• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGALAMAN KORBAN PERISTIWA 65 ADALAH GURU BESAR BANGSA

Dalam dokumen Merajut Senja di Panti Jompo (Halaman 117-126)

Ketika kita memperingati “40 tahun peristiwa 65” apa sajakah yang perlu kita kenang kembali atau kita tarik sebagai pelajaran penting bagi bangsa kita dewasa ini dan juga untuk anak-cucu kita di kemudian hari ? Boleh dikatakan, semuanya! Semua soal yang berkaitan dengan peristiwa 65 adalah penting. Karena itu, peristiwa 65 adalah rumit, dan bersegi banyak. Dalam persoalan besar yang sangat bersejarah bagi bangsa dan Republik Indonesia ini ada aspek PKI, ada aspek Bung Karno, aspek TNI-AD, aspek Suharto, aspek golongan Islam, aspek CIA. Di dalamnya terdapat juga faktor sejarah, faktor politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dan

semuanya itu ada sangkut-pautnya - secara langsung atau tidak langsung - dengan banyak persoalan dalamnegeri dan internasional pada waktu itu.

Mengingat begitu besar dampak peristiwa 65 untuk kehidupan bangsa kita, maka sebaiknya (atau sepatutnya) makin banyak orang bisa menulis tentang itu semua. Sehingga berbagai masalah peristiwa 65 bisa dilihat secara betul-betul jernih dan juga secara menyeluruh. Karena, seperti kita saksikan sendiri masing-masing selama ini, banyak sekali soal yang berkaitan dengan peristiwa 65 telah diputar- balikkan, direkayasa, dipalsukan, dibohongkan, disulap dan “divermaak” oleh Orde Baru. Dan dalam jangka waktu yang lama sekali pula, yaitu lebih dari 32 tahun !!! Jadi, tidak tanggung-tanggung.

Dalam tulisan yang kali ini titik berat diletakkan pada ajakan kepada semua untuk merenungkan bersama masalah penganiayaan dan penyiksaan dilakukan oleh para pembangun rejim militer Orde Baru. Karena, penganiayaan biadab dan penyiksaan sadis adalah salah satu di antara banyak “senjata ampuh” yang dipakai oleh Orde Baru dalam melumpuhkan kekuasaan Bung Karno dan dalam memukul PKI beserta pendukung-pendukungnya. dan penyiksaan (yang dilakukan dalam berbagai bentuk) adalah suatu cara rejim militer Orde Baru untuk kemudian melakukan terror permanen di seluruh negeri, guna memperkokoh cengkeraman kekuatan militernya. Dalam arti tertentu, bisalah kiranya disimpulkan bahwa penganiayaan dan terror adalah satu dan senyawa dengan Orde Baru.

PUNCAK KEBIADABAN DALAM SEJARAH BANGSA

Barangkali, penganiayaan dan penyiksaan oleh kesatuan-kesatuan TNI-AD (dan kalangan kecil dari golongan Islam) terhadap anggota, simpatisan kader-kader PKI dan pendukung Bung Karno, merupakan puncak kebiadaban yang pernah dibikin oleh segolongan kecil bangsa kita.terhadap sesama warganegara. Dan, mungkin juga, puncak kebiadaban yang mengerikan ini adalah satu-satunya yang muncul dalam sejarah bangsa Indonesia. Mudah-mudahan, Insya Allah!

Kalau mengingat betapa hebatnya penganiayaan atau sadisnya penyiksaan terhadap begitu banyak orang yang ditangkap dan diinterogasi oleh aparat militer maka kita bisa bertanya-tanya apakah bangsa kita ini masih pantas dinamakan bangsa yang beradab? Apakah kita bisa membanggakan diri sebagai bangsa yang majoritasnya pemeluk agama?

