• Tidak ada hasil yang ditemukan

PULIHKAN NAMA BUNG KARNO! DAN CABUT TAP MPRS 33/1967!

Dalam dokumen Merajut Senja di Panti Jompo (Halaman 112-117)

( Oleh :A. Umar Said )

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (12)

Di antara berbagai kegiatan dalam rangka peringatan HUT ke-100 Bung Karno yang akan datang ini ada satu satu hal penting yang patut mendapat perhatian seluruh kekuatan pro-reformasi dan pro-demokrasi, yaitu: menjadikan kesempatan yang bersejarah ini untuk mulai dilancarkannya gerakan besar-besaran untuk menuntut dicabutnya Ketetapan MPRS nomor 33/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno. Sebab, dewasa ini, dalam perjuangan nasional untuk me-reformasi segala produk atau akibat buruk politik Orde Baru, masalah dicabutnya TAP MPRS 33/1967 tentang Presiden Sukarno adalah termasuk agenda yang sangat penting.

Tuntutan dicabutnya TAP MPRS 33/1967 ini sudah juga diajukan oleh Keluarga Besar Bung Karno, melalui Rachmawati Soekarnoputri. Menurut berita pers, ketua Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS), (Rachmawati) tanggal 6 Mei 2001 telah bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Merdeka selama 2 jam. Dalam pertemuan tersebut, Rachmawati menyampaikan surat permohonan pencabutan TAP MPRS 33/1967 itu dalam rangka memperingati seratus tahun Bung Karno, yang jatuh pada tanggal 6 Juni 2001 (Kompas 8 Mei 2001)

Kalau dipandang dari berbagai segi, tuntutan Rachmawati kepada Presiden Abdurrahman Wahid supaya TAP MPRS 33/1967 dicabut adalah persoalan besar. Sebab, masalah ini berkaitan dengan pentingnya mengkoreksi salah satu dari begitu banyaknya kesalahan-kesalahan Orde Baru, yang dampak buruknya masih terasa sampai sekarang. Artinya, masalah Bung Karno adalah juga MASALAH KINI, atau, setidak-tidaknya, mempunyai hubungan erat sekali dengan masa sekarang.

Oleh karena itu, walaupun kasus TAP MPRS 33/1967 sudah terjadi lebih dari 30 tahun yang lalu, adalah penting sekali bagi para pakar sejarah, pakar hukum, pakar ilmu sosial (dan para pakar di bidang-bidang lainnya), untuk bersama-sama dengan berbagai kalangan masyarakat (universitas, LSM, pesantren, ornop lainnya dll) mengangkat masalah ini, untuk dipelajari kembali atau untuk dipersoalkan kembali. Dengan mengangkat kembali masalah ini tinggi-tinggi di depan opini publik, maka gerakan atau tekanan dapat digalang bersama-sama, sehingga akhirnya TAP MPRS 33/1967 dapat dicabut.

APAKAH TAP MPRS 33/1967 ITU ?

Sidang Istmewa MPRS Tahun 1967 telah diselenggarakan oleh para pendiri Orde Baru di Jakarta antara 7 sampai 12 Maret (1967). Perlu diingat bersama-sama terlebih dulu, bahwa walaupun „resminya“ Bung Karno waktu itu masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, tetapi sebenarnya kekuasaannya sudah diperlemah oleh Suharto dkk sejak Oktober 1965, setelah terjadinya G30S (atau Gestok, menurut Bung Karno). Kekuasaan Bung Karno kemudian dipreteli secara lebih besar-besaran oleh Suharto dkk dengan dikeluarkannya - secara paksa atau dengan intimidasi - Surat Perintah Sebelas Maret dalam tahun 1966, yang kontroversial itu.

Dengan Super Semar inilah Suharto dkk telah membubarkan PKI (tanggal 12 Maret 1966) beserta seluruh ormas-ormasnya, sesudah berbulan-bulan - sejak Oktober 1965 ratusan ribu manusia tidak bersalah telah dibunuhi secara besar-besaran dengan cara-cara yang tidak perlu lagi disebutkan dalam tulisan ini. Kemudian ia menangkapi juga menteri-menteri dan anggota-anggota DPR-GR yang mewakili PKI, PNI atau ormas kiri. Suharto dkk juga mengangkat 136 anggota MPRS (yang baru, yang terdiri dari orang-orang „mereka“) untuk mengganti mereka yang sudah „dibersihkan“ terlebih dulu. Padahal, Suharto semestinya tidak berhak melakukan hal yang demikian itu.

