• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akhir tahun 2019 tepatnya pada bulan desember, dunia dihebohkan dengan sebuah kejadian yang membuat banyak masyarakat resah yaitu dikenal dengan virus corona (covid-19).(Putri, 2020) Indonesia saat ini terkena dampak pandemi virus baru, bahkan bukan hanya di Indonesia tetapi secara global di berbagai Negara telah terkena dampak yang sangat hebat dari virus ini. World Health Organization memberi nama virus ini Severe Acute Resporatory Syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dengan nama penyakitnya yakni Coronavirus disease 2019 (Covid-19) (WHO, 2020). Pandemi covid-19 ini akan berdampak secara sosial dan ekonomi. Dalam hal ini Indonesia harus bersiap siaga dalam menghadapinya terutama dalam hal sistem kesehatan yang ada. (Putri, 2020)

Hal ini menandakan bahwa Corona (covid-19) telah menjadi salah satu penyakit yang berbahaya karena cepat menyebar dari manusia ke manusia, yang pada saat ini telah tersebar hampir di seluruh belahan dunia. Kemudian respon dari pada pemerintah Indonesia, berdasarkan arahan dari Presiden Jokowi pada tanggal 15 Maret 2020 yang lalu , mengajak agar masyarakat Indonesia untuk menerapkan social distancing. (Saragih, 2020)

19 Selama pandemi covid-19 perawat

termasuk yang intensif menangani pasienyang terpapar virus. Perawat punya peranan sangat penting dalam upaya pemberian asuhan keperawatan dan edukasi kesehatan kepada pasien. Sebagai aktor penting dalam menangani pasien, bahkan perawat sampai rela berjuang dan berkorban dengan konsekuensi menghadapi ancaman tertular virus corona.

Menurut data Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) per 17 Juli 2021 terdapat 7.392 perawat yang terkonfirmasi positif, 309 suspek, dan 445 gugur 1 Perawat yang tertular covid-19 mengakibatkan aktivitas hidupnya menjadi berubah. Terlebih jika sebelumnya mereka punya rencana menikah tetapi terjangkit virus corona, sehingga diharuskan isolasi agar tidak menularkan kepada orang lain. Pada kondisi seperti ini ada yang memutuskan melangsungkan akad nikah secara virtual.

(Habibi & Marwa, 2022).

Akad nikah virtual dilakukan karena sebab tertentu dengan memanfaatkan kemajuan dan kecanggihan sistem informasi dan teknologi.

Akad nikah semacam ini telah menjadi perbincangan dan kajian dalam pembaharuan hukum perkawinan Islam. Menurut hukum perkawinan Islam, sahnya perkawinan jika memenuhi dua unsur penting, yaitu rukun dan syarat. Rukun perkawinan merupakan hal- hal yang harus ada saat dilangsungkannya perkawinan, sedangkan syarat perkawinan harus dipenuhi sebelum dan pada saat perkawinan diselenggarakan. Rukun

perkawinan dapat dipahami sebagai hakikat perkawinan itu sendiri, yaitu keharusan adanya mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali nikah, saksi, dan akad nikah berupa ijab dan kabul. Mahar meskipun harus ada setiap pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak dimasukkan rukun perkawinan karena mahar tidak mesti disebut dalam akad nikah dan belum tentu diserahkan saat akad dilangsungkan.

(Habibi & Marwa, 2022)

Adanya fakta akad nikah virtual di masyarakat bagian dari pembaruan hukum Islam karena adanya perkembangan zaman dan teknologi. Pelaksanaan akad nikah virtual sebenarnya sama seperti akad nikah pada umumnya. Rukun perkawinan yang menjadi hakikat dari perkawinan telah dipenuhi, seperti adanya laki-laki, perempuan, wali, saksi, dan proses ijab dan kabul. Hanya bentuk ijab dan kabul akad nikah virtual dilakukan menggunakan jaringan internet yang mampu menghubungkan antara wali nikah, mempelai laki-laki, dan saksi dalam satu forum ruangan dalam bentuk visual seperti bertatap muka langsung dari tempat yang berbeda-beda. (Habibi & Marwa, 2022)

Seluruh umat manusai pada sekarang ini telah memberikan respon terhadap pandemi Corona (Covid-19) ini, yang dimana tidak terlepas dari tindakan-tindakan hukum.

