i
DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-HUJURAT AYAT
9-13 (KAJIAN PEMIKIRAN TAFSIR AL-MISBAH
KARYA QURAISH SHIHAB)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh : NUR FAIZIN NIM: 111-12-013
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
vii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil’alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Kedua Simpai Keramatku Tercinta Ayahanda Nasikhun & Ibunda
Ismiyani yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, memberikan nasihat,
mendidik dari kecil sampai sekarang dan do’anya yang tidak pernah putus.
2. Adik perempuanku Arum Wulan Sari, terimaksih atas dukungan dan
do’anya.
3. Para Guru, Asatidz, Sahabat dan teman-teman;PPHM & MHM
Kalibening, KBQT, Smart Evo, Laa Tansa (PAI A 2012), PPL SMA N 3
Salatiga, KKN angkatan 2012 posko 33 dan JQH AL-FURQAN.
4. Almamaterku; Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan dan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. (kehadiranmu
viii
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, tiada kata yang pantas diucapkan selain puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq, hidayah, dan
inyah-Nya kepada diri yang lemah ini sehingga skripsi ini dapat terselesaiakan.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat dan seluruh umatnya. Beliaulah sebaik-baik
makhluk yang pernah diciptakan, suri teladan bagi umatnya, yang sangat lembut
hatinya, kasih sayangnya kepada kita tidak bisa diungkapkan lagi dengan
kata-kata.
Dengan segenap kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tersusunnya
skripsi ini tidak lain karena berkat bantuan, bimbingan, motivasi, saran dan arahan
dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M. Pd. Selaku Dekan FTIK IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag. Selaku Ketua Jurusan PAI.
4. Bapak Dr. M.Gufron, M. Ag. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan sabar dan ikhlas mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan
waktunya untuk memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan
sumbangan pemikiran sejak awal penyusunan hingga selesainya sekripsi
ini.
5. Bapak Drs. Bahrudin, M. Ag. Selaku dosen pembimbing akademik.
6. Bapak / Ibu Dosen IAIN Salatiga, yang telah mendidik dan memberikan
ix
7. Abah KH. Abda’ Abdul Malik (Pengasuh Pon-Pes Hidayatul Mubtadi-ien
Kalibening) atas kesabaran dan bimbingan yang diberikan untuk menempa
diriku di pesantren yang akan selalu kurindu. Dan semua dewan asatidz
yang telah mendidikku di pesantren dan madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
8. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Nasikhun dan Ibunda Ismiyani,
kuhaturkan terimakasih yang tak terhingga atas semua kasih sayang, do’a,
nasihat dan didikannya selama ini.
9. Keluarga Besar Laa Tansa (PAI A 2012), Taufiq, Taufiqurrohmah, Kurnia,
Puji, Ismi, Andri, Syamsudin, Bagus, Sariful, Olif, Ela, Riris, Hida, Tyas,
Ngizul, Haroh, Chusna, Emy, Putri, Halimin, Dhofir, Farid, Munif, Nanda,
Mafa, Fitri, Nisa, Ikhwan, Wafa, Awaf, Ali. Terimakasih atas
kebersamaan dan jalinan ukhuwah yang indah selama ini semoga tidak
lekang oleh ruang dan waktu.
10.Teman-teman seperjuangan UKM JQH Al-Furqan IAIN Salatiga, Kanda /
Yunda (Andri, Lutfi, Ali, Hikmawan, Tri, Dedi, Hadi, Abidin, Sholikin,
Zidni, Imam, Fajar, Ana, Nurul, Iklima, Umi, Novi, Zizah, Nikmah, Titik,
Fiqoh, Fika, dan kanda-yunda lainnya yang tidak bisa kusebut
satu-persatu). Kebersamaan, perjuangan, suka dan duka dengan kalian
memberikan pengalaman yang sangat berharga bagiku. Jazakumullahu
khairan..
11.Keluarga Besar PPHM Kalibening, rekan-rekan santri seperjuangan: Kang
Sholikin, Kang Muhlisin, Kang Imam, Kang Amir, Kang Mustaqim, Kang
Shobar, dll yang tidak bisa kusebutkan satu persatu. Terimakasih atas
jalinan ukhuwah, motivasi, bantuan, dan kepeduliannya selama penulis
menimba ilmu di Salatiga. Semoga ukhuwah kita senantiasa terjaga
sebagai akhun fillah, dan sedikit banyak ilmu yang kita peroleh semoga
berkah dan bermanfaat. Amiin..
12.Teman-teman Mahasiswa PAI, PPL dan KKN angkatan 2012 yang saling
memotivasi dan mendukung agar cepat menyelesaikan perkuliahan,
x
13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam menyelesaikan studi S-1 di Institut Agama
Islam Negeri Salatiga.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tulisan ini masih jauh
dari sempurna, meskipun penulis telah mencurahkan seluruh kemampuan penulis.
Apa-apa yang benar dari tulisan ini adalah datangnya dari Allah SWT, sedangkan
apa yang salah berasal dari diri yang lemah ini. Untuk itu saran dan masukan dari
semua pihak senantiasa penulis harapkan.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini memberikan sumbangsih
bagi dunia intelektual khususnya studi keislaman dan memberikan manfaat bagi
kita semua.Amin.
Salatiga, 2 September 2016
Penulis
xi
ABSTRAK
Faizin, Nur. 2016. Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Qur’an Surat
Al-Hujurat Ayat 9-13 (Kajian Pemikiran Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab). Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing. Dr. M. Gufron, M. Ag
Kata Kunci : Nilai-Nilai Kemasyarakatan, Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai kitab suci universal -berlaku untuk setiap ruang waktu- yang dianugrahkan Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Di dalamnya mengandung banyak nilai dan pesan universal yang berbicara tentang kemasyarakatan dengan fungsi utama untuk mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat. Problem-problem yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat tentu tidak pernah ada habisnya. Untuk itu al-Qur’an hadir menjadi solusi dengan memberikan petunjuk dan pedoman hidup mengenai nilai-nilai kemasyarakatan. Sebagaimana yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 yang penulis angkat menjadi tema penelitian ini, “Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Surat Hujurat Ayat 9-13 (Kajian Pemikiran Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab)”. Fokus penelitian yang dikaji adalah: 1. Nilai-nilai kemasyarakatan apa sajakah yang terdapat dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13. 2. Bagaimanakah penafsiran Quraish Shihab terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13. 3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13 dengan kehidupan masa kini.
Dalam penelitian ini, kitab tafsir yang menjadi kajian utama adalah Tafsir
al-Misbah Karya Quraish Shihab. Sebagaimana yang dikenal memiliki corak
penafsiran al-Adabi al-Ijtima’i. Selain itu, Tafsir al-Misbah adalah karya mufassir
kontemporer Indonesia, sehingga akan lebih relevan penafsirannya dengan konteks masyarakat Indonesia saat ini. Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode analisis isi atau
(content analysis). yakni suatu upaya menganalisis penafsiran al-Misbah terhadap nilai-nilai kemasyarakatan yang terdapat di dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 kemudian dicari bagaimana relevansinya pada era sekarang ini.