Selama 32 tahun pemerintahan rejim militer Suharto dkk orang tidak bisa dan juga tidak berani buka suara tentang kebiadaban, kebuasan, dan kebengisan yang terjadi dalam tahun-tahun pertama ketika Suharto dkk menyerobot kekuasaan dari tangan Bung Karno. Sebab, berani buka suara waktu itu berarti pasti menghadapi penangkapan dan penganiayaan.

Baru setelah Suharto dengan Orde Barunya dipaksa turun dari kekuasaan dalam tahun 1998, sedikit demi sedikit muncullah beraneka ragam cerita dan kesaksian tentang betapa hebatnya penganiayaan dan penyiksaan terhadap para korban. Sebagian kecil sekali dari cerita dan kesaksian ini sudah mulai diketahui oleh publik melalui, antara lain, artikel atau tulisan dalam majalah, memoire dalam bentuk buku.

Mengingat banyaknya kasus penganiayaan dan hebatnya penyiksaan, dan mengingat juga besarnya orang yang telah menderita perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini, maka kiranya kita semua perlu mendorong sebanyak mungkin orang untuk terus menulis tentang itu semua lebih banyak lagi. Menulis (atau menceritakan) tentang kebiadaban penganiayaan dan penyiksaan yang telah dilakukan oleh sebagian golongan militer (dan sebagian kecil golongan Islam pada waktu itu) merupakan tugas penting generasi bangsa kita dewasa ini. Sebab, kalau tugas penting ini tidak dikerjakan sekarang, maka saksi-saksi hidupnya akan makin berkurang atau banyak pelaku-pelaku sejarahnya yang sudah keburu meninggal dunia.

BESARNYA DAN LUASNYA PENGANIAYAAN

Sekadar untuk menyegarkan kembali ingatan kita bersama, pada akhir tahun 1965, dan dalam tahun-tahun 1966 dan 1967, hampir seluruh pemimpin dan kader PKI dari berbagai tingkat (propinsi, kabupaten, kota besar dan kota madya, kecamatan, bahkan kelurahan) di seluruh Indonesia ditangkapi secara besar-besaran dan ditahan secara sewenang-wenang dalam jangka waktu yang lama. Sebagian besar di antara mereka dibunuh begitu saja dengan cara-cara yang tidak berperi- kemanusiaan.

Banyak diceritakan sekarang bagaimana kejamnya siksaan terhadap mereka yang ditangkap itu selama diinterogasi. besar di antara mereka itu terdiri dari para pemimpin atau kader bermacam-macam organisasi buruh, tani, nelayan, wanita, pemuda, , tentara, pegawai negeri, dan golongan lainnya dalam masyarakat. Banyak di antara mereka yang disetrum listrik, disundut dengan puntung rokok, dipukuli dengan kawat berduri, digantung sampai berhari-hari, dipukuli beramai-ramai, ditusuk-tusuk dengan pisau atau bayonet, di-sel di ruangan gelap (tanpa sinar matahari sedikitpun) sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Sebagian di antara mereka disiksa di hadapan istri dan anak. Banyak yang sesudah disiksa tidak diberi pengobatan dan dibiarkan kesakitan sampai jangka lama. Banyak sekali orang tahanan yang tidak boleh berhubungan sama sekali dengan keluarganya. Tidak sedikit di antara tahanan wanita yang diperkosa atau dilecehkan kesusilaan mereka dengan berbagai cara. Semuanya ini sulit dibantah, karena saksi- saksinya masih ada, dan korban-korbannya pun banyak sekali yang masih bisa memberikan kesaksian.

Dampak siksaan atau penganiayaan ini besar sekali. Dari mulut ke mulut bocor juga berita tentang kekejaman yang diperlakukan terhadap para tahanan itu. Berita-berita inilah yang kemudian juga menimbulkan terror di kalangan keluarga (atau di kalangan teman-teman) yang ditahan. Ketakutan yang besar sekali terhadap militer menghinggapi kalangan luas dalam masyarakat di seluruh negeri waktu itu.

