Penguasaan Tanah Timbul
UUPA 1960 menjelaskan bahwa tanah timbul adalah tanah milik negara. Masyarakat dapat memiliki hak kuasa atas tanah timbul dengan sepengetahuan dan ijin negara. Masyarakat Kampung Laut sudah mendiami kawasan tanah timbul selama lebih dari 20 tahun tetapi mereka tidak dapat dengan mudah mendapatkan hak akses dan penguasaan tanah timbul. Ada beberapa cara yang ditempuh masyarakat Kampung Laut untuk menguasai tanah timbul tersebut di antaranya:
Sistem Trukah
Proses awal pengalihan hak tanah timbul pada masyarakat dilakukan dengan sistem trukah. Sistem ini dilakukan tahun 1988 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati No. 144/802/25/Tahun 1988 tentang Distribusi Tanah Timbul pada masyarakat Kampung Laut. Sistem trukah merupakan salah satu sistem penguasaan tanah timbul yang disepakati oleh masyarakat Kampung Laut. Sistem ini dilakukan sejak tahun 1980-an ketika masyarakat sudah mulai mengusahakan tanah timbul untuk dikuasai, baik dalam bentuk penguasaan hak pengelolaan maupun penguasaan hak milik tanah pekarangan.
Menurut pemerintah Desa Klaces, masyarakat Kampung Laut
mendapatkan 350 ubin luas tanah yang dapat di “trukah”. Pada sistem ini, masyarakat melakukan pembabatan hutan di atas tanah timbul sebatas luasan yang telah ditentukan. Masyarakat dapat menentukan lokasi tanah timbul yang ada di wilayah desa dan melakukan pematokan tanah timbul sesuai dengan luasan yang sudah ditentukan. Tanah timbul diberikan patok dengan naman-nama para
pemegang hak “trukah”. Sistem “trukah” ini melibatkan aparat pemerintahan desa dalam proses pembagian lahan-lahan hasil “trukah”, terutama dalam membuat ketetapan luasan dan kepemilikan lahan warga. Masyarakat yang telah melakukan
“trukah” melaporkan pada pemerintah desa untuk dilakukan pencatatan. Saat ini,
sistem “trukah” sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan karena luasan tanah timbul yang tersedia sudah habis dibagi rata pada seluruh masyarakat desa.
Sistem Bagi Hasil
Masyarakat pendatang tidak memungkinkan lagi dapat memiliki hak yang sama seperti masyarakat asli melalui “trukah”. Masyarakat pendatang harus bekerja sama dengan masyarakat asli Kampung Laut untuk mendapatkan bagian hak atas penguasaan tanah di kawasan tanah timbul. Masyarakat Kampung Laut
biasanya mengerjakan “trukah” sendiri atau bersama keluarga. Ada pula yang tidak mampu membuka lahan dengan luas yang ada, maka mereka akan mengusahakan pembabatan hutan dengan mengajak masyarakat pendatang bekerja sama melalui sistem bagi hasil. Menurut penuturan Kepala Desa Klaces,
dahulu masyarakat asli yang melaksanakan sistem ini membagi sebagian tanahnya kepada masyarakat pendatang yang membantu melakukan pembabatan. Masyarakat pendatang yang membantu akan mendapatkan hak kuasa atas tanah yang dibuka dengan luas 100 ubin (100 meter kali 14 meter) jika ia mampu membantu membuka lahan sebanyak 350 ubin (350 meter kali 14 meter). Pembagian hasil tanah ini tergantung pada kesepakatan antara masyarakat asli dan masyarakat pendatang yang melakukan kerja sama pembukaan lahan.
Sertifikasi Lahan Pekarangan
Masyarakat Kampung Laut terus memperjuangkan penguasaan tanah timbul lebih kuat dalam bentuk tuntutan dari hak pengelolaan menjadi hak milik. Masyarakat mengusahakan pengajuan sertifikasi lahan setelah mereka mendapat hak atas tanah. Pada akhirnya, masyarakat mendapatkan akses hak atas pengelolaan tanah timbul pada tahun 1987. Pemerintah kabupaten memberikan legalisasi atas distribusi tanah timbul di kawasan Segara Anakan pada masyarakat Kampung Laut. Masyarakat mendapatkan ijin untuk melakukan sertifikasi tanah pekarangan yang sudah ditempati sebagai rumah tempat tinggal. Sertifikasi dilakukan pada tahun 2004 melalui program sertifikasi massal yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Pemerintah menyediakan program sertifikasi tanah yang diaplikasikan secara teknis oleh Badan Pertanahan Nasional di setiap kabupaten/kota. Program tersebut adalah Program Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita). Menurut pemaparan Kepala Desa Klaces, berdasarkan dokumen sertifiikasi lahan pekarangan, tercatat 581 nama penduduk dari Desa Ujung Alang yang telah tersertifikasi lahan pekarangan maupun pertaniannya. Pada saat itu, Desa Klaces masih termasuk ke dalam Desa Ujung Alang. Saat ini, telah banyak masyarakat Kampung Laut yang sadar akan pentingnya sertifikasi lahan pertanian maupun pekarangan. Hampir semua lahan pertanian dan pekarangan di Desa Klaces telah memiliki sertifikat tanah, namun ada pula sebagian kecil yang masih menggunakan nomor girig.
