• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Lanskap: Struktur Penguasaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Lanskap: Struktur Penguasaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

HIDUP RUMAH TANGGA PETANI DESA KLACES

AULIA RIZKI ANDINI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Lanskap: Struktur Penguasaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

(3)

ABSTRAK

AULIA RIZKI ANDINI. Perubahan Lanskap: Struktur Penguasaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani Desa Klaces. Dibawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan lanskap, struktur penguasaan lahan, corak usaha tani dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup rumah tangga petani di Desa Klaces. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan didukung metode kualitatif. Perubahan lanskap yang terjadi di Laguna Segara Anakan diakibatkan oleh berbagai macam sebab yang kompleks. Seiring dengan semakin menyempitnya Segara Anakan, perubahan bentang alam tersebut memunculkan sumber daya alam dan sumber daya agraria yang baru yaitu tanah timbul. Masyarakat Kampung Laut pun harus kehilangan sumber nafkahnya yang bertumpu pada perairan ini. Sebagian dari mereka kemudian mulai beralih profesi, menjadi petani dengan memanfaatkan tanah timbul sebagai lahan garapan. Berdasarkan hasil penellitian dan perhitungan, struktur penguasaan lahan memiliki hubungan negatif, korelasi sangat lemah dan tidak signifikan dengan tingkat kualitas hidup rumah tangga segi materi dan corak usaha tani memiliki hubungan mempengaruhi yang sangat lemah, tidak searah dan tidak signifikan terhadap tingkat kualitas hidup rumah tangga segi materi. Hal ini dikarenakan kontribusi tanah timbul di sektor pertanian sangat kecil terhadap pendapatan total rumah tangga petani yang terkait dengan kualitas hidup rumah tangga petani. Struktur penguasaan lahan memiliki hubungan positif, korelasi yang kuat dan signifikan dengan tingkat kualitas hidup rumah tangga segi non materi dan corak usaha tani memiliki korelasi yang cukup, searah dan signifikan terhadap tingkat kualitas hidup rumah tangga petani segi non materi. Petani memiliki hubungan sosial yang tinggi dengan sesama petani, penyedia saprotan, aparat pemerintah desa, dan warga desa.

Kata kunci: perubahan lanskap, tanah timbul, struktur penguasaan lahan, corak usaha tani, kualitas hidup rumah tangga petani.

ABSTRACT

AULIA RIZKI ANDINI. Landscape Changes:The Structure of Land Tenure, Farming Patterns and Their Effects on Quality of Life of Farm Household in The Village Klaces. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO

(4)

Most of them then began to switch professions, becoming farmers use the land as the land is raised.Based on the results penellitian and calculations, the structure of land tenure has a negative correlation, the correlation is very weak and not significant with the level of quality of life in terms of material and household patterns affecting farming has a very weak relationship, not the direction and not significant to the household level in terms of quality of life material. This is because the contribution of land arising in the agricultural sector is very small against the total income of farm households is associated with quality of life of farm households. The structure of land tenure has a positive relationship, a strong and significant correlation with the level of quality of life of households and non-material aspects of farming patterns have enough correlation, the direction and significant impact on the level of quality of life of farm households in terms of non-material. Farmers have a high social relationships with fellow farmers, saprotan providers, government officials village, and the villagers.

(5)

PERUBAHAN LANSKAP: STRUKTUR PENGUASAAN

LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS

HIDUP RUMAH TANGGA PETANI DESA KLACES

AULIA RIZKI ANDINI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Disetujui oleh

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

Tanggal Lulus

Judul Skripsi : Perubahan Lanskap: Struktur Penguasaan Lahan dan

Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani Nama : Aulia Rizki Andini

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya tulis yang dimulai sejak Januari tahun 2013 ini berjudul Perubahan Lanskap; Struktur Penguasaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA, selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan saran, kritik, dan motivasi selama proses penulisan karya tulis ini. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh warga Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut. Tidak lupa penulis menyampaikan hormat dan rasa terima kasih kepada keluarga tercinta, Ibunda Yuli Kurniasih yang segenap jiwa dan raganya selalu memberikan semangat, doa, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis.

Terima kasih kepada sahabat-sahabatku Fauziah Zurriyatina, Nindya Priska Permata, Kunti May Wulan, Atrina Dwi Putri, Regina Agustin, Anna Nur Chulafa, Lorensa Virgiana, Ahmad Fauzi, Anggi Pratama, Hadi Prasetyo atas persahabatan luar biasa yang kalian berikan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Sylsilia Trinova Sembiring sebagai teman seperjuangan saat penelitian serta Regina Agustin dan Erlisa Saraswati teman sebimbingan yang senantiasa memberikan bantuan dan motivasinya selama ini. Serta untuk Arif Rachman, yang telah menjadi tutor dan selalu memotivasi, mendukung, serta mendengarkan keluh kesah penulis. Keluarga besar mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) angkatan 47 yang dengan segala kemurahan hatinya selalu bisa menerima penulis apa adanya menjadi bagian dari mereka. Serta semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan, dan kerja samanya selama ini.

Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ini terdapat banyak kesalahan, untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.

Bogor, Mei 2014

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 7

Tinjauan Pustaka 7

Perubahan Lanskap dan Tanah Timbul 7

Struktur Agraria 8

Pola Penguasaan Tanah dan Kelembagaannya 12

Gambaran Usaha Tani di Indonesia 17

Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani 18

Kerangka Pemikiran 21

Hipotesis Penelitian 23

Definisi Konseptual 23

Definisi Operasional 23

PENDEKATAN LAPANG 27

Metode Penelitian 27

Lokasi dan Waktu Penelitian 27

Teknik Pemilihan Responden dan Informan 28

Teknik Pengumpulan Data 29

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 30

POTRET DESA KLACES KAMPUNG LAUT 33

Letak Geografis Desa Klaces 33

Demografi Desa Klaces 34

Penduduk 34

Ketenagakerjaan 35

Pendidikan 37

Religi 38

Karakteristik Subyek Penelitian 39

Usia 39

Pendidikan 39

Pengalaman Bertani 41

Jumlah Tanggungan 42

Status Kependudukan 42

Sarana dan Prasarana Desa Klaces 43

Riwayat Pembentukan Kecamatan Kampung Laut 45

Jejak Awal Kampung Laut 45

Pola Pemukiman 46

(9)

PERUBAHAN LANSKAP ALAM DAN ANEKA KONFLIK AGRARIA 49

Laguna Unik di Selatan Jawa 49

Sumber Daya Kawasan Segara Anakan 49

Kompleksitas Masalah Pasca Perubahan Lanskap Alam 54 Tanah Timbul Sebagai Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Agraria Baru 60

Aneka Konflik di Tanah Timbul 62

Ikhtisar 64

PEMBENTUKAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN DESA KLACES

PASCA TANAH TIMBUL 67

Penguasaan Tanah Timbul 67

Sistem Trukah 67

Sistem Bagi Hasil 67

Sertifikasi Lahan Pekarangan 68

Sistem Transaksi Jual Beli 68

Ragam Bentuk Penguasaan Lahan Pertanian dan Non Pertanian 69

Pemilik Penggarap Murni 70

Pemilik Penyakap 71

Penyakap Murni 72

Tingkat Penguasaan Lahan Garapan Sawah di Tanah Timbul 72

Trukah 75

Warisan 76

Bagi Hasil 76

Jual Beli 77

Tingkat Ketergantungan Lahan Sawah 77

Kelembagaan Penguasaan Lahan 78

Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan 80

Ikhtisar 81

CORAK USAHA TANI DESA KLACES 83

Penggunaan Saprotan 84

KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA PETANI PASCA TANAH TIMBUL

