• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meletusnya Gelembung Hampa

Dalam dokumen Memahami Krisis Keuangan Global (Halaman 73-77)

M

aha

M

i Krisis Keu

angan

g

lob

al

Bencana ekonomi atau economic disaster itu akhirnya da-tang juga. Sebenarnya banyak pihak sudah meramalkan, laju akselerasi sektor finansial Amerika Serikat suatu saat akan terkoreksi akibat ”perekonomian gelembung sabun” atau

bubble economy yang dianggap sudah berlebihan. Sektor

finansial sudah berkembang sedemikian rupa sehingga jauh meninggalkan sektor riil.

Masalahnya, kapan dan bagaimana economic bubble AS akan terkoreksi? Hari-hari ini kita menyaksikan, akhirnya gelembung sabun itu meletus dan menyeret perekonomian ke jurang resesi. Masih adakah sekeping asa bahwa resesi tidak kian berlarut-larut?

Gelembung hampa

Seberapa besar gelembung ini—untuk ilustrasi—gaji se-orang CEO (chief executive officer) sebuah perusahaan hedge

fund dilaporkan bisa mencapai dua miliar dollar AS setahun.

Anda tidak sedang salah baca, gaji itu setara dengan Rp 19

Meletusnya Gelembung Hampa

triliun! Bagaimana kita menjelaskan fenomena ini? Adilkah ini Konon, angka itu diperoleh dari proses bekerjanya ”mekan-isme pasar”. Seorang fund manager dianggap ”berprestasi” karena berhasil melakukan leverage, alias ”membiakkan” uang.

Celakanya, pembiakan uang itu tidak selalu bisa dikait-kan dengan kinerja fundamental perusahaan. Harga saham bisa naik drastis hanya karena tertiup sentimen positif. Harga saham di Wall Street sering melonjak sedemikian rupa

(bull-ish) secara mendadak, padahal tak ada perubahan signifikan

dalam laporan keuangan. Semuanya serba instan, serba mu-dah, sehingga menyerupai busa sabun yang cepat memb-esar, tetapi ia tidak memiliki volume. Isinya kosong, hampa, dan semu.

Bursa sabun yang terus membesar itu diyakini bersifat semu se-hingga suatu saat akan terkoreksi. Cepat atau lam-bat. Tak mungkin ia terus menggelembung tanpa batas. Ini bukan fenomena the sky is the limit. Dalam batas tertentu, Oleh A Tony Prasetiantono

66 67 67

gelembung itu akan meletus, mengempis, selanjutnya per-ekonomian akan bergerak mendatar, tak lagi mengalami ak-selerasi.

Jepang lebih dulu mengalaminya pada dasawarsa 1990-an, saat beberapa bank mengalami krisis sehingga harus di-merger atau direkapitalisasi. Sejak itu, perekonomian Jepang cenderung mendatar (mengalami leveling-off).

Dalam kasus economic bubble AS, tanda-tanda koreksi itu mulai tampak saat harga minyak dunia mulai naik dari 30 dollar AS menjadi 70 dollar AS per barrel sejak Juli 2005, dis-usul krisis subprime mortgage (Juli 2007). Saat harga minyak mencapai 147 dollar AS per barrel (Juli 2008), kita pun kian menyadari, meletusnya gelembung sabun itu sudah dekat, dan proses koreksi sedang dimulai.

Namun, harapan masih menggantung bahwa koreksi gelembung sabun masih bisa diusahakan dengan cara semu-lus mungkin (smooth). Perekonomian AS diharapkan masih bisa menjalani pendaratan lunak (soft landing) dan terhindar dari pendaratan yang sulit (hard landing), atau bahkan mema-tikan (crash landing).

Kenaikan harga minyak bisa diinterpretasikan sebagai bentuk ”perlawanan” sektor nonfinansial, khususnya sektor

primer (pertambangan dan pertanian), yang selama ini diper-lakukan tidak adil. Harga produk primer jauh ketinggalan dari-pada ”harga” (tepatnya gain, margin, dan fee) di sektor finan-sial.

Disparitasnya amat lebar. Bayangkan, harga minyak dun-ia pada 1981 adalah 30-an dollar AS per barrel, dan itu ber-tahan sampai 25 tahun hingga pertengahan 2005. Padahal, dalam rentang waktu yang sama, sektor finansial mengalami perubahan harga berlipat-lipat. Jika analisis kita bertolak dari perspektif ”ketidakadilan” ini, kita ”bisa memahami”, harga minyak memang perlu mengalami koreksi, sehingga hari ini (7/10/2008) mencapai 90 dollar AS per barrel.

Lalu, bagaimana agar koreksi economic bubble bisa ber-langsung mulus? Bank Sentral AS (The Fed) pun secara

per-lahan-lahan menurunkan suku bunga dari level 5,25 persen menjadi 2,0 persen seperti sekarang. Kebijakan gradualism ini dimaksudkan agar tidak membuyarkan bangunan ”istana pasir” sektor finansial yang sudah telanjur menjulang.

Rupanya langkah itu belum cukup. Kebangkrutan Leh-man Brothers ternyata tidak ditolong pemerintah Federal.