Masyarakat adat melayu riau modern sendiri dari sudut pandang hukum adat, telah mengikuti penyesuaian tersebut sebagai komunitas masyarakat adat. Salah satu bentuknya adalah melalui WARKAH MAKLUMAT yang dikeluarkan

20 oleh Lembaga Adat Melayu Riau pada tanggal 2

april 2020 yang lalu. Adapun WARKAH MAKLUMAT tersebut dikeluarkan oleh Lembaga Adat Melayu Riau adalah untuk mendukung penerapan prinsip “Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi” atau Salus populli Is Suprema Lex diksi yang digunakan oleh Mahfud MD dalam bukunya. (Saragih, 2020).

Hukum perkawinan tidak spesifik mengatur praktik akad nikah virtual. Selama tidak ada ketentuan hukum agama yang dilanggar, maka akad nikah virtual dianggap sah. Hukum perkawinan Islam menegaskan sahnya perkawinan jika memenuhi rukun dan syarat nikah. Akad nikah virtual sebenarnya sama seperti akad nikah pada umumnya. Letak perbedaannya ada pada tempat dilakukannya akad nikah.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas tentang Peranan Hukum Islam dalam Penyesuaian Adat dalam pernikahan Masyarakat Melayu Sumatera Selatan bahwa salah satu mekanisme kesinambungan umat manusia adalah melalui proses pernikahan. Pernikahan dipandang sebagai satu-satunya cara yang sah agar kesinambungan generasi dapat terjadi.

Pernikahan bagi sebagian masyarakat yang masih condong pada hukum adat yang mana perpaduan antara kuatnya hukum adat dan juga pelaksanaan ajaran Islam. pelaksanaan ajaran Islam. Hukum Islam juga yang merubah serta merta kebiasaan dan prosesi yang sudah

ada. Namun, apa yang bertentangan dengan ajaran Islam kemudian ditinggalkan. Sementara hal-hal yang tidak diatur secara kaku dalam Islam kemudian diaptasi ke dalam prinsip-prinsip yang tetap Islami tetapi kemasannya disesuaikan dengan bingkai adat Melayu Sumatera Selatan (Palembang dan Keempat Rumpun Suku: Komering, Ogan, Semende, dan Besemah) Pada Pandemi Covid-19.

Daftar Pustaka

Asmaniar. (2018). Perkawinan adat

minangkabau. Vol. 7 No. (2), 131–140.

Falahy, L. El. (2020). Tarik Ulur Hukum Adat dan Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia Lutfi. 5(1), 89–104.

https://doi.org/10.29240/jhi.v5i1.1419 Habibi, M., & Marwa, M. (2022). Akad Nikah

Virtual Perawat Saat Covid-19: Tinjauan Hukum Perkawinan Islam dan Hukum Kesehatan ∗.29(3), 674–697.

https://doi.org/10.20885/iustum.vol29.iss3.

art

Hafizh, M. T. Al. (2022). Peran Hukum Islam Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Air Makalah.

Hikmawati, E. (2017). Makna Simbol dalam Aesan Gede dan Pak Sangkong

Pakaian Adat Pernikahan Palembang Eka.

Volume 06, Nomor 01, 2017, 06, 72–73.

L. Diab, A. (2014). Peranan Hukum Sebagai Social Control, Social Engineering dan Social Welfare. Jurnal Al-‘Adl, Vol. 7 No.(2), 53–66.

Meiliana, S. (2020). Eksistensi Tradisi Lisan Cakap Lumat dalam Upacara Adat Perkawinan Karo. Volume 19, 157–172.