Dari hasil penelitian ini, penulis mendapatkan beberapa nilai dan pesan moral yang ada dalam surat al-Hujurat ayat 9-13, yang penulis klasifikasikan
menjadi dua kategori. Pertama, dalam bentuk perintah, yaitu; Islah (perdamaian),
adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan musawah
(persamaan derajat). Kedua, dalam bentuk larangan, yaitu; mengolok-olok,
xiii
BAB II BIOGRAFI QURAISH SHIHAB DAN GAMBARAN
TAFSIR AL-MISBAH
A. Biografi M. Quraish Shihab...
B. Karya-karya M. Quraish Shihab...
C. Seputar Kitab Tafsir Al-Misbah...
1. Latar Belakang Penulisan Tafsir...
2. Metode dan Sistematika Penulisan...
3. Corak Penafsiran...
BAB III KAJIAN PUSTAKA
A. Nilai...
C. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan Secara Umum...
D. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan dalam Al-Qur’an...
E. Surat Al-Hujurat Ayat 9-13...
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan...
2. Gambaran Umum dan Pokok Kandungan Surat
Al-Hujurat Ayat 9-13...
BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEMASYARAKATAN DALAM
AL-QUR’AN SURAT AL-HUJURAT AYAT 9-13
MENURUT
TAFSIR AL-MISBAH
xiv
1. Al-Islah (Perdamaian)...
2. Adil...
3. Ukhuwah (persaudaraan)... 4. Ta’aruf (saling mengenal)... 5. Al-Musawah (persamaan derajat)...
B. Nilai Kemasyarakatan dalam Bentuk Larangan...
1. Mengolok-olok...
2. Mengejek...
3. Panggil Memanggil dengan Gelar-Gelar
Buruk...
4. Berprasangka Buruk (Su’u Zann)...
5. Mencari-cari Kesalahan...
6. Menggunjing (Ghibah)...
C. Relevansi Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Surat
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar SKK
2. Lembar Konsultasi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang tiada tandingannya
(mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi
dan Rasul dengan perantara malaikat Jibril alaihis salam, dimulai dengan
surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nash, dan ditulis dalam
mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara Mutawatir (oleh orang
banyak), serta mempelajarinya merupakan Ibadah. ( Ash-Shaabuuniy, 1999:
15). Al-Qur’an juga sembagai sumber utama ajaran agama Islam. Di
dalamnya mencakup ajaran tentang I’tiqad (keyakinan), akhlak (etika),
sejarah, serta amaliyah (tindakan praktis). (Naim, 2009:56)
Al-Qur’an merupakan peraturan bagi umat Islam sekaligus way of
lifenya yang kekal hingga akhir masa. Oleh karena itu kewajiban umat Islam
adalah memberikan perhatian yang besar terhadap al-Qur’an baik dengan cara
membacanya, menghafal, atau mempelajarinya. Dalam al-Qur’an tidak
terdapat sedikitpun kebatilan serta kebenaranya terpelihara dan dijamin
keaslianya oleh Allah SWT sampai hari kiamat (Raghib, 2010:16).
$
‾ΡÎ
)
“sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. (Departemen Agama RI, 1982:263)
Al-Qur’an merupakan kitab suci universal-berlaku untuk setiap ruang
waktu-yang dianugrahkan Allah SWT kepada seluruh umat manusia.
Keuniversalan al-Qur’an terletak pada cakupan pesannya yang menjangkau
keseluruh lapisan umat manusia, kapan saja dan dimana saja. (Kemenag RI,
2012:xiii)
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan dapat menjalani
kehidupannya dengan baik dan benar tanpa ada bimbingan dari al-Qur’an,
dengan alasan yang sama dapat dipahamai mengapa kitab suci umat Islam ini
memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan
bangun runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa al-Qur’an merupakan buku pertama yang memperkenalkan
hukum-hukum kemasyarakatan. (Nurdin, 2007:219)
Sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia tidak akan terlepas dari
adanya hubungan (relationship) interaksi (interaction) dan kerjasama
(cooperation) kepada antar sesamanya (Shihab, 2006:276). Pada dasarnya, kehidupan bermasyarakat adalah kerjasama yang didorong oleh kesadaran
bahwa manusia tidak mampu hidup tanpa adanya kerjasama dengan lainnya.
keberadaan manusia di hadapan Tuhannya. Karena pada dasarnya manusia
secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan suatu
keniscayaan bagi mereka (Shihab, 1999:320). Mereka harus bekerjasama dan
topang menopang antara satu dengan yang lainnya demi mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraannya. (Shihab, 2006:276)
Problem-problem kemasyarakatan di dunia ini tidak akan pernah ada
habisnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, sikap persaudaraan,
saling menghormati antar sesama, tidak memandang perbedaan dan
kekurangan, saling menghargai baik sesama muslim maupun non-muslim
merupakan landasan untuk menciptakan masyarakat yang ideal, hidup dengan
damai, rukun, dan penuh rasa aman.
Dalam konteks yang lebih sempit, sebagai contoh Indonesia adalah
salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran pernyataan ini
dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Sekarang ini jumlah pulau yang ada di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 besar dan kecil. Populasi
penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang
menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut
agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran
Lebih khusus lagi, apabila dilihat dari cara pandang tindak dan
wawasan setiap individu yang ada terhadap berbagai macam fenomena sosial,
budaya, ekonomi, politik dan terhadap hal-hal yang lainnya, tak dapat
dipungkiri, mereka mempunyai pandangan yang beragam. Contohnya,
masyarakat kita-dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda seperti,
pendidikan, etnis, agama, kelas sosial dan ekonomi-mempunyai tindakan dan
pandangan yang berbeda-beda pula tentang berbagai macam fenomena sosial
seperti, kesetaraan gender, demokrasi, hak asasi manusia dan terhadap hal-hal
yang lainnya.
Ada anggota masyarakat yang kurang mendukung adanya proses
demokrasi di negara ini, namun disisi lain tidak sedikit masyarakat yang
menginginkan adanya demokrasi. Ada anggota masyarakat yang sangat
peduli dan selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia, namun disisi lain,
tidak sedikit masyarakat yang tidak peduli terhadap masalah tersebut. Bahkan
mereka dengan sengaja menggilas hak-hak asasi orang lain. Ada anggota
masyarakat yang merespon baik dan bahkan mendukung adanya kesetaraan
gender, namun tidak sedikit masyarakat yang menentangnya. (Yaqin,
2005:3-4)
Keragaman ini, diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai
persoalan seperti yang sekarang dihadapi bangsa ini. Korupsi, kolusi,
nepotisme, premanisme, terorisme, perseteruan politik, kemiskinan,
kekerasan, perusakan lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk
dari multikulturalisme itu. Contohnya yang lebih kongkrit dan sekaligus
menjadi pengalaman pahit bagi bangsa ini adalah terjadinya pembunuhan
besar-besaran terhadap masa pengikut partai komunis Indonesia (PKI) pada
tahun 1965, kekerasan terhadap etnis cina di Jakarta pada Mei 1998 dan
perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003.