(10)

HUBUNGAN PENGARUH STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN DAN CORAK USAHA TANI TERHADAP KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA

PETANI 99

Hubungan Pengaruh Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kualitas Hidup

Rumah Tangga Segi Materi 99

Hubungan Pengaruh Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kualitas Hidup

Rumah Tangga Segi Non Materi 101

Hubungan Pengaruh Corak Usaha Tani Terhadap Kualitas Hidup Rumah

Tangga Segi Materi 102

Hubungan Pengaruh Corak Usaha Tani Terhadap Kualitas Hidup Rumah

Tangga Segi Non Materi 104

Ikhtisar 105

PENUTUP 107

Simpulan 107

Saran 108

DAFTAR PUSTAKA 111

LAMPIRAN 115

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perubahan luas Laguna Segara Anakan tahun 1924-2011 1

Tabel 2 Jadwal penelitian tahun 2014 28

Tabel 3 Luas lahan berdasarkan jenis penggunaan lahan Desa Klaces 33 Tabel 4 Jumlah penduduk Kecamatan Kampung Laut berdasarkan jenis

kelamin

34 Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Klaces berdasarkan kelompok usia 35 Tabel 6 Jenis mata pencaharian di Desa Klaces tahun 2014 36 Tabel 7 Bentuk dan jumlah sarana dan prasarana Desa Klaces 44 Tabel 8 Jenis kawasan di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap 50 Tabel 9 Dinamika sistem sosial ekologi Laguna Segara Anakan 55 Tabel 10 Stakeholder pengelolaan kawasan Laguna Segara Anakan 59 Tabel 11 Hubungan struktur penguasaan lahan dengan kualitas hidup

rumah tangga segi materi tahun 2014

99 Tabel 12 Hubungan pengaruh struktur penguasaan lahan terhadap kualitas

hidup rumah tangga segi non materi tahun 2014

101 Tabel 13 Hubungan pengaruh corak usaha tani terhadap kualitas hidup

rumah tangga segi materi tahun 2014

103 Tabel 14 Hubungan pengaruh corak usaha tani terhadap kualitas hidup

rumah tangga petani segi non materi tahun 2014

104

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lingkup hubungan-hubungan agraria 11

Gambar 2 Kerangka pemikiran 22

Gambar 3 Sebaran jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, 2012

37

Gambar 4 Sebaran penduduk berdasarkan agama di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, 2012

38

Gambar 5 Persentase subyek penelitian berdasarkan usia di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

39

Gambar 6 Persentase subyek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa tengah tahun 2014

40

Gambar 7 Persentase subyek penelitian berdasarkan pengalaman sebagai petani di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

41

(12)

keluarga subyek penelitian di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

Gambar 9 Persentase subyek penelitian berdasarkan status kependudukan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014.

43

Gambar 10 Perubahan luas Segara Anakan dari tahun 1984 sampai 2003 53 Gambar 11 Persentase responden berdasarkan bentuk penguasaan lahan di

Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah Tahnu 2014

70

Gambar 12 Persentase responden berdasarkan total luas lahan garapan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

74

Gambar 13 Persentase responden berdasarkan status lahan garapan pertanian di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014.

75

Gambar 14 Persentase responden berdasarkan tingkat ketergantungan pada lahan garapan tanah timbul di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

77

Gambar 15 Persentase responden berdasarkan kelembagaan penguasaan lahan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

79

Gambar 16 Persentase responden berdasarkan penggunaan alat penggilingan padi di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

84

Gambar 17 Persentase responden berdasarkan penggunaan traktor di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

85

Gambar 18 Persentase responden berdasarkan penggunaan pestisida di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

86

Gambar 19 Persentase responden berdasarkan agregat penggunaan saprotan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

87

Gambar 20 Persentase responden berdasarkan keikutsertaan mengikuti penyuluhan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

88

Gambar 21 Persentase responden berdasarkan pelibatan anggota keluarga dalam mengolah sawah di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah tahun 2014

89

Gambar 22 Persentase responden berdasarkan agregat sistem ketenagakerjaan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

90

Gambar 23 Persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

94

(13)

Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

Gambar 25 Persentase responden berdasarkan tingkat kesehatan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014

96

Gambar 26 Persentase responden berdasarkan hubungan sosial di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014.

97

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kebutuhan data, metode, jenis dan sumber data 115

Lampiran 2 Peta lokasi penelitian 116

Lampiran 3 Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian 117

Lampiran 4 Dokumentasi penelitian 120

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lingkungan alam terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen sumber daya lingkungan alam ini tidak dapat terpisahkan karena saling terkait satu sama lain. Seiring dengan berjalannya waktu, kini alam mulai mengalami perubahan. Perubahan alam atau lanskap merupakan fenomena yang tak terelakkan, baik disebabkan oleh faktor alam maupun campur tangan manusia. Menurut Nasution (2003) perubahan infrastruktur lanskap yang disebabkan oleh manusia umumnya dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, serta teknologi. Menurut Antrop (2005) perubahan infrastruktur lanskap yang disebabkan oleh alam tidak lain dipengaruhi oleh karakteristik dari alam itu sendiri, di mana alam itu selalu berubah.

Salah satu perubahan bentang alam yang telah terjadi di Indonesia yaitu perubahan luas Laguna Segara Anakan di Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Menurut KBBI laguna memilik arti danau asin dekat pantai yang dahulu merupakan bagian laut (yang dangkal), yang karena peristiwa geografis terpisah dari laut. Segara Anakan merupakan kawasan laguna atau estuaria yang terbentuk dari beberapa ekosistem yang saling berhubungan erat, yang mempunyai potensi ekonomis besar, termasuk potensi perikanan, yang menyumbang produksi ikan dari wilayah pantai dengan nilai lebih dari 62 milyar rupiah/tahun (Suryawati 2012). Perkembangan terbaru menunjukkan adanya ancaman yang semakin besar terhadap laguna ini. Sebuah fenomena alam yang mencemaskan sedang terjadi dan ramai dibicarakan, yaitu prediksi dan hilangnya laguna yang kaya akan manfaat, karena degradasi lingkungan yang terjadi di Laguna Segara Anakan merupakan sebuah kecenderungan yang tidak dapat dihentikan. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor baik bersifat alamiah maupun non alamiah. Berdasarkan hasil penelitian KPSKSA (2009) dalam diperoleh data perubahan luas Laguna Segara Anakan sebagai berikut:

Tabel 1 Perubahan luas Laguna Segara Anakan tahun 1924-2011 Tahun / Years Luas laguna/

Area (ha)

Tahun / Years Luas laguna/ Area (ha)

1924 6 675 1984 2 906

1940 6 445 1992 1 800

1946 6 049 1994 1 575

1961 5 421 2000 1 200

1978 4 737 2003 600

1980 3 852 2005 834

1982 3 636 2008 750

1983 3 206 2011* 637

Sumber: KPSKSA (2009)

(16)

White et.al (1989) melaporkan bahwa kecepatan pengangkutan sedimen dari Sungai Citanduy mencapai 5 juta m3/tahun sedangkan dari Sungai Cikonde serta sungai kecil lainya mencapai 770 000 m3/tahun. Kecepatan laju sedimentasi dari Sungai Cikonde tersebut mengakibatkan terjadinya laju pengendapan sebesar 260 000 m3/tahun. Proses sedimentasi dari sungai-sungai tersebut, diperkirakan jumlah sedimen yang mengendap di perairan Segara Anakan adalah sebesar 1 juta m3/tahun (ECI 1997 dalam Susanti 2006).