Putri, R. N. (2020). Indonesia dalam

Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 20(2), Jul(2), 705–

709.

https://doi.org/10.33087/jiubj.v20i2.1010 Rasyidi, M. A. (2013). Peranan Hukum Islam

Bagi Ummat Muslim di Indonesia (“The Role

21 Of Islamic Law For Moslem Followers In

Indonesia”). Vol 5, No, 19–27.

https://www.ptonline.com/articles/how- to-get-better-mfi-results

Saragih, G. M. (2020). Peranan Hukum Adat Dalam Penyesuaian Diri Masyarakat Adat Melayu Riau Moderen Terhadap Pandemi Corona (Covid-19)

22 HUKUM ISLAM TENTANG ZAKAT SERIKAT USAHA

DI DUNIA MELAYU PASCA PANDEMI Husin Bafadhal

Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia Jl. Jambi – Ma Bulian Km 16 Simpang Sungai Duren Muaro Jambi, Indonesia

email: husinbafadhal@uinjambi.ac.id Abstrak

Tulisan ini mendiskusikan zakat untuk serikat usaha sekaligus membuktikan bahwa ia memerlukan penyempurnaan konsep dan regulasi jika diterapkan di dunia Islam melayu khususnya Indonesia.

Walaupun ia sudah dibahas oleh ulama terdahulu, mayoritas para ulama kontemporer mewajibkannya.

Hanya saja, bagaimana ia menjadi wajib, apa kriteria yang harus dipenuhi, serta bagaimana ketentuan nisab, ḥawl, kadar wajib, dan pelaksanaannya, belum mendapatkan perhatian yang berarti dari para peneliti terdahulu. Ditambahkan lagi belum jelas dan tegasnya regulasi hukum zakat serikat usaha di dunia Islam melayu khususnya Indonesia mengenai sanksi dan metode perhitungan zakat yang komprehensif, menjadikan tulisan ini penting untuk dikemukakan. Berfokus pada hukum zakat untuk serikat usaha, tulisan ini akan menguraikan tinjauan hukum Islam terhadap zakat serikat usaha, ketentuan nisab, ḥaul, kadar wajib, dan pelaksanaannya. Setelah menelaah sumber-sumber pustaka yang relevan, tulisan ini menunjukkan bahwa harta yang terdapat dalam serikat usaha wajib dikeluarkan zakatnya bila telah memenuhi ketentuan nisab dan hawl dalam pelaksanaan zakat, zakat tersebut atas nama pemilik harta yang berserikat, bukan atas nama serikat usaha. Hukum zakat harta serikat usaha adalah wajib. Perbedaan ini didasarkan pada pemahaman mereka terhadap hukum zakat harta serikat usaha sebagaimana yang telah ditetapkan secara jelas dan tegas dalam al-Qur'an dan Sunnah. Para fuqaha berbeda pendapat tentang ketentuan nisab zakat serikat usaha. Perbedaan tersebut adalah antara yang berpandangan bahwa nisab dan haul dilihat dari serikat usaha dan yang berpandangan bahwa perhitungan nisab atas harta masing-masing peserta serikat usaha, bukan pada serikat usaha.

Ketentuan kadar wajib zakat atas harta serikat usaha disesuaikan dengan jenis usaha yang dilakukan.

Pelaksanaan zakat serikat usaha disesuaikan dengan bidang usaha yang dilakukan oleh serikat usaha, menurut pandangan ulama Hanafiyah : nisab yang dihitung adalah nisab dari masing-masing individu peserta serikat usaha, bukan pada serikat usahanya sendiri, oleh karenanya dalam suatu serikat usaha boleh jadi salah seorang atau beberapa orang pesertanya tidak terkena wajib zakat karena tidak mencapai nisab secara individu. Menurut pandangan ulama Syafi'iyah: nisab yang dihitung adalah nisab pada serikat usaha, apabila serikat tersebut telah mencapai nisab maka atas masing-masing individu peserta serikat usaha dikenakan wajib zakat.

Kata Kunci: Hukum Islam; Zakat Serikat Usaha; Dunia Melayu; Pasca Pandemi.

Pendahuluan

Kewajiban zakat bagi serikat usaha - suatu badan atau perkumpulan (lembaga/organisasi) baik dalam skala kecil seperti usaha individu, dan juga suatu organisasi, maupun dalam skala besar yang sudah tidak lagi terlihat bentuk orangnya seperti CV. Family Raya, CV. Jambi Transport, CV. Bintang Mas dan lain

sebagainya (A A Gede D H Santosa, ed al,.

2019)- belum lagi mendapatkan legitimasi fiqh klasik. Kekurangan fiqh klasik ini mengantarkan para ulama kontemporer berijtihad menemukan konsep zakat yang pas untuk serikat usaha.

