• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Literatur 1.Teori Agensi 1.Teori Agensi

2. Good Corporate Governance (GCG)

Dalam Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), Good Corporate Governance didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak

16 dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan (Retno dan Priantinah, 2012:85). GCG digunakan sebagai sistem dan struktur yang mengatur hubungan antara manajemen dengan pemilik baik mayoritas maupun minoritas suatu perusahaan dengan kata lain sebagai bentuk perlindungan investor adanya perbedaan kepentingan pemegang saham (principal) dengan pihak manajemen (agent). Penerapan corporate governance menuntut adanya perlindungan yang kuat terhadap hak-hak pemegang saham terutama pemegang saham minoritas.

Sedangkan Good Corporate Governance menurut Tjager dan Deny (2005) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:89) didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan. Hal ini diperlukan untuk mencapai bisnis yang efisien, menguntungkan, serta efektif dalam mengelola resiko dan bertanggung jawab dengan memperhatikan stakeholders. Dengan adanya Good Corporate Governance akan dapat membantu dan mengurangi masalah yang timbul dalam teori agensi. Karena dalam teori agensi dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara principal dan agent dimana principal memberikan wewenang dan kekuasaan kepada agent untuk mengelola perusahaannya. Hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan, karena masing-masing pihak tentu akan mengutamakan kepentingannya demi memperoleh keuntungan.

17 Kaihatu (2006:2) menjelaskan terdapat lima prinsip dasar dari Good Corporate Governance secara umum yaitu:

1. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. 2. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem,

dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.

3. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.

4. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

5. Fairness (kesetaraan da kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. 3. Kepemilikan Keluarga

Kepemilikan keluarga merupakan kepemilikan saham oleh individu maupun perusahaan yang bukan publik (Faccio dan Lang, 2002 dalam Kamaliah et. al., 2013:5). Sedangkan Menurut La Porta et. al., (1998:22)

18 kepemilikan keluarga merupakan kepemilikan dari individu dan kepemilikan dari perusahaan tertutup (di atas 5%) yang bukan perusahaan publik, negara, atupun institusi keuangan. Berdasarkan definisi ini, maka perusahaan dengan kepemilikan keluarga tidak hanya terbatas pada perusahaan yang menempatkan anggota keluarganya pada posisi CEO, komisaris atau posisi manajemen lainnya. Perusahaan dengan kepemilikan keluarga merupakan mayoritas jenis perusahaan di Indonesia. Perusahaan ini umumnya dimiliki secara mayoritas oleh keluarga tertentu atau kepemilikian sahamnya terkonsentrasi pada keluarga tertentu (Ayub, 2008:13).

Suatu perusahaan dapat dikatakan dimiliki oleh keluarga (family owned) jika keluarga tersebut merupakan controlling shareholders, atau mempunyai saham setidaknya 20% dari voting rights dan merupakan pemilik saham tertinggi dibandingkan dengan shareholders lainnya (Chakrabarty, 2009 dalam Kamaliah et. al., 2013:5). Perusahaan publik di Indonesia memiliki karakteristik yang tidak berbeda dengan perusahaan di Asia pada umumnya. Perusahaan-perusahaan di Asia secara historis dan sosiologis adalah perusahaan-perusahaan uang dimiliki atau di kontrol oleh keluarga (Claessens et. al., 1999:3). Meskipun perusahaan-perusahaan tersebut tumbuh dan menjadi perusahaan publik, namun kontrol tetap dipegang oleh keluarga dan masih begitu signifikan.

Pada awalnya, perusahaan keluarga merupakan perusahaan tertutup dan mendanai kegiatan usahanya dari modal sendiri dan didukung oleh

19 pinjaman pihak luar. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi dan pasar modal, banyak dari perusahaan yang dikategorikan sebagai family ownership ini kemudian menjadi perusahaan terbuka. Dengan menjadi perusahaan terbuka, maka rasio dan profit dari perusahaan menjadi terbagi dengan pihak luar. Selain itu, perusahaan juga dapat memperoleh lebih banyak dana dan melakukan ekspansi usahanya dengan menjadi perusahaan terbuka (Ayub, 2008:11).

Keluarga sebagai pemegang saham mayoritas dapat menggunakan tingkat pengendalian yang dimiliki untuk memperoleh keuntungan pribadi pada beban yang ditanggung oleh saham minoritas. Perusahaan dengan kepemilikan keluarga, kerap terjadi sengketa kepentingan antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Sengketa kepentingan pada perusahaan ini disebabkan karena pemegang saham mayoritas umumnya memiliki kontrol yang sangat besar terhadap perusahaan tersebut. Claessens et. al., (1999:12) menyatakan bahwa kontrol ini dilakukan melalui struktur piramida dan kepemilikan silang (crossholding) di antara beberapa perusahaan. Model ini sangat umum terjadi di semua Negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. 4. Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional adalah proporsi kepemilikan saham pada akhir tahun yang dimiliki oleh lembaga, seperti asuransi, bank atau institusi lain (Tarjo, 2008 dalam Dian dan Lidyah, 2014:2).Para investor institusional ini biasanya bertindak sebagai pihak yang memonitor

20 jalannya sebuah perusahaan, dan dalam melakukan monitoring investor institusional ini lebih berpihak kepada para pemegang saham. Kepemilikan institusional ini merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan.

Adanya kepemilikan institusional di suatu perusahaan akan mendorong peningkatan pengawasan agar lebih optimal terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan saham mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap kinerja manajemen (Dian dan Lidyah, 2014:2). Pengawasan yang dilakukan oleh investor institusional sangat bergantung pada besarnya investasi yang dilakukan. Menurut Nuraina (2012:112) semakin tinggi kepemilikan institusional pada suatu perusahaan maka akan semakin kuat kontrol eksternal terhadap perusahaan dan mengurangi agency cost, sehingga perusahaan akan menggunakan dividen yang rendah. Dengan adanya kontrol yang ketat, menyebabkan manajer menggunakan utang pada tingkat rendah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya financial distress dan risiko kebangkrutan.

Kepemilikan institusional pada umumnya memiliki proporsi kepemilikan dalam jumlah yang besar sehingga proses monitoring terhadap manajer menjadi lebih baik (Wiranata dan Nugrahanti, 2013:18). Semakin besar kepemilikan institusi keuangan maka akan semakin besar kekuatan suara dan dorongan dari institusi keuangan tersebut untuk mengawasi manajemen dan akibatnya akan memberikan dorongan yang

21 lebih besar untuk mengoptimalkan nilai perusahaan sehingga kinerja perusahaan akan meningkat. Pengaruh investor institusional terhadap manajemen perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dan pemegang saham. Hal ini disebabkan karena jika tingkat kepemilikan manajerial tinggi dapat berdampak buruk terhadap perusahaan karena menimbulkan masalah pertahanan, yang berarti jika kepemilikan manajerial tinggi, para manajer memiliki posisi yang kuat untuk melakukan suatu kontrol terhadap perusahaan dan pihak pemegang saham eksternal akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan para manajer.

Dokumen terkait