Perkembangan baru sebagaimana tersebut di atas membawa akibat pada pertambahan luasan tanah timbul, yang kemudian mendorong penduduk setempat untuk mengembangkan mata pencaharian pertanian yang bertumpu pada keberadaan lahan-lahan timbul tersebut. Pengembangan mata pencaharian berbasis tanah timbul ini juga dilakukan oleh para pendatang dari wilayah daratan Pulau Jawa, yang kemudian bermukim tetap di Segara Anakan. Perkembangan lain yang menyusul kemunculan bentuk mata pencaharian baru tersebut adalah terjadinya perambahan hutan bakau karena berbagai alasan. Perambahan bakau terkait pengembangan pemukiman bagi penduduk pendatang. Di samping itu, penebangan bakau juga terjadi sebagai konsekuensi dari jumlah penduduk yang terlanjur meningkat dan lahan pertanian yang belum sepenuhnya siap untuk digarap, serta usaha budidaya tambak di lahan-lahan bakau, yang dipandang sebagai peluang ekonomi alternatif bagi pendatang.

Di dalam konteks sudut pandang sosial, permasalahan-permasalahan yang terjadi telah berkembang sedemikian kompleks dan bertautan satu dengan yang lain. Masalah konflik lahan, misalnya, terjadi akibat perbedaan mengenai pemanfaatan tanah timbul yang terbentuk dari proses sedimentasi. Petani memandang bahwa tanah timbul merupakan lahan pertanian, yang selayaknya dapat dikembangkan untuk lahan garapan melalui ekstensifikasi pertanian. Sementara itu, nelayan, terutama yang terkena dampak sedimentasi menganggap bahwa mereka memiliki hak tradisi atas lokasi tanah timbul, karena lokasi tersebut adalah lokasi di mana pada masa-masa sebelumnya mereka melakukan kegiatan ekonomi. Atas dasar itu, mereka beranggapan meletakkan klaim atas lahan-lahan tersebut, untuk membuka peluang alih profesi menjadi petani maupun untuk pengembangan ekonomi. Selain klaim antara masyarakat pendatang dan masyarakat asli, terjadi juga klaim antara masyarakat asli dengan pemerintah desa, Perhutani, investor, dan Lembaga Permasyarakatan Nusa Kambangan.

(17)

masyarakat dengan Perhutani. Konflik pengelolaan antara masyarakat dengan investor, dan konflik klaim antara masyarakat dengan pihak otoritas LP Nusa Kambangan.

Penelitian ini dilakukan di Dusun Klaces, Desa Klaces, Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Desa ini merupakan salah satu desa di sekitar perairan Segara Anakan, yang mengalami perubahan bentang alam sehingga memunculkan tanah timbul yang hingga kini semakin meluas membentuk daratan. Desa ini pun menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Kampung Laut. Letak desa yang berada di tengah Segara Anakan membuat desa ini memiliki keunikan dalam mata pencaharian yaitu terdapat mata pencaharian campuran dari usaha tani dan nelayan.

Masalah Penelitian

Perubahan bentang alam di permukaan bumi kerap terjadi yang disebabkan oleh berbagai faktor. Perubahan tersebut dapat terjadi secara alamiah maupun disebabkan oleh aktivitas manusia yang membawa perusakan terhadap alam. Salah satu fenomena alam yang terjadi di Indonesia yaitu perubahan luas Segara Anakan yang semakin menyempit karena laju sedimentasi yang sangat tinggi. Proses sedimentasi yang sangat tinggi ini membuat perubahan dan memunculkan sumber daya alam baru yaitu tanah timbul. Tanah timbul yang semakin meluas menjadi daratan membentuk suatu desa baru salah satunya yaitu Desa Klaces. Keberadaan sumber daya alam baru ini akan memunculkan pergeseran struktur agraria. Hal ini terjadi karena tanah timbul tersebut memberikan peluang kepada subjek agraria untuk mengakses dan memanfaatkannya. Melihat kondisi yang terjadi di Desa Klaces ini maka dapat dirumuskan pertanyaan, bagaimana perubahan bentang alam berimplikasi pada pergeseran struktur agraria di Segara Anakan.

Tanah timbul ini menjadi sumber daya alam yang diminati oleh berbagai pihak yang ingin memanfaatkan dan menguasainya. Berbagai motif penguasaan dilakukan oleh berbagai pihak seperti masyarakat lokal, masyarakat pendatang, pemerintah, Lembaga Permasyarakatan Nusa Kambangan, dan Perhutani. Tanah timbul yang semakin meluas karena tingginya laju sedimentasi memberikan

banyak peluang kepada aktor tersebut. Keberadaan tanah timbul ini „melahirkan‟

(18)

tanah timbul yang terjadi berpengaruh pada kualitas hidup rumah tangga petani.

Keberadaan tanah timbul memberikan penghidupan baru bagi masyarakat yang pada awalnya bertumpu pada perairan Segara Anakan. Kondisi perairan yang semakin menyempit dan penurunan kuantitas serta kualitas sumber daya perairan, membuat masyarakat yang mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan kesulitan untuk mencari nafkah. Tanah timbul ini memberikan peluang pada mereka untuk menggali kemampuannya dalam memanfaatkan sumber daya alam baru ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia tidak dapat dipisahkan dengan tanah. Begitu pula pada masyarakat setempat yang mulai menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dengan memanfaatkan tanah timbul. Pemanfaatan tanah timbul untuk pertanian tidak hanya dilakukan oleh warga asli, warga pendatang pun ikut terlibat dengan berbekal pengetahuan dan keterampilan di bidang pertanian. Pola usaha tani di desa ini termasuk lahan basah yang pengairan sawahnya mengandalkan air tadah hujan. Corak usaha tani di desa ini pun memiliki ciri khasnya tersendiri dibandingkan dengan masyarakat petani di desa lain. Hal ini tentu memberikan pengaruh terhadap hasil usaha tani dan pendapatan petani. Oleh karena itu, dalam konteks ini dapat diajukan pertanyaan sejauhmana corak usaha tani berpengaruh pada kualitas hidup rumah tangga petani Desa Klaces.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji masalah yang telah dipaparkan yaitu menelaah perubahan lanskap: struktur penguasaan lahan, corak usaha tani dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup rumah tangga petani di Desa Klaces, Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kemudian, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:

1. Menganalisis perubahan bentang alam yang berimplikasi pada pergeseran struktur agraria di Segara Anakan.

2. Menganalisis sejauhmana struktur penguasaan lahan timbul berpengaruh pada kualitas hidup rumah tangga petani

3. Menganalisis sejauhmana corak usaha tani berpengaruh pada kualitas hidup rumah tangga petani di Desa Klaces.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, di antara lain ialah:

1. Akademisi

(19)

2. Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan penguasaan dan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi apabila terjadi ketimpangan dan konflik terhadap lahan yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah maupun masyarakat dengan lembaga atau penguasa yang berkepentingan.

3. Masyarakat

(20)
(21)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Perubahan Lanskap dan Tanah Timbul

Lanskap, sering diberi pengertian oleh ahli geografi dengan bentang alam atau kenampakan di atas permukaan bumi termasuk komponen penyusun hasil kegiatan dan pengaruh manusia. Pengertian ini memberikan suatu indikasi bahwa cakupan dari bentang alam terdiri atas elemen fisik, elemen biotis dan elemen dari hasil budidaya manusia. Perubahan bentang alam atau perubahan lanskap yang terjadi di permukaan bumi membuat keadaan bumi kian hari kian berubah. Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor penyebab. Menurut Nasution (2003) perubahan infrastruktur lanskap yang disebabkan oleh manusia umumnya dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, serta teknologi. Manusia sebagai aktor yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam berpengaruh terhadap keberadaan sumber daya alam ini. Berbagai cara yang dilakukan manusia terhadap alam memiliki resiko tersendiri. Selain disebabkan oleh manusia, perubahan lanskap pun dapat terjadi secara alamiah. Menurut Antrop (2005) perubahan infrastuktur lanskap yang disebabkan oleh alam tidak lain dipengaruhi oleh karakteristik dari alam itu sendiri, dimana alam itu selalu berubah.