Mayoritas ulama seperti Yūsuf al-Qaraḍāwī, Wahbah al-Zuḥaylī, ʻAlī al-Thalūs, Muhy al-Dīn al-Asfār, ʻAbīʻUbayd Qāsim ibn Salām,

23 MusṭafāAḥmad al-Zarqāʼ dan lain-lain

mewajibkannya (Aznan Hasan, 2018).

Sementara di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Ijtimāʻ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia ke III tahun 2009 di Padang Panjang, Sumatera Barat serta Bab I

Ketentuan Umum pasal 1 dan 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, juga mewajibkannya. Begitu pula halnya dengan hasil Seminar Internasional Zakat I tanggal 29 Rajab 1404 H / 3 April 1984 di Kuwait.

Masalahnya, siapa yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan zakat serikat usaha tersebut? Apakah serikat usaha (subjek hukum) dapat dijadikan sebagai mukallaf untuk mengeluarkan zakat? Jika iya, konsekuensinya akan ada kaitannya terhadap dosa dan pahala.

sementara dosa dan pahala berkaitan pula dengan surga dan neraka. Selain itu, apakah zakat serikat usaha yang dikeluarkan atas nama serikat usaha dan para pemilik modal atau zakat tersebut diberikan kepada para pemilik modal sebelum dikeluarkan zakatnya seperti yang berlaku selama ini? Selain itu, bagaimana ketentuan nisab, ḥawl dan kadar wajib zakat yang harus dikeluarkan, serta syarat-syarat yang berkaitan dengannya?

Pertanyaan-pertanyaan di atas penting untuk diajukan karena kajian-kajian tentangnya belum diulas secara mendalam oleh para peneliti terdahulu. Kajian-kajian yang ada berkisar pada prosedur zakat serikat usaha (Imam Mustofa, 2014). Memang Aznan Hasan dan Luqman Abdullah et.al telah mengulasnya dari perspektif fiqh dan memberikan tawaran konsep zakat serikat usaha, hanya saja kajian mereka berkutat pada istinbat zakat serikat usaha yang sepatutnya kita sudah melangkah pada penyempurnaan konsep. Jika ditarik

dalam konteks ke dunia Islam melayu khususnya Indonesia, kita sepatutnya sudah masuk pada penyempurnaan regulasi hukum, bukan memperdebatkan kewajiban serikat usaha terhadap zakat efek dari adanya zakat serikat usaha (Tun Abdul Hamid Mohamad, 2012).

Tulisan ini mendiskusikan tentang hukum Islam tentang zakat serikat usaha di dunia melayu pasca pandemi dengan sampel melayu di Indonesia dengan berfokus pada, bagaimana Tinjauan Hukum Islam Terhadap Zakat Serikat Usaha, ketentuan nisab, ḥaul, kadar wajib, dan pelaksanaannya?.

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Zakat Serikat Usaha

Dalam hukum Islam disebutkan bahwa esensi yang terkandung di dalam kerjasama adalah adanya ikatan kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam hal perdagangan atau yang lainnya. Dengan adanya kesepakan itu melahirkan kebolehan untuk bertindak hukum terhadap harta perserikatan itu dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakan yang telah disetujui. Pada prinsipnya serikat usaha yang dibolehkan berdasarkan syari'at Islam

24 dalam melakukan kegiatan kerjasama suatu

usaha, yang harus diperhatikan antara lain adalah: bebas dari unsur riba, keuntungan dan resiko ditanggung bersama, ada unsur kerjasama, transaksi harus yang halal (Yusuf al-Qardawi, 1997). Serikat usaha merupakan perserikatan yang bergerak di bidang ekonomi yaitu; usaha permodalan yang apabila telah memenuhi persyaratan wajib zakat, tentunya harus dikeluarkan zakatnya.

Dalam sistem mu'amalah Islam, bentuk-bentuk kegiatan usaha secara bersama-sama yang dikenal adalah syirkah (ٌ ةَك ْرِش) atau serikat (ٌ ةَك ِرَش), sedangkan anggota syirkah disebut dengan syarik (ٌ ك ِراَش), bentuk jamaknya syuraka' (ٌُءاَك َرُش). Adapun pengertian syirkah secara etimologi (bahasa), kata syirkah merupakan kata dasar (masdar) dari kata syaraka (ٌَك َرَش), yang berarti berserikat (Muhammad ibn Makram ibn Manzur al-Afriqi al-Mishri, 1989). Sedangkan menurut istilah:

Syirkah adalah suatu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam pelaksanaan sebuah usaha, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi modal usaha atau jasa (keahlian), dan berdasarkan kesepakatan bersama, maka keuntungan serta resiko sama-sama ditanggung.

