• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan III : Pengaruh Taraf Konsentrasi NAA dan BA dalam Menginduksi Kalus Mahkota Dewa dengan Eksplan Daun

PEMBAHASAN UMUM

Metode in vitro dapat digunakan pada perbanyakan secara massal gen otipe yang diseleksi secara tidak terbatas bila memang diinginkan. Apabila suatu genotipe yang diinginkan diseleksi, baik di dalam atau di luar lingkungan kultur maka hasil seleksi tersebut dapat dibiakkan, digandakan, dan diregenerasikan menjadi tanaman. Semua tanaman yang diregenerasikan akan menduplikasikan bahan genetik yang persis sama dengan genotipe asal. Dengan demikian genotipe yang sangat menguntungkan tersebut dapat diperbanyak tanpa terjadi kehilangan individu alel secara acak yang biasanya terjadi pada sistem perbanyakan generatif. Ada empat golongan utama yang merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dalam kultur in vitro, diantaranya yaitu: 1) Genotipe dari sumber bahan yang digunakan (Gambar 1), 2) Media, mencakup komponen penyusun media dan jenis ZPT yang digunakan, 3) Lingkungan tumbuh yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan, dan 4) Fisiologi jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Keempat faktor utama ini dapat dapat berinteraksi satu dengan la innya untuk memperoleh pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sehingga diperoleh tanaman lengkap atau plantlet (Wattimena 1992).

Secara umum telah kita ketahui bersama bahwa fenotipe yang muncul merupakan resultan dari genotipe dan lingkungan. Baroncelli et al. (1974, diacu dalam Wattimena 1992) menyimpulkan bahwa ada sekelompok gen yang mengatur perubahan pola pertumbuhan suatu tanaman, sehingga proses proliferasi sel dan morfogenesisnya dapat berjalan. Termasuk juga gen -gen yang mengatur konsentrasi yang efektif zat-zat yang dapat mendorong pertumbuhan. Mekanisme kerja pengaturan kadar hormon tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17.

Adanya instabilitas genetik dan atau kromosom dari kultur jaringan umumnya terjadi pada banyak spesies, oleh karena itu propagasi tidak selalu sederhana. Akibatnya reproduksi suatu genotipe sering tidak memberikan suatu kemungkinan terjadi berbagai perubahan genetik dalam metode in vitro, ketidakstabilan genetik dapat terkendali secara genetik, juga dapat memungkinkan mendapatkan tujuan genetik dan kimia untuk memunculkan adanya stabilitas.

auksin

Gambar 16 Sistem kontrol ZPT pada aliran informasi dari DNA ke Protein.

Sintesis DNA DNA RNA primer mRNA mRNA ZPT sitokinin kontrol pada tingkat translasi ZPT auksin kontrol pada prosesing RNA ZPT kontrol pada transportasi Protein mRNA ≠ aktif ZPT kontrol degradasi mRNA protein ≠ aktif ZPT kontrol pada transportasi Kompartemen

Gambar 17 Peran ZPT pada pascatranslasi.

Peran utama fitohormon yaitu pada sintesis protein, peran lain yaitu pada proses-proses biokimia dan fisiologis lainnya selain sintesis protein. Hal yang membedakan kedua peran ataupun efek tersebut adalah lamanya proses setelah pemberian ZPT eksogen (Wattimena 1988). Hasil studi RNA oleh Hugen (1995) dengan jelas menunjukkan bahwa auksin memodulasi level mRNA secara cepat

Protein yang terbentuk

Enzim aktif ZPT mengikat Membran protein ZPT berinteraksi dengan enzim ? aktif

apabila satu molekul sudah dapat mempengaruhi cara kerja enzim maka beberapa molekul ZPT tersebut dapat menyebabkan perubahan- perubahan fisiologi tanaman

molekul sederhana (CO2, H2O, gula, asam amino, ion an organik→ protein, asam nukleat, polisakarida, dll.

Senyawa komplek

Organela, membran, dinding sel, kromosom,dll

Jaringan Organ tanaman kalus NAA ↑↑ atau 2,4-D ↑↑ Pembelahan sel

Mitosis: diinduksi oleh auksin serta peningkatan dan kontinuitas oleh sitokinin

dan spesifik. Hal ini menunjukkan bahwa auksin berperan di dalam intisel, yang berlanjut pada sintesis protein, aktivitas enzim, hingga kepada terbentuknya suatu produk. Secara skematis Gambar 18 menggambarkan suatu model hipotesis keberadaan auksin (NAA dan 2,4-D) dalam mempengaruhi enzim alosterik dan laju reaksinya sehingga menghasilkan suatu produk (organ tanaman ataupun kalus).

Gambar 18 Model dugaan keberadaan auksin dalam mempengaruhi aktivitas enzim hingga menghasilkan suatu produk akhir.

Pada kontrol (tanpa perlakuan ZPT, hanya media dasar MS) pada percobaan I tidak terbentuk tunas, pada percobaan II dan III tidak terbentuk kalus. Pada perlakuan lain (MS + ZPT), organ tunas pada percobaan I dapat tumbuh, akan tetapi laju reaksi pembentukan ada yang lambat. Tunas dan kalus yang tidak terbentuk serta laju reaksi pembentukan yang lambat diduga karena beberapa hal antara lain yaitu adanya senyawa penghambat, mekanisme interaksi auksin dan sitokinin eksogen (NAA dan BA pada percobaan I dan III dan 2,4-D dan BA pada percobaan II), serta mekanisme keseimbangan antara ZPT dengan senyawa penghambat. Model dugaan keberadaan penghambat dalam mempengaruhi enzim alosterik, dapat dilihat pada Gambar 19.

Asam-asam feno lik bersama-sama dengan asam absisik (ABA) merupakan inhibitor endogen yang menghambat proses perpanjangan batang, akar, perkecambahan, biji, dan tunas (Wattimena 1988). Sebagaimana telah diketahui bahwa kandungan kimia buah mahkota dewa terdiri dari golongan alkaloid, tanin, flavonoid, fenol, lignan, saponin, minyak atsiri, dan sterol. Senyawa-senyawa Sisi

alosterik

Sisi aktif yang terbuka sebagian Enzim teraktifkan substrat Substrat diubah menjadi produk ZPT auksin (NAA, 2,4-D) enzim

tersebutlah yang diketahui memiliki khasiat obat. Menurut Walker (1975, diacu dalam Wattimena 1988) bahwa senyawa fenolik pada tanaman terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama yaitu asam fenolik dan coumarin, sedangkan golongan kedua adalah flavonoid.

Gambar 19 Model dugaan keberadaan senyawa penghambat dalam mempengaruh i aktivitas enzim.

Tiga diantara asam-asam benzoate (P hydroksi benzoate, asam vanilat, dan asam synergic) merupakan bagian dari lignan, sedangkan asam galik merupakan bagian dari tanin tanaman. Senyawa flavonoid yang terdapat pada mahkota dewa tidak diketahui secara pasti termasuk golongan anthocyanidins, flavonals, atau flavones. Namun demikian dapat diduga bahwa senyawa flavonoid pada mahkota dewa yaitu dari golongan anthocyanidins. Hal ini disebabkan adanya pigmen warna merah dari Peonidin, warna ungu dari malvidin, dan warna biru-ungu dari Petunidin. Peonidin, malvidin, dan Petunidin merupakan bagian dari anthocyanidins.

Senyawa-senyawa fenolik serta inhibitor lainnya diduga dapat menyebabkan tidak terbentuknya tunas dan kalus. Banyaknya kalus yang berwarna coklat disebabkan oleh oksidasi senyawa fenolik. Ini menunjukkan bahwa kalus berwarna coklat mengandung senyawa fenolik dalam jumlah tertentu.

Nisbah NAA dan BA secara tepat dapat menginduksi pembentukan tunas dan kalus. Kombinasi sinergis kedua ZPT tersebut sangat terkait dengan mekanisme keseimbangan ZPT tersebut dengan senyawa penghambat. Terbukti bahwa pada kontrol (tanpa perlakuan ZPT, hanya menggunakan media MS) tidak

Sisi alosterik enzim substrat penghambat Enzim terhambat Kompleks enzim-substrat Sisi ≠ aktif

Organ ataupun kalus

dapat menginduksi pembentukan tunas dan kalus. Sementara itu pada sebagian perlakuan, laju pembentukan tunas agak terhambat.

Pada sebagian spesies tanaman, pembentukan tunas secara in vitro dapat dilakukan dengan media MS tanpa ZPT. Spesies-spesies tanaman tersebut mungkin tidak atau sedikit menghasilkan senyawa-senyawa fenolik dan senyawa inhibitor endogen lain. Sedangkan pada eksplan mahkota dewa, tunas tidak dapat terbentuk pada medium MS tanpa ZPT.

Kultur kalus ditujukan untuk mendapatkan kalus dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan tertentu yang optimal dan terkendali. Kalus merupakan sekumpulan sel amorf dan tidak terorganisir yang berasal dari pembelahan sel-sel dari jaringan awal secara terus menerus. Seperti telah diketahui bersama bahwa secara in vitro kalus dapat diinisiasi dari hampir seluruh organ tanaman.

Menginduksi kalus dari bagian tanaman tertentu, umumnya dilakukan dengan jalan perangsangan secara hormonal. Keseimbangan tertentu antara hormon endogen dan hormon eksogen (dalam hal ini digunakan auksin dan sitokinin) dapat merangsang terbentuknya kalus. Pola keseimbangan auksin dan sitokinin dalam induksi kalus telah lebih dulu dikonsep oleh George dan Sherrington (1984), bahwa nisbah auksin dan sitokinin yang tinggi akan merangsang pembentukan kalus (Gambar 20).

Gambar 20 Nisbah auksin – sitokin in dalam proses morfogenesis.

Metode in vitro, dalam hal ini kultur organ memberikan suatu kesempatan pembelajaran yang menarik dalam hal sel tanaman, manipulasi genetik, keragaman, seleksi, dan propagasi. Kultur in vitro, juga memberikan pengertian

Pembentukan akar pada stek in vitro Embryogenesis

Pembentukan tunas adventif dari kalus

Inisiasi kalus tanaman dikotil Pembentukan tunas adventif

Proliferasi tunas aksilar

tentang studi fisiologi, biokimia, genetika, pertumbuhan, dan perkembangan spesies tanaman pada tingkat molekuler. Semua itu akan kembali ke dasar bahwa kultur in vitro merupakan suatu proses perbanyakan sel, jaringan, organ atau protoplas dengan metode aseptik.

Dokumen terkait