Berbagai kasus perubahan lanskap yang terjadi telah menghasilkan sumber daya alam baru yang kelak dapat dimanfaatkan oleh manusia. Beberapa ahli menyebutkan bahwa sumber daya alam adalah keadaan lingkungan alam (natural environment) yang mempunyai nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ramadhan (2012) menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan lingkungan di Segara Anakan yang memunculkan tanah timbul sebagai akibat dari proses laju sedimentasi yang sangat tinggi. Proses sedimentasi ini terjadi karena beberapa hal salah satunya karena penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan (unsustainabe land use) yang terjadi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy. Lahan timbul ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk pemukiman, lahan pertanian, dan lahan tambak perikanan. Hal ini dilakukan oleh mereka untuk menunjang kehidupannya di tengah perubahan lanskap yang terjadi di Segara Anakan. Penyusutan perairan Segara Anakan memberikan dampak bagi kehidupan mereka terutama pada peralihan mata pencaharian.

(22)

musibah bagi manusia. Hal ini menuntut manusia berpikir agar bisa bertahan hidup di tengah perubahan alam yang terjadi.

Peraturan Pemerintah (PP) 16 tahun 2004 tentang Penggunaan Tanah pada penjelasan pasal 12, memberikan definisi tanah timbul sebagai daratan yang terbentuk secara alami dan buatan karena proses sedimentasi sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul, serta penguasaan tanahnya dikuasai negara. Menurut Perda Kabupaten Indramayu No. 9 tahun 2003 pasal 1 memberikan definisi tanah timbul adalah lahan yang terbentuk karena endapan lumpur baik di pantai maupun di muara sungai, pada pasal 2 menerangkan tanah timbul merupakan tanah negara yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.

Pengertian tanah timbul adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat sesuai dengan Keppres No. 32 pasal 14 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (sempadan pantai). Melihat konsep dan definisi di atas, keberadaan tanah timbul di Desa Klaces, Kampung Laut yang semakin meluas dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh tingginya laju sedimentasi DAS Citanduy. Aliran substrat (sedimentasi) yang berlangsung terus-menerus dengan laju yang kian bertambah dari tahun ke tahun memuculkan fenomena alam yang mengakibatkan semakin menyempitnya wilayah perairan Segara Anakan. Material-material sedimentasi yang tidak bisa mengalir ke laut lepas memunculkan tanah timbul. Tanah timbul ini lambat laun menjadi sebuah daratan yang akhirnya ditumbuhi hutan mangrove. Tanah timbul yang semakin meluas dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan hidupnya seperti pemukiman, lahan pertanian, dan lahan tambak perikanan.

Struktur Agraria

Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Dalam Bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti yang sama dengan “perladangan, persawahan,

pertanian”. Kata agraria diartikan agrarian dalam bahasa Inggris yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agraria ini, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat pertautan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan lahan dan pemilikan tanah. Pengertian agraria dapat pula dikemukakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Jika dijabarkan pengertian “tanah” adalah

menurut pasal 4 ayat 1 “tanah” adalah permukaan bumi, sedangkan pengertian

“bumi” menurut pasal 1 ayat 4, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi serta yang berada di bawah air. Adapun yang termasuk bumi Indonesia tidaklah terbatas pada yang berada di bawah batas-batas perairan Indonesia saja, yaitu

perairan pedalaman (“inland waters”) dan laut wilayah (“territorial waters”) melainkan bumi yang berada di bawah air laut di luar batas-batas itu.

Sitorus (2002) menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian

yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang

(23)

atas dua unsur, yaitu obyek agraria atau sering disebut sebagai sumber-sumber dan subyek agraria. Unsur yang pertama, yaitu sumber-sumber agraria, sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria berkaitan erat dengan akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi dan sosial).

Merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, dan 6) UUPA 1990, Sitorus (2002) menyimpulkan sumber-sumber agraria sebagai berikut: 1) tanah atau “permukaan

bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan; 2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan perikanan (sungai, danau maupun laut); 3) hutan, meliputi kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas; 4) bahan tambang, mencakup beragam bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”; dan 5) udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air.

Unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok, pemerintah (sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa) dan swasta (private sector yang mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/ pemanfaatan (tenure institution).

Hubungan agraris menurut Wiradi (2009) secara garis besar mencakup berbagai jenis hubungan sebagai 1) hubungan antara tanah dengan lingkungannya; 2) hubungan antara manusia dengan tanah; 3) hubungan antara manusia dengan tanaman; 4) hubungan antara manusia dengan hewan; dan 5) hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan antara manusia dengan manusia ini yang dianggap paling penting dalam studi agraria karena menyangkut hubungan sosial secara keseluruhan. Hubungan manusia dengan yang lain (tanah, tanaman, hewan) hanya memiliki makna hubungan aktivitas yang akan menimbulkan implikasi terhadap hubungan dengan manusia lain. Berkaitan dengan hubungan antara manusia, salah satu ciri pokok masyarakat agraris adalah adanya hubungan antara mereka yang mencurahkan tenaga kerjanya secara langsung dalam berproduksi (produsen langsung seperti petani pemilik, petani penyakap, buruh tani) dengan mereka yang tidak berproduksi langsung, akan tetapi memiliki kekuasaan untuk mengklaim sebagian dari hasil produksi secara langsung maupun tidak langsung.

Klaim hasil produksi baik langsung maupun tidak langsung didasarkan atas penguasaan mereka atas berbagai jenis sarana produksi, terutama tanah. Hubungan-hubungan tersebut Wiradi (2009) menerjemahkan secara konkret

dalam konteks hubungan antara “siapa” dengan “siapa”, maka berdasarkan

(24)

kesejahteraan ekonomi dan masalah hierarki sosial (Ghoes 1983 dalam Wiradi 2009). Ketiga atribut ini membentuk jaringan hubungan yang saling terkait satu sama lain dan pada gilirannyaa akan menentukan corak kehidupan secara keseluruhan.

Tata hubungan antar manusia yang menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah lalu menjadi mapan disebut sebagai “struktur agraria”. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah tersebut bukan hanya sebatas menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah melainkan menyangkut hubungan sosial manusia dengan manusia yang diartikan mencakup hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak dan sebagainya (Wiradi 2009).

Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan akan membawa implikasi terbentuknya ragam sosial, sekaligus interaksi sosial di antara ketiga subyek yang telah dikemukakan oleh Sitorus (2002) yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok, pemerintah (sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa) dan swasta (private sector yang mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/ pemilikan/ pemanfaatan (tenure institution). Di mana satu dan lain subyek saling berhubungan secara sosial dalam kaitan hubungan teknis masing-masing subyek itu dengan sumber-sumber agraria. Sitorus (2002) membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu. Proporsi pertama ini menggambarkan hubungan teknis yang menunjukkan cara kerja subyek agraria dalam pengelolaan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi kebutuhannya.

