• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arti Ekonomi Mahkota Dewa

CH 2 COO NAA (BM: 186.21 g/mol)

O CH2COOH Cl Cl 2,4 -D (BM: 221.04 g/mol) CH2

NH N N BA (BM: 225.26 g/mol)

perpanjangan sel, pembelahan sel, differensiasi jaringan xilem dan fluem, pembentukan akar, pembungaan pada Bromeliaceae, pembentukan bunga betina pada tanaman dioecious, dominan apikal, respons tropisme serta menghambat pengguguran daun, bunga, dan buah (Wattimena 1988).

Guna menginduksi kalus yang bersifat embrionik, ZPT yang biasa digunakan adalah 2,4 -D, kinetin, zeatin, IAA, NAA, BA, dan picloram (Monnier 1990). Auksin 2,4-D merupakan auksin sintetik yang tidak mempunyai ciri-ciri indol, tetapi mempunyai gugus asam asetat yang mempunyai keaktivan biologis seperti IAA. Senyawa 2,4-D merupakan jenis auksin yang paling aktif meskipun untuk beberapa kasus pembentukkan kalus embriogenik NAA (Monnier 1990) dan picloram (George 1993) lebih efektif. Picloram dan 2,4-D dalam konsentrasi tinggi digunakan sebagai herbisida (Wattimena 1988; Hartana 1992).

BA (Benzil Adenin)

BA merupakan sitokinin sintetik dengan rumus kimia C12H11N5 (Gambar 2). Peran BA secara umum pada tanaman secara fisiologis yaitu mendorong pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi, pembukaan stomata, pembungaan, dan pembentukan buah partenokarpi (Wattimena 1988). Peran BA pada kultur in vitro yaitu dapat menginduksi tunas, baik bersama-sama auksin ataupun penggunaan BA secara tunggal. Selain itu BA bersama – sama auksin juga berpengaruh terhadap pembentukan kalus tanaman dik otil, akan tetapi konsentrasi yang digunakan lebih rendah dari pada auksin.

BA merupakan sitokinin yang paling banyak dipakai dalam kultur jaringan (Zaerr & Mapes 1982; Hu & Wang 1983). Hal ini disebabkan BA lebih stabil, tidak mahal, segera tersedia dan paling efektif digunakan dibandingkan jenis sitokinin lainnya. Zaerr dan Mapes (1982) menyatakan bahwa suksesnya penggunaan BA untuk menghasilkan plantlet dibandingkan dengan penggunaan sitokinin alami diduga disebabkan oleh kemampuan jaringan tanaman untu k memetabolisme hormon-hormon alami lebih cepat dibandingkan dengan ZPT sintetik lainnya.

Induksi Kalus

Kultur kalus dapat dihasilkan dari sejumlah besar organ tanaman yang beragam seperti akar, tunas, dan daun, atau tipe spesifik sel seperti endosperm dan polen. Untuk inisiasi kalus, secara aseptik transfer eksplan ke dalam media semi solid dan secara halus menekan eksplan ke dalam medium agar sehingga tercipta suatu kontak yang baik. Produksi kalus pada medium agar juga dapat diinduksi dengan penggunaan auksin tunggal, seperti 2,4-D 0.4 µM. Walaupun begitu penambahan sitokinin ke medium juga dapat mendorong proliferasi tunas.

Suatu kombinasi konsentrasi auksin yang tinggi dan konsentrasi sitokinin yang rendah dapat mendorong terbentuknya kalus. Kalus morfogenik yang dihasilkan tanaman tahunan sering menginginkan penggunaan organ sel yang aktif secara mitotic seperti tunas pucuk ataupun bagian meristem yang diisolasi (Dixon 1985). Menurut George dan Sherrington (1984) pemanfaatan teknik kultur jaringan dengan kultur kalus adalah salah satu cara untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder.

