• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.2. Landasan Teori

2.2.3. Corporate Governance

2.2.3.6. Corporate Governance pada Perbankan Syariah

Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang baik (GCG) pada bank syariah merupakan bagian tak terpisahkan dari spirit bank syariah, yang intinya adalah semangat tanggung jawab, kewajiban, keterbukaan dan keadilan melalui pengabdian serta ketundukan kepada Allah SWT dan melalui pemerataan kemampuan, pengetahuan, informasi dan penghargaan. Semangat inilah yang menjadi dasar bagi tata kelola usaha/bisnis dan kode etik dalam bank syariah, termasuk dalam memberikan pembiayaan untuk bisnis syariah.

Ditinjau dari sistem pengelolaan, perbankan Islam menunjukkan sejumlah segi yang menarik karena menjadikan skema partisipasi ekuitas, risiko, dan PLS (Profit and loss sharing) sebagai basis pembiayaannya. Semua skema itu memiliki satu aspek penting, yakni bahwa semua transaksi yang dilakukan harus bersifat riil, bukan hanya transaksi keuangan, dan semua pihak yang terlibat dalam kontrak harus sama-sama menanggung risiko dengan memakai skema PLS (Lewis, 2007: 208)

Skema keuangan ini menunjukkan tingkat keterlibatan yang sangat berbeda (dan karenanya meniscayakan tata kelola yang berbeda pula) dengan perbankan konvensional karena para deposan mempertaruhkan uangnya langsung dalam investasi dan partisipasi ekuitas bank. Selain itu, perbankan Islam menerapkan satu lapis kontrol lainnya agar investasi dan pembiayaan benar-benar sesuai dengan syariah dan memenuhi harapan kaum muslim.

Untuk tujuan ini, bank Islam mempekerjakan Penasihat dan/atau Badan Keagamaan sendiri (Lewis, 2007:208).

Pada bank syariah untuk menerapkan GCG selain memerlukan dewan komisaris dan komite audit, juga harus terdapat dewan pengawas syariah. Dewan pengawas syariah merupakan pihak luar perusahaan yang kemudian menjadi bagian dari internal perusahaan yang diangkat dengan persetujuan Dewan Syariah Nasional (DSN). Dewan pengawas syariah merupakan institusi independen dalam bank syariah yang fungsi utamanya adalah melakukan pengawasan kepatuhan syariah dalam kegiatan operasional bank syariah.

Bankir syariah memiliki keharusan sebagai pioner penegakan GCG dibanding konvensional, karena permasalahan governance dalam perbankan syariah ternyata sangat berbeda dengan bank konvensional. Pertama, bank syariah memiliki kewajiban untuk mematuhi prinsip-prinsip syariah (shariah compliance) dalam menjalankan bisnisnya. Karenanya, Dewan Pengawas Syariah (DPS) memainkan peran yang penting dalam governance structure perbankan syariah. Kedua, karena potensi terjadinya information asymmetry sangat tinggi bagi perbankan syariah maka permasalahan agency theory menjadi sangat relevan. Hal ini terkait dengan permasalahan tingkat akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana nasabah dan pemegang saham. Karenanya, permasalahan keterwakilan investment account holders dalam mekanisme good corporate governance menjadi masalah strategis yang harus pula mendapat perhatian bank syariah. Ketiga, dari perspektif budaya

korporasi, perbankan syariah semestinya melakukan transformasi budaya di mana nilai-nilai etika bisnis Islami menjadi karakter yang inheren dalam praktik bisnis perbankan syariah (Nofianti, 2013).

Di Indonesia lembaga keuangan syariah masih berpedoman Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/13/DPbs tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Prinsip GCG dalam peraturan ini masih sama dengan OECD konvensional meskipun bank syariah memiliki karakteristik yang berbeda dengan bank konvensional. Prinsip Good Corporate Government pada perbankan Syariah tersebut harus berlandaskan kepada lima prinsip dasar. Pertama, transparansi (transparancy), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organisasi bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, profesional (proffesional) yaitu memiliki kompetensi, mampu bertindak obyektif, dan bebas dari pengaruh/tekanan dari pihak manapun (independen) serta memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bank syariah. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan

dalam memenuhi hak-hak stakeholders berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Muhammad (2005) dalam Sudaryati dan Eskadewi (2012) menyatakan bahwa dalam Surat Al Baqoroh ayat 282 ini tersirat tiga prinsip dasar yang universal dalam operasional akuntansi syariah. Ketiga prinsip dasar tersebut adalah :

1. Prinsip Pertanggungjawaban

Prinsip pertanggungjawaban atau akuntabilitas (Accountability) merupakan konsep yang tidak asing lagi di kalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sang Kholiq mulai dari alam kandungan. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai kholifah di muka bumi. Manusia dibebani amanah oleh Allah untuk menjalankan fungsi-fungsi kekholifahannya. Inti kekholifahan adalah menjalankan atau menunaikan amanah.