Rangkaian konflik itu tidak hanya merenggut korban jiwa yang sangat
besar, akan tetapi juga telah menghancurkan ribuan harta benda penduduk,
400 gereja dan 30 masjid. Perang etnis antar warga Dayak dan Madura yang
terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih
2000 nyawa manusia melayang sia-sia (Chanifah, 2012:3), dan yang
baru-baru ini terjadi di tahun 2016 aksi ricuh unjuk rasa pengemudi taxi yang
diwarnai tawuran dan aksi lempar batu dengan pengemudi ojek online terkait
konflik adanya wajah baru transportasi online yang dianggap merugikan
transportasi model lama (konvensional) pada selasa 22 Maret 2016, tawuran
antar warga johar Baru Jakarta Pusat pada 18 Mei 2016 malam, terjadi di 3
lokasi sekaligus yang hanya berselang satu jam lamanya, yaitu RT 06/03
Kelurahan Rawa, Jalan Taman Solo, dan Kampung Rawa (Liputan6.com
19/05/2016). Dan masih banyak lagi ratusan bahkan ribuan kasus yang belum
kita ketahui karena tidak diinformasikan oleh media masa. Hal tersebut
memberikan bukti bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang ada di dalam
al-Qur’an belum diaktualisasikan oleh masyarakat Indonesia yang notabene
Menjadi keharusan bagi kita bersama untuk memikirkan upaya
pemecahannya (solution). Termasuk pihak yang harus bertanggung jawab
dalam hal ini bukan hanya pemerintah pada umumnya, tapi juga para
kalangan pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam
menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal,
pendidikan harus mampu memberikan penyadaran (consciousness) kepada
masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan.
(Mahfud, 2004:2)
Oleh karena itu, agama Islam tidak hanya agama yang mengajarkan
ibadah saja, namun juga mengajarkan akhlak dan pergaulan diantara sesama
muslim (Shalabi, tt: 267-268). Tidak hanya mengajarkan hubungan vertikal
(Habl min Allah) saja namun juga mengajarkan hubungan horizontal (Habl min al-Nas). Kedua hubungan tersebut harus sejalan dan seimbang
sebagaimana bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai peran yang
seimbang baik di ranah ilahiah maupun di ranah manusiawi. (Eickelman, dkk,
2010:140)
Islam mengajarkan nilai-nilai universal dengan tujuan untuk
memberikan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin) maka kitab
Al-Qur’an yang merupakan kitab suci yang universal di dalamnya terdapat
ayat-ayat yang mengajarkan tentang perdamaian, persaudaraan, kasih sayang,
Islam sebagai agama yang lengkap nan sempurna mempunyai
konsepsi dan prinsip yang dapat memberikan solusi kongkrit dalam
memecahkan problem hidup dalam bermasyarakat. Konsepsi dan prinsip
tersebut telah tertuang dalam ajarannya –Qur’an– (Muhsin, 2004:viii).
Al-Qur’an hadir menjadi solusi akan hal tersebut dengan memberikan petunjuk
dan pedoman hidup mengenai nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang
terangkum di dalam 114 surat al-Qur’an. (Mustaqim, 2011:4)
Telah termaktub dalam al-Qur’an surat al-Hujurat yang menjelaskan
hakikat manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku tak lain agar supaya mengenal dan saling menghargai antar
sesama. Surat al-Hujurat merupakan salah satu dari beberapa surat yang
intens dan fokus pada pembahasan mengenai aspek akhlak dan pergaulan
hidup manusia (Departemen Agama RI, 2009:844). Allah mewahyukan surat
tersebut untuk memberikan pengajaran dan sekaligus meletakkan aturan
tingkah laku umum serta seperangkat moral ideal bagi orang-orang muslim
maupun kemanusiaan global. Nilai-nilai dan pesan moral yang ada dalam
surat al-Hujurat ayat 9-13 antara lain dalam bentuk perintah seperti Islah
(perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan
musawah (persamaan derajat). Sementara dalam bentuk larangan, seperti; mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk,
berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing. Yang semua
nilai-nilai itu merupakan pondasi penting bagi pembentukan gerakan muslim
Peneliti melihat bahwa dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 terkandung
nilai-nilai kemasyarakatan yang juga layak untuk dikaji seiring dengan
perkembangan zaman. Memahami suatu makna al-Qur’an tentunya tidak
dapat lepas dari tafsir. Kitab tafsir yang menjadi kajian utama dalam
penelitian ini, ialah Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab. Peneliti tertarik
menggunakan tafsir ini, ialah karena Tafsir al-Misbah adalah karya mufassir
kontemporer Indonesia yakni Quraish Shihab, beliau memang bukan
satu-satunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan
dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur'an dalam konteks kekinian dan masa
post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar
al-Qur'an lainnya. sehingga buah karyanya yakni Tafsir al-Misbah peneliti
anggap lebih relevan penafsirannya dengan konteks masyarakat Indonesia
saat ini.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam
Qur’an Surat Hujurat ayat 9-13 (Kajian Pemikiran Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab)
B. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini, yang penulis jadikan sebagai rumusan masalah
adalah :
1. Nilai-nilai kemasyarakatan apa sajakah yang terdapat dalam QS.
2. Bagaimanakah penafsiran Quraish Shihab terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13 ?
3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat
9-13 dengan kehidupan masa kini ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, tujuan dilakukan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung pada QS.
al-Hujurat ayat 9-13.
2. Untuk mengetahui penafsiran Quraish Shihab terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13
3. Untuk megetahui relevansi dari nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS.
al-Hujurat ayat 9-13 dengan kehidupan masa kini.
D. Kegunaan Penelitian
Sedangkan kegunaan atau manfaat yang dapat kita ambil dari
penelitian telaah QS. al-Hujurat ayat 9-13 ini adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan pengetahuan yang lebih komprehensif terhadap pemahaman
nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung dalam QS. al-Hujurat ayat
9-13 dan relevansinya terhadap kehidupan masyarakat modern.
2. Hasil dari pengetahuan ini diharapkan mampu membantu dalam usaha
kemasyarakatan yang ada dalam al-Qur’an baik yang tersurat maupun
yang tersirat dan lebih khusus lagi pada QS. al-Hujurat ayat 9-13
3. Hasil penelitian ini diharapkan mendapat sambutan hangat dari para
peminat studi keislaman dan melengkapi khazanah intelektual Islam,
terlebih menjadi sumbangsih literatur bagi IAIN salatiga dalam visinya
sebagai pusat kajian Islam Indonesia.
E. Metode Penelitian
Istilah metode berasal dari kata methodos (yunani) berarti cara atau
jalan. Menyangkut dengan upaya ilmiah, metode dihubungkan dengan cara
kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan. Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti
untuk mendapat data dan informasi mengenai beberapa hal yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti (Darmawan, 2013:127). Adapun metode
penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research). Studi pustaka adalah teknik penelitian yang dilakukan dengan
cara mengumpulkan data dan informasi, didasarkan atas bantuan berbagai
macam materi yang terdapat dalam kepustakaan. Baik berupa buku,
majalah, jurnal, dan beberapa tulisan lain yang memiliki keterkaitan
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan
laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
(Nazir, 1998:111)
2. Sumber Data
Data penelitian ini diperoleh dari kitab suci al-Qur’an yang
merupakan peraturan bagi umat Islam sekaligus way of lifenya yang kekal
hingga akhir masa. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari
buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah
dalam penelitian skripsi ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan
menjadi dua kelompok, yakni sumber data primer dan sumber data
sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan pokok yang diperoleh
langsung dari subjek penelitian dengan alat pengambilan data langsung
pada subjek sebagai informasi yang dicari atau sebagai sumber utama
dalam skripsi ini. Dalam penelitian ini sumber primernya adalah Tafsir
al-Misbah karya Quraish Shihab, akan tetapi peneliti juga memasukkan
pendapat mufassir lainnya yang sepaham dengan mufassir tersebut guna
mendapatkan gambaran yang utuh, yang selanjutnya dideskripsikan dan
dianalisis sehingga memudahkan menjawab persoalan yang telah
b. Sumber data sekunder
Data skunder merupakan data penunjang yang diperoleh dari
pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subjek penelitianya,
atau dijadikan alat untuk dapat menganalisis pembahasan skripsi ini,
baik interpretasi mufasir, tokoh intelektual, dan para ilmuan mengenai
pokok permasalahan di atas. Sumber sekunder yang digunakan adalah
mencakup semua buku, kitab, artikel yang bertema kemasyarakatan dan
tulisan-tulisan yang membahas mengenai surat al-Hujurat.
c. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data, proses pengambilan dan
pengumpulan data diperoleh dari sumber data berupa buku-buku,
kitab-kitab, jurnal ilmiah, makalah, ensiklopedi, dokumen, web site dan
tulisan-tulisan yang lain sesuai tema yang diangkat. Langkah-langkah
yang ditempuh ialah penelusuran data, klasifikasi dan pengorganisasian
data kemudian penyajian data.