Sistem Transaksi Jual Beli
Luasan tanah timbul yang ada sudah tidak memungkinkan lagi didistribusikan pada masyarakat setempat karena sudah habis menjadi milik setiap orang asli Kampung Laut dan sebagian masyarakat pendatang yang turut serta
membantu “trukah”. Pilihan lain masyarakat pendatang untuk menguasai tanah timbul hanya dengan cara jual beli antara pemilik tanah yang sudah mendapatkan pengesahan. Sistem ini marak dilakukan oleh masyarkat Kampung Laut termasuk masyarakat Desa Klaces. Menurut penuturan Kepala Desa Klaces, mereka yang telah mendapatkan bagian tanah timbul dari sistem “trukah” yang dibagi oleh aparat pemerintah desa, kemudian menjualnya, maka tidak akan mendapat bagian lagi jika tanah timbul mulai meluas menjadi daratan. Dahulu pembagian tanah timbul hanya dibagikan kepada warga asli yang sudah berkeluarga. Jika belum berkeluarga tidak akan mendapatkan pembagian patok tanah timbul dari hasil
Ragam Bentuk Penguasaan Lahan Pertanian dan Non Pertanian Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga lahan pertanian dapat dikatakan sebagai pemasukan yang penting untuk proses keberlanjutan produksi, juga eksistensi lahan terkait dengan tatanan kelembagaan masyarakat petani dan budayanya (Darwis 2009). Distribusi lahan pertanian di Indonesia tidaklah merata terutama di pedesaan Jawa karena penduduknya yang padat. Dua konsep tradisional mengenai hak atas tanah yang saling berkaitan yaitu raja atau kaum elit yang mengklaim mengenai pajak dan kepemilikan tanah sementara petani menganggap tanah sebagai milik mereka karena mereka membuka lahan dan menjadikannya sesuatu yang berharga yang dapat diwariskan kepada anak cucu.
Pola penguasaan lahan di Jawa cenderung berada di antara dua kutub yang berlawanan yaitu antara pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Akibat adanya tekanan penduduk yang besar dan tidak ada cadangan tanah baru yang dibuka menjadi lahan pertanian, pola-pola penguasaan perorangan semakin bertambah banyak dengan mengorbankan pengawasan komunal yang dulu pernah ada. Bentuk-bentuk penyakapan tanah dan bagi hasil menunjukkan banyak ragam kelenturan dan strata sosial tradisional masyarakat yang telah terganggu. Bentuk penguasaan lahan di Jawa beragam seperti dijelaskan oleh Wiradi (2009) mengenai land tenure yang memiliki arti hak atas tanah atau penguasaan tanah dan menguraikan masalah-masalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani.
Pola penguasaan lahan di Desa Klaces saat ini cenderung lebih ke arah pemilikan perorangan. Seluruh lahan yang ada di Desa Klaces merupakan lahan yang berasal dari tanah timbul hasil sedimentasi. Mayoritas warga desa memiliki dan menggarap sendiri lahan yang mereka miliki (sawah dan kebun) yang didapat
dari “trukah”, hasil membeli ataupun warisan dari orang tua. Jika dikaitkan dengan struktur agraria yaitu tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah menjadi mapan yang menjadikan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan, juga hubungan sosial manusia dengan manusia yang diartikan mencakup hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak dan sebagainya terlihat di desa ini. Hanya saja hubungan antar manusia dengan tanah secara teknis lebih banyak dibandingkan hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung yang terlibat dalam proses produksi. Tidak dipungkiri juga bahwa hubungan sewa antara pemilik dan penggarap, hubungan dagang antara pemillik modal saprotan dan petani, dan pengupahan (buruh tani) terlihat juga di desa ini.
