• Tidak ada hasil yang ditemukan

Coup '65: 30 September

Dalam dokumen Merajut Senja di Panti Jompo (Halaman 103-106)

Oleh Coen Husain Pontoh

Samudera perpolitikan Indonesia, makin hari makin bergelombang. Tapi sesungguhnya, gelombang itu lebih terasa di kalangan elite. Maklum, mayoritas rakyat Indonesia, yang baru merdeka 20 tahun lamanya itu, masih buta huruf, masih mengandalkan radio sebagai alat komunikasi. Padahal alat komunikasi utama ini jangkauannya sangat terbatas.

Kisruh politik makin memanas. Lebih-lebih dengan kondisi sang pemimpin besar revolusi, paduka yang mulia, panglima tertinggi angkatan bersenjata,yang telah jatuh sakit. Semua kekuatan politik siap berhadap-hadapan, menunggu saat tepat untuk bergerak.

Saat itu sudah lama diperkirakan olehnya. Pasti akan terjadi, cepat atau lambat. Informasi yang berkaitan dengan kondisi politik ini sudah ada di tangannya melalui pembicaraan-pembicaraan rahasia. Dia sudah lama gemas, namun menunggu momen memang membutuhkan kesabaran. Sebagaimana kesabaran prajurit yang

akan membidik sasaran. Dan bidikan itu sudah lama ia tengarai. Pembicaraan- pembicaraan itu menjadi bekal.

“Ini saatnya bagi tuan untuk bergerak. Jika tuan terlambat, maka negeri ini akan jatuh ke tangan komunis.”

“Jangan sampai komunisme berkuasa. Katakan, tindakan apa yang harus saya lakukan? Sebagai prajurit saya patuh pada atasan, dan hingga kini tak ada perintah dari komandan untuk bertindak.”

“Tuanlah yang harus bertindak. Bukan komandan tuan. Mereka selalu akan menunggu perintah panglima tertinggi. Dan ingat, dia sedang sakit parah. Tuan tidak lihat bahwa komunisme semakin gencar merengkuh semua kekuatan politik untuk berada di bawah pengaruhnya?”

“Saya tahu itu. Tapi saya juga tahu tidak ada yang salah dengan itu, karena mereka menjalankan bagian daripada strategi dan taktik politik.”

“Tuan terlalu naif. Politik itu berwajah seribu, hari ini menjadi kawan besok sudah dijadikan lawan.”

“Saya prajurit, bukan politisi. Tugas saya adalah mengamankan negeri ini daripada ancaman, gangguan, dan hambatan yang terjadi.”

“Di situlah maksud saya. Tuan tahu, komunisme adalah ancaman yang nyata bagi negeri tuan. Mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai bagian dari gerakan komunis internasional yang dipimpin oleh Beijing. Jika itu terjadi, maka tuan tidak punya keleluasaan dalam membangun negeri tuan, karena semuanya nanti akan tergantung pada arahan dan persetujuan Beijing.”

“Saya mengerti.”

Dia terdiam sejenak. Memahami benar bagaimana Partai Komunis Indonesia adalah ancaman nyata baginya. Namun, dia juga paham, bahwa PKI berjalan di koridor yang telah ditentukan. Mereka ikut pemilu, mengakui Pancasila sebagai dasar negara, dan tidak menentang Angkatan Darat secara langsung.

Dia menatap lawan bicaranya yang masih duduk sambil menghisap sebatang rokoknya. Terbersit di benaknya, sebuah kalimat pancingan yang bernada lugu namun diarahkan untuk membuatnya tahu apa isi benak lawan bicaranya.

“Saya mengerti, namun, soal politik, itu bukan urusan saya.”

“Ah lagi-lagi tuan terlalu naif. Tuan tentunya tahu bahwa dalam komunisme, militer harus tunduk pada arahan dan perintah partai.”

“Jangan sampai itu terjadi. AD bukan alat kekuatan apapun, AD bukan pemadam kebakaran. Bahkan AD, seperti kata Panglima Besar Jend. Soedirman, adalah satu- satunya kekuatan yang tetap utuh dan solid. AD adalah tentara rakyat, ia berjuang bersama rakyat merebut dan mempertahankan kemerdekaan republik. Karena itu, AD harus terlibat dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan negara.”

“Itulah yang saya maksud mengapa komunisme dan PKI merupakan ancaman nyata.”

“Tapi apa yang harus saya lakukan? PKI adalah sebuah partai politik yang sah, yang berjuang dengan cara-cara legal. Mereka tidak menabrak konstitusi kami.”