(25)

Gambar 1 Lingkup hubungan-hubungan agraria Keterangan:

Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria

Sumber: Sitorus (2002)

Struktur agraria pada penelitian ini adalah hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria mencakup penguasaan/ pemilikan/ pemanfaatan lahan. Wiradi (2009) menjelaskan bahwa hakikat struktur agraria merupakan masalah yang menyangkut susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusi tanah yang pada akhirnya menyangkut hubungan kerja dan proses produksi. Ada dua istilah penting yang menyangkut struktur agraria yaitu land tenure dan land tenancy. Land tenure memiliki arti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini biasanya dipakai untuk menguraikan masalah-masalah pokok mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Sedangkan land tenancy berasal dari kata tenant yang memiliki arti orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu yang menunjuk pada pendekatan ekonomis. Artinya, penelaahannya meliputi hak-hak yang menyangkut hubungan penggarap tanah. Obyek penelaahan ini yaitu pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa dan lain sebagainya.

Struktur agraria menurut Wiradi (2009) ini perlu memperhatikan dan membedakan antara istilah pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah. Kata

“pemilikan” menunjukkan kepada penguasaan formal, sedangkan kata

“penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya saja sebidang tanah

disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya.

Kata “pengusahaan” sangat jelas menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Tatanan hubungan dalam struktur agraria dapat berubah akibat kerjanya berbagai faktor yang bekerja dan mempengaruhinya. Wiradi menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan perubahan tata hubungan itu antara lain yaitu: 1) perubahan struktur politik; 2) perubahan orientasi politik; 3) perubahan kebijakan ekonomi; 4) perubahan teknologi; 5) faktor-faktor lain sebagai turunan dari ke empat faktor tersebut. Proses perubahan tata hubungan ini dapat terjadi secara perlahan atau dapat menimbulkan suatu gejolak sosial.

Komunitas

Sumber-sumber

(26)

Pola Penguasaan Tanah dan Kelembagaannya

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan yang di atas sekali. Pengertian tanah diatur dalam pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:

“...atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum…”

Menurut Firey dalam Johara (1992) penguasaan tanah menunjukkan pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang dan berkesimpulan bahwa yang merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial misalnya penduduk sering memberikan nilai sejarah yang besar terhadap sebidang tanah. Berhubungan dengan pendapat Firey tersebut, Chapin dalam Johara (1992) menggolongkan tanah dalam tiga kelompok yaitu yang memiliki:

1. nilai keuntungan: yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran bebas

2. nilai kepentingan umum: yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat

3. nilai sosial: yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya), dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya

Pertimbangan dalam kepentingan tanah diberbagai wilayah mungkin berbeda tergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu akan diberikan prioritas bagi fungsi tertentu kepada tanah. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka kehidupan masyarakat tersebut akan dirugikan. Pemilikan tanah dari sisi sosial, bukan hanya merupakan harta ekonomi, tetapi mencerminkan status sosial seseorang. Penguasaan tanah belum tentu dan tidak harus disertai pemilikan. Sihaloho (2004) menambahkan bahwa penguasaan tanah dapat berupa hubungan

“pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi-hasil”, “pemilik dengan

penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lain-lain. Kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif.

Bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di Pulau Jawa menurut Wiradi (1984) adalah:

1. Tanah yasan, yasa atau yoso yaitu tanah yang didapatkan seseorang karena membuka hutan atau tanah liar untuk dijadikan tanah garapan. Hak seseorang berasal dari fakta bahwa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka tanah tersebut. Istilah yasa atau yoso dalam bahasa Jawa berarti membuat sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli). Bentuk hak atas tanah ini dalam UUPA 1960 dikategorikan sebagai hak milik.

(27)

secara giliran berkala. Pemegang hak garap tanah ini tidak berhak untuk menjualnya atau memindahtangankan hak tersebut. Pada konsep Barat pemilikan tanah gogol dikategorikan sebagai pemilikan komunal.

3. Tanah titisara, titisoro, kas desa atau bondo desa adalah tanah pertanian milik desa yang secara berkala biasanya disewakan atau disakapkan dengan cara dilelang terlebih dahulu. Hasilnya menjadi kekayaan desa yang biasanya dipergunakan untuk keperluan-keperluan desa, baik sebagai sumber dana anggaran rutin maupun untuk pembangunan. Tanah ini dalam konsep Barat

dapat digolongkan dalam “tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal”

dan keberadaannya diakui dalam UUPA 1960.

4. Tanah bengkok yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai gajinya selama menduduki jabatan tersebut. Setelah tidak menjabat, maka tanah tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada pejabat yang baru.

Tanah ini juga merupakan “tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal”

dan keberadaannya diakui dalam UUPA-1960.

Lahan memiliki arti lebih luas dari pada makna tanah, jika mengingat bahwa tanah merupakan salah satu aspek dari lahan. Pemanfaatan lahan cenderung mendekati pola ke arah pendayagunaan dan pengaturan fungsi ketatalaksanaan lahan. Menurut Bappenas-PSE-KP (2006) dalam Darwis (2009), pemanfaatan lahan merupakan resultan dari interaksi berbagai macam faktor yang menentukan keputusan baik perorangan dan kelompok maupun pemerintah. Hal ini selaras dengan penjelasan yang tercantum dalam ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut dengan tanah. Tanah yang merupakan salah satu aspek dari lahan yang dimaksudkan bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya melainkan hanya mengatur salah satu aspek yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.

Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam makna fisik dan yuridis, yaitu privat maupun publik. Penguasaan secara yuridis merupakan penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang menjadi haknya, misalnya pemilik tanah mempergunakan dan mengambil manfaat dari tanah yang menjadi haknya, tidak diserahkan kepada pihak lain. Adanya penguasaan secara yuridis walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang hak secara fisik, namun kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh orang lain. Misalnya saja, seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakannya sendiri melainkan tanah tersebut disewakan kepada orang lain. Tetapi ada juga yang penguasaan secara yuridis tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya saja kreditor atau bank sebagai pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan secara yuridis atas tanah yang telah dijadikan jaminan oleh pemiliknya. Akan tetapi secara fisik penguasaanya tetap pada pemegang hak atas tanah (Wiradi 1984).

(28)

penguasaan atas sebagian permukaan bumi walaupun hanya sementara dan tidak menentu. Hal yang dikatakan di atas jelaslah bahwa penguasaan atas tanah bagi setiap orang merupakan hal yang mutlak adanya baik dalam nama, jenis, jumlah maupun intensitasnya. Berkaitan dengan intensitas, hak menguasai dapat bergerak mulai dari kadar yang paling lemah hingga kepada bobot yang paling kuat, seperti hak pakai, memetik kemudian menikmati hasil, hal memelihara/mengelola/ mengurus, hak memiliki sampai kepada hak mengasingkan dalam segala bentuk.

Ketidakmerataan penguasaan atas tanah pertanian menyebakan kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah yang mereka miliki. Hal ini mereka lakukan karena tanah yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mereka terpaksa menjadi buruh di tanah sendiri. Terjadinya ketidakmeratan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani tidak bertanah dan mengakibatkan posisi umum petani ini termarginalisasi dari kehidupan sosialnya.

Kelembagaan penguasaan tanah yang umumnya dilakukan masyarakat di desa-desa Jawa adalah sebagai berikut (Wiradi dan Makali 1984):

1. Sistem gadai, merupakan bentuk kelembagaan penguasaan tanah di mana pemilik menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai atau dengan bentuk pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan pemilik tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebus, maka hak pengusahaan tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah dilakukan setelah selesai dipanen.

2. Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa. 3. Sistem bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang

lain untuk diusahakan, dengan penggarap akan menanggung beban tenaga kerja seluruhnya dan menerima sebagian dari hasil tanahnya.

Dalam hal ini Hayami dan Kikuchi (1981), Kasryno (1984) dalam Antriandarti et.al (2012) menjelaskan bahwa pada kelembagaan lahan terdapat aturan-aturan kerja sama yang disepakati dan dipatuhi oleh suatu masyarakat. Berdasarkan kelembagaan lahan tersebut penguasaan lahan dalam usaha tani dapat dibedakan atas pemilik penggarap, penyakap, penyewa, dan penerima gadai. Bentuk penguasaan lahan berupa sewa, sakap dan gadai adalah bentuk-bentuk penguasaan lahan yang di dalamnya terdapat pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada orang lain. Bentuk kelembagaan ini sudah menjadi bagian dari masyarakat desa, namun tidak bersifat statis.

(29)

lahan. Jika demikian maka para petani akan memilik sewa dalam kerja sama pada lahan. Sebaliknya, bagi petani yang jauh dari kota atau pasar, yang para petaninya masih relatif subsisten, dan relatif bertumpu pada on farm. Kondisi demikian dapat berkorelasi dengan tingginya penawaran tenaga kerja untuk usaha tani yang dapat berpengaruh terhadap pemilik memilih kelembagaan lahan dalam upayanya mendapatkan keuntungan dan sumber daya lahan yang dimilikinya.

Produktivitas lahan juga dapat berpengaruh terhadap pilihan kelembagaan lahan bagi pemilik lahan. Jika lahan relatif subur, pada umumnya pemilik lahan lebih senang membudidayakan sendiri atas lahan miliknya, sebaliknya jika lahan yang dimiliki relatif tidak subur para petani lebih suka menyewakan atau menyakapkan lahannya. Kelembagaan lahan sebagai kerja sama antara pemilik lahan dengan para petani yang berlahan terbatas, atau bahkan tidak mempunyai lahan juga dapat dipengaruhi oleh jarak lahan yang dikerjasamakan dan kekerabatan para petani yang bekerja sama. Umumnya jika jarak antara lahan yang dikerjasamakan dengan pemilik lahan tergolong jauh maka pemilik lahan menghendaki sewa, dan jika sebaliknya, maka lebih suka penyakapan.

Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah. Tanah yang dimaksud adalah tanah yang berada dipermukaan bumi atau bidang tanah yang diukur dalam meter persegi dan dipergunakan di tempat tanah itu berada atau disebut terplaatse (Sayogyo 1985) yang merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia baik tanah sawah, kebun, tempat berburu maupun tempat pengembala ternak dan sebagainya. Penguasaan tanah berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya. Pola pengaturan adalah suatu perangkat norma yang mengatur praktek ideal kehidupan masyarakat. Aturan-aturan tersebut menentukan tata cara kerja sama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya serta membantu dalam menentukan hak serta kewajiban masing-masing (Hayami dan Kikuchi 1998 dalam Ariwijayanti 2011).

Mengambil pemikiran Wiradi bahwa pola pengaturan sumber daya agraria yang ada berdasarkan pada UUPA tahun 1960 yang secara hukum adalah 1)

“peruntukan” (mana untuk keperluan negara, mana untuk masyarakat; mana untuk perorangan); 2) cara memperoleh; 3) hak penguasaan; 4) masalah penggunaannya. Dapat dilihat bahwa kelembagaan agraria merupakan suatu untuk kegiatan mengatur sumber-sumber agraria yang ada dan melihat hubungan yang saling tergantung (interdependent) antara manusia dan manusia terhadap tanah serta hubungan manusia dengan tanah.

Terkait pola hubungan agraria, Sihaloho (2004) mengelompokkan penguasan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Masyarakat yang memiliki lahan luas dan mempercayakan lahan garapannya untuk digarap orang lain. Pemilik lahan ini menerapkan sistem sewa ataupun bagi hasil.

(30)

3. Pemilik lahan mengolah sendiri lahan yang dimiliki dengan memanfaatkan jasa buruh tani. Petani yang dimaksud dari pernyataan ini adalah petani yang memiliki lahan sempit maupun luas.

Wiradi (1984) menambahkan bahwa terdapat lima pengelompokkan penduduk desa dalam penguasaan lahan, di antaranya: (1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; (2) Penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) Pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) Pemilik bukan penggarap; dan (5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan garapan. Sebagian besar dari mereka (tunakisma) ini adalah buruh tani dan hanya sebagian kecil saja yang memang pekerjaannya bukan tani.

Dikalangan penduduk pedesaan, tanah mempunyai kaitan dengan kedudukan ekonomi, sosial, dan kekuasaan (Tjondronegoro 1984 dalam Kuhren 1993), bahkan dapat juga dipakai sebagai sumber yang strategis untuk mendapatkan kekayaan, pendapatan, kesempatan ekonomi dan politik (Wiradi dan White 1979 dalam Yunilisiah 1996). Artinya pemilikan dan penguasaan tanah mempunyai pengaruh yang luas di dalam pembentukan struktur masyarakat yang pola hubungannya didasarkan atas pemilikan dan penguasaan tanah sebagai

“aset” bernilai tinggi, terutama pada masyarakat pedesaan.

Distribusi luas penguasaan tanah dikalangan rumah tangga (RT) petani di pedesaan akan membentuk pola penguasaan tanah. Maksud penguasaan tanah adalah luas tanah yang dikuasai mengacu pada penguasaan yang efektif (bukan pemilikan formal sebenarnya), berdasarkan hak milik, menyakap, menyewa, bagi hasil (Billah 1984 dalam Tjondronegoro dan Wiradi 1984). Menurut Kano (1987) dalam Yunilisiah (1996) penguasaan tanah di pedesaan dapat diklasifikasikan berdasarkan cara pengolahan tanah yakni: (1) semua tanah yang dimiliki diusahakan sendiri; (2) semua tanah diusahakan orang lain (sewa/bagi hasil); dan (3) sebagian tanah diusahakan sendiri, sebagian yang lain diusahakan oleh orang lain (sewa/bagi hasil). Tanah yang dikuasai adalah jumlah tanah yang dimiliki ditambah luas tanah yang disakap dan luas tanah yang disewakan dikurangi dengan luas tanah yang disakapkan dan disewakan (Breman 1992 dalam Yunilisiah 1996).

Pelapisan masyarakat didasarkan pada luas tanah yang dikuasai, bukan atas dasar luas tanah yang dimiliki, karena tanah yang dikuasai menunjukkan luas tanah efektif yang sebenarnya diusahakan suatu rumah tangga sebagai sumber pendapatan. Artinya penguasaan tanah lebih menekankan pada kesempatan untuk memanfaatkan secara produktif baik secara formal maupun non formal penguasaan atas tanah sawah dalam kurun waktu tertentu. Perbedaan luas tanah yang dikuasai dapat mengakibatkan perbedaan status petani. Nasikun dan Triyono (1992) dalam Yunilisiah (1996) memberikan hipotesis bahwa proses terjadinya perbedaan penguasaan luas tanah usaha tani di antaranya berhubungan dengan status sosial (posisi relatif seseorang dalam masyarakat berdasarkan penghargaan sosial yang berkaitan dengan rasa hormat, hak istimewa, dan prestise sosial) dan

“modal”.