Wiradi (1984) menjelaskan bahwa terdapat lima pengelompokan penduduk desa dalam penguasaan lahan, di antaranya: (1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; (2) Penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) Pemilik penyewa
dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) Pemilik bukan penggarap, yaitu mereka yang hanya memiliki lahan garapan tetapi digarap oleh orang lain; dan (5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan garapan. Berdasarkan pemikiran tersebut, bentuk penguasaan lahan yang ada di Desa Klaces yaitu adalah pemilik penggarap murni, penyakap murni dan pemilik penyakap. Distribusi responden berdasarkan bentuk hubungan penguasaan lahan pertanian dijelaskan pada gambar di bawah ini.
Pemilik penggarap murni 22% Penyakap murni 13% Pemilik penyakap 65%
Gambar 11 Persentase responden berdasarkan bentuk penguasaan lahan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah Tahnu 2014
Pemilik Penggarap Murni
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa terdapat sembilan orang atau 22 persen responden yang memiliki dan menggarap lahannya sendiri. Lahan sawah yang digunakan untuk menanam padi berasal dari tanah timbul yang sudah mengeras. Biasanya di sisi sawah ditanam pohon pisang atau cabai, namun tidak semua orang memanfaatkan sisi sawah dengan menanam pohon pisang atau cabai. Masa panen padi di desa ini tidak menentu dalam setahun karena masih menggunakan sistem sawah tadah hujan yang memanfaatkan air hujan sebagai sumber pengairan. Kondisi cuaca yang panas dan sedikit hujan menyebabkan masa panen padi pun tidak menentu. Mayoritas petani melakukan panen padi satu kali dalam setahun, namun bila dalam setahun banyak air hujan yang turun bisa dua kali panen. Setiap petani memiliki kendala dalam mengolah lahan pertanian selain terkait curah hujan. Sesuai dengan apa yang dikatakan salah satu reponden berikut ini:
“…Musim panen disini itu ga dengan musim panen di desa lain yang jelas masa panennya. Masa panen disini itu satu atau dua kali lah. Hasil panen yang ke dua juga ga sebanyak hasil panen pertama. Semua petani pake air hujan untuk pengairan di sawahnya. Jadi kalau sepanjang
tahun kemarau, petani ga akan panen. Selain itu juga banyak hama yang nyerang padi yaitu hama keong, wereng, dan tikus. Jadi kalo sawahnya luas tapi air hujan yang turun sedikit trus banyak hama, panennya pasti dikit, mba. Bisa rugi kalo kaya gitu…”(Ponimin, 30 tahun, 18 Maret 2014)
Petani pemilik yang menggarap lahannya sendiri pun masih menggunakan buruh tani untuk membantu mereka pada masa tanam dan masa panen. Upah buruh dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Mayoritas petani memberikan upah bersih kepada buruh laki-laki sebesar Rp40 000/hari dan kepada buruh perempuan sebesar Rp35 000/hari. Pekerjaan buruh perempuan dengan buruh laki-laki pun berbeda. Buruh perempuan biasanya membantu dalam penanaman padi, pembersihan lingkungan sawah dari tanaman liar yang menggangu yang biasa
disebut “ngembret”, pemisahan padi dengan gabah dengan meng-“gebyok”, sedangkan buruh laki-laki membantu dalam pembajakan sawah menggunakan
traktor, “ngembret”, dan mengangkut hasil panen.
Pemilik Penyakap
Bentuk penguasaan lahan seperti ini adalah yang paling banyak terdapat di Desa Klaces. Sebanyak 26 orang atau 65 persen responden yang di samping menggarap lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain. Lahan milik orang lain yang digarap yaitu lahan milik Lembaga Permasyarakatan Nusa Kambangan di Pulau Nusa Kambangan sebelah selatan Desa Klaces. Lahan tersebut digunakan untuk penanaman pohon albasia yang masa panennya empat sampai enam tahun sekali. Petani yang menggarap lahan ini harus meminta izin kepada pihak LP Nusa Kambangan. Pihak LP Nusa Kambangan pun tidak memungut biaya sewa ataupun pajak kepada petani tersebut. Petani hanya meminjam dan memakai lahan hutan milik LP Nusa Kambangan yang terletak di Pulau Nusa Kambangan namun petani lebih sering menyebut lahan tersebut terletak di gunung Nusa Kambangan.
Penanaman, perawatan hingga masa panen pohon albasia atau yang lebih dikenal dengan pohon albu oleh masyarakat desa, membutuhkan modal yang sangat banyak untuk pembelian bibit dan upah buruh angkut. Mayoritas buruh yang dipekerjakan yaitu laki-laki yang diberi upah Rp50 000/hari sampai Rp100 000/hari. Luas lahan yang digarap petani untuk menanam pohon albasia ini bervariasi dari 350 m2 sampai 3 000 m2. Perbedaan luas lahan yang digarap ini berdasarkan kemampuan petani dalam menyediakan modal untuk menggarap lahan. Para petani menganggap bahwa menanam pohon albasia ini merupakan suatu bentuk investasi untuk keperluan hidup di masa yang akan datang.