Dalam kitab-kitab fikih disebutkan bahwa Syirkah al-Uqud (perserikatan dalam akad/serikat usaha) tercipta disebabkan adanya kontrak (akad) dan ini juga dikenal dengan istilah syirkah ikhtiyariyah (pilihan) atau serikat usaha terjadiٌٌdengan cara adanya kesepakatan

antara dua orang atau lebih telah menyetujui bahwa setiap anggota ikut akan memberikan modal usaha serikat usaha tersebut. Syirkah al-Uqud (perserikatan dalam transaksi) ini dapat diklasifikasikan kepada beberapa macam bentuk, yaitu: mudharabah, syirkah 'inan, 'abdan, mufawadhah, wujuh, muzara'ah, mukhabarah, musaqat, dan al-mugharasah.

Dari keseluruhan serikat usaha di atas, maka mudharabah adalah serikat usaha antara pemilik modal dan pelaksana (pengelola), dalam menjalankan usaha tersebut pemilik modal sama sekali tidak terlibat secara langsung. Dewasa ini serikat usaha dalam bentuk mudharabah ini pada umumnya diberlakukan di bank-bank syari'at. Sementara serikat usaha dalam bentuk syirkah al-Inan adalah serikat usaha yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Apabila dilihat dari pengertian syirkah al-inan yaitu perserikatan modal, maka serikat usaha serta kegiatan yang dilakukan berdasarkan modal. serikat usaha dalam bentuk ini dapat ditemukan dalam sistem koperasi dan penanaman saham pada badan-badan usaha.

Dari kesemua syirkah yang telah dikemukakan di atas, maka syirkah al-Inan merupakan salah satu perserikatan yang dapat dinyatakan sama dengan serikat usaha.

Apabila dilihat dari pengertian syirkah al-inan yaitu perserikatan modal, maka serikat usaha serta kegiatan yang dilakukan berdasarkan

25 modal, dalam artian serikat usaha adalah

kerjasama modal bukan kerjasama tenaga.

Berbeda dengan syirkah-syirkah lainnya, yang lebih berorientasi pada permodalan, syirkah al-abdan adalah syirkah yang justru lebih dominan pada fisik dan kemampuan atau keahlian para pesertanya, baik dalam bentuk keahlian yang sama dan seperingkat, maupun dalam bentuk keahlian yang tidak seperingkat namun saling membutuhkan. Dewasa ini syirkah al-abdan terlihat dalam bentuk adanya tukang bangunan yang memiliki buruh (anak buah) tetap dan profesi tertentu yang memiliki rekanan. Model syirkah ketiga, syirkah al-mufawadhah, ialah mengharuskan sama dalam permodalan, kewenangan pengelolaan, piutang, dan perwakilan. Sedangkan model syirkah keempat ialah syirkah al-wujuh yang tidak berorientasi pada modal usaha, tetapi lebih pada kredibilitas dan prestise para pihak yang berserikat.

Berkenaan dengan kerjasama dalam bidang pertanian di atas, baik dalam bentuk al-muzara'ah, al-mukhabarah, al-musaqat, maupun al-mugharasah, bila yang diberikan oleh pemilik tanah kepada petani penggarapnya adalah bagian atau persentase tertentu dari hasil pertanian yang diperoleh, maka transaksi ini dinamakan dengan akad al-muzara'ah, al-mukhabarah, al-musaqat, ataupun al-mugharasah, dan hal ini tentunya termasuk dalam serikat usaha. Sedangkan jika yang diberikan oleh pemilik tanah kepada petani penggarapnya bukan dalam bentuk

bagian atau persentase tertentu dari hasil pertanian yang diperoleh, dan dihitung nominalnya dari jasa yang dilakukan, maka transaksi ini dinamakan dengan akad al-ijarah, dan ini tentunya tidak termasuk dalam serikat usaha.