Maka, MPRS yang demikian itulah yang dalam bulan Maret 1967 telah memutuskan TAP nomor 33/1967 , yang dalam pasal nomor 3-nya berbunyi: “Melarang Presiden Sukarno melakukan politik sampai dengan pemilu dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD 1945”. Dalam pasal 4 TAP MPRS itu disebutkan bahwa Jenderal Suharto diangkat sebagai Pejabat Presiden sehingga dipilihnya Presiden oleh MPRS hasil Pemilu.

Nah, dengan TAP 33/1967 yang dibikin oleh “MPRS” yang legitimasinya semacam itulah (!!!) segala kekuasaan Bung Karno sebagai kepala negara, pemimpin besar revolusi, dan panglima tertinggi Angkatan Bersenjata telah dilucuti. Mereka yang membikin TAP untuk melucuti kekuasaan Bung Karno itu adalah “wakil-wakil rakyat”, yang telah digiring oleh TNI-AD dalam suasana terror yang sedang melanda seluruh negeri waktu itu. Lewat kampanye besar-besaran anti-PKI telah diselipkan juga kampanye anti-Sukarno dalam berbagai bentuk. (Bagi mereka yang kini sudah agak lanjut usia, tentunya masih terngiang-ngiang di telinga mereka slogan-slogan “Sukarno Gestapu Agung¨, “Sukarno dalang Gestapu” dll).

PUNCAK KUDETA “MERANGKAK”

TAP MPRS 33/1967 yang “memecat¨ Bung Karno sebagai presiden RI ini merupakan puncak dari sederetan panjang pembangkangan (insubordinasi) Suharto dkk kepada Bung Karno sebagai kepala negara dan panglima tertinggi. Berbagai pembangkangan ini secara nyata sudah dimulai sejak 1 Oktober 1965, (sesudah pecahnya G30S). Sejumlah perintah Bung Karno tidak dilaksanakan oleh Suharto dkk. Sebaliknya, Suharto dkk melakukan banyak langkah-langkah yang bertentangan dengan kemauan atau politik Bung Karno. (Dewasa ini, amatlah penting adanya suatu studi yang menyeluruh tentang berbagai pembangkangan Suharto dkk

terhadap Bung Karno ini, yang perlu dilakukan oleh para pakar hukum dan militer, oleh masyarakat sejarawan dll).

TAP MPRS 33/1967 untuk menggulingkan Bung Karno adalah realisasi “kudeta merangkak¨ secara “konstitusional” yang dipersiapkan dan dilaksanakan oleh pimpinan TNI-AD waktu itu. Ketetapan MPRS ini adalah manifestasi terpusat pertentangan antara garis politik revolusioner anti-imperialis Bung Karno berhadapan dengan sikap pimpinan TNI-AD yang anti-politik Bung Karno dan sekaligus anti-PKI. Ketetapan MPRS 33/1967 ini adalah pengejawantahan titik pertemuan antara kepentingan kekuatan asing (imperialisme dan neo-kolonialisme) dan kekuatan kontra-revolusi dalamnegeri. Apa yang tidak bisa dicapai oleh berbagai gerakan kontra-revolusi (terutama sekali PRRI-Permesta) telah tercapai oleh ketetapan MPRS ini, dalam situasi yang baru dan oleh pelaku-pelaku yang berbeda. Ringkas- padatnya, ketetapan ini adalah pengkhianatan terhadap revolusi 45, artinya pengkhianatan kepada bangsa.

Karena hebatnya indoktrinasi beracun Orde Baru/GOLKAR yang dibarengi oleh pemalsuan sejarah dalam tempo yang begitu lama (lebih dari 32 tahun!) maka banyak orang yang kabur atau bahkan keliru memandang persoalan ketetapan MPRS 33/1967. Berseberangan dengan apa yang selama ini didengung-dengungkan oleh Orde Baru/GOLKAR, penggulingan Bung Karno bukanlah tindakan untuk menyelamatkan republik kita, bahkan merusaknya. Apa yang kita saksikan dewasa, dengan timbulnya begitu banyak persoalan parah yang sedang melanda negara dan bangsa, adalah buktinya.