3. Metode Analisis Data
Analisis data adalah alat bantu statistik atau yang lainnya yang
digunakan untuk menganalisis data atau menguji hipotesis yang diperoleh
(Pratiwi, 2009:52). Analisis non-statistik sesuai untuk data deskriptif atau
data textular. Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan
karena itu analisis macam ini juga disebut analisis isi (content analysis)
menganalisisnya digunakan metode analisis isi atau content analysis.
Menurut Wimmer dan dominick, dalam buku Metodologi Penelitian
Kualitatif karya Burhan Bungin (2011: 135) menjelaskan bahwa analisis
isi yaitu teknik penelitian untuk mengajari dan menganalisis komunikasi
secara sistematis, objektif, dan komunikatif terhadap pesan yang tampak.
Analisis isi juga bisa didefinisikan sebagai teknik penelitian untuk
membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru shahih data dengan
memperhatikan konteksnya (Anton Bekker,dkk, 1990: 65). Disini peneliti
menggunakan metode content analysis dalam menguraikan makna yang
terkandung dalam redaksi al-Qur’an, setelah itu dari hasil interpretasi
tersebut dilakukan analisa secara mendalam dan seksama guna menjawab
rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis.
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman penafsiran terhadap judul skripsi
ini, yaitu nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung dalam QS. al-Hujurat
ayat 9-13, maka penulis memberikan pengertian dan batasan skripsi ini, yaitu:
Nilai Kemasyarakatan
Sebelum membahas lebih mendalam mengenai isi dari surat
al-Hujurat ayat 9-13, maka penulis kemukakan lebih dahulu apa arti nilai dan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Nilai berarti sifat-sifat
(hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Purwadarminta, 1999:
677) menurut Chabib Toha (1996:60) nilai adalah suatu tipe kepercayaan
yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang
bertindak atau menghindari suatu tindakan atau mengenai sesuatu yang pantas
atau tidak pantas dikerjakan. Kata majemuk “nilai-nilai” menurut Muhaimin
berasal dari kata dasar “nilai” diartikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak
dan sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar dan penting (Muhaimin,
1993:110). Dalam hal ini nilai yang dimaksudkan adalah mengenai surat
al-Hujurat ayat 9-13.
Sedangkan Kemasyarakatan adalah mengenai masyarakat, sifat-sifat
atau hal masyarakat. (Purwadarminta, 1999: 751) Masyarakat, dalam arti
yang luas, berarti sekelompok manusia yang memiliki kebiasaan, ide dan
sikap yang sama, hidup di daerah tertentu, menganggap kelompoknya sebagai
kelompok sosial dan berinteraksi. (Arifin,2008:45)
Dengan begitu, dapat peneliti simpulkan bahwa Nilai Kemasyarakatan
adalah suatu etik nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh; nilai yang
berhubungan dengan akhlak; nilai atau aturan yang berkaitan dengan benar
dan salah yang dianut oleh masyarakat.
Sehubung dengan luasnya cakupan pembahasan mengenai nilai-nilai
kemasyarakatan, peneliti membatasi pembahasan hanya pada ayat 9-13 surat
nilai-nilai dan pesan moral antara lain dalam bentuk perintah seperti Islah
(perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan
musawah (persamaan derajat). Sementara dalam bentuk larangan, seperti;
mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk,
berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan dan penelaahan yang jelas dalam
membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika skripsi ini secara garis
besar sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini akan dikemukakan tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan
sistematika pembahasan.
Bab II Biografi Quraish Shihab, dalam bab ini akan dipaparkan biografi
Quraish Shihab yang meliputi, riwayat hidup, aktivitas
keilmuan, dan karya- karyanya. Selain itu, menjelaskan pula kitab
tafsirnya yaitu seputar latar belakang penulisan tafsir, metode
penafsiran, sumber, corak penafsiran dan sistematika penafsiran.
Bab III Kajian pustaka, dalam bab ini dibahas mengenai tinjauan umum
mengenai masyarakat dan nilai-nilai yang ada di dalamnya, serta
pertama mengenai nilai-nilai kemasyarakatan dalam cakupan luas
yang menggambarkan secara umum nilai-nilai kemasyarakatan di
kehidupan manusaia. Pembahasan kedua fokus pada konsep
kemasyarakatan dalam Islam yang bersumber dari al-Qur’an
beserta nilai-nilai idealnya. Dan pembahasan terakhir yakni
deskripsi surat al-Hujurat ayat 9-13 dengan menyajikan gambaran
umum surat tersebut beserta asbabun nuzul, munasabah ayat dan
pokok-pokok yang terkandung di dalamnya.
Bab IV Deskripsi dan analisis penafsiran Quraish Shihab dalam kitab
tafsirnya al-Misbah terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dalam
surat al-Hujurat ayat 9-13, pembahasan selanjutnya ialah relevansi
dari nilai-nilai kemasyarakatan dalam surat al-Hujurat ayat 9-13
dengan kehidupan masa kini.
Bab V Penutup, simpulan dan saran, bab penutup memuat kesimpulan
penulis dari pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat
BAB II
BIOGRAFI QURAISH SHIHAB DAN GAMBARAN TAFSIR
AL-MISBAH
A.Biografi M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1944
di Rappang, kabupaten Sidrap (sidenereng, Rappang), Sulawesi Selatan.
Anak ke empat dari Prof. KH. Abdurrahman Sihab seorang ulama dan guru
besar ilmu tafsir yang pernah menjadi Rektor Universitas Mulimin Indonesia
(UMI) dan IAIN Alauddin Makasar.(Shihab, 1994:14)
Prof. KH. Abdurrahman Sihab mempunyai cara tersendiri untuk
mengenalkan putra-putrinya tentang islam, yaitu beliau sering sekali
mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat inilah beliau
menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak petuah yang kemudian
oleh Quraish Shihab ditelaah sehingga beliau mengetahui petuah itu berasal
dari Al-Qur’an, Nabi, Sahabat atau pakar Al-Qur’an yang sampai saat ini
menjadi sesuatu yang membimbingnya.
