kalau suatu waktu masyarakat akan memberikan kesempatan untuk menyampaikan kata-kata nasihat atau kajian singkat di rumah mereka dalam acara kekeluargaan.