(31)

Ketika lahan masih tersedia banyak dan belum banyak masyarakat disana, akses terhadap sumber daya sangat terbuka lebar. Ketika jumlah penduduk semakin banyak dan ketersediaan lahan bebas makin terbatas, maka akses masyarakat menjadi semakin sedikit dan jalan satu-satunya untuk mendapatkan lahan adalah dengan membeli atau menyewa lahan orang lain yang terlebih dahulu berada disana (Syahyuti 2002).

Struktur akses terhadap sumber-sumber agraria dan keterjaminan keamanan sosial ekonomi pada gilirannya menentukan bagaimana tiap orang memperlakukan tanahnya sebagai sumber ekonomi terpenting. Ketimpangan struktur akses terhadap tanah di kawasan desa telah menyebabkan masyarakat merambah ke dalam hutan. Hal ini kemudian menyebabkan rusaknya ekosistem hutan yang berdampak pada ketersediaan air.

Gambaran Usaha Tani di Indonesia

Menurut Kadarsan (1993) dalam Shinta (2011), usaha tani adalah suatu tempat di mana seseorang atau sekumpulan orang berusaha mengelola unsur-unsur produksi seperti alam, tenaga kerja, modal dan keterampilan dengan tujuan berproduksi untuk menghasilkan sesuatu di lapangan pertanian. Di Indonesia, usaha tani dikategorikan sebagai usaha tani kecil karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Berusaha tani dalam lingkungan tekanan penduduk lokal yang meningkat b. Mempunyai sumber daya terbatas sehingga menciptakan tingkat hidup

yang rendah

c. Bergantung seluruhnya atau sebagian kepada produksi yang subsisten d. Kurang memperoleh pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan

lainnya

Dari segi ekonomi, ciri yang sangat penting pada petani kecil adalah terbatasnya sumber daya dasar tempat petani tersebut berusaha tani. Pada umumnya mereka hanya menguasai sebidang lahan kecil, disertai dengan ketidakpastian dalam pengelolaannya. Lahannya sering tidak subur dan terpencar-pencar dalam beberapa petak. Mereka sering terjerat hutang dan tidak terjangkau oleh lembaga kredit dan sarana produksi. Bersamaan dengan itu, mereka menghadapi pasar dan harga yang tidak stabil, mereka tidak cukup informasi dan modal.

(32)

Shinta (2011) mengklasifikasi usaha tani menjadi dua yaitu pola usaha tani dan tipe usaha tani. Terdapat dua macam pola usaha tani, yaitu lahan basah atau sawah lahan kering. Tipe usaha tani menunjukkan klasifikasi tanaman yang didasarkan pada macam dan cara penyusunan tanaman yang diusahakan. Pada tipe usaha tani terdapat lima kategori yaitu 1) macam tipe usaha tani (usaha tani padi atau palawija); 2) pola tanam (usaha tani monokultur, campuran/ tumpangsari, bergilir/tumpang gilir); 3) struktur usaha tani; 4) corak usaha tani; 5) bentuk usaha tani (perorangan, kooperatif). Pada penelitian ini yang akan dilihat yaitu corak usaha tani yang dilakukan oleh petani setempat. Corak usaha tani dilihat berdasarkan tingkatan hasil pengelolaan usaha tani yang ditentukan oleh berbagai ukuran/kriteria. Corak usaha tani yang akan dilihat pada penelitian ini mengunakan kriteria tingkat adaptasi teknologi dan proporsi penggunaan faktor produksi yaitu ketengakerjaan.

Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani

Yunilisiah (1996) menyatakan pada dasarnya manusia memiliki persamaan (ingin sekali, egois, sulit berubah) dan perbedaan dalam hal intelegensi, perasaan, cara berbuat, sehingga tingkat kualitas hidup manusia merupakan salah satu faktor penentu tingkat ketentraman hidup manusia dalam berinteraksi. Pengembangan kualitas hidup manusia dilihat secara objektif dimulai dari kebutuhan individu dalam kelompok dan subjektif yaitu dari kepentingan pihak pengambil kebijakan. Untuk mencapai keseimbangan antara dua kepentingan diperlukan forum interface (forum sodality-meminjam istilah Tjondronegoro), yaitu berupa kebijakan yang tidak merugikan kedua belah pihak, seperti kebijakan pembebasan tanah untuk „pembangunan‟ tetapi tetap memperhatikan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya petani.

Selama bidang pertanian memegang peranan penting pada masyarakat pedesaan, maka luas penguasaan tanah adalah jalur essensial dalam menentukan kualitas dan kesejahteraan hidup petani (gambaran yang menerangkan keadaan baik buruknya suatu rumah tangga petani), karena keberadaan tanah memberikan kesempatan peluang berusaha dan bekerja yang pada gilirannya menentukan tingkat pendapatan petani. Luas tanah ternyata terkait erat dengan tingkat pendapatan total rumah tangga, baik dari pertanian maupun luar pertanian (Sayogyo 1984 dalam White 1990 dalam Yunilisiah 1990). Pada masyarakat petani yang merupakan masyarakat transisi antara masyarakat tradisional menuju ke masyarakat modern, maka bentuk usahanya berdasarkan pola usaha ganda (Shanin 1975 dalam Yunilisiah 1990), bahkan masyarakat petani mempunyai logika perekonomian (economic logic) yang berbeda dengan masyarakat lain. Biasanya bagi petani sempit dan tak bertanah (lapisan bawah) lebih memilih pendapatan yang terjamin (pasti) walau kecil daripada memaksimalkan keuntungan tetapi mengandung resiko tidak pasti. Artinya petani lebih meminimumkan kerugian dari pada memaksimumkan keuntungan (Scott 1989 dalam Yunilisiah 1990).

(33)

disertai dengan usaha mencari nafkah pada usaha di luar pertanian (pola nafkah ganda). Motivasi mereka memasuki usaha luar pertanian umumnya bervariasi; 1) adanya surplus dari usaha tani yang kemudian diakumulasi di sektor non-pertanian; 2) untuk berjaga-jaga seandainya mengalami kegagalan di sektor pertanian; 3) untuk mempertahankan agar tetap hidup karena di sektor pertanian tidak mencukupi (White 1990 dalam Yunilisiah 1990).

Menurut Sadiwak (1985) dalam Massardy (2009), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkat kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya konsumennya. Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar kurun waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar populasi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat dilhat dari suatu aspek tertentu. Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan oleh BPS melalui SUSENAS (2002), antara lain: a) tentang individu seperti kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, fertilitas, dan KB serta b) tentang rumah tangga seperti perumahan dan pengeluaran.

Khomsan dan Sunarti (2012) memaparkan bahwa kesejahteraan keluarga petani merupakan tujuan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Secara sederhana keluarga petani dikatakan sejahtera manakala dapat memenuhi kebutuhan dasar anggotanya. Namun, jika merujuk UU No.10 tahun 1992 (UU tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera), keluarga sejahtera dimaknai secara luas, yaitu: “keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual, dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.” Mengingat luas dan lebarnya rentang kualitas kebutuhan dasar individu keluarga, maka dalam definisi operasionalnya, kesejahteraan seringkali direduksi menjadi sebatas terpenuhinya fisik dasar minimal seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Pengukurannya seringkali hanya dilakukan secara objektif, padahal kesejahteraan menyangkut aspek persepsi individu atau keluarga terhadap kondisi pemenuhan kebutuhan pokoknya. Oleh karenanya sekarang dikembangkan pengukuran kesejahteraan keluarga dengan menggunakan dua dimensi, objektif dan subjektif. Hal tersebut didukung fakta di lapang bahwa antara kesejahteraan objektif dan subjektif seringkali tidak searah. Individu atau keluarga yang menurut pengukuran objektif telah sejahtera belum tentu secara subjektif telah merasa demikian, dan sebaliknya.