Oleh karena itu, tergulingnya Bung Karno secara definitif oleh ketetapan MPRS 33/1967 adalah MASALAH BESAR dalam sejarah bangsa Indonesia. Memang, pertama-tama, TAP 33/1967 adalah urusan keluarga Bung Karno sendiri (putera- puterinya atau saudara-saudara terdekatnya yang lain). Tetapi, di samping itu, masalah ini adalah juga urusan banyak orang lainnya. Masalah Bung Karno bukanlah hanya urusan para pengikut Marhaenisme atau para pendukung politiknya saja! Yang menderita (secara lahiriyah atau bathiniyah) atau yang dirugikan oleh TAP 33/1967 berjumlah puluhan atau ratusan juta orang. Bahkan, bukan itu saja!!! Kalau kita renungkan dalam-dalam, yang dirugikan oleh TAP 33/1967 adalah perjuangan bangsa sebagai keseluruhan.

BUNG KARNO ADALAH KORBAN KONTRA-REVOLUSI

Anak-judul tulisan ini mungkin mengagetkan orang-orang tertentu, atau, setidak- tidaknya, membikin mereka bertanya-tanya apakah memang benar demikian adanya. Bahwa Bung Karno menjadi sasaran imperialisme, mungkin masih agak mudah dimengerti oleh banyak orang. Tetapi, bahwa ia juga menjadi sasaran kontra- revolusi dalamnegeri yang bernama ORDE BARU/GOLKAR adalah suatu hal yang, agaknya, masih belum difahami secara jelas oleh sebagian orang. Padahal, kalau dilihat dari perjalanan sejarah hidup Bung Karno, maka jelas sekalilah bahwa ia telah sering sekali menjadi sasaran berbagai serangan kontra-revolusi dalamnegeri. Dan, kalau kita tinjau perjalanan sejarah bangsa dan juga mengingat tujuan Revolusi 17 Agustus 45, maka jelaslah bahwa Bung Karno akhirnya telah menjadi korban satu kontra-revolusi dalamnegeri yang paling besar dalam sejarah Republik Indonesia. Kontra-revolusi yang paling besar itu bernama : ORDE BARU (artinya: Golkar).

Dari apa yang sudah dilakukan oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR terhadap Bung Karno sebagai kepala negara dan pemimpin bangsa dalam tahun 1965,1966 dan 1967, maka jelaslah bahwa Orde Baru/GOLKAR adalah, pada hakekatnya, suatu KEKUATAN KONTRA-REVOLUSIONER. Jati-diri Orde Baru/ GOLKAR sebagai kontra-revolusi besar-besaran itu tidak hanya dimanifestasikan dalam aksi-aksi para pendirinya dalam melumpuhkan kekuatan pendukung Bung Karno dalam tahun 1965 dan 1966, melainkan juga dalam menggulingkan ¡§secara konstitusional¡¨ Bung Karno dalam tahun 1967. Kemudian, jati-diri Orde Baru/GOLKAR sebagai kekuatan kontra-revolusioner itu dimanifestasikannya lebih jelas lagi dalam berbagai politiknya atau prakteknya, terus-menerus, selama lebih dari 32 tahun.

Adalah penting sekali bagi bangsa kita, dewasa ini maupun di kemudian hari, untuk menghayati bahwa Orde Baru adalah satu kekuatan kontra-revolusi yang paling ganas, yang paling besar, dan yang mempunyai ciri-ciri fasis. Mengerti secara jelas bahwa Orde Baru/GOLKAR adalah, pada intinya, suatu KONTRA-REVOLUSI ini sangat diperlukan untuk mengerti pula, mengapa Bung Karno telah digulingkan, dan mengapa untuk menggulingkannya itu perlu sekali dihancurkan terlebih dulu kekuatan pendukungnya, terutama PKI. Juga mengerti bahwa yang menjadi korban penggulingan Bung Karno bukannya hanya para pendukungnya saja, melainkan juga mereka yang tidak menyukai politiknya. Karena, sistem politik Orde Baru/GOLKAR adalah regime militer diktatorial atau otoriter yang menindas seluruh bangsa, dan hanya menguntungkan sebagian kecil sekali golongan masyarakat.