“…saya nanam albu di gunung itu untuk investasi dan menambah penghasilan mba, soalnya hasil padi dari sawah tidak menentu. Hasil bersih yang didapat dari albu satu kali panen per lima tahun sekitar 10 jutaan. Modal yang dihabiskan dalam satu kali penanaman bisa sampai 5 jutaan per 100 ubin atau setara dengan 375 m2. Hasil albu yang ditebang biasanya dijual ke kota untuk membuat meja, kursi atau bahan
bangunan. Dahan pohon sisa dari penebangan biasanya dijual untuk kayu bakar atau bisa juga digunakan sendiri di rumah untuk memasak menggantikan kompor…”(Arjo, 53 tahun, 17 Maret 2014)
Penyakap Murni
Bentuk penguasaan seperti ini terdapat juga di Desa Klaces walaupun tidak banyak. Sebagian kecil warga ada yang menggarap lahan sawah maupun lahan hutan milik LP Nusa Kambangan untuk menghidupi keluarganya tetapi bukan pemilik sebenarnya. Sebanyak lima orang atau 13 persen responden yang menggarap lahan milik orang lain. Ada petani yang menggarap lahan milik orang lain untuk menanam padi dan ada pula petani yang hanya menggarap lahan hutan milik LP Nusa Kambangan. Mereka yang menggarap lahan sawah milik orang lain mayoritas menerapkan sistem bagi hasil atau yang sering disebut sistem paro dengan pembagian hasil 50 : 50. Pemilik lahan dan penggarap masing-masing mendapatkan 50 persen dari hasil panen. Dalam pengolahan sawah pemilik lahan tidak terjun langsung ke sawah tetapi mayoritas pemilik lahan di desa ini membantu pembiayaan untuk pembelian bibit dan penyediaan saprotan. Berbeda dengan lahan sawah yang ia garap, lahan milik LP Nusa Kambangan yang ditanami albu tidak dikenakan sistem paro kepada pihak LP Nusa Kambangan. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh salah satu responden berikut ini:
“…saya ga punya lahan tapi saya garap lahan sawah punya orang lain dan garap lahan milik LP Nusa Kambangan untuk nanam albu. Lahan sawah yang saya garap hanya 400 ubin yang setara dengan 1 500 m2. Di sini satu ubin sama dengan 3.75 meter2, sedangkan lahan milik LP Nusa Kambangan yang saya tanam albu seluas 1 750 m2. Alasan saya menggarap dua lahan berbeda karena hasil padi dari sawah yang saya garap tidak pasti setiap tahunnya. Hasil panen padi sangat bergantung pada kondisi alam dan kalo banyak hama keong yang menyerang, jumlah padi yang didapat lebih sedikit walaupun sawah yang saya garap
1,5 hektar. Saya dan pemilik lahan sawah “patungan” buat beli bibit dan penyediaan saprotan. Hasil panennya di paro 50:50, untuk saya 50 persen dan untuk pemilik lahan 50 persen...” (Sumarji, 45 tahun, 19 Maret 2014)
Tingkat Penguasaan Lahan Garapan Sawah di Tanah Timbul
Penguasaan lahan di daerah Jawa lebih besar dibandingkan di daerah luar Jawa. Hal ini karena adanya kebijakan pembangunan pada masa lalu yang mengutamakan pencetakan sawah di pedesaan Jawa. Kebijakan pembangunan tersebut dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu: 1) sumber daya lahan di Jawa dapat dijadikan sawah lebih tersedia dibandingkan di luar Jawa; 2) anggaran atau pencetakan sawah di Jawa lebih murah; dan 3) masalah kelangkaan pangan lebih tinggi di Jawa sehingga diprioritaskan di Jawa karena secara langsung hal itu akan mengurangi masalah pangan tersebut. Pada kenyataannya kepadatan penduduk di Jawa menjadikan akses mereka terhadap lahan menjadi sempit. Luas lahan yang
tetap dan jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan daya dukung tanah tidak dapat mencukupi kebutuhan manusia dalam jumlah besar. Maka dari itu, terjadi ketidakmerataan akses terhadap lahan di pedesaan Jawa.
