• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cito! Cepat Selamatkan Dulu Bank!

Dalam dokumen Memahami Krisis Keuangan Global (Halaman 77-80)

sampai mencuat ke media. Memang ada desas-desus ten-tang siapa yang menginginkan Bank Indonesia harus segera intervensi (untuk menstabilkan rupiah) dan siapa yang me-nentang.

Tapi, tidak menjadi perang di bawah permukaan –apalagi di atasnya. Politisi juga cukup dewasa untuk tidak menjadikan masalah krisis sebagai bahan mencari popularitas. Sebagian mungkin memang karena tidak paham akar persoalannya yang rumit, sebagian karena rakyat juga sudah sangat dewa-sa. Politisi yang memanfaatkan krisis ini untuk popularitasnya justru akan dicela rakyat.

Saya amati rakyat di semua negara memang sangat kom-pak untuk membela negara masing-masing, lepas akom-pakah pemerintahnya dari partai yang mereka dukung atau tidak. Hari ini, pemerintah pertama-tama harus kompak dalam me-nyelamatkan sistem perbankan nasional kita. Nasabah dan rakyat harus ditenangkan dengan policy yang jelas dan tegas. Yang terpenting, antara lain, adalah memberikan penjaminan Oleh : Dahlan Iskan

70 71 71

deposito dan tabungan masyarakat.

Saya percaya penjaminan itu tidak akan berbuntut pan-jang seperti saat krisis dulu. Sebab, perbankan nasional kita sekarang sudah sangat dewasa. Semua negara melakukan langkah ini meski ahli ekonomi yang menganut aliran konser-vatif tidak akan setuju. Teoretis, sebenarnya tidak perlu ada rush. Tapi, ketidakpercayaan masyarakat pada sistem keuan-gan hari-hari ini bisa membuat bank yang lagi bersaing saling menyebarkan isu rush. Yang mula-mula hanya isu bisa ter-jadi sungguhan. Ini sangat membahayakan sistem perbankan kita. Kalau sistem perbankan ambruk, ekonomi akan runtuh. Rakyat akan sengsara.

Nomor satukan penyelamatan perbankan nasional kita. Gunakan semua dana penjaminan yang selama ini dikum-pulkan oleh bank di rekening khusus penjaminan itu. Maksi-mumkan upaya ini, mumpung ini hari Sabtu. UMaksi-mumkan pagi ini juga bahwa semua deposito dan tabungan dijamin pemer-intah. Jangan terlambat! Kita lagi bersaing dengan kecepatan beredarnya SMS dan telepon seluler.

Ini persoalan dunia yang kompleksnya bukan main. Pe-rusahaan yang terlibat derivatif lagi bertumbangan. Cobalah kita bayangkan perusahaan yang enam bulan lalu membeli

minyak dengan harga USD130 per barel. Tentu, hari ini, peru-sahaan tersebut belum menerima minyaknya karena dua hal. Pertama, harga itu memang untuk penyerahan minyak enam bulan kemudian. Kedua, tujuan pembeli minyak itu memang bukan untuk memiliki minyak, tapi hanya untuk menjual ”hak” atas minyak itu saja.

Yang membeli ”hak” itu pun hanya ingin menjual lagi den-gan harga yang lebih tinggi. Yang sudah dapat harga lebih tinggi itu pun masih ingin menjual lagi ke harga yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. Minyak yang mungkin berjumlah 1 juta barel itu seolah-olah sudah menjadi 10 juta barel di pasa-ran. Triliunan dolar derivatif yang menyangkut minyak ini akan memakan korban luar biasa besar. Sudah akan mengalahkan nilai kredit macet subprime mortgage yang mengawali krisis ini.