MENGAPA TAP 33/1967 HARUS DICABUT

Perjuangan untuk dicabutnya TAP MPRS 33/1967 mempunyai arti besar bagi bangsa kita yang sedang memperjuangkan reformasi. Perjuangan ini tidak mudah, mengingat masih banyaknya kekuatan sisa-sisa Orde Baru/GOLKAR di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan juga di antara tokoh-tokoh masyarakat. Karenanya, juga akan makan waktu lama, barangkali. Tetapi, pekerjaan ini perlu dilakukan juga terus-menerus, dan dalam berbagai bentuk dan cara. Sebab, memperjuangkan dicabutnya TAP MPRS 33/1967 merupakan pendidikan politik bagi banyak orang, dan juga satu cara untuk menghormati Bung Karno sebagai guru pemersatu bangsa Di samping itu, dalam proses memperjuangkan dicabutnya TAP tersebut maka berbagai masalah penting lainnya akan selalu terungkap terus juga, yang menunjukkan watak yang sebenarnya Orde Baru/GOLKAR. Umpamanya, bahwa TAP 33/1967 adalah kelanjutan logis dari tindakan buruk lainnya yang dilakukannya sebelumnya, yaitu TAP 25/1966 mengenai dilarangnya PKI dan penyebaran Marxisme. TAP MPRS tentang larangan PKI ini jelas sekali bertentangan sekali dengan politik Bung Karno, dan jelas juga bahwa Bung Karno tidak menyetujuinya. Perlulah difahami oleh sebanyak mungkin orang, bahwa digulingkannya Bung Karno dengan TAP 33/1967 adalah, antara lain karena sikapnya yang tidak mau membubarkan PKI. Di sinilah letak keteguhan Bung Karno dalam mempertahankan prinsip-prinsip perjuangan yang sudah diembannya sejak umur 26 tahun sampai akhir hayat hidupnya. Sejak muda ia meyakini pentingnya persatuan revolusioner nasional, pentingnya kerjasama antara golongan nasionalis, agama dan komunis, dalam menghadapi tugas-tugas perjuangan bangsa.

Karena prinsip-prinsipnya inilah, karena gagasan besarnya inilah, dan juga karena keteguhannya dalam mencengkam pendiriannya inilah maka ia bersedia bertahun- tahun masuk dalam penjara dan pembuangan pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan, dan di sinilah kehebatan Bung Karno: karena teguh pada pendiriannya inilah maka sampai akhir hidupnya ia tidak mau mengkhianati PKI, sebagai salah satu di antara pendukung perjuangan politiknya.

Dalam kaitan ini, adalah menarik untuk dikutip satu bagian kecil pidato pembelaan Sudisman, salah satu dari pimpinan PKI didepan Mahmilub tanggal 21 Juni 1967, yang berbunyi :

Saya dan PKI tidak pernah memberikan gelar ini atau itu kepada Bung Karno, tidak pernah memberikan agung ini, atau agung itu, sebab gelar satu-satunya yang tepat adalah „Bung Karno“ sehingga nama Bung Karno berkembang dari Sukarno (ada kesukaran) ke Bung Karno (artinya bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang revolusioner, justru dalam keadaan sulit seperti sekarang inilah saya terus membela dan mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu mengatakan bahwa „in de nood leert men zijn vrienden kennen“ (dalam kesulitan kita mengenal kawan) dan „yo sanak yo kadang, yen mati aku sing kelangan“ kata bung Karno untuk PKI.

Sebagai arek Surabaya, saya sambut uluran tangan Bung Karno dengan „ali-ali nggak ilang, nggak isa lali ambek kancane“ (artinya tidak bisa lupa sama kawannya). Kenapa saya bela dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya yalah sepanjang sejarahnya Bung Karno konsekwen anti-imperialis sampai berani menyemboyankan „go to hell with your aid“ terhadap imperialis Amerika Serikat. Bung Karno setuju mengikis sisa-sisa feodal dengan mengadakan landreform terbatas dan Bung Karno setia pada persatuan tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada instruksi saya pada anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk „Barisan Sukarno“ (kutipan habis).