Pendapatan rumah tangga sebagian besar diperoleh dari kegiatan usaha tani yang memerlukan lahan sebagai faktor produksi utama. Bagi masyarakat desa, luas kepemilikan lahan mencerminkan kesejahteraan mereka. Peran lahan sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat desa karena identik dengan status sosial rumah tangga. Ketimpangan distribusi lahan dan penguasaan lahan akan berdampak pada distribusi pendapatan rumah tangga pedesaan yang berasal dari usaha pertanian. Ketimpangan pemilikan lahan dan penguasaan lahan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya sistem bagi waris di mana lahan yang diwariskan dibagikan kepada pihak yang mempunyai hak waris. Sistem tersebut menjadikan lahan petani menjadi semakin sempit dan terjadi marginalisasi pemilikan lahan pada petani berlahan sempit. Sempitnya lahan yang dikuasai mengakibatkan pendapatan yang diperoleh dari lahan tersebut tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga petani sehingga mereka terpaksa menjual lahannya.
Tanah yang dimiliki warga Desa Klaces termasuk ke dalam dua kelompok nilai tanah menurut Chapin dalam Johara (1992) yaitu nilai keuntungan dan nilai sosial. Nilai keuntungan adalah yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan lahan yang dapat dicapai dengan jual beli tanah di pasaran. Maksud dari nilai keuntungan yang terdapat di Desa Klaces adalah warga dapat menggarap lahan yang mereka miliki dengan menanam padi di sawah. Hasil dari penanaman padi dinikmati oleh sendiri, terkadang dapat mereka jual di pasar sehingga mereka mendapat keuntungan ekonomi. Nilai sosial adalah hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka dan sebagainya) dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya. Maksud dari nilai sosial di Desa Klaces ini adalah lahan dianggap penting dan dapat mencerminkan status sosial dan berkaitan dengan kesejahteraan warga.
Ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan dialami oleh warga Desa Klaces walaupun mayoritas penduduknya tidak bergantung penuh pada lahan pertanian. Ketimpangan pemilikan yang terjadi dikarenakan adanya sistem bagi waris yang kental di kalangan warga dan modal. Akibatnya, akses warga menjadi sempit terhadap lahan pertanian. Lahan diwariskan dari generasi satu ke generasi berikutnya yang penduduknya semakin bertambah sehingga mereka mendapatkan lahan yang luasnya sedikit. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya mengakses lahan pertanian adalah modal. Modal dianggap warga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi dalam akses terhadap lahan. Selain itu kondisi tanah timbul yang telah habis digunakan untuk lahan pemukiman dan lahan pertanian sehingga menyulitkan warga untuk mendapatkan lahan kosong.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa luas lahan garapan sawah yang berada di atas tanah timbul setiap responden berbeda-beda tergantung kemampuannya dalam menggarap lahan. Dari 40 responden, total luas lahan garapan sawah tersempit yang dikuasai yaitu seluas 150 m2 dan total luas lahan garapan sawah terluas yang dikuasai yaitu seluas 4 500 m2 atau 0.45 hektar. Pengkategorian luas lahan dilakukan setelah tercatat semua total luas lahan garapan sawah responden dan terhitung rata-rata luas lahan garapannya yaitu 1
241 m2 dengan standar deviasi 989.13. Distribusi responden berdasarkan total luas lahan garapan sawah dijelaskan pada Gambar 12 di bawah ini.
Gambar 12 Persentase responden berdasarkan total luas lahan garapan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Berdasarkan Gambar 12, sebanyak sepuluh orang atau 25 persen responden yang memiliki total lahan garapan dengan kategori luas yaitu lebih dari sama dengan 1 735 m2, 18 orang atau 45 persen responden yang memiliki total lahan garapan dengan kategori sedang dengan luas antara 757 sampai 1 734 m2, dan 12 orang atau 30 persen responden yang memiliki total lahan garapan dengan kategori sempit dengan luas kurang dari 756 m2. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas petani desa ini memiliki luas lahan garapan sawah di atas tanah timbul dengan kategori sedang yaitu dengan luas antara 757 sampai 1 734 m2.
Status lahan garapan sawah setiap petani pun berbeda-beda tergantung pada bentuk penguasaan lahan. Mayoritas petani di desa ini mengolah lahan miliknya sendiri dibandingkan dengan membagi hasil lahannya kepada orang lain. Hal ini dikarenakan hasil panen sawah tersebut sangat sedikit dan tidak pasti setiap masa panennya. Tipe sawah tadah hujan yang bergantung pada kondisi alam merupakan salah satu penyebab hasil panen yang sedikit melihat bahwa wilayah Kabupaten Cilacap termasuk dalam wilayah yang sering mengalami kemarau. Distribusi responden berdasarkan status sawah yang digarap dijelaskan pada gambar di bawah ini.
Milik sendiri 90% Paro
10%
Gambar 13 Persentase responden berdasarkan status lahan garapan pertanian di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap,