• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Seputar Kitab Tafsir Al-Misbah

3. Corak Penafsiran

Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada Tafsir al-Mishbah,

bahwa tafsir ini bercorak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i. Corak tafsir ini

terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan al-Qur’an, menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam, memperbaiki tatanan kemasyarakatan umat, dan lainnya.

Corak tersebut sangat terlihat jelas, sebagai contoh ketika Quraish

Shihab menafsirkan kata

َ ﻧ7ھ

dalam surat al-Furqan ayat 63. Quraish

Shihab menjelaskan:

“Kata

(َ ﻧ7ھ)

haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata

yang di sini adalah masdar/indifinite nun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemaha lembutan.

Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan

(

َن7ُ: َ)

ً ﻧ7َھ ِضرَ<ا َ$"َ!)

yamsyuuna ‘ala al-ardhi haunan/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar.

Kini, pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita

dapat memasukkan dalam pengertian kata

(َ ﻧ7ھ)

haunan, disiplin lalu

melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat dan melecehkan kiri dan kanannya.

Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-gesa. Karena Nabi Muhammad SAW, dilukiskan sebagai seseorang yang berjalan dengan gesit penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.Dari sini jelas, usaha Quraish Shihab untuk memperbaiki tatanan kehidupan sosial sungguh kuat, sehingga masalah disiplin lalu lintas pun disinggung dalam tafsirannya, walau pun mungkin sebagai contoh. Jadi wajar dan sangat pantas sekali, kalau tafsirnya ini

digolongkan dalam corak al-Adabi al-Ijtima`i.

(http://anamko.blogspot.co.id/2013/08/kajian-kitab-tafsir-di- indonesia-tafsir.html.diakses kamis 19 November 2015 pukul 13.03)

BAB III KAJIAN PUSTAKA

A. Nilai

1. Pengertian Nilai

Nilai disamping juga sebagai produk dari masyarakat, juga merupakan alat atau media untuk menyelaraskan antara kehidupan pribadi dengan kehidupan bermasyarakat. Menanamkan nilai yang baik juga merupakan fungsi utama pendidikan. Ada banyak tokoh pendidikan yang mengartikan apa itu nilai. Nilai menurut Milon Rokeach dan Jams Bank yang dikutip oleh Chabib Thoha dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan Islam adalah sebaga suatu sistem kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. ( Thoha, 1996:60)

Dalam buku yang sama Chabib Thoha juga mengutip pendapat J.R

Fraenkel yang mendefinisikan nilai sebagai berikut: A value is an idea a

concept about what some one thinks important in life ( Thoha, 1996:60). Dari pengertian yang dikemukakan oleh J.R Fraenkel, ini menunjukkan bahwa nilai bersifat subyektif, artinya tata nilai pada masyarakat satu belum tentu tepat diterapkan untuk masyarakat yang lain, hal tersebut dikarenakan nilai diambil dari suatu hal yang penting bagi masyarakat tertentu.

Sebagai contoh untuk memahami devinisi nilai dari J.R Fraenkel adalah sebagai berikut :

a. Segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di daerah

pedalaman dari pada segenggam emas. Hal tersebut dikarenakan segengam garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan. Sedangkan segenggam emas hanya sebagai pehiasan.

b. Segenggam emas lebih berarti dari pada sekarung garam bagi masyarakat

perkotaan.

Adanya perbedaan tersebut adalah dikarenakan segi manfaat dari suatu hal. Nilai sesuatu akan selalu berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Pengertian ketiga yang dikutip Chabib Thoha dalam buku yang sama mengenai pengertian nilai, dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurut Sidi Gazalba pengertian nilai adalah sebagai berikut:

Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar atau salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi. (Thoha, 1996:61).

Pengertian di atas menunjukkan adanya hubungan antara subjek penelitian dengan objek. Seperti halnya garam dikatakan bernilai karena ada subjek yang menganggapnya penting, jika garam tidak ada yang membutuhkan, maka garam dapat dikatakan tidak memiliki nilai. Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil satu kesimpulan tentang definisi nilai yaitu hasil dari pendapat seseorang mengenai suatu hal.

2. Tata Nilai

Nilai secara umum adalah suatu faham yang sangat varian, dan lebih bertendensi abstrak. Nilai timbul dari olahan sosial yang mempengaruhi individu terus-menerus, sehingga nilai itu menyatu dengan diri. Tanpa adanya interaksi tidak ada nilai. Orang yang sendirian dalam kamar yang terkunci, baginya tidak berlaku nilai apapun. Dalam kesendirian, orang bisa berbuat semaunya, tanpa mengaitkan nilai. Secara prediktif (perkiraan), nilai bisa berupa pandangan, pertimbangan, keyakinan hidup, atau juga bisa timbul dari ramuan agama, atau suatu anggapan yang implisit terikat pada individu atau kelompok individu yang patut dan wajar. Maka, kadang suatu nilai tidak mudah bisa dilepaskan begitu saja, karena telah menjadi bagian atau aspek yang integral dari seluruh kepribadian seseorang. Dalam interaksi sosial, konsep seperti kebenaran, keadilan, kepahlawanan, kesucian kasih- sayang, dan sebagainya adalah dambaan nilai, yang membuat pergaulan menjadi sejuk dan abstrak. Merusak nilai pada akhirnya juga merusak norma dan merusak pergaulan. (Sukanto, 1994:45)