Pengaruh ZPT dalam pembentukan kalus telah banyak dibuktikan oleh banyak hasil penelitian, selain itu pengaruh ini juga telah terbukti dalam produksi metabolit sekunder. Kadar alkaloid tertinggi diperoleh pada media MS dengan kombinasi perlakuan 2,4-D 10-6 M dan 10-8 M (Ladd et al. 1992). Hasil penelitian Mukhri et al. (1985) bahwa kalus didapat pada media perbanyakan temulawak secara in vitro. Media yang digunakan adalah media Ringed and Nitsch yang diperkaya dengan BA, NAA, dan 2,4 -D. Kalus didapat pada media yang mengandung 10 mg/l BA dan 15 mg/l NAA. Kalus yang terbentuk akan menghasilkan tunas, akar, embrioid, dan kalus jika dipindahkan ke media yang mengandung 10 mg/l BA dan 1 mg/l 2,4-D.

Eksplan yang telah dipilih dan diisolasi dari tanaman induk dikulturkan dalam medium semi padat yang ditambahkan auksin dengan konsentrasi yang relatif cukup tinggi, dengan atau tanpa sitokinin. Kalus yang terbentuk selanjutnya dipindahkan ke medium dengan auksin rendah untuk merangsang pembentukan struktur yang terorganisir. Tunas dan akar akan terbentuk dari bagian meristematik, pada bagian permukaan dari kalus.

Sebelum dilakukan regenerasi kalus, kadangkala dilakukan pemecahan kalu s untuk dikulturkan ke medium baru dengan tujuan meningkatkan pembelahan sel. Apabila kalus sudah mencukupi, kemudian diregenerasikan membentuk tunas. Perbanyakan tanaman melalui kalus ini akan menghasilkan tanaman dengan genetik yang bervariasi (Wattimena 1992).

Banyak laporan tentang bagaimana kemampuan jaringan eksplan membentuk kalus dan laju pertumbuhan kalus dapat berbeda-beda. Dari hasil pengujian diketemukan bahwa kemampuan jaringan membentuk kalus dan laju pertembuhan kalus tergantung pada medium, zat pengatur tumbuh yang digunakan, serta faktor lainnya. Menurut Tiara et al. (1997), diacu dalam Wattimena (1992) kalus yang dihasilkan dari jaringan tanaman dari varietas - varietas yang memiliki hubungan yang cukup dekat juga dapat berbeda dalam tekstur, warna, dan kemampuan morfogenesisnya.

Kalus primer merupakan kalus yang terbentuk dari eksplan pada tahap inisiasi. Kalus embriogenik umumnya diperoleh dari embrio benih, nuselus, atau jaringan meristematik lainnya seperti primordia bunga. Kalus umumnya mudah terbentuk pada media semi padat dengan tambahan auksin pada konsentrasi yang relatif tinggi, salah satu yang banyak digunakan adalah 2,4-D.

Perkembangan kalus menjadi embriogenik tidak memerlukan auksin dan bahkan dapat menghambat pada beberapa jenis jaringan yang memiliki kemampuan embriogenetik tinggi. Kalus yang dihasilkan ada yang memiliki kemampuan embriosomatik dan ada yang sama sekali tidak memiliki kemampuan morfogenetik karena eksplan yang dikulturkan juga mengandung sel atau jaringan yang mampu mengadakan morfogenesis (disebut sebagai sel yang kompeten) dan ada yang tidak (sel tidak kompeten). Sel yang kompeten menjadi sel embriogenik ini bergantung pada kesesuaian medium yang digunakan terutama jenis dan konsentrasi ZPT yang tepat.

Faktor genotipe secara keseluruhan mempengaruhi pola pembentukan organ adventif dari kalus. Kemampuan membentuk tunas dan akar secara terpisah atau embriogenesis dari kalus berbeda antar famili maupun genera. Pembentukan embrio (embriogenesis) dan pengembangan dari embrio pada umumnya memerlukan taraf auksin yang berbeda. Embrio terbentuk dari sel meristematik

yang mempunyai isi sitoplasma yang penuh (tanpa vakuola). Kisaran ZPT untuk induksi kalus juga dengan kisaran yang sama dengan rata-rata 10.9 µM (≈2.03 mg).