Petuah-petuah tersebut menumbuhkan benih kecintaan terhadap tafsir
di jiwanya. Maka ketika belajar di Universitas al-Azhar Mesir, dia bersedia
studinya di jurusan tafsir, walaupun kesempatan emas dari berbagai jurusan di
fakultas lain terbuka untuknya. (Shihab, 1994:14)
Quraish Shihab berangkat ke Kairo Mesir pada tahun 1958, dan
diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Selama sepuluh tahun lebih dia
belajar di negeri pyramid itu. Ia belajar di Fakultas Ushuluddin Universitas
al-Azhar dengan mengambil jurusan Tafsir-Hadis. Pada tahun 1967 ia lulus
Sarjana setingkat S1 bergelar Lc dan dua tahun kemudian lulus S2 bergelar
MA dengan tesis berjudul Al-I’jaz at-Tasyri li al-Qur’an
al-Karim (Kemukjizatan al-Quranul Karim dari segi Hukum).
Kepulangannya ke Indonesia setelah membawa pulang gelar S2 ini,
oleh ayahnya Quraish Shihab ditarik sebagai Dosen IAIN Alauddin Makasar,
kemudian mendampingi ayahnya sebagai wakil rektor (1972-1980). Semasa
mendampingi ayahnya yang berusia lanjut, ia menjabat sebagai Koordinator
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertis) wilayah VII Indonesia
Timur.
Pada tahun 1980, ia kembali ke Mesir untuk mengambil gelar doktor
di almamaternya, Universitas al-Azhar. Dua tahun kemudian ia berhasil lulus
doktor untuk bidang ilmu tafsir al-Qur’an dengan disertasinya yang
berjudul Namz ad-Dural li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian
Terhadap Kitab Durar (Rangkuman Mutiara) Karya al-Biqa’i), serta
predikat Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syarif al-‘Ula (Summa Cum
Selanjutnya berbagai amanah diembannya sekembalinya ke Indonesia
sejak 1984 diantaranya:
a. Guru Besar Ilmu Tafsir di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta (1993).
b. Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII pada masa pemerintahan
Presiden Suharto (1998).
c. Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Arab Saudi pada masa
pemerintahan Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid.
d. Ketua MUI Pusat (1984)
e. Lajnah Pentashih Departemen Agama (1989)
f. Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989)
Keilmuan yang dimiliki Qurais Shihab mengantarnya terlibat dalam
beberapa organisasi profesional antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu
Syariah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Mulsim
Indoneisa (ICMI). Di sela-sela kesibukannya itu, beliau juga terlibah dalam
berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Di samping kegiatan
tersebut, M. Qurais Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang
handal, termasuk di media televisi. Beliau diterima oleh semua lapisan
masyarakat karena mampu menyampaikan pendapat dan gagasan dengan
B.Karya-karya M Qurasih Shihab
Quraish Shihab dengan keilmuan yang dimilikinya telah
menghasilkan banyak karya ilmiah berupa buku, artikel, maupun kumpulan
artikel yang dihimpun menjadi buku. Berikut karya-karya yang pernah ditulis
oleh Qurais Shihab :
a. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung pandang, IAIN
Alauddin, 1984)
b. Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994)
c. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
d. Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994)
e. Tafsir al-Qur’an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
f. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-Ayat Tahlili (Jakarta: Lentera Hati, 1999)
g. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (15 jilid,
Jakarta: Lentera Hati, 2003)
h. Al Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz ‘Amma
(Jakarta: Lentera Hati)
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya
penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara
menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah
yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian
menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan
pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat
dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan
kemajuan peradaban masyarakat.
(id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab, diakses kamis 19
November 2015 pukul 13.03)
C. Seputar Kitab Tafsir Al-Misbah
1.Latar Belakang Penulisan Tafsir
Pengambilan nama al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh
Quraish Shihab ditujukan agar tafsir tersebut berfungsi serupa dengan
makna Misbah yang berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang
berfungsi sebagai penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan.
Sehingga ia berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan
penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi
mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an
secara langsung karena kendala bahasa.
Tafsir al-Misbah adalah karya monumental Muhammad Quraish
Shihab dan diterbitkan oleh Lentera Hati. Tafsir al-Misbah diselesaikan
selama kurang lebih empat tahun oleh penulisnya. M. Quraish Shihab
memulai menulis di Kairo, Mesir pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420
H/18 Juni 1999 M dan selesai di Jakarta Jum’at 8 Rajab 1423 H/5
Niat awal menulisnya secara sederhana bahkan merencanakan
tidak lebih dari tiga volume, namun kenikmatan ruhani justru lebih
dirasakan ketika ia semakin mengkaji, membaca dan menulis tafsirnya
hingga tanpa terasa karya ini mencapai lima belas volume. Satu hal yang
membuat hati Quraish Shihab tergugah dan membulatkan tekad dalam
penyusunan kitab tafsirnya adalah ketika di Mesir ia menerima salah satu
surat yang ditulis oleh orang tak dikenal dan menyatakan bahwa: “Kami
menunggu karya ilmiah pak Quraish yang lebih serius.”.(Shihab,
2003:Vol.15 h.penutup)
Tafsir al-Mishbah adalah sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz
lengkap. Keindonesiaan penulis memberi warna yang menarik dan khas
serta sangat relevan untuk memperkaya khazanah pemahaman dan
penghayatan umat Islam terhadap rahasia makna ayat Allah SWT.
2. Metode dan Sistematika Penulisan
Dalam sekapur sirih volume 1 Quraish Shihab menuturkan
bahwa apa yang dihidangkan di Tafsir al Mishbah bukan sepenuhnya
ijtihadnya sendiri. Namun merupakan gabungan hasil karya ulama-ulama
terdahulu dan kontemporer, serta pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibn
Umar al-Biqa’i (w. 885 H/1480) yang karya tafsirnya masih berbentuk
manuskrip dan menjadi bahan disertasi Quraish Shihab di Universitas
al-Azhar, Kairo dua puluh tahun lalu. Tak terlewatkan pula karya tafsir
Syeikh Mutawlli asy-Sya’rawi dan tidak ketinggalan Sayyid Quthb,
Muhammad Thohir Ibn ‘Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I
serta beberapa pakar tafsir lain. (Shihab, 2003:Vol.1 h.V)
Quraish Shihab tidak hanya mengutip atau mengumpulkan buah
pikir ulama-ulama yang disebutkan diatas, melainkan ia lebih
mengarahkan kutipan tersebut sebagai apresiasi atas kekagumannya
terhadap pemikiran ulama terdahulu yang dituangkan dalam karya
tafsirnya ini. Bentuk apresiasi itu terwujud dalam komentar yang ia
berikan setelah mengutip karya para ulama. Namun, tidak hanya
memberikan apresiasi, ia juga memberikan pendapat yang kontradiktif
dari para ulama, jika dalam prespektifnya pendapat tersebut tidak sesuai
atau salah.
Sistematika penulisanTafsir al-Misbah ini dimulai dari penulisan
ayat-ayat al-Qur’an, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Setelah itu menguraikan makna-makna penting dalam tiap kosa kata,
makna kalimat, maksud ungkapan.
Setidaknya, menurut pakar tafsir al-Azhar University, Abdul Hay
al-Farmawi, dalam penafsiran al-Qur’an dikenal empat macam metode
tafsir, yakni metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode
maudhu’i. (al-Farmawi, 2002:23).Jika melihat sistematika penulisan dari
Tafsir al-Misbah yang terperinci, maka dapat dikatakan bahwa metode
Metode tafsir tahlili adalah metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di
dalam tafsir tahlili, mufassir mengikuti urutan ayat dan surat
sebagaimana yang telah disusun di dalam mushaf ‘Utsmani. Muffasir
memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata yang diikuti
dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Mufassir juga
mengemukakan munasabah (korelasi), ayat-ayat, dan menjelaskan
hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain, membahas sabab
al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) jika ada, dan menyampaikan dalil-dalil dari hadits, atau dari sahabat, dan atau dari para tabi’in. (Budihardjo,
2012:132)
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu
Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna
tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat
difungsikan dalam kehidupan nyata.