Dalam jangka lama semasa Orde Baru, tempat-tempat seperti Kodam, Korem dan Kodim di seluruh Indonesia merupakan sesuatu yang sangat ditakuti oleh banyak orang biasa. (Ditakuti, tetapi tidak berarti juga dihormati). Sebab, sering sekali, orang-orang yang ditahan oleh Kodim adalah orang-orang yang dianggap mem- punyai masalah. Masalah yang berkaitan dengan “keamanan”, yang arti polosnya yalah kekuasaan rezim militer.

Entah sudah berapa jumlah orang-orang yang pernah ditahan oleh Kodim (atau instansi militer bawahannya) di seluruh Indonesia. Seandainya tembok-tembok gedung Kodim di banyak tempat bisa bicara akan bisa menggigillah orang men- dengar kisah-kisah tentang hebatnya dan juga banyaknya siksaan biadab yang telah dilakukan oleh para petugas militer waktu itu.

KESAKSIAN PARA KORBAN ADALAH MILIK BERHARGA BANGSA

Kisah-kisah tentang penyiksaan atau penganiayaan oleh petugas-petugas militer ini sebenarnya sekarang ini dapat didengar dari banyak para korban peristiwa 65, para eks-tapol, dan juga keluarga mereka. Kesaksian mereka (beserta sanak-saudara mereka, dekat maupun jauh) adalah MEMOIRE KOLEKTIF dan merupakan milik berharga bangsa, baik bagi generasi yang sekarang maupun bagi anak-cucu kita. Dari kisah mereka itu bangsa kita sekarang dan anak-cucu kita akan mengetahui dengan jelas bahwa TNI-AD pernah melakukan kejahatan besar-besaran dalam bentuk siksaan biadab atau penganiayaan sadis terhadap sesama warganegara. Kisah para korban peristiwa 65 adalah sarana pendidikan moral yang sangat ampuh, atau alat pemupukan rasa perikemanusiaan yang sangat ideal. Kisah para korban peristiwa 65 tentang penyiksaan dan penganiayaan merupakan juga contoh kongkrit atau nyata tentang pelanggaran perikemanusiaan.

Dari segi inilah kita bisa melihat pentingnya mendorong atau menganjurkan kepada para korban peristiwa 65 (termasuk sanak-saudara, dan juga teman-teman terdekat mereka) untuk berusaha mengangkat kisah-kisah sebenarnya tentang pengalaman mereka mengenai penyiksaan dan penganiayaan oleh militer, terutama sekali dalam tahun-tahun pertama terjadinya G30S.

Dalam kaitan ini kiranya perlu sekali kita renungkan bersama -- secara dalam-dalam -- soal berikut: pengangkatan kisah-kisah ini tidak dimaksudkan untuk tujuan nista, yaitu: mengungkit-ungkit dendam, atau membuka luka-luka lama, sekadar melam- piaskan kemarahan dan mengumbar hujatan, menyebar kebencian atau mengipasi permusuhan untuk tujuan luhur, yaitu : mengajak orang banyak untuk menjunjung tinggi-tinggi perikemanusiaan, mematuhi peradaban, memupuk rasa persaudaraan, dan menghormati perasaan keadilan, demi kebaikan bersama seluruh bangsa Di samping itu, melalui kisah-kisah tentang penyiksaan dan penganiayaan ini kita bisa berusaha memberi sumbangan kepada reformasi di bidang jiwa dan moral di kalangan militer (teruatama kalangan TNI-AD), supaya tidak mengulangi lagi kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran berat yang sudah banyak dan sering sekali dilakukan semasa Orde Baru.

Sebab, seperti sudah kita saksikan sendiri selama ini, jelaslah kiranya bahwa, penyiksaan, dan penindasan, dan pemerkosaan, dan pemerasan, dan persekusi, dan intimidasi, adalah praktek-praktek yang banyak dilakukan oleh kalangan militer dalam jangka waktu puluhan tahun. Ini dialami sendiri dengan bukti-bukti yang nyata oleh banyak orang dari berbagai kalangan dan golongan di seluruh tanah air kita. Jadi, sekali lagi, fakta-fakta sejarah ini sulit sekali dibantah atau diungkiri.