Hasil penelitian Sondahl dan Sharp pada tahun 1977 bahwa eksplan daun Coffea arabica ditanam pada medium MS + Kinetin 22 µM (≈ 0,43 mg) + 2,4 D 2

µM (≈ 4,862 mg) dapat membentuk kalus dan pada medium MS + Kinetin 2,5 µM (≈ 0,538 mg) + NAA 0,5 µM (≈ 0,09 mg) dapat membentuk tunas dan embrio genesis somatik (Ammirato 1982; Tisserat 1985). Embriogenesis somatik Coffea arabica dari eksplan daun dikulturkan dalam medium MS + kinetin (20 µM) + 2,4 D (5 µM).

Embriogenesis somatik secara langsung menggunakan medium dasar+ kinetin atau B4 (10 – 20 µM) + 2,4 D (0.5 µM) (Sondahl et al. 1984, diacu dalam Wattimena 1992). Pengkalusan eksplan batang tanaman jeruk dilakukan pada medium MS + ME 500 mg /l + BA (4.4 x 10-4) + NAA (5.4 x 10- 4). Segmen daun jeruk yang dijadikan eksplan dikulturkan dalam medium kalus yaitu MS + Kinetin (1.16 µM) + NAA (13.44 µM) + 2,4 D (1.13 µM). Medium pemeliharaan kalus yaitu MS + NAA (2.26 mM). Kemudian untuk menginduksi pembentukan tunas yaitu medium MS + BA (1.1 µM) + NAA (0.5 µM) + ME 500 mg/l (Roy & Vardi 1984, diacu dalam Evans et al. 1984).

Induksi Tunas

Pembentukan tunas secara langsung bergantung pada bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan dan spesies tanaman yang dikulturkan. Pada beberapa spesies, tunas adventif dapat terbentuk dari berbagai organ tanaman seperti daun, batang, petal, atau akar. Sementara pada spesies-spesies lain hanya dari organ - organ tertentu seperti potongan umbi (bulb), embrio atau kecambah (Wattimena 1992).

Produksi tunas adventif in vitro lebih umum dan lebih mudah untuk mengendalikan daripada perkembangan embriosomatik dari eksplan yang dikulturkan (Dixon 1985). Kemampuan membentuk tunas adventif secara langsung dari jaringan eksplan tiap tanaman membentuk tunas secara in vitro

dapat dilihat dari kemampuannya diperbanyak secara vegetatif di lapangan (in vivo).

Pada beberapa jenis tanaman, kemampuan membentuk tunas melalui kultur aseptik lebih mudah jika dibandingkan secara in vivo, seperti pada tanaman Chrysanthemum morifolium yang mampu membentuk tunas secara langsung dari jaringan daun petiol, batang, bagian pedikel bunga atau tunas bunga yang masih muda. Pembentukan tunas secara langsung dari jaringan umumnya terjadi pada tanaman dikotil, namun tidak umum pada tanaman monokotil (Wattimena 1992).

George dan Sherrington (1984) membuat kisaran ZPT untuk induksi tunas adventif secara tidak langsung dari tanaman dikotil yaitu NAA dengan kisaran 0.5 - 26.9 µM dengan rata-rata 6.9 µM (≈ 1.3 mg). Eksplan biji kopi yang dikulturkan pada medium B5 + B4 (1 µM) + IAA (2,5 µM), akan membentuk daun dari kotiledon. Eksplan buku tunggal dikulturkan pada medium B5 + BA (25 - 50 µM) + IAA (10 µM) akan membentuk tunas (Sondahl et al. 1984, diacu dalam Wattimena 1992).

Konsentrasi BA untuk induksi kalus yaitu 0.4 - 4.7 µM dengan rata-rata 1.9 µM (≈ 0.43 mg) dan untuk induksi tunas adventif selang konsentrasi BA yaitu 0.05 - 44.4 µM dengan rata-rata 14.5 µM (≈ 3.265 mg/l) (Ammirato 1982; Tisserat 1985).

Dokumen terkait