Seminggu yang lalu, harga minyak tinggal USD100 per barel. Anda bayangkan berapa besar kerugian perusahaan yang membeli minyak dengan harga USD130 itu. Membelinya pasti dengan kredit. Kini, pasti kreditnya macet. Kredit yang macet bukan sebesar harga 1 juta barel, mungkin sampai leb-ih 10 juta barel. Sebab, minyak tersebut sudah diderivatifkan:

71

71

Me

M

aha

M

i Krisis Keu

angan

g

lob

al

dah USD80 per barel, tingkat kemacetan pasti kian luas lagi. Bahkan, dengan harga minyak kemarin menjadi seren-Maka, kinilah saatnya harga minyak akan menjadi normal sewajarnya lagi, sekitar USD60 atau USD70 per barel. Ke-napa harga ini normal? Sebab, biaya produksi minyak itu han-ya sekitar 35 dolar per barel. Ditambah macam-macam, ter-masuk mahalnya investasi, jatuhnya sekitar USD50 per barel. Maka, laba 30 persen adalah bisnis yang wajar.

Tapi, dengan harga minyak USD140 per barel dan dengan biaya produksi yang tetap, bisnis ini bisa mencapai laba 300 persen. Kata ”rakus” saya kira kurang kasar. Tentu ada yang murka. Gambaran seperti itulah yang juga terjadi di bisnis jasa keuangan. Semua pedagang di Pintu Kecil Jakarta atau Kem-bang Jepun di Surabaya tentu tahu bahwa laba normal bisnis jasa itu sekitar 2,5 persen.

Mengapa? Bisnis jasa itu tidak perlu modal besar dan risikonya kecil. Wajar kalau labanya lebih kecil. Yang penting volumenya sangat besar dan perputarannya cepat. Memang sesekali bisnis jasa bisa dapat laba 30 persen, tapi sifatnya harus hanya ”sesekali”. Misalnya kalau pas lagi ada nasib baik. Satu atau dua hari. Setelah itu akan normal lagi ke laba 2,5 persen. Bahkan, kadang, laba 0,5 persen pun sering

di-jalani asal cash flow-nya baik

Tapi, coba perhatikan perusahaan-perusahaan jasa keuangan dalam 10 tahun terakhir ini. Labanya bisa 30 pers-en. Bahkan bisa 60 persen! Ini juga rakus. Total sedunia, laba jasa keuangan ini menguasai 40 persen dari laba seluruh sektor usaha. Sedang sektor industri kurang dari 20 persen. Padahal, laba sektor industrilah yang seharusnya lebih tinggi. Sunnatullah-nya harus begitu. Sebab, di sektor industrilah orang harus benar-benar bekerja: tanam modal, membeli bahan baku, menjual bahan jadi, mengurus buruh, dan set-erusnya. Benar-benar bekerja mengeluarkan keringat. Ba-gaimana bisa laba industri kalah oleh laba sektor jasa? Tentu ada yang murka.

Dunia secara alamiah akan kembali ke situasi 12 atau 15 tahun yang lalu. Bagi kita, 12 tahun yang lalu tidak terlalu jelek. Asal sistem perbankan kita diselamatkan lebih dulu! Hari ini juga! Ibarat seorang dokter yang kedatangan pasien gawat, sang dokter akan langsung menulis di resepnya: cito! Bukan main urgennya. Seumpama di apotek ada antrean panjang pun, pemegang resep cito! harus langsung dilayani dulu. (*)

72 73 73

DUA jam kemarin pagi adalah dua jam yang paling me-negangkan bagi siapa pun yang tidak menginginkan Indone-sia terseret dalam krisis keuangan dunia. Senin kemarin men-jadi hari yang penuh harap-harap cemas, karena merupakan hari kerja pertama setelah libur lima hari (bagi bursa saham) dan libur dua hari bagi bank nasional.

Sejak malam sebelumnya, dua pertanyaan besar terus mencemaskan: 1). Apakah ketika bank mulai buka pada pu-kul 08.00 terjadi rush atau tidak? 2). Ketika bursa saham mulai buka, terjadi kemerosotan indeks secara drastis atau tidak?

Kalau saja terjadi rush, kacaulah perekonomian kita. De-mikian juga, kalau terjadi guncangan besar di lantai bursa, paniklah kita. Dua-duanya sangat melegakan. Begitu mele-wati pukul 10.00 WIB kemarin semua orang seperti bernapas panjang -lega. Semua bank aman dari gejala rush. Lantai bursa juga hanya turun beberapa puluh poin, lalu menguat di sore hari dan ditutup dengan posisi positif.

Dalam dokumen Memahami Krisis Keuangan Global (Halaman 77-80)

Dokumen terkait