Menurut Quraish Shihab, ada beberapa prinsip yang dipeganginya
dalam karya Tafsir al-Mishbah, baik tahlilymaupun maudhu’i, bahwa
al-Qur’an merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Maka tidak luput
pembahasan ilmual-munasabat dalam karyanya ini. (Shihab, 2003:Vol.1
3.Corak Penafsiran
Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada Tafsir al-Mishbah,
bahwa tafsir ini bercorak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i. Corak tafsir ini
terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan al-Qur’an,
menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam, memperbaiki
tatanan kemasyarakatan umat, dan lainnya.
Corak tersebut sangat terlihat jelas, sebagai contoh ketika Quraish
Shihab menafsirkan kata
َ ﻧ7ھ
dalam surat al-Furqan ayat 63. QuraishShihab menjelaskan:
“Kata
(
َ ﻧ7ھ
)
haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron katayang di sini adalah masdar/indifinite nun yang mengandung makna
“kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan
kelemaha lembutan.
Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan
(
َن7ُ: َ)
ً ﻧ7َھ ِضرَ<ا َ$"َ!
)
yamsyuuna ‘ala al-ardhi haunan/berjalan di atasbumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara
jalan mereka tidak angkuh atau kasar.
Kini, pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita
dapat memasukkan dalam pengertian kata
(
َ ﻧ7ھ
)
haunan, disiplin lalumelanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang
angkuh atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat dan melecehkan
kiri dan kanannya.
Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan
atau larangan tergesa-gesa. Karena Nabi Muhammad SAW, dilukiskan
sebagai seseorang yang berjalan dengan gesit penuh semangat, bagaikan
turun dari dataran tinggi.Dari sini jelas, usaha Quraish Shihab untuk
memperbaiki tatanan kehidupan sosial sungguh kuat, sehingga masalah
disiplin lalu lintas pun disinggung dalam tafsirannya, walau pun mungkin
sebagai contoh. Jadi wajar dan sangat pantas sekali, kalau tafsirnya ini
digolongkan dalam corak al-Adabi al-Ijtima`i.
(http://anamko.blogspot.co.id/2013/08/kajian-kitab-tafsir-di-indonesia-tafsir.html.diakses kamis 19 November 2015 pukul 13.03)
BAB III KAJIAN PUSTAKA
A. Nilai
1. Pengertian Nilai
Nilai disamping juga sebagai produk dari masyarakat, juga
merupakan alat atau media untuk menyelaraskan antara kehidupan pribadi
dengan kehidupan bermasyarakat. Menanamkan nilai yang baik juga
merupakan fungsi utama pendidikan. Ada banyak tokoh pendidikan yang
mengartikan apa itu nilai. Nilai menurut Milon Rokeach dan Jams Bank
yang dikutip oleh Chabib Thoha dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan
Islam adalah sebaga suatu sistem kepercayaan yang berada dalam ruang
lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau
menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak
pantas dikerjakan. ( Thoha, 1996:60)
Dalam buku yang sama Chabib Thoha juga mengutip pendapat J.R
Fraenkel yang mendefinisikan nilai sebagai berikut: A value is an idea a
concept about what some one thinks important in life ( Thoha, 1996:60). Dari pengertian yang dikemukakan oleh J.R Fraenkel, ini menunjukkan
bahwa nilai bersifat subyektif, artinya tata nilai pada masyarakat satu belum
tentu tepat diterapkan untuk masyarakat yang lain, hal tersebut dikarenakan
Sebagai contoh untuk memahami devinisi nilai dari J.R Fraenkel
adalah sebagai berikut :
a. Segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di daerah
pedalaman dari pada segenggam emas. Hal tersebut dikarenakan
segengam garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan.
Sedangkan segenggam emas hanya sebagai pehiasan.
b. Segenggam emas lebih berarti dari pada sekarung garam bagi masyarakat
perkotaan.
Adanya perbedaan tersebut adalah dikarenakan segi manfaat dari
suatu hal. Nilai sesuatu akan selalu berbeda antara masyarakat yang satu
dengan yang lain. Pengertian ketiga yang dikutip Chabib Thoha dalam buku
yang sama mengenai pengertian nilai, dikemukakan oleh Sidi Gazalba.
Menurut Sidi Gazalba pengertian nilai adalah sebagai berikut:
Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar atau salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi. (Thoha, 1996:61).
Pengertian di atas menunjukkan adanya hubungan antara subjek
penelitian dengan objek. Seperti halnya garam dikatakan bernilai karena ada
subjek yang menganggapnya penting, jika garam tidak ada yang
membutuhkan, maka garam dapat dikatakan tidak memiliki nilai. Dari
beberapa pengertian di atas dapat diambil satu kesimpulan tentang definisi
2. Tata Nilai
Nilai secara umum adalah suatu faham yang sangat varian, dan lebih
bertendensi abstrak. Nilai timbul dari olahan sosial yang mempengaruhi
individu terus-menerus, sehingga nilai itu menyatu dengan diri. Tanpa
adanya interaksi tidak ada nilai. Orang yang sendirian dalam kamar yang
terkunci, baginya tidak berlaku nilai apapun. Dalam kesendirian, orang bisa
berbuat semaunya, tanpa mengaitkan nilai. Secara prediktif (perkiraan), nilai
bisa berupa pandangan, pertimbangan, keyakinan hidup, atau juga bisa
timbul dari ramuan agama, atau suatu anggapan yang implisit terikat pada
individu atau kelompok individu yang patut dan wajar. Maka, kadang suatu
nilai tidak mudah bisa dilepaskan begitu saja, karena telah menjadi bagian
atau aspek yang integral dari seluruh kepribadian seseorang. Dalam interaksi
sosial, konsep seperti kebenaran, keadilan, kepahlawanan, kesucian
kasih-sayang, dan sebagainya adalah dambaan nilai, yang membuat pergaulan
menjadi sejuk dan abstrak. Merusak nilai pada akhirnya juga merusak
norma dan merusak pergaulan. (Sukanto, 1994:45)
Nilai dan norma hanya bisa timbul, jika ada keharusan tanggung
jawab dan larangan, pada saat manusia hidup berkelompok, karena orang
yang menyendiri itu tidak terikat oleh suatu nilai, maka norma pun menjadi
tidak berguna baginya. Ini artinya, orang yang suka hidup menyendiri,
menjauhi alam dan pergaulan adalah orang yang hidup tanpa nilai dan
norma, dan juga tidak memerlukan kualitas kepribadian. Dalam konstelasi
komponen lingkungan hidup manusia dalam sistem alam semesta. Dengan
sistem nilai dengan nilai tertentu, manusia bisa mengubah kadar alam
menjadi sumber keidupan yang posistif (bermanfaat), atau juga bisa
menimbulkan nilai yang negatif (madharat). Dampak manfaat akan
membawa manusia kepada kebahagiaan dunia-akhirat. Sedangkan dampak
negatif bisa menyebabkan kehancuran dan kesengsaraan kehidupan manusia
sendiri, juga dunia-akhirat. Oleh karena itu, mendalami tata nilai berarti
bahwa dalam menyelnggarakan kehidupan di bumi ini, orang harus
mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Tuhan, kepada diri sendiri,
kepada masyarakat, dan kepada alam semesta. (Sukanto, 1994:45 Op. cit)
3. Macam-macam Nilai
Menurut Noeng Muhadjir nilai dibedakan menjadi dua macam, yaitu
nilai Ilahiyah dan Insaniyah (Thoha, 1996:64). Nilai Ilahiyah merupakan
nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah), sedangkan nilai Insaniyah
adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan
oleh manusia pula.