Mungkin alasannya agar tidak menyebabkan terjadinya moral

67

67

Me

M

aha

M

i Krisis Keu

angan

g

lob

al

ditolong pemerintah, akan timbul kesan, bankir boleh berbuat semaunya karena saat bangkrut toh akan ditalangi pemerin-tah.

Selanjutnya, jika pemerintah menalangi semua bank yang bangkrut, bank-bank investasi itu akan menjadi milik pemerin-tah. Perekonomian yang serba pemerintah (etatisme) ini akan menimbulkan kesan, perekonomian AS sudah beralih ke so-sialisme. Itu sebabnya, rencana talangan 700 miliar dollar AS sempat ditentang, sebelum kemudian akhirnya disetujui.

Namun, Pemerintah AS, dalam hal ini Menteri Keuan-gan Henry (Hank) Paulson, tampaknya melakukan blunder. Membiarkan Lehman Brothers bangkrut tanpa dana

talan-gan (meski kemudian raksasa finansial Inggris, Barclays

mengambil alih bisnis dan asetnya) terbukti berakibat fatal. Sebagai bank investasi terbesar nomor empat di AS, ke-bangkrutan Lehman tergolong too big to fail (terlalu berisiko untuk dibangkrutkan). Akibatnya, kepercayaan investor run-tuh, yang terefleksikan dengan indeks Dow Jones yang

ter-perosok di bawah 10.000 (7/10/2008), amat jauh di bawah level psikologisnya.

Rupiah melemah

Kepanikan kini telanjur menyebar ke mana-mana. Indeks saham di Jakarta hancur-hancuran ke level amat rendah, sekitar 1.600-an. Rupiah juga terpukul hingga menyentuh Rp 9.700/dollar AS. Akibatnya, Bank Indonesia terpaksa menaik-kan BI Rate menjadi 9,50 persen. Kebijamenaik-kan ini memang ber-beda arah dibandingkan negara-negara maju. Kawasan Euro, Inggris, dan Australia, misalnya, cenderung menurunkan suku bunga, sebagai benteng pertahanan menghadapi imbas krisis finansial AS.

Dasarnya, dengan suku bunga rendah, mata uang mer-eka yang sebelumnya terlalu kuat bisa terdepresiasi. Selan-jutnya, hal ini akan menguntungkan negara-negara itu untuk memperbaiki neraca perdagangannya yang selama ini defisit. Suku bunga rendah juga memungkinkan masyarakat menam-bah belanjanya serta menggairahkan investasi. Semua ini akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.

Hal yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Dengan rupiah yang terus melemah, pilihan kebijakan Bank Indonesia cuma dua, yaitu melakukan intervensi pasar uang dengan meng-gunakan cadangan devisa atau menaikkan suku bunga?

seper-68 69 69

tinya sia-sia. Itu ibarat menuang air di sumur yang tidak ada dasarnya. Jadi, pilihannya tinggal menaikkan suku bunga. Hanya saja, tampaknya BI Rate 9,25 persen masih terasa konservatif dan agak diragukan bisa menaikkan kurs rupiah ke level di bawah Rp 9.400.

Namun, saya masih mencoba berpikiran positif bahwa pelemahan rupiah ini bersifat temporer. Ketika orang mulai menyadari bahwa dana talangan 700 miliar dollar AS dan pembentukan Troubled Asset Relief Programme (TARP)— semacam BPPN versi AS—baru merupakan awal dari proses panjang penyembuhan ekonomi, amat mungkin dollar AS akan kembali melemah. Sebaliknya, rupiah akan menguat. Semoga demikian, karena kita tidak sedang ingin melakukan perjalanan nostalgia ke krisis tahun 1998.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI Dalam Kompas - Rabu, 8 Oktober 2008

69

69

Me

M

aha

M

i Krisis Keu

angan

g

lob

al

Tujuh negara industri terbesar dunia berkumpul hari ini untuk mencari jalan keluar dari krisis moneter yang gawat ini. Tapi, para ahli sangat pesimistis mereka bisa menemu-kan jalan itu. Sudah begitu banyak masing-masing pemerin-tah menciptakan paket penyelamatan. Semuanya tidak bisa meredam kemerosotan pasar modal.

Bagi kita di Indonesia, harapan terbesar adalah jangan sampai unsur-unsur di dalam pemerintah berjalan sendiri-sendiri. Apalagi bertengkar. Kita semua tahu bahwa jumlah ahli ekonomi kita bukan hanya sangat banyak, tapi juga aliran ekonomi mereka berbeda-beda. Mulai dari yang beraliran konservatif sampai yang populis. Belum lagi yang menga-nut aliran sempalan. Masing-masing punya dasar pemikiran sendiri, merasa benar sendiri, dan saling bersikukuh memper-tahankannya.

Dalam suasana krisis seperti ini, satu komando sangat diperlukan. Sampai hari ini, saya cukup bangga karena tidak terjadi perbedaan pendapat di antara elite pemerintah yang

Dalam dokumen Memahami Krisis Keuangan Global (Halaman 73-77)

Dokumen terkait