Menurut Kolle (1974) dalam Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan:

(34)

2) Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya;

3) Dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya;

4) Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya.

(35)

Kerangka Pemikiran

(36)

Kualitas Hidup Rumah Tangga Materi Non Materi - Tingkat Pendapatan

- Tingkat Kesehatan - Tingkat Konsumsi

Pangan

- Hubungan Sosial Faktor alamiah:

- Karakteristik alam - Bencana alam

Faktor non-alamiah: - Aktivitas manusia :

politik, ekonomi, sosial, dan teknologi

Perubahan lanskap

Perubahan struktur agraria dan dampaknya Tanah

timbul

Corak Usaha Tani - Penggunaan saprotan - Ketenagakerjaan Struktur Penguasaan Lahan

- Luas lahan yang dikuasai - Tingkat Ketergantungan

pada lahan

- Kelembagaan Penguasaan Tanah

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Keterangan:

: Diteliti secara deskriptif : Mempengaruhi

(37)

Hipotesis Penelitian

A. Hipotesis Pengarah

1) Terdapat perubahan lanskap yang berimplikasi pada pergeseran struktur agraria

B. Hipotesis Uji

1) Semakin merata struktur penguasaan lahan maka semakin tinggi kualitas hidup rumah tangga petani segi materi

2) Semakin merata struktur penguasaan lahan maka semakin tinggi kualitas hidup rumah tangga petani segi non materi

3) Semakin tinggi corak usaha tani maka semakin tinggi kualitas hidup rumah tangga petani segi materi

4) Semakin tinggi corak usaha tani maka semakin tinggi kualitas hidup rumah tangga petani segi non materi

Definisi Konseptual

1. Perubahan lanskap adalah perubahan bentang alam di permukaan bumi yang menyebabkan bumi kian berubah yang dapat disebabkan oleh faktor alamiah maupun faktor non alamiah seperti akibat aktivitas manusia.

2. Tanah timbul adalah daratan yang terbentuk secara alami dan buatan karena proses sedimentasi sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul, serta penguasaan tanahnya dikuasai negara.

3. Perubahan struktur agraria adalah pergeseran hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria yang mencakup penguasaan/pemilikan/pemanfaatan lahan.

4. Struktur penguasaan lahan adalah distribusi luas penguasaan tanah rumah tangga petani untuk mengusahakan tanah.

5. Corak usaha tani adalah tingkatan hasil pengelolaan usaha tani yang ditentukan oleh berbagai ukuran/kriteria.

6. Kualitas hidup rumah tangga petani adalah baik buruknya kondisi kehidupan rumah tangga petani dari pemanfaatan pendapatan mereka.

Definisi Operasional

1. Struktur penguasaan lahan adalah distribusi luas penguasaan tanah rumah tangga petani untuk mengusahakan tanah seperti sewa, bagi hasil, gadai. Indikator struktur penguasaan lahan dapat dilihat dari tingkat penguasaan lahan, tingkat ketergantungan lahan dan kelembagan penguasaan lahan:

a) Tingkat penguasaan lahan adalah ukuran lahan yang dikuasai responden dalam satuan meter persegi (m2). Untuk penentuan kategori pengukuran dilakukan berdasarkan hasil rataan luas lahan menurut kondisi lapang.

(38)

iii. Luas ( ≥ 1735 m2)

b) Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari seluruh total pendapatan rumah tangga responden. Pengukurnnya yaitu:

i. Rendah (0-33%) ii. Sedang (34-67%) iii. Tinggi (68-100%)

c) Kelembagaan penguasaan lahan adalah sejauh mana petani memiliki kesadaran akan kepatuhan pada kelembagaan yang ada dalam penguasaan lahan untuk menjaga hubungan sosial di antara petani. (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan)

i. Rendah (jika total skor antara 5-6) ii. Sedang (jika total skor antara 7-8) iii. Tinggi (jika total skor antara 9-10)

2. Corak usaha tani adalah tingkat penggunaan saprotan pada usaha tani yang ditentukan oleh berbagai ukuran/kriteria, antara lain

a) Penggunaan saprotan adalah perilaku petani dalam menyesuaikan penggunaan teknologi dengan kondisi sekitar. Penggunaan teknologi pertanian meliputi penggunaan teknologi berupa bibit unggul, pupuk, pestisida, traktor dan saprotan lainnya. (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan)

i. Rendah (jika total skor antara 5-6) ii. Sedang (jika total skor antara 7-8) iii. Tinggi (jika total skor antara 9-10)

b) Sistem ketenagakerjaan adalah perilaku petani dalam mengatur strategi pola kerja dan tenaga kerja (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan)

i. Rendah (jika total skor antara 5-6) ii. Sedang (jika total skor antata 7-8) iii. Tinggi (jika total skor antara 9-10)

3. Kualitas hidup rumah tangga petani adalah gambaran yang menerangkan baik buruknya keadaan rumah tangga petani. Kualitas hidup rumah tangga pada penelitian ini dibagi dua yaitu dari segi materi dan non materi. Indikator yang diukur dari segi materi yaitu tingkat pendapatan, tingkat konsumsi pangan dan tingkat kesehatan, sedangkan dari segi non materi diukur pada hubungan sosialnya.

a) Tingkat pendapatan rumah tangga adalah jumlah seluruh pendapatan nyata berupa uang, barang/kiriman ataupun jasa yang dinyatakan dalam bentuk rupiah oleh anggota rumah tangga yang menghasilkan pendapatan dalam satuan hari/ minggu/ bulanan dari kegiatan pertanian maupun non pertanian. Pendapatan usaha tani dihitung per tahun dari penerimaan dari usaha tani baik berupa dari hasil sawah, tegalan, kebun, pekarangan yang merupakan hasil perkalian harga satuan dengan jumlah masing-masing produksi, yang dibagi berdasarkan kategori tinggi rendah sedang, pengkategorian ini akan dilakukan setelah di lapangan.

Gambar

Gambar 25 Persentase responden berdasarkan tingkat kesehatan di Desa
Tabel 1  Perubahan luas Laguna Segara Anakan tahun 1924-2011
Gambar 1  Lingkup hubungan-hubungan agraria
Gambar 2  Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENGADAAN CPNS DAERAH KABUPATEN KLATEN TAHUN 2019 Lampiran Pengumuman. Sekretaris Daerah Kabupaten

Seperti penelitian yang dilakukan oleh Dewi Kusuma Wardani dan Ika Andriyani (2017) yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia dengan hasil bahwa Kualitas

Apabila tidak dilakukan kebijakan merger, seperti ditunjukkan pada table 4.2, maka kelompok bank dengan jumlah asset terbesar adalah BUSN Devisa, dengan besaran

a) Yang dimaksud dengan Lapis Penetrasi Macadam Asbuton adalah lapis perkerasan yang terdiri dari agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi seragam yang diikat oleh Mastik

Menimbang, bahwa oleh karena Putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama bersifat positif dengan mengabulkan sebagian atas dasar bukti P-11 yang masih belum jelas kepastian

Apabila item pertanyaan yang harus dibuang sangat penting dan menurut anda krusial atau tidak akan dihapus karena menyangkut variabel yang penting solusinya

Seperti halnya yang dikemukakan oleh harini dan karwanto bahwa dalam sebuah evaluasi atau sebuah penilaian digunakan agar dapat mengkaji pelaksanaan suatu program

Dari hasil inversi menunjukkan bahwa lapisan tufa kasar yang produktif sebagai aquifer (aquifer terbuka/bebas) sehingga sehingga produktivitas serta kualitasnya