Awalnya mungkin tidak sedikitpun terbesit oleh pikiran masyarakat Bejagan atau Kampung Laut bahwa mereka akan disuguhkan satu fenomena ekologi yang tidak biasa. Laut yang selama ini menjadi sumber dan tempat mereka hidup, tumbuh dan besar, harus berganti menjadi daratan. Tanah timbul dan Segara Anakan mempunyai potensi sumber daya alam yang melimpah. Peralihan mata pencaharian dari nelayan ke petani membuat warga desa harus mengusahakan lahan timbul menjadi lahan pertanian demi menjaga keberlangsungan hidup mereka.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, sistem produksi tanah timbul bisa dipetakan menjadi beberapa pola. Pertama, pola tradisional di mana para pemilik lahan mengelolanya dengan cara-cara lama dan sederhana. Target penghasilan dari lahan yang dikelola biasa saja, hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ada beberapa rumah tangga petani yang menganggap bahwa bertani di tanah timbul ini sekedar alternatif tambahan. Pendapatan utama mereka tetap dari buruh, nelayan, dan usaha warung. Sesuai dengan pernyataan salah satu responden yaitu:
“…baru sekitar tiga tahunan saya menanam padi di lahan milik adik saya dengan sistem paro. Tadinya saya tidak mau menanam padi karna pasti butuh modal banyak, tapi karena adik saya sudah tidak ada waktu lagi untuk mengurus sawahnya, saya pun membantu ngolah dan dapat bagian. Yah itung-itung membantu sodara dan saya pun mendapat bagian beras dari hasil mengolah sawah. Lumayan hasilnya walaupun tidak banyak bisa untuk dimakan, jadi tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membeli beras. Sehari-hari pemenuhan kebutuhan hidup berasal dari hasil buruh angkut kayu dan buruh bangunan. Hasil dari buruh ini lebih menjanjikan selain itu ditambah dengan hasil usaha warung yang dilakukan oleh istri saya. Jadi mengolah lahan sawah ini hanya untuk tambahan saja…”(Sarpo, 43 tahun, 20 Maret 2014)
Kedua, adalah mereka yang mengolah lahan secara masif. Mereka ini umumnya warga yang begitu memiliki hak garap atas tanah, langsung memutuskan diri untuk menjadi petani sepenuhnya. Selain itu ada pula mereka yang memiliki hak garap atas tanah timbul langsung bekerja sama dengan pihak ketiga atau langsung menjualnya kepada orang luar sehingga lahan itu dikelola oleh bukan warga asli Kampung Laut. Akan tetapi semasif apapun pengelolaannya, untuk kategori lahan pertanian yang terbentuk dari tanah timbul, tetap saja mengandalkan tadah hujan. Hal ini terjadi karena irigasi teknis yang diharapkan dapat menjadi pemenuhan kebutuhan air saat musim kemarau belum ada sama sekali.
Ketiga, model pengelolaan biasa bahkan cenderung asal. Lahan yang hak garapannya sudah dimiliki digarap sekedarnya saja. Penduduk yang mengelola lahan seperti ini memang tidak mengandalkan penghasilan dari lahan-lahan tersebut. Adapun pengelolaan lahan dilakukan agar lahan yang mereka miliki tidak ditumbuhi semak belukar sehingga bisa memancing tumpang tindih kepemilikan. Tumpang tindih kepemilikan sering terjadi akibat kebiasaan tidak
mengurus patok lahan, bahkan ada yang hilang. Selain itu banyak semak belukar yang tumbuh dan bahkan tanaman bakau (mangrove) di atasnya. Jika sudah lebat, beberapa warga baru menyangka bahwa itu adalah tanah baru muncul sehingga mereka mematokinya.