Para pembaca yang budiman! Bagian terakhir tulisan ini diketik sambil menikmati latar-belakang suara yang keluar dari casette yang memperdengarkan pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB tahun 1960. Ketika mendengarkan dan merenungkan isi pidato Bung Karno itu, maka hati penulis dipenuhi oleh perasaan bangga, geram, senang dan berang. Alangkah bagusnya bahasa Inggrisnya Bung Karno. Alangkah indahnya kalimat-kalimat dalam pidatonya. Alangkah mendalamnya arti isi berbagai bagian pidatonya itu. Alangkah besarnya wawasan politik dan pendekatan falsafahnya ketika berbicara tentang berbagai masalah dalamnegeri Indonesia dan juga berbagai masalah internasional dewasa itu.

Dalam pidatonya itu ia dengan bagus sekali mengangkat masalah pentingnya menghubungkan perjuangan nasional setiap bangsa dan rakyat dengan perjuangan bangsa lain, pentingnya setiap bangsa berdiri di atas kaki sendiri tetapi juga kerjasama dengan negeri lain. Ia menjelaskan, dengan cara yang mempesonakan, perjuangan rakyat Aljazair, Congo dll melawan kolonialisme. Adalah dengan keberanian dan ketegasan yang menonjol sekali ketika ia mengecam PBB (setengah memperolokkannya!) karena masih mengucilkan RRT dari keanggotan PBB. Di depan sidang PBB itu, ia mengajukan kritik-kritik pedas terhadap imperialisme. Ketika mendengar tepuk-tangan yang begitu meriah berkali-kali selama pidatonya itu, hati pun ikut melonjak-lonjak karena bangga.

(Catatan selingan : Penulis makin yakin, bahwa untuk mengerti tentang kebesaran Bung Karno, perlulah membaca karya-karya dan mendengar pidato-pidatonya. Kebesaran Bung Karno bukan karena bagusnya tulisan dan pidato-pidatonya saja, melainkan berkat isinya yang dalam dan memberikan inspirasi. Bukan itu saja! Kebesarannya adalah juga berkat ketulusan perjuangannya, satunya antara kata dan perbuatan dalam mengabdi kepada kepentingan bangsa. Oleh karena itu bacalah karya-karyanya, dan dengarkanlah pidato-pidatonya, para saudara!)

Sesudah mendengar pidatonya di depan PBB itu, maka nyatalah bagi penulis bahwa Bung Karno memanglah tokoh besar bangsa Indonesia, yang sampai sekarang belum ada tandingnya. Dan ketika merenungkannya, maka dalam hati penulis timbul juga rasa marah. Alangkah besarnya kerugian bangsa kita karena kehilangan orang yang sebesar itu, gara-gara kontra-revolusi yang mengkhianatinya! Dan yang lebih membikin geram adalah bahwa Bung Karno telah dijatuhkan dan kemudian hanya diganti oleh ¡§kepala negara¡¨ yang berkelakuan sebagai kriminal kaliber besar (ingat : kasus pengumpulan kekayaan secara tidak sah serta berlebih- lebihan) dan diktator yang bertindak secara fasis (ingat : kasus berbagai pelanggaran HAM selama puluhan tahun).

Bung Karno telah mengangkat derajat dan harga diri bangsa, melalui perjuangannya puluhan tahun sejak muda. Tetapi, seperti hasilnya yang bisa kita saksikan bersama dewasa ini, Suharto dkk. lewat Orde Baru/GOLKAR-nya bertindak sebaliknya : membikin terpuruknya bangsa, baik di skala nasional maupun internasional!

Mengingat itu semua, maka adalah kewajiban yang benar (dan adil!) bagi semua orang yang mendambakan dipulihkannya nama Bung Karno untuk aktif berpartisipasi dalam gerakan untuk menuntut dicabutnya TAP 33/1967. Perjuangan ini adalah untuk kebaikan kita semua, baik untuk generasi sekarang, maupun generasi yang akan datang.

Paris, 9 Mei 2001

******************************** Ajakan renungan . Umar Said

(Tulisan berikut di bawah ini juga disajikan dalam website http://perso.club-internet.fr/kontak/

PENGALAMAN KORBAN PERISTIWA 65 - ADALAH GURU BESAR

Dalam dokumen Merajut Senja di Panti Jompo (Halaman 112-117)