2. Prinsip Keadilan

Jika ditafsirkan lebih lanjut maka ayat 282 surat Al Baqoroh mengandung prinsip keadilan dalam melakukan transaksi. Dalam konteks akuntansi menegaskan, kata adil dalam ayat 282 surat Al Baqoroh, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahaan dicatat dengan benar.

3. Prinsip Kebenaran

Prinsip kebenaran ini sebenarnya tidak bias dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh misalnya, dalam akuntansi kita akan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran, dan pelaporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandasi pada nilai kebenaran. Kebenaran ini akan dapat menciptakan keadilan dalam mengakui, mengukur dan melaporkan transaksi-transaksi ekonomi. 2.2.3.6.1. Tata Kelola Keuangan Perbankan Syariah

Konsep ummah atau solidaritas sosial umat Islam berkaitan erat dengan konsep amanah (kepercayaan): harta harus diperoleh, dipergunakan, dan didistribusikan dalam kerangka syariah. Konsep amanah juga mengandung arti bahwa bank Islam bertindak sebagai wakil (wali) para investor yang dananya mereka kelola, dan harus memenuhi segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab (Lewis 2007:218).

Perbankan bebas-bunga dalam bentuknya yang murni didasarkan atas konsep syirkah (kemitraan) atau musyarakah, dan mudharabah (bagi-hasil). Musyarakah merupakan kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan (Sudarsono 2004, 67). Meski dimungkinkan dalam hal ini semua penyelia modal tidak ikut serta dalam manajemen proyek, dan pada umumnya bank menyerahkan manajemen kepada mitra.

Dari sudut pandang pengusaha, tak perlu ada pembayaran tahunan untuk melunasi utang seperti dalam kredit berbunga walaupun modal itu tidak menambah risiko perusahaan sebagaimana pada pinjaman lainnya melalui daya-tuas (leverage: pembiayaan di mana rasio utang lebih besar dari modal milik sendiri) yang bertambah. Dan pihak bank memperoleh pendapatan dari laba (mirip dengan deviden) dan ia tidak dapat menyita utang seandainya laba tidak dapat menutupi utang (Lewis 2007:219).

Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Jika kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola yang harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Lewis 2004:69).

2.2.3.6.2. Governance Structure Perbankan Syariah

Bank-bank Islam mempekerjakan para ahli hukum Islam, biasanya sebagai penasihat atau konsultan, untuk memastikan bahwa kebijakan dan operasinya sesuai dengan syariah (Lewis 2007:221). Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antar bank syariah dengan bank konvensional adalah

keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah (Antonio 2001:30). Jadi, komponen penting dalam corporate governance bank Islam adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Gambar 2 : Corporate Governance dalam Sebuah Bank Islam

Sumber : Lewis (2007:222) Pemegang saham Auditor eksternal Undang-undang tentang Perusahaan Regulasi bank/keuangan sentral Dewan Standard Akuntansi

Islam

Sistem Pengaturan Eksternal Sistem Pengaturan Internal

Dewan Direksi Direktur noneksekutif Komisi Audit

Audit internal

Dewan Penyelia Syariah Penyelia syariah

Penasihat hukum

Kontrol keuangan Kontrol operasional Tinjauan audit

Pemenuhan standar laporan keuangan

Pemenuhan syariah

Proses regulasi eksternal mencakup fungsi audit eksternal beserta syarat-syarat pelaporan menurut undang-undang perusahaan dan aturan praktik akuntansi yang terbaik, dan juga tindakan para pemegang saham serta peran Bursa Saham. Regulasi internal meliputi semua aktivitas dan dan fungsi dewan direktur, direktur non-eksekutif, komite audit, dan audit internal. Semua ini harus dilengkapi dengan sistem kontrol internal yang bertujuan untuk memastikan keamanatan laporan keuangan, kesesuaian dengan undang-undang dan peraturan, dan operasi yang efisien (Lewis 2007:221).

2.2.3.7. Perbandingan Tata Pengelolaan Perbankan Konvensional dan Syariah

Dokumen terkait