Penggunaan Saprotan Alat Penggilingan Padi
Salah satu sarana produksi yang digunakan petani yaitu alat penggilingan padi yang digunakan untuk menggiling padi dan memisahkan padi dengan gabahnya. Alat ini sangat efektif dan efisien untuk membantu petani pada masa panen. Pada kenyataannya di lapang, mayoritas petani tidak menggunakan alat penggilingan padi karena keterbatasan biaya dan akses untuk menyediakan alat penggilingan padi di desa walaupun ada segelintir petani yang menggunakan tetapi tidak banyak. Distribusi responden berdasarkan penggunaan alat penggilingan padi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Tidak Pakai 97% Pakai
3%
Gambar 16 Persentase responden berdasarkan penggunaan alat penggilingan padi di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Berdasarkan Gambar 16 hanya ada satu orang atau tiga persen responden yang menggunakan alat penggilingan padi pada saat panen dan sebanyak 39 orang atau 97 persen responden yang tidak menggunakan alat pengilingan padi. Mayoritas petani di desa ini masih menggunakan cara tradisional untuk
memisahkan padi dengan gabah yaitu dengan di “gebyok”. Cara ini memang
menghabiskan waktu dan tenaga dibandingkan menggunakan alat penggilingan padi. Hal ini tetap dilakukan oleh petani agar menghemat biaya pengeluaran usaha tani, selain itu akses terhadap penggilingan padi sangat sulit karena hanya ada beberapa petani yang memiliki alat penggilingan padi tersebut. Biasanya petani menggunakan jasa buruh tani untuk meng“gebyok” padi yang telah dipanen. Petani yang tidak menggunakan pengilingan padi cenderung lebih memiliki hubungan sosial dengan buruh tani karena petani menggunakan jasa buruh tani.
Traktor
Alat yang biasa digunakan petani untuk membajak sawah yaitu dengan bantuan kerbau atau traktor namun ada pula yang masih menggunakan cangkul bagi petani yang mengolah lahan sempit. Keputusan petani untuk menggunakan traktor merupakan keputusan yang tepat karena lebih menghemat waktu dan tenaga. Luas sawah yang digarap pun cukup luas, sangat tidak efisien dan efektif apabila masih menggunakan cangkul namun masih ada petani yang masih menggunakan cangkul walaupun tidak banyak. Distribusi responden berdasarkan penggunaan traktor dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Pakai 95% Tidak pakai
5%
Gambar 17 Persentase responden berdasarkan penggunaan traktor di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Berdasarkan Gambar 17 sebanyak dua orang atau lima persen responden tidak menggunakan traktor dan sebanyak 38 orang atau 95 persen responden yang menggunakan traktor untuk mengolah lahan garapan. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa mayoritas petani telah menggunakan traktor dalam mengolah lahan garapan mereka. Hal ini mereka lakukan untuk menghemat waktu walaupun ada biaya khusus untuk menyewa traktor dan mempekerjakan buruh tani untuk membajak sawah. Traktor yang digunakan merupakan traktor sewaan yang biasanya disewa seharga Rp160 000 sampai Rp200 000/100 ubin. Biaya sewa traktor tergantung dengan luas lahan sawah yang dibajak. Pengeluaran dalam satu kali tanam yaitu sekitar dua sampai tiga setengah juta rupiah, tergantung pada luas lahan yang digarap.
Bibit
Bibit yang baik dan berkualitas merupakan salah satu penentu kualitas padi yang yang dipanen. Beras yang dikonsumsi berawal dari bibit yang ditanam oleh petani dan menjadi padi hingga dapat dipanen. Sebanyak empat puluh orang atau 100 persen responden menggunakan bibit yang baik dan berkualitas. Mayoritas jenis tanaman padi yang ditanam di desa ini yaitu padi non hibrida dengan varietas Cilamaya namun ada juga petani yang menggunakan varietas Cianjur tetapi tidak banyak. Bibit tersebut dibeli petani di Jawa Barat karena letaknya lebih dekat dengan Desa Klaces. Alasan petani memilih varietas Cilamaya karena sesuai dengan kontur tanah dan musim di desa ini. Hasil panen yang sudah berupa beras ada yang dijual dan ada pula yang dikonsumsi sendiri.
Biasanya beras varietas Cilamaya dijual dengan harga Rp300 000 sampai Rp400 000/kuintal.
Pupuk
Selain kesuburan tanah, pupuk menjadi salah satu faktor pertumbuhan dan perkembangan padi yang ditanam di lahan garapan. Seluruh responden atau 100 persen sudah menggunakan pupuk untuk membantu menjaga kesuburan dan pertumbuhan padi mereka. Mayoritas petani masih menggunakan pupuk kimia yaitu pupuk urea. Pupuk kandang dan pupuk kompos jarang digunakan oleh petani karena mereka tidak memiliki persediaan kotoran hewan dan daun-daun. Menurut mereka pupuk urea lebih praktis dan mudah didapatkan walaupun harus mengeluarkan biaya lebih. Petani menyadari bahwa penggunaan pupuk urea yang berlebih akan menurunkan kualitas padi mereka, tetapi mereka tetap saja menggunakannya karena hanya ada pupuk urea yang bisa digunakan.
Pestisida
Menggarap lahan sawah yang berasal dari tanah timbul memang tidak mudah. Di samping belum adanya pengairan teknis, kendala lain yang dialami petani yaitu banyaknya hama yang menyerang tanaman padi mereka. Hama yang menyerang padi pun bermacam-macam yaitu keong, wereng, tikus, dan ulat. Mayoritas petani mengeluhkan tanaman padi mereka diserang oleh hama keong bahkan pernah pada suatu ketika tanaman yang di panen hanya sedikit karena hama keong yang memakan padi. Hingga saat ini, petani menggunakan obat untuk membasmi hama tersebut. Setiap hama yang menyerang, berbeda pula pestisida atau obat yang digunakan petani. Distribusi responden berdasarkan penggunaan pestisida dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Pakai 80% Tidak pakai
20%
Gambar 18 Persentase responden berdasarkan penggunaan pestisida di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Berdasarkan Gambar 18, sebanyak delapan orang atau dua puluh persen yang tidak menggunakan pestisida dan sebanyak 32 orang atau delapan puluh persen responden yang menggunakan pestisida. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa mayoritas petani bisa mengakses dan menggunakan pestisida untuk membasmi hama. Hal ini mereka lakukan agar tanaman padi yang ditanam tidak
habis dimakan oleh hama tersebut. Harga pestisida yang relatif terjangkau membuat petani dapat mengakses dan menggunakanya. Nama pestisida yang sering digunakan yaitu Saponen untuk membasmi keong yang konon katanya terbukti ampuh membasmi hama keong tersebut.
Bagi para petani yang sungguh-sungguh mengolah lahannya dan masih memanfaatkan air hujan sebagai sumber pengairan, tentu membutuhkan kesabaran dan ketelatenan dalam mengolah sawah. Hal ini semata-mata untuk menghasilkan padi yang bagus dan berkualitas sehingga apabila dijual akan memiliki harga pasaran yang tinggi. Kegiatan berusaha tani, dibutuhkan berbagai macam saprotan yang dapat mendukung hasil pertanian seperti traktor, bibit, pupuk, dan pestisida. Distribusi responden berdasarkan agregat penggunaan saprotan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Tinggi 77% Sedang
23%
Gambar 19 Persentase responden berdasarkan agregat penggunaan saprotan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Berdasarkan Gambar 19, sebanyak 31 orang atau 77 persen responden yang penggunaan saprotannya berada pada kategori tinggi dan sebanyak sembilan orang atau 23 persen responden yang penggunaan saprotannya berada pada kategori sedang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa petani sudah mulai bisa menerima perkembangan teknologi pertanian. Letak persawahan yang jauh dari penyedia saprotan tidak menjadi halangan petani untuk menggunakan saprotan seperti petani lain yang berada di kota atau pedesaan yang dekat dengan penyedia saprotan.
Sistem Ketenagakerjaan Penyuluhan
Penyuluhan pertanian merupakan salah satu media informasi tentang usaha tani yang dilakukan oleh badan atau lembaga yang ditujukan kepada petani atau masyarakat luas. Biasanya penyuluhan ini diadakan oleh pemerintah desa, dinas pertanian, mahasiswa, dan kelompok-kelompok petani. Pelaksanaannya pun berkala sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak. Penyuluhan yang ada di Desa Klaces masih sedikit tetapi petani sangat antusias akan penyuluhan tersebut. Mayoritas petani mengikuti penyuluhan di desa untuk memperoleh informasi
mengenai usaha tani. Distribusi responden berdasarkan keikutsertaan dalam penyuluhan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Mengikuti 92% Tidak
mengikuti 8%
Gambar 20 Persentase responden berdasarkan keikutsertaan mengikuti penyuluhan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Berdasarkan Gambar 20, sebanyak 37 orang atau 92 persen responden yang sering mengikuti penguluhan dan hanya ada tiga orang atau delapan persen responden yang tidak mengikuti penyuluhan di desa. Alasan beberapa petani tidak mengikuti penyuluhan karena mereka tidak memiliki waktu luang untuk hadir pada penyuluhan. Mereka lebih memilih bekerja dibandingkan dengan mengganti waktu bekerja mereka untuk menghadiri penyuluhan. Biasanya penyuluhan diadakan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Cilacap yang bekerja sama dengan pemerintah desa. Selain itu, ada pula penyuluhan dari mahasiswa jurusan pertanian yang sedang melakukan Praktek Kerja Lapang. Kegiatan ini sangat membantu petani untuk mendapatkan informasi dengan mudah.
Efektivitas Sumber Informasi
Selain penyuluhan yang telah dijelaskan sebelumnya, sumber informasi yang diperoleh petani tentang pertanian di antaranya dari televisi, buku, warga pendatang yang berusaha tani. Buku-buku mengenai usaha tani tersedia di perpustakaan kantor desa dan kantor kecamatan. Hal ini memudahkan petani untuk mengakses informasi mengenai usaha tani agar pengetahuannya semakin berkembang. Seluruh responden atau 100 persen responden mengaku bahwa walaupun letak desa yang terpencil tidak menyurutkan semangat mereka belajar mengenai pertanian. Sumber informasi yang tersedia dimanfaatkan sebaik mungkin untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka. Biasanya pada penyuluhan yang diselenggarakan, di samping penyampaian informasi dilakukan pula praktik mengenai usaha tani seperti pembuatan pupuk kompos, pengendalian hama dan praktik penanaman padi yang sesuai dengan jarak tanam yang benar.
Intensitas Mengolah Sawah
Berdasarkan penelitian di lapang, seluruh responden atau 100 persen mengolah lahan garapannya secara rutin. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga lahan garapan mereka agar tetap bersih dari tanaman liar dan hama. Hasil dari lahan garapan memang tidak sebanyak yang diharapkan oleh petani karena faktor cuaca dan hama yang menyebabkan hasil panen tidak sebanding dengan luas lahan garapan. Para petani menjelaskan bahwa apabila setiap hari tidak ke sawah, mereka takut hama yang menyerang padi semakin banyak. Disamping menggarap lahan, mayoritas petani memiliki pekerjaan sampingan. Mereka pun membagi waktu pekerjaan mereka. Biasanya mereka pergi ke sawah pada pagi hari dan sore hari. Pada siang hari mereka melakukan pekerjaan lain untuk menambah pendapatan keluarga.
Pelibatan Anggota Keluarga
Selain menggunakan jasa buruh tani dalam mengolah lahan garapan, para petani pun melibatkan keluarga mereka seperti istri atau suami dan anak mereka. Hal ini dilakukan selain untuk menghemat biaya upah buruh, anggota keluarga yang lain diharapkan dapat belajar mengolah lahan garapan yang dimiliki. Apabila kepala keluarga yang berprofesi sebagai petani atau salah satu anggota rumah tangga meninggal dunia, maka anggota keluarga yang lain akan meneruskan usaha tani tersebut. Distribusi responden berdasarkan pelibatan anggota keluarga dalam berusaha tani dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 21 Persentase responden berdasarkan pelibatan anggota keluarga dalam mengolah sawah di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah tahun 2014
Berdasarkan Gambar 21, sebanyak 26 orang atau 65 persen responden petani yang melibatkan anggota keluarganya untuk ikut mengolah lahan garapan dan sebanyak 14 orang atau 35 persen responden petani yang tidak melibatkan anggota keluarganya dalam mengolah lahan mereka. Berbagai alasan petani yang tidak melibatkan salah satu anggota keluarga di antaranya karena usia anggota keluarga yang sudah tua dan tidak mungkinkan untuk membantu, semua anggota keluarga telah memiliki pekerjaannya masing-masing, selain itu membiarkan istri untuk fokus mengurus anak serta warung di rumahnya. Bagi petani yang melibatkan anggota keluarga memberikan keuntungan sendiri yaitu sedikit
menghemat biaya upah buruh karena mengurangi jumlah buruh yang dipekerjakan.
Penerapan Ilmu Pertanian
Informasi mengenai usaha tani yang didapat dari berbagai sumber informasi memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan pada usaha tani mereka. Semua responden atau 100 persen responden menjelaskan bahwa ilmu pertanian yang dipelajari mereka terapkan untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pada kenyataannya, meskipun ilmu pertanian telah diterapkan, hasil panen mereka selalu tidak sebanding dengan luas lahan yang digarap. Hal ini terjadi karena faktor cuaca yang cenderung kemarau sehingga lahan kekurangan air dan menjadi kering. Selain itu hama keong yang selalu menyerang padi di sawah. Kendala tersebut tidak menyurutkan semangat petani untuk terus mencari dan menggali kemampuan mereka dalam berusaha tani walaupun hasil dari lahan garapannya jauh dari yang diharapkan.
Dalam menghadapi keterbatasan sumber daya dan pendapatan, keluarga petani miskin melakukan coping dengan beragam strategi misalnya dual-earner, pola nafkah ganda, mencari dukungan sosial, sampai menurunkan kualitas hidup. Bekerja bagi istri petani merupakan keharusan, bahkan dalam kondisi tertentu bukan hanya istri yang ikut bekerja di pertanian, melainkan melibatkan sebanyak mungkin anggota keluarga untuk bekerja. Selain itu coping strategi yang lainnya adalah dengan pola nafkah ganda yaitu dalam waktu yang sama bekerja dibidang lain misalnya sebagai buruh angkut, berjualan kecil-kecilan dan buruh bangunan. Distribusi responden berdasarkan sistem ketenagakerjaan dijelaskan pada gambar di bawah ini. Tinggi 85% Sedang 15%
Gambar 22 Persentase responden berdasarkan agregat sistem ketenagakerjaan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Berdasarkan Gambar 22, mayoritas responden yaitu 34 orang atau 85 persen sistem ketenagakerjaannya berada pada kategori tinggi dan sebanyak enam orang atau 15 persen resonden yang sistem ketenagakerjaannya berada pada kategori sedang. Mayoritas respoden memiliki alternatif pekerjaan lain selain mengolah sawah. Hasil dari lahan sawah yang tidak pasti dan membutuhkan
waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, tidak menyurutkan para petani dalam mengolah lahan sawahnya secara rutin. Saat masa tanam dan panen pun mereka melibatkan anggota keluarganya untuk membantu agar efektif dan efisien. Ilmu pertanian diperoleh secara otodidak maupun belajar dari petani yang berasal dari warga pendatang yang memiliki dasar dibidang pertanian. Penyuluhan dibidang pertanian jarang dilakukan oleh pemerintah kabupaten setempat. Kelompok tani yang pernah terbentuk yaitu Maju Jaya hanya bertahan sekitar dua tahun dan kini sudah tidak aktif lagi.
Ikhtisar
Sistem produksi tanah timbul bisa dipetakan menjadi beberapa pola. Pertama, pola tradisional di mana para pemilik lahan mengelolanya dengan cara- cara lama dan sederhana. Hasil usaha tani dari lahan yang digarap sedikit dan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari hari (subsisten). Kedua, adalah pengolahan lahan secara masif. Mereka ini umumnya warga yang begitu memiliki hak garap atas tanah, langsung memutuskan diri untuk menjadi petani sepenuhnya. Ada pula yang bekerja sama dengan orang lain untuk mengolahnya atau langsung menjualnya kepada pendatang, sehingga yang mengolah sawah dari bentukan tanah timbul bukanlah warga asli Kampung Laut. Ketiga, model pengelolaan biasa bahkan cenderung asal. Lahan yang hak garapannya sudah dimiliki digarap sekedarnya saja. Penduduk yang melakukan pola ketiga ini tidak menggantungkan hidupya pada sawah. Mereka mengolah lahan agar lahannya tidak ditumbuhi semak belukar dan tidak dipatok oleh orang lain.
Kini, berbagai jenis saprotan yang telah berkembang dapat membantu petani untuk mengolah lahan sawahnya. Penggunaan saprotan yang baik dan berkualitas dapat membuat pengolahan lahan menjadi efektif dan efisien. Begitu pula pada sistem ketenagakerjaan yang diterapkan. Penggunaan saprotan petani di Desa Klaces cenderung sudah berada pada kategori tinggi walaupun pada saat panen pemisahan padi dengan gabah masih menggunakan cara sederhana yang
biasa dikenal oleh warga yaitu dengan sistem “gebyok”. Tidak dapat dipungkri
bahwa penggunaan saprotan untuk mengolah sawah menghabiskan biaya yang cukup besar, padahal hasil usaha tani kadang tidak sebanding dengan pengeluaran. Hal ini terjadi karena sawah tersebut masih merupakan sawah tadah hujan yang menggantungkan pengairannya dari air hujan, selain itu masih banyak hama yang kerap menyerang tanaman padi. Hama yang sering menyerang adalah hama keong, wereng, tikus, dan ulat. Tingkat penggunaan pestisida tergolong tinggi karena banyak hama yang menyerang tanaman mereka. Petani sudah menggunakan traktor untuk mengolah sawahnya agar mengolah sawah lebih efektif dan efisien.
Mayoritas petani di desa ini memiliki pekerjaan lain selain mengolah sawah. Petani di sini kebanyakan masih subsisten atau hasil usaha taninya hanya dikonsumsi sendiri walaupun ada beberapa petani yang menjual hasil usaha taninya namun tidak banyak. Hampir semua petani di desa ini melibatkan anggota rumah tangganya untuk membantu mengolah lahan sawah. Informasi yang didapatkan mengenai usaha tani berasal dari penyuluhan, televisi, buku dan dari
sesama petani. Informasi tersebut menambah pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan produktivitas lahan usaha tani. Penyuluhan yang diadakan oleh pemerintah sangat jarang sekali. Seharusnya pemerintah mengadakan penyuluhan pertanian agar para petani memiliki pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang lebih baik lagi dalam mengolah lahan garapannya. Hal ini dikarenakan kontribusi hasil usaha tani sangat sedikit terhadap pendapatan rumah tangga petani. Luas lahan garapan yang luas tidak menjamin petani mendapatkan hasil yang banyak dari usaha taninya tetapi mereka tetap mengolah lahan garapannya secara rutin.