Kalau dalam tahun-tahun pertama sesudah G30S tindakan yang biadab itu terutama sekali ditujukan kepada kader atau anggota dan simpatisan PKI dan pendukung

Bung Karno, maka kemudian juga golongan-golongan lainnya yang dianggap berbahaya bagi rejim militer mendapat gilirannya. Itu sebabnya maka terjadi peristiwa-peristiwa berdarah di Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Madura. Yang terma- suk agak baru atau agak akhir adalah peristiwa di Timor Timur, kerusuhan rasial bulan Mei 1998, penculikan 14 anak muda PRD, penyerbuan gedung PDI di jalan Diponegoro, dan peristiwa Semanggi. Pembunuhan pejoang HAM, Munir, dalam tahun 2004, adalah bentuk yang lain lagi dari praktek biadab ini.

GURU BESAR SOAL PENYIKSAAN DAN PERIKEMANUSIAAN

Jadi, dalam rangka memperingati 40 tahun peristiwa 65 mengungkap kembali kebiadaban penyiksaan dan membeberkan kebuasan penganiayaan aparat militer terhadap para korban adalah perlu atau dan juga tepat waktunya. Membeberkan kebiadaban penganiayaan dan terhadap korban peristiwa 65 tidaklah bermaksud untuk “memojokkan” salah satu golongan, bukan pula untuk “menghina” salah satu aparat Negara. Apalagi, bukan juga untuk sekadar “menjelek-jelekkan atau “menodai” kehormatannya.

Justru kebalikannya!!! Kita, sebagai bangsa, tidak ingin kalau kejahatan-kejahatan monumental yang sudah dilakukan oleh golongan militer (terutama TNI-AD) selama masa Orde Baru bisa terulang lagi, baik sekarang maupun di masa-masa yang akan datang. Sebagai bangsa, kita butuhkan militer yang tidak berjiwa Orde Baru. Kita akan hormati militer yang anti-Orde Baru.

Kejahatan di masa yang lalu sudah makan terlalu banyak korban jiwa manusia. Dan penderitaan yang mengucurkan banyak airmata dan darah pun sudah berlangsung terlalu lama.

Tulisan ini diakhiri himbauan kepada para korban peristiwa 65 (termasuk juga para sanak-saudaranya dan teman-teman terdekatnya):

Pengalaman kalian adalah guru besar bangsa dalam soal-soal penderitaan dan perikemanusiaan! tanpa ragu-ragu pengalaman kalian sebagai sumbangan kepada pembangunan jiwa dan moral baru bangsa. Demi tercapainya masyarakat adil dan makmur, yang juga dijiwai sungguh-sungguh Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika! Paris, 14 Agustus 2005

*************** 0 0 0 0 0 0****************** From: "sally salido" <sallysalido@hotmail.de>

Date: Tue, 04 Oct 2005 16:21:21 +0000 Para pembaca yang terhormat,

Siapa saja yang ingin mencari "kebersihan Tragedi Nasional 30 September '65" harus berusaha menjelujuri seluruh sejarah perkembangan Republik Indonesia, dari hari Proklamasi Kemerdekaan R.I. s/d terjadinya Tragedi Nasional tersebut dan sampai hari ini. Dibawah ini sedikit flashback:

Tragedi Nasional 30 September '65 adalah satu bagian matarantai dari aktivitas kaum Kolonial, terutama kaum Kolonial Belanda, dalam usaha untuk mempertahan-

kan dan merehabilitasi kembali kekuasaan Kolonialisme diatas wilayah Republik Indonesia. Semenjak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tidak henti- hentinya serangan dan subversi kaum Kolonial Belanda, menyerang dan melakukan subversi untuk menghancurkan Republik Indonesia. Agresi Belanda I dan ke-II. Pengkhianatan kekuatan politik yang pro kaum Kolonial Belanda didalam RI, seperti "joint venture" Pemerintahan Hatta-Sukiman dengan kaum Kolonial Belanda yang diwakili oleh van Mook yang melahirkan drive proposal, dan kemudian dengan apa yang dinamakan Peristiwa Madiun, dimana Pemerintahan Hatta-Sukiman dan bersama dengan Perwira TNI AD di Kementerian Pertahanan menterror/membunuh pada Pejuang, Pendiri dan Pembela RI, karena mereka adalah aktivis dan anggota Partai Komunis Indonesia. Republik Indonesia dengan aksi yang demikian dilemahkan, baiknya Presiden RI. Soekarno masih berada dalam kekuasaan Negara, sebagai Presiden RI., karena Presiden Soekarno mendapat kepercayaan Rakyat Indonesia yang tanpa batas.

Selanjutnya, Col.TNI AD Zulkifli Lubis membawa Meriam ke Istana Negara, menodong Presiden Soekarno untuk meletakkan jabatan sebagai Presiden R.I. Usaha coup d'etat Col. Zulkifli Lubis gagal. Justru itu, kaum Kolonial Belanda dengan bantuan antek-antek mereka dalam kekuasaan RI, selanjutnya mengorganisasi DII & TII Kartosuwiryo di Jawa-Barat dan DII & TII Daud Bereuh di Aceh yang berfungsi menterror/membunuh Pimpinan-Pimpinan Serikat Buruh dan Tani di Perkebunan- Perkebunan Teh, Karet,etc., karena kaum Kolonial Belanda masih beranggaban bahwa Perkebunan-Perkebunan tsb. adalah hakmilik mereka. Anehnya, Kementerian Pertahanan dibawah Jendral Nasution dan para Perwira TNI AD takpernah berhasil menangkap Kartosuwiryo atau Daud Bereuh.

Selanjutnya, diorganisasi Gerakan Separatisme hampir diseluruh wilayah RI, seperti apa yang dinamakan PRRI, PERMESTA, RMS, dan lain-lain seperti itu, untuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah Pimpinan Presiden Soekarno. Fungsi utama dari Perwira-Perwira TNI AD pada Gerakan Separatisme tsb. yalah menterror/membunuh Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota PKI, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota Serikat Buruh, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota Barisan Tani Indonesia, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota Pemuda Rakyat, CGMI, etc.

Kita kenal pembunuhan massal terhadap Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota Partai dan Organisasi-Organisasi tersebut diatas di Situjuh-Payakumbuh Sumatra- Barat atas perintah Perwira TNI AD Col. Ahmad Husen, dan yang seperti itu, ratusan banyaknya disepanjang wilayah RI. Mereka tidak memberontak, mereka tidak melakukan Gerakan Separatisme melawan RI., tapi mereka di terror, dibunuh tanpa prozes apapun. Hak Azasi Manusia? Convention Geneva yang mengatur Hak-Hak Asasi? Atau "Bill of Right" dari PBB yang menyatakan, bahwa "dignity of the people is inviolable?". Jendral A.H.Nasution sebagai Perwira TNI didikan kaum Kolonial di Breda dan para Jendral AD lainnya, tidak pernah mengenal/mendengar mengenai Hak Azasi Manusia.

Komando Militer didaerah KODAM menentukan hidup atau mati seseorang warga- negara RI, terutama kalau person tsb. angota PKI, maka Hak-Kewarganegaraannya dirampas, diperkosa, ditahan tanpa prozes apapun, atau ditembak mati dan hilang

taktentu rimbanya. Col.TNI AD Ahmad Husen, Col.TNI AD Simbolon dan yang lain- lainnya seperti itu, yang memberontak, mengadakan Gerakan Separatisme melawan RI. dianugrahi "Bintang Jasa" - kehidupan mewah dibawah Kementrian Pertahan di Jakarta.