Nilai dan norma hanya bisa timbul, jika ada keharusan tanggung jawab dan larangan, pada saat manusia hidup berkelompok, karena orang yang menyendiri itu tidak terikat oleh suatu nilai, maka norma pun menjadi tidak berguna baginya. Ini artinya, orang yang suka hidup menyendiri, menjauhi alam dan pergaulan adalah orang yang hidup tanpa nilai dan norma, dan juga tidak memerlukan kualitas kepribadian. Dalam konstelasi alam semesta sebagai keseluruhan, alam dan kehidupan merupakan dua

komponen lingkungan hidup manusia dalam sistem alam semesta. Dengan sistem nilai dengan nilai tertentu, manusia bisa mengubah kadar alam

menjadi sumber keidupan yang posistif (bermanfaat), atau juga bisa

menimbulkan nilai yang negatif (madharat). Dampak manfaat akan

membawa manusia kepada kebahagiaan dunia-akhirat. Sedangkan dampak negatif bisa menyebabkan kehancuran dan kesengsaraan kehidupan manusia sendiri, juga dunia-akhirat. Oleh karena itu, mendalami tata nilai berarti bahwa dalam menyelnggarakan kehidupan di bumi ini, orang harus mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Tuhan, kepada diri sendiri,

kepada masyarakat, dan kepada alam semesta. (Sukanto, 1994:45 Op. cit)

3. Macam-macam Nilai

Menurut Noeng Muhadjir nilai dibedakan menjadi dua macam, yaitu nilai Ilahiyah dan Insaniyah (Thoha, 1996:64). Nilai Ilahiyah merupakan nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah), sedangkan nilai Insaniyah adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan oleh manusia pula.

Nilai Ilahiyah dapat dibagi menjadi dua, pertama nilai ubudiyah

yaitu nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya berlaku dan beribadah

terhadap Tuhannya. Nilai uluhiyah sering kita sebut dengan istilah “hablum

minallah”. Kedua, nilai muammalah yaitu nilai yang ditentukan oleh Tuhan bagi manusia untuk dijadikan pedoman dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Nilai Insaniyah terdiri dari nilai rasional, nilai sosial,

nilai individual, nilai biofisik, nilai ekonomik, nilai politik, dan nilai estetik.

Nilai ini juga dapat kita sebut dengan “hablum minannas”. (Thoha,

1996:64). Menurut analisa peneliti, termasuk dalam nilai insaniyah juga meliputi nilai disiplin lalu lintas, nilai budaya dan juga nilai tradisi.

Allah SWT berfirman:

É

‹è{

u

θø

yèø9$#

ó

÷ß'ù&uρ

Å∃óãèø9$$Î/

ó

Ú̍ôãr&uρ

Çtã

š

Î=Îγ≈pgø:$#

∩⊇∪

“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. al- A’raf:199). (Departemen Agama RI , 1982:177)

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW

agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam

ayat di atas adalah tradisi yang baik. Kalimat al-‘urf adalah bentukan dari

kata al-ma’ruf yang berarti segala bentuk kebaikan yang telah diketahui

secara umum oleh masyarakat. Kata Al-Ma’ruf sendiri banyak disebutkan

dalam ayat al-Qur’an yang bermakna kebaikan yang selaras dengan

kebaikan yang diterima oleh manusia secara umum. Dalam hal ini al-ma’ruf

juga bermakna adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sehingga ayat ini memiliki banyak hubungan (munasabah) dengan ayat-ayat yang membicarakan tentang adat/’urf yang ada di masyarakat.

(http://majelispenulis.blogspot.co.id/2013/12/tafsir-al-quran-al-araf- 199.html. diakses senin 8 Agustus 2016 pukul 11.38)

Dari kedua jenis nilai di atas maka nilai Ilahiyah merupakan nilai yang tidak lagi bersifat subyektif melainkan menjadi obyektif pada kalangan agama tertentu. Hal ini dikarenakan nilai Ilahiyah tentunya didasarkan pada firman Tuhan yang terdapat pada kitab suci agama tertentu. Meski nilai pada masyarakat berbeda namun beragama sama, tentu saja aplikasi beragama pada masyarakat tersebut tetaplah sama. Begitu juga nilai-nilai Ilahiyah dalam agama Islam tentulah sama walau berada dalam masyarakat yang memiliki budaya berbeda.

Berdasarkan adanya dua macam nilai di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat menemukan nilai-nilai Ilahiyah maupaun Insaniyah yang ada dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9-13.

B. Masyarakat

1. Pengertian Masyarakat

Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal

dari kata latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari

kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat

yang memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga-warganya, 2). Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009:115-118).

Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama, hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan hubungan, Mac lver dan Page (dalam Soerjono Soekanto 2006:22), memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat.

Menurut Ralph Linton (dalam Soerjono Soekanto, 2006:22) masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas- batas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22) adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.

Menurut Emile Durkheim (dalam Soleman B. Taneko, 1984: 11) bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Masyarakat sebagai sekumpulan manusia di dalamnya ada beberapa unsur yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:

1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;

2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama;

3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan;

4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.

Menurut Emile Durkheim (dalam Djuretnaa Imam Muhni, 1994: 29 31) keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial. Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial di dalam bermasyarakat. Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Soerjono Soekanto, 2006: 22).

Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, masyarakat memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam

sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.

Dokumen terkait