“Tuan, itu hanya salah satu aspek dari strategi politik PKI. Mereka mengenal perjuangan legal dan ilegal, mekanisme atas-bawah. Yang di atas tidak mencermin- kan realitas yang sesungguhnya. Tuan tahu bahwa mereka juga menggarap prajurit- prajurit Angkatan Bersenjata?”

“Saya lebih tahu daripada mereka. Saya tahu mereka menyusup ke tubuh angkatan bersenjata. Saya tahu betul agen-agen mereka. Berikan kepada saya, apa alasan legal saya untuk menindak PKI ? Mereka tidak melakukan pemberontakan, mereka tidak menentang angkatan bersenjata secara terbuka. Mereka berbeda dengan Masyumi atau PSI yang terkait dengan PRRI dan Permesta.”

Si lawan bicara tersenyum.

“Tuan, politik itu berwajah seribu. Tuan bisa membuat seribu satu alasan untuk menghantam komunisme, untuk kemudian berkuasa di negeri ini.”

“Yang saya butuhkan alasan legalnya, saya ingin kelak ketika berkuasa hal itu dicapai dengan cara-cara legal. Soal bagaimana melakukan, Anda tak perlu mengajari saya.”

“Tuan, alasan bisa dicari dan dibentuk. Yang paling penting adalah tindakan. Dalam politik, mereka yang berhasil memanfaatkan momentum adalah yang memenangkan pertarungan. Politik bukanlah matematika. Politik adalah seni. Seni berkuasa. Kadang tuan harus tampil gagah, kadang lemah, kadang lembut, kadang abstrak, tapi juga harus berani bersikap tegas dan keras. Jangan seperti Nasution, yang gagah tapi tidak berani bersikap tegas. Atau Yani, yang hanya cukup puas mengabdi pada pemimpin besar revolusi.”

“Lalu apa momentum itu?”

“Tuan, inilah saatnya momentum yang terbaik. Panglima besar sedang jatuh sakit, semua kekuatan politik saling bersiaga, menunggu siapa yang mulai bertindak. Tapi mereka hanya menunggu, mereka tak berani mulai bertindak. Itulah kesalahan utama mereka.”

“Saya mengerti, tapi tindakan apa yang harus diambil? Saya kira semua elite itu berpikiran seperti saya, ‘tindakan apa yang harus diambil yang menguntungkan kedudukannya?”

Si lawan bicara mengerti, mata kail telah bergoyang.

“Tuan, untuk memenangkan pertempuran saat ini, tuan harus menyerang kekuatan yang paling kuat. Kekuatan yang paling kuat itu adalah Soekarno, panglima besar revolusi, pemimpin tertinggi angkatan bersenjata.”

“Tuan bertindaklah, jangan dulu memikirkan alasan legalnya. Kalau tuan sudah berkuasa, tuan bisa membuat sendiri alasan legal itu. Hukum itu produk politik, orang sejak awal berkuasa dulu baru membuat aturan, karena dengan demikian barulah aturan itu bisa ditegakkan. Bukan sebaliknya.”

“Tapi, kalau itu saya lakukan, pasti akan ada pertumpahan darah yang luar biasa, akan ada perang saudara. Saya tidak mau sebagai prajurit, dituduh mengobarkan perang saudara.”

“Tuan, untuk kepentingan umum, terkadang kita harus mengorbankan kepentingan orang per orang atau golongan per golongan. Untuk kepentingan jangka panjang, tidaklah soal jika kepentingan jangka pendek dibatalkan.”

“Itulah yang saya pikirkan, kepentingan jangka panjang itu. Saya tak ingin disebut sebagai pemimpin yang berlumuran darah, saya tak ingin dunia internasional takut berhadapan dengan saya karena kekejaman yang terjadi.”

“Tuan, masa depan ditentukan oleh tindakan tuan hari ini. Masa depan ada dalam buku-buku sejarah, dan sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Soal dunia internasional, tuan dunia tidak seterbuka yan tuan kira, juga tidak sesantun yang tuan sangka. Dunia luar penuh warna, dan warna itu tergantung pada kepentingan mereka. Apalagi saat ini, setiap negara sibuk dengan urusannya masing-masing.” “Tapi pasti mereka akan tahu, dan saya tidak ingin terasing dari pergaulan interna- sional.”

“Tuan jangan khawatir soal itu. Kami adalah kawan dan sahabat tuan, jika tuan berkuasa kelak. Kami justru lebih takut dengan pemerintahan yang ada saat ini, karena mereka membiarkan komunisme bersimaharajalela.”

Sang prajurit menghela nafas panjang-panjang. Malam kian larut, dan dingin semakin menusuk tulang.

*************** 0 0 0 0 0 0****************** http://perso.club-internat.fr/kontak/.

KOLOM UMAR SAID:

Dalam dokumen Merajut Senja di Panti Jompo (Halaman 103-106)