Para Gubernur di Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Komando Militer - KODAM-setempat. Bupati diangkat dan diberhentikan oleh Perwira KODIM, pun Camat dan Lurah ditentukan Komando Distrik Militer setempat. Status ini dinamakan Jendral A.H.Nasution sebagai SOB.Jendral A.H.Nasution harus mempergunakan istilah bahasa Breda ( bahasa VOC). Penunjang kekuatan politik Presiden Soekarno, terutama PKI menjadi lemah, kendatipun demikian Presiden Soekarno, sebagai jawaban RI terhadap subversi asing, terutama subversi Belanda, men-Dekrit-kan penasionalisasian asset asing, terutama Modal Monopol Belanda di Indonesia dan dijadikan hakmilik RI, guna memperkuat Perekonomian Sektor Negara.

Dengan mempergunakan SOB (istilah VOC) Jendral A.H.Nasution menempatkan para Jendral TNI AD untuk mengambil Management disemua Perusahaan-Perusa- haan, Perkebunan-Perkebunan dan system per-Bank-an, yang telah dijadikan PN- PN Negara RI.

Dimulai Business Militer dalam sejarah RI, dan Jendral A.H.Nasution mengeluarkan Doctrin apa yang dinamakan "Dwi Fungsi ABRI", untuk melegalisasi kekuasaan Militer tersebut. Militer bukan lagi Aparat Negara, melainkan Badan Exekutive dalam Tatanegara RI, hanya masih "Dualisme" dengan Presiden Soekarno, dengan Manipol dan USDEK yang ditunjang oleh kekuatan politik NASAKOM, terutama oleh Partai Nasional Indonesia dan Komunis Indonesia.

Untuk merebut seluruh kekuasaan Negara RI, Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya harus menghancurkan NASAKOM, terutama menghancurkan PKI dan kemudian membunuh Presiden Soekarno. Bantuan untuk itu bukan hanya dari Amsterdam-Balanda, tetapi dan terutama dari CIA akan diperoleh oleh Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya, karena Pentagon yang sedang bankrupts/bankrott di Perang Vietnam, membutuhkan "orang Asia untuk membunuh orang Asia di Vietnam" untuk Petagon-USA (Doctrin Nixon).

Provokasi dan Provokasi - apakah dikalangan Partai-Partai Politik dalam NASAKOM, ataukah dikalangan ABRI, pun dikalangan Mahasiswa/Pemuda di organisasi oleh CIA bersama dengan para Jendral TNI AD dan puncaknya yang mentukan adalah 30 September'65, ketika konflikt terbuka didalam intern TNI AD, diantara Perwira Tinggi TNI AD/para Jendral dengan Perwira Menengah TNI AD. Para Perwira Menengah seperti nama-nama yang sering disebut, seperti .Sabur, Col.Untung, Col.Latief, yang menolak permainan CIA dengan Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya, untuk menjatuhkan Presiden Soekarno-artinya untuk menghancurkan RI-. Para Perwira Menengah tsb. - Col.TNI AD Sabur, Col.TNI AD Untung, Col.TNI AD Latief tidak ada hubungan organik dengan PKI, karena mereka itu bukanlah anggota atau Pimpinan PKI. Kesempatan tsb.diatas diambil oleh Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya untuk melaksanakan Program Red drive Proposal seperti di Madiun, seperti yang dijalankan oleh DII & TII, seperti yang dilakukan oleh para Perwira TNI AD yang melakukan Gerakan Separatisme PRRI, PERMESTA, etc.

Dalam tempo tigabulan pertama para Jendral TNI AD menjagal manusia Warganegara RI. dari Mentri s/d orang awam hampir 750.000 manusia; dan selanjutnya, Pemerintahan Jendral TNI AD -Golkar dengan nama ORDE-BARU hampir 1,7 juta WarganegaraRepublik Indonesia yang dijagal/dibunuh oleh TNI AD. Presiden Soekarno dibunuh a la Hamlet atau a la Singosari.

