• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Coping Stress

Folkman dan Lazarus (dalam Rice, 1992) mendefinisikan coping sebagai segala upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan bersikap sabar dalam menghadapi tuntutan terhadap dirinya. Tuntutan tersebut dapat berupa eksternal dan internal.

Menurut Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang dimiliki individu tersebut dalam menghadapi situasi stressfull.

Menurut Harowitz (dalam Rice, 1992), coping merupakan tindakan yang mencakup tindakan mental dan fisik yang digunakan untuk mengendalikan, mengatur, mengurangi, atau mentolerir efek tekanan yang ada, baik eksternal maupun internal. Secara umum, coping diarahkan pada dua hasil. Yang pertama bahwa coping diharapkan untuk mengubah hubungan antara diri dan lingkungan. Yang kedua, coping diarahkan untuk mengatur emosi yang tidak menyenangkan.

Situasi yang stressfull sendiri merupakan suatu kondisi yang penuh dengan stres. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992), mendefinisikan stres dengan tiga pengertian yang berbeda, yaitu :

a. Stres mengarah pada setiap kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari eksternal seseorang. Kondisi yang dapat menimbulkan stres disebut dengn stressor. Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang memaksa tubuh dan menyebabkan timbulnya ”physiological reaction” adalah

stressor.

b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian internal dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri, interpretasi dan proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.

c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun menghilangkan gangguan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa coping stress adalah segala usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi, mengatur, dan besikap sabar terhadap tuntutan-tuntutan baik internal maupun eksternal yang tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya secara fisik dan mental atau emosional.

2. Faktor-Faktor Coping Stress

Para peneliti telah menemukan sekitar 400 (empat ratus) cara yang biasa dilakukan orang dalam menghadapi situasi yang stressfull dan mengelompokkannya dalam berbagai kategori (dalam Sarafino, 2006). Berdasarkan hasil penelitian Lazarus, Folkman, dkk (1986), coping dapat dikelompokkan menjadi 8 (delapan) jenis faktor, yaitu:

1. Confrontive coping; mencakup usaha agresif untuk menghadapi situasi yang menekan, menggambarkan kekerasan terhadap orang lain, dan mengambil tindakan yang memiliki resiko tinggi.

2. Distancing; usaha untuk melupakan masalah yang terjadi, dan melihat sisi positif dari suatu masalah yang dihadapi.

3. Self-control; menjelaskan usaha untuk mengatur perasaan dan perilaku agar tetap tenang.

4. Seeking social support; usaha untuk mencari dukungan informasi, dukungan penyelesaian masalah, dan dukungan emosional dari orang-orang yang dianggap penting.

5. Accepting responsibility; menyadari permasalahan yang sedang dihadapi dan bertekad untuk menyelesaikannya.

6. Escape-Avoidance; menganggap masalah akan segera berakhir dan mencari tindakan untuk menghindari masalah yang sedang dihadapi.

7. Planful problem-solving; usaha untuk memahami masalah dan melakukan perencanaan untuk menyelesaikannya.

8. Positive reappraisal; menjelaskan usaha untuk mencari makna positif dari suatu masalah yang berguna untuk perkembangan diri sendiri.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik oleh Lazarus, Folkman, et al (1986), hasil yang memuaskan diperoleh dari penggunaan planful problem-solving dan positive reappraisal. Sedangkan hasil yang tidak memuaskan diperoleh dari penggunaan confrontive coping dan distancing.

Namun demikian, perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun metode yang dapat digunakan untuk semua situasi stres. Menurut Ruther (Smet, 1994) tidak ada strategi coping yang paling berhasil. Lazarus & Folkman (1984) menyatakan bahwa efektivitas strategi coping bervariasi tergantung pada situasinya (dalam Powers, dkk, 2002). Menurut Taylor, keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling berhasil (dalam Smet, 1994).

Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006), confrontive coping, seeking social support, accepting responsibility, dan planful problem-solving memiliki fungsi problem focused-coping. Sedangkan distancing, self-control, escape-avoidance, dan positive reappraisal memiliki fungsi emotion-focused coping.

3. Fungsi Coping Stress

Secara umum Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1992) membedakan 2 (dua) fungsi copingstress, yaitu:

a. Emotion-focused coping

Usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol dan membebaskan perasaan-perasaan negatif (seperti amarah, frustrasi, rasa takut) yang disebabkan oleh tekanan yang diterimanya.

Menurut Powers (2002), pengaturan ini dapat terlihat dari perilaku individu, seperti penggunaan alkohol, bagaimana mengabaikan fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressfull, individu akan cenderung mengatur emosinya. Salah

satu contoh strategi ini disebutkan oleh Freud (dalam Smet, 1994) yaitu mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Strategi ini tidak mengubah situasi stres, hanya mengubah cara orang memikirkan situasi dan melibatkan elemen penipuan diri.

b. Problem-focused coping

Strategi yang dibuat individu untuk mengembangkan perencanaan tindakan yang jelas terhadap stressor dan mengontrolnya sebisa mungkin.

Menurut Powers (2002), individu akan mengatasi masalah dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru untuk mengurangi stressor tersebut. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Metode ini sering digunakan oleh orang dewasa.

Menurut Sarafino (2006), individu dapat menggunakan problem focused coping dan emotion focused coping secara bersamaan ketika sedang menghadapi masalah. Beberapa studi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh psikologi terkemuka menunjukkan hasil penemuan mengenai penggunaan problem focused dan

emotion focused coping, seperti Folkman (dalam Sarafino, 2006) yang menyatakan bahwa individu dewasa madya lebih sering menggunakan problem-focused coping sedangkan individu yang lebih tua lebih sering menggunakan

emotion-focused coping.

Selain itu, Greenglass & Noguchi juga menyatakan bahwa pria cenderung lebih sering menggunakan problem-focused coping dibandingkan wanita yang lebih sering menggunakan emotion-focused coping. Dalam penelitian Billings &

Moos juga ditemukan bahwa orang dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi lebih sering menggunakan problem-focused coping

dibandingkan dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah. (dalam Sarafino, 2006).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stress

Reaksi terhadap stres bervariasi antara orang yang satu dengan yang lainnya, dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah stressor bagi individu.

Menurut Smet (1994) faktor-faktor tersebut adalah:

a. Variabel dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, tempramen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.

b. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum, kepribadian ”ketabahan” (hardiness), locus of control, kekebalan, ketahanan.

c. Variabel sosial-kognitif, mencakup: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial, kontrol pribadi yang dirasakan.

d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial.

e. Strategi coping stress, merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam situasi stres.

C. DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL

Dokumen terkait