Nilai Ilahiyah dapat dibagi menjadi dua, pertama nilai ubudiyah
yaitu nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya berlaku dan beribadah
terhadap Tuhannya. Nilai uluhiyah sering kita sebut dengan istilah “hablum
minallah”. Kedua, nilai muammalah yaitu nilai yang ditentukan oleh Tuhan bagi manusia untuk dijadikan pedoman dalam berhubungan dengan
nilai individual, nilai biofisik, nilai ekonomik, nilai politik, dan nilai estetik.
Nilai ini juga dapat kita sebut dengan “hablum minannas”. (Thoha,
1996:64). Menurut analisa peneliti, termasuk dalam nilai insaniyah juga
meliputi nilai disiplin lalu lintas, nilai budaya dan juga nilai tradisi.
Allah SWT berfirman:
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS.
al-A’raf:199). (Departemen Agama RI , 1982:177)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW
agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam
ayat di atas adalah tradisi yang baik. Kalimat al-‘urf adalah bentukan dari
kata al-ma’ruf yang berarti segala bentuk kebaikan yang telah diketahui
secara umum oleh masyarakat. Kata Al-Ma’ruf sendiri banyak disebutkan
dalam ayat al-Qur’an yang bermakna kebaikan yang selaras dengan
kebaikan yang diterima oleh manusia secara umum. Dalam hal ini al-ma’ruf
juga bermakna adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sehingga ayat
ini memiliki banyak hubungan (munasabah) dengan ayat-ayat yang
membicarakan tentang adat/’urf yang ada di masyarakat.
Dari kedua jenis nilai di atas maka nilai Ilahiyah merupakan nilai
yang tidak lagi bersifat subyektif melainkan menjadi obyektif pada kalangan
agama tertentu. Hal ini dikarenakan nilai Ilahiyah tentunya didasarkan pada
firman Tuhan yang terdapat pada kitab suci agama tertentu. Meski nilai pada
masyarakat berbeda namun beragama sama, tentu saja aplikasi beragama
pada masyarakat tersebut tetaplah sama. Begitu juga nilai-nilai Ilahiyah
dalam agama Islam tentulah sama walau berada dalam masyarakat yang
memiliki budaya berbeda.
Berdasarkan adanya dua macam nilai di atas, maka penelitian ini
diharapkan dapat menemukan nilai-nilai Ilahiyah maupaun Insaniyah yang
ada dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9-13.
B. Masyarakat
1. Pengertian Masyarakat
Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal
dari kata latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari
kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah
ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai
prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain,
masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh
yang memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga-warganya, 2).
Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa identitas kuat yang mengikat
semua warga (Koentjaraningrat, 2009:115-118).
Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama,
hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan
pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan
hubungan, Mac lver dan Page (dalam Soerjono Soekanto 2006:22),
memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata
cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok,
penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan
manusia. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk
jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat.
Menurut Ralph Linton (dalam Soerjono Soekanto, 2006:22)
masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka
dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan
batas-batas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Selo
Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22) adalah orang-orang yang
hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai
kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan
Menurut Emile Durkheim (dalam Soleman B. Taneko, 1984: 11)
bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara
mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.
Masyarakat sebagai sekumpulan manusia di dalamnya ada beberapa unsur
yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama;
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan;
4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.
Menurut Emile Durkheim (dalam Djuretnaa Imam Muhni, 1994: 29
31) keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada
prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial.
Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial di dalam
bermasyarakat. Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi
kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat
sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya
manusia sebagai tujuan bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan
kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu
dengan yang lainnya (Soerjono Soekanto, 2006: 22).
Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa,
masyarakat memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam
sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial.
Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai
kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.
2. Masyarakat dan macamnya
Masyarkat adalah satu kesatuan yang selalu berubah, yang hidup
karena proses masyarakat yang menyebabkan perubahan itu (Shadily,
1980:33). Dalam zaman biasa masyarakat mengenal kehidupan yang teratur
dan aman, disebabkan oleh karena pengorbanan sebagian kemerdekaan dari
anggota-anggotanya, baik daengan paksa maupun suka-rela. Pengorbanan di
sini dimaksudkan menahan nafsu atau kehendak sewenang-wenang, untuk
mengutamakan kepentingan dan keamanan bersama. Dengan paksa berarti
tunduk dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan (negara, dan sebagaiya)
; dengan sukarela berarti menurut adat dan berdasarkan keinsyafan akan
persaudaraan dalam kehidupan bersama itu (desa berdasarkan adat dan
sebagainya).
Masih dalam buku yang sama menurut Hassan Shadily (1980:33),
cara terbentuknya masyarakat mendatangkan pembagian dalam :
a. Masyarakat paksaan, umpamanya negara, masyarakat tawanan ditempat
tawanan dan sebagainya.
1) Masyarakat alam (nature) yaitu yang terjadi dengan sendirinya :
suku-golongan (horde) atau suku (stam), yang bertalian karena darah atau
keturunan, umumnya yang masih sederhana sekali kebudayaanya.
2) Masyarakat kultur, terdiri karena kepentingan keduniaan atau
kepercayaan (keagamaan), yaitu antara lain kongsi perekonomian,
koperasi, gereja dan sebagaianya. (Shadily, 1980:33)
3. Asal Masyarakat
Bemacam-macam penyelidikan dijalankan, untuk mendapatkan jawaban
tentang asal masyarakat, tetapi menurut Hassan Shadily dalam bukunya
Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, tiada suatupun yang dapat ditegaskan
benar, semua pendapat hanya merupakan kira-kira dan pandangan saja. Antara
lain orang berkesimpulan, bahwa manusia tidak dapat hidup seorang diri, hidup
dalam gua atau dipulau sunyi umpamanya. Selalu ia akan tertarik kepada hidup
bersama dalam masyarakat, karena:
a. Hasrat yang berdasar naluri (kehendak yang di luar pengawasan akal)
untuk memelihara keturunan, untuk mempunyai anak, kehendak mana
akan memaksa ia mencari isteri sehingga masyarakat keluarga terbentuk.
b. Kelemahan manusia selalu terdesak ia untuk mencari kekuatan bersama,
yang terdapat dalam berserikat dengan orang lain, sehingga berlindung
bersama-sama dan dapat pula mengejar kebutuhan kehidupan sehari-hari
Sejak lahirnya sebagai bayi manusia telah tampak dalam kelemahannya,
kebutuhan untuk perlindungan dari ibu-bapak selalu diharapkannya,
demikian pula perlindungan keluarga itu sendiri terhadap bahaya yang
mengancam dari luar. Demikian keluarga terjadi, dan selanjutnya suku
bangsa, bangsa dan sebagainya.
c. Pendapat Aristoteles yang dikutip Hassan Shadily (1980:34): bahwa
manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang hanya menyukai
hidup bergolongan, atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama,
lebih suka daripada hidup sendiri.