Dengan demikian Militer (TNI AD)-Jendral Suharto menguasai sepenuhnya Exekutive; KOPKAMTIB sebuah Aparat yang Non-Konstitusionil, menguasai bukan hanya Exekutive untuk memperkuat kekuasaan Militer, tetapi juga menguasai Yudikative - menjatuhkan dan melaksanakan Hukuman atas Warganegara RI yang dituduh PKI atau Soekarnois dan diantaranya Tahanan Politik-Legislative -Para Jendral TNI AD meletakkan seratus orang para Perwira TNI AD MPR.

Mereka inilah sesungguhnya yang menguasai kekuasaan Negara RI - d 'etat Jendral AD berhasil. Dan GOLKAR diperlukan untuk applauds.

Amsterdam puas, karena Jendral TNI AD Suharto mengembalikan kepada "Pemilik- nya" Perusahaan-Perusahaan dan Perkebunan-Perkebunan, etc. yang dinasionali- sasi oleh Pemerintah NASAKOM.

Modal Asing bisa beroperasi di Indonesia tanpa pajak, dan Prof.Sadli bangga dengan Konsep Ekonomi-nya. IMF menganugrahi Jendral TNI AD Suharto jutaan US-Dollar.Pentagon gembira, karena Jendral Suharto-Golkar(Orde-Baru) tidak menentang Perang USA di Vietnam.

Tetapi Rakyat Indonesia kembali mengalami GLOBALISASI sebelum terminology ini populer di Media seperti sekarang. Dan Globalisasi Ekonomi ini dialami Rakyat Indonesia/Nusantara hampir 350 Tahun, yang dimulai oleh J.P.Coon, disempurnakan oleh Jendral van den Bosch (VOC), dijaga keras oleh Jendral Daendels, dan diteruskan oleh Jendral TNI AD Suharto-Golkar dengan nama ORDE-BARU. Pemerintahan sekarang? ORDE-BARU dalam bentuk yang diselubungi oleh tabir sutra yang tipis.

Para Tehnokrat sekarang ini yang berada di Institut-Institut Ilmu Pengetahuan, seperti LIPI atau CSIS, etc. sibuk mengobrol "Apakah Jendral Suharto terlibat dalam melakukan Genoside 30 September'65". Terang-terangan Exekutiv, Yudikative dan Legislative dikuasai oleh para Jendral TNI AD dan masih ingin mengajukan pertanya- an seperti itu, Sebagai Sarjana Tinggi adalah sangat menyedihkan atau usaha untuk mengelabui mata 200 juta Rakyat Indonesia.Penarik Beca dari Tanjungperiok, di Manggarai, s/d etc. dengan pengalaman pengamatan mereka, mereka mengerti sangat, bahwa Militer, dibawah Komando para Jendral TNI AD melakukan coup d'etat dan untuk itu membunuh ribuan manusia, tetangga dan anggota keluarga mereka.

Dalam waktu yangsama, sekarang ini para Sarjana CSIS sibuk mengobrol/Seminar mengenai "Pertahanan Nasional" atau "Keamanan Nasional" atau terminology apalagy, yang seperti itu. Hanya para Tehnokrat tsb. dalam Paper mereka tak pernah menyebut, bahwa masalah Pertahanan Nasional menyangkut erat masalah Perekonomian Nasional/Sektor Negara yang kuat.

Doctrin Pertahanan Nasional yang bagaimana yang akan bisa dirumuskan oleh CSIS, kalau Perekonomian Sektor Negara berada ditangan global corporation of multinational company?

Kalau TNI AD hanya berfungsi untuk menjagal/membunuh para Patriot,

Dalam dokumen Merajut Senja di Panti Jompo (Halaman 117-126)