Masih berhubungan dengan pendapat Aristoteles, mengingatkan akan
pikiran-pikiran Darwin yang seolah-olah diperkuat olehnya. Manusia
yang dikatakan satu keturunan dengan kera tentu saja terdapat hidup
bergolongan, karena nyata sekali bahwa kera dan sebangsanya selalu
terdapat hidup dalam bergolongan. Juga hewan-hewan yang lebih rendah
cara hidupnya seperti burung, ikan, dan lainnya telah terdapat dalam
golongan. Selanjutnya adalah kerjasama, pertolongan, penjagaan dan
pembalasan bersama terdapat dalam gerombolan semut, kera, gajah dan
sebagainya (Tiersosiologi- Dr. F Alves) dimana bukan akal tetapi naluri
yang menjadikan mereka bersatu. Sedikit sekali kiranya kekeliruan, jika
manusia yang masih sederhana cara hidup dan pikirannya dipersamakan
aturan hidupnya dengan hewan-hewan tersebut. Artinya mereka
menurut prinsip ekonomi umpamanya. Yang selalu terdapat pada manusia
modern.
d. Lain dari pada Aristoteles, Hassan Shadily juga mengutip pendapat
Bergson (lahir 1859): bahwa manusia hidup bersama bukan oleh
persamaan, melainkan oleh karena perbedaan yang terdapat dalam sifat,
kedudukan dan sebagainya, demikian oleh karena pendapat ini berdasar
kepada pelajaran dialektika, yang mencoba melihat kebenaran dalam
kenyataanya dengan mengadakan perbedaan dan perbandingan. Pendapat
Aristotels yang telah kuno itu tidak berentangan dengan pendapat Bergson
yang bersifat modern ; kedua-duanya dapat diakui kebenaran dasar
pemikirannya. (Shadily, 1980:34)
C. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan Secara Umum
1. Pembawaan Sosial
Manusia sebagai makhluk masyarakat. salah satu kehilafan yang
sangat umum ialah anggapan, bahwa manusia “menurut kodratnya” adalah
egois dan bahwa ia mempunyai kebebasan yang sangat luas. Tiap orang
mengenal kekuatan “akunya” sendiri, tetapi hanya sedikit orang yang
menginsyafi, betapa erat “aku” ini dengan “kita”. Manusia baru menjadi
manusia, karena hidup bersama dengan manusia yang lain. (Bouman,
1976:16)
Bouman (1976:16) dalam bukunya Ilmu Masyarakat Umum,
segenap sifat yang berkembang dalam pergaulan dengan orang lain.
Sifat-sifat tersebut kerap kali terdapat dalam pertentangan satu dengan lainnya :
perasaan harga diri di samping kecenderungan untuk patuh atau menyerah,
simpati dan sifat-sifat penolong di samping nafsu berjuang, hasrat
menyampaikan perasaan atau pikiran di samping kecenderungan menyendiri
dan menyimpan rahasia. Justru dalam pertentangan-pertentangan inilah
tersembunyi kekayaan alam tabiat manusia yang tak ubahnya dengan semua
bentuk-bentuk hidup.
Pembawaan sosial memang meperlihatkan beberapa sifat-sifat yang
tetap, tetapi hasrat naluri adalah tetap lebih penting, karena ia bersama-sama
dengan sifat-sifat yang diperoleh kemudian, menjadi sebab dapat
berubah-ubahnya alam tabiat manusia dalam batas-batas tertentu. Bilamana
pembawaan sosial manusia tidak dapat berubah dan tidak dapat diolah lagi,
maka tidak akan mungkin ada pendidikan dan perkembangan kebudayaan.
Maka manusia akan tetap terkurung dalam kehidupan kehewanan yang tidak
bersejarah, yang terus berulang-ulang seperti suatu lingkaran yang tak
berujung berpangkal. Ini menggambarkan bagaimana alam tabiat manusia
baru dapat berkembang setelah ia bergaul dengan sesama manusia.
(Bouman, 1976:16-17)
2. Kecenderungan Meniru dan Saling Bergaul (berinteraksi)
Kecenderungan meniru termasuk kecenderungan naluriah, yang
peranan yang pentin-penting. Apa yang ada dalam permainan anak-anak
masih berupa “peniruan”, jika dilihat dari sudut kemasyarakatan mempunyai
dua arti:
a. Mempertahankan bentuk-bentuk kebudayaan dan adat istiadat yang
diambil secara diam-diam oleh keturunan yang satu dari keturunan yang
lain. Hal ini terutama berlaku untuk segenap adat sopan-santun.
b. Penghematan tenaga. Tidak semua tindakan dapat didasarkan atas
keputusan kehendak yang bebas. Sebagai ganti pertimbangan yang teliti,
dapat diadakan peniruan, untuk memudahkan hidup. (Bouman, 1976:22)
Dalam abad kesembilanbelas, karena pengaruh cara berpikir ilmu
pengetahuan alam, orang telah mengemukakan pentingnya naluri bergaul
sebagai suatu keharusan hayati, yang rupanya juga dalam zaman
purbakala telah menjadi syarat untuk mencari makanan dan untuk
keamanan. Barulah kemudian orang mulai memahami golongan sebagai
kesatuan kemasyarakatan, di mana antara lain karena kecenderungan
manusia untuk bergaul, dalam hal ini pergaulan itu mempuyai peranan
sebagai tadi-sekarang dalam arti yang lebih luas- seluruh pembawaan
kemasyarakatan tiap orang dapat berkembang, menjadi penolong
terbentuknya pribadi seseorang. (Bouman, 1976:24)
3. Tolong-menolong dan Simpati
Simpati ialah kesanggupan untuk dengan langsung turut merasakan
jadilah perasaan suka “mengerti”. Mengerti adalah semacam mengetahui, di
samping ‘langsung merasakan’ atau ‘ikut merasakan’. Pada bentuk simpati
yang murni, perasaan-perasaan yang tak sadarlah berkuasa.
Perasaan-perasaan serupa itu kebanyakan ditimbulkan dalam hubungan antara
manusia yang satu dengan yang lain. Bila seseorang tidak melihat sesuatu
kejadian atau bilamana gambarnya kabur, maka tampaklah bahwa kekuatan
perasaan simpati itu berkurang. Hal ini berlaku pula bagi kecenderungan
tolong-menolong, yang demikian erat hubungannya dengan simpati.
Kecenderungan naluriah untuk menolong orang lain sebenarnya
berdasarkan perasaan simpati daripada perasaan kasihan yang bersifat
sepihak saja. Orang yang terjun ke dalam air untuk menolong seseorang
yang hendak tenggelam, biasanya bukanlah didorong oleh perasaan kasihan.
kebanyakan tolong-menolong terbatas pada pemberian pertolongan
kecil-kecil antara seseorang dengan orang lain. Bantu-membantu ini mempererat
hubungan antara sesama manusia (jugs hubungsn batin) dan oleh karena itu
menjadikan faktor dalam pembentukan perasaan bersatu padu. (Bouman,
1976:24)
4. Hasrat Berjuang
Arti hasrat berjuang ini untuk masyarakat, terutama terletak dalam
kenyataan, bahwa oleh karenannya individu menjadi manusia yang
sebenarnya. Dalam dirimya tumbuh sifat-sifat yang memungkinkannya