Kerjasama seperti di atas, perlu ditegaskan diawal transaksi (akad), karena hal tersebut penting untuk mengetahui kewajiban zakat yang harus dikeluarkan, sebab kewajiban zakat pertanian pada hakekatnya hanya dibebankan kepada pemilik lahan yang menyediakan bibit pertanian tersebut, jika petani penggarap hanya menerima upah yang sudah mencapai nisab, maka ia diwajibkan untuk membayar zakat hasil usaha propesi, bukan zakat hasil pertanian, karena dalam hal ini ia hanya sebagai pekerja atau buruh tani, sedangkan yang disebut dengan petani adalah pemilik lahan dan bibit.

Berkaitan dengan kewajiban zakat serikat usaha di atas, menurut Ibnu al-Arabi bahwa firman Allah SWT yang berbunyi: "ambillah zakat dari sebagian harta mereka", itu berlaku secara menyeluruh atas semua kekayaan, bagaimanapun jenis, nama dan tujuannya.

Orang yang ingin mengecualikan salah satu jenisnya, haruslah mampu mengemukakan satu landasan (Ibnu al-Arabi, tt). Al-Qurthubi menjelaskan bahwa setiap yang dapat dimiliki oleh seseorang ia disebut harta, dan perintah

"ambillah zakat dari sebagian harta mereka"

pada ayat di atas dengan menggunakan struktur kalimat mutlak, tidak dikaitkan dengan syarat apapun, baik dari sisi pemberi zakat,

26 harta yang wajib dizakatkan, maupun jumlah

yang wajib dikeluarkan zakatnya. Rincian dari perintah dengan struktur mutlak tersebut ditemukan melalui informasi hadits dan ijma' ulama (Al-Qurthubi, 1372 H).

Pada prinsipnya semua harta yang berkembang dan diusahakan untuk mendapatkan tambahan adalah wajib zakat, hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 267. Dalam ayat di atas, lafaz

"ma" adalah termasuk kata yang mengandung pengertian yang umum, yang artinya "apa saja". Dengan demikian yang dimaksud oleh lafal dan sebagai suatu yang dikenai kewajiban zakat tersebut adalah apa saja yang diperoleh dari yang diusahakan (hasil usaha) dan apa saja yang diperoleh dari hasil bumi. Pada ayat pertama dinyatakan dengan lafal (ٌمهلاومأ), harta mereka. Kata mereka (ٌمه) disini dapat berarti setiap orang secara individual dan dapat pula diartikan sebagai sekelompok orang. Meskipun para fukaha lebih berorientasi pada harta individu namun tidak menjadikan zakat tersebut harus dan wajib dikeluarkan hanya atas harta individu, sebab, terhadap harta kolektif, yaitu harta beberapa orang yang masih menyatu dalam bentuk harta waris dan harta syirkah usaha juga wajib dizakatkan.

Berkaitan dengan zakat hasil serikat usaha yang ditunjukkan oleh kata "kasabtum", maka hasil usaha yang dimaksud, seperti yang juga telah diuraikan di atas, dapat dikelompokkan pada dua bentuk, yaitu; usaha yang bersifat harta benda (maliyah) dan usaha yang bersifat

manfaat atau pengelolaan jasa. Pada ayat ini juga digunakan kalimat jama' "kasabtum", harta hasil usaha kalian. Kata kalian (مك) disini dapat berarti sejumlah individu dari kalian dan dapat pula diartikan beberapa individu yang bergabung di antara kalian. Oleh karenanya, sebagaimana pembahasan sebelumnya tentang kalimat 'mereka' (مه), dimensi dan orientasi dari kalimat 'kalian' ini juga mencakup harta hasil usaha bersama atau disebut juga dengan harta syirkah usaha.

Kata "ma kasabtum" sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas, merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam bentuk usaha. Dengan demikian, berarti segala macam usaha perdagangan atau pekerjaan dan profesi telah tercakup dalam keumuman maksud ayat tersebut, Menurut Muhammad Rasyid Ridha bahwa ayat tersebut di atas adalah tentang harta yang wajib dizakatkan, yaitu sebagian harta yang dihasilkan oleh manusia dengan jalan usaha, seperti perdagangan, perusahaan dan sebagainya (Muhammad Rasyid Ridha, tt). Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabari berkomentar tentang kalimat tersebut menyatakan perintah Allah SWT tentang kewajiban mengeluarkan zakat dari hasil usaha perdagangan atau perusahaan. Sedangkan yang dimaksud dengan kata "tayyibat" adalah yang baik zatnya dan halal cara mendapatkannya (al-Thabari, tt).

Lafaz "ma" di dalam surat al-Baqarah ayat 267 di atas, tidak menyebutkan secara rinci tentang materi apa saja yang dikenakan

27 kewajiban zakat; ayat tersebut masih bersifat

global (mujmal). Mengenai objek zakat yang lebih rinci dinyatakan dalam hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya. Secara eksplisit hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan beberapa jenis harta yang termasuk objek zakat, yaitu; emas dan perak, hasil tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, harta terpendam, barang tambang dan perdagangan.

Sedangkan di luar itu, tidak ditentukan dalam hadits Nabi Muhammad SAW. Padahal di zaman modern ini banyak terdapat bentuk-bentuk sumber perekonomian (usaha) lain yang tidak tercakup dalam keumuman ayat dan perincian hadits-hadits Nabi Muhammad SAW tersebut.

Karena ayat-ayat yang menerangkan tentang zakat tersebut berbentuk lafal yang menyebutkan secara global (mujmal), maka dibutuhkan penjelasan dan perincian dari hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, yang dalam hal ini berfungsi sebagai penjelas dan penegas (bayan).

Dalam memahami hadits di atas para ahli fikih berbeda pendapat tentang maksud dari hadits tersebut, yang menyebabkan pula perbedaan pendapat tentang hukum yang diambil dari hadits tersebut. Secara garis besar perbedaan pendapat itu ada dua yaitu;

pendapat yang mengatakan penggabungan harta benda mempengaruhi ketentuan zakat dan pendapat lain mengatakan penggabungan harta benda tidak mempengaruhi ketentuan zakat. Berdasarkan ayat dan hadits yang telah

diuraikan di atas, para fuqaha melakukan intinbath hukum atasnya dan pada gilirannya terjadi kesamaan dan perbedaan pendapat di antara mereka, pendapat-pendapat yang berkembang berdasarkan kedua dalil tersebut antara lain:

Pertama, Pendapat yang mengatakan bahwa penggabungan harta benda tidak mempengaruhi ketentuan zakat. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, Imam Malik Bin Anas, Imam Ahmad Bin Hanbal dan Imam Ibnu Hazm dan pengikutnya. Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil pengertian tentang zakat harta benda perserikatan. Pada prinsipnya pendapat tersebut bahwa harta benda perserikatan wajib dizakatkan, apabila sudah mencapai satu nishab, hanya saja cara menghitung nishab zakatnya adalah pada setiap orang (individu) yang ikut berserikat, menghitung nisabnya menurut harta kekayaan yang tergabung dalam serikat, kemudian dihitung kekayaan yang dimiliki secara individu, lalu dihitung dan dikeluarkan zakatnya. Namun pada hakekatnya dalam hal ini yang dikenakan kewajiban mengeluarkan zakatnya adalah tetap pada individu secara pribadi, bukan atas nama perserikatan.

Kedua, Pendapat yang mengatakan bahwa penggabungan harta benda mempengaruhi ketentuan zakat. Pendapat ini dipelopori oleh Imam al-Syafi’i dan pengikutnya. Berdasarkan dari pendapat di atas, dapat diambil intisari

28 bahwa pada prinsipnya harta benda

perserikatan wajib dizakatkan, apabila sudah mencapai satu nishab, dan cara menghitung nishab zakatnya adalah pada setiap orang (individu) yang ikut berserikat, menghitung nisabnya menurut harta kekayaan yang tergabung dalam serikat, kemudian dikeluarkan zakatnya (kekayaan yang menjadi milik serikat) yang diperhitungkan pembagiannya menurut perjanjian (akad) sebelumnya.

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil pengertian tentang zakat harta benda perserikatan. Pada prinsipnya kedua pendapat tersebut sependapat bahwa harta benda perserikatan wajib dizakatkan, apabila sudah mencapai satu nishab, hanya saja terdapat perbedaan pada cara menghitung nishabnya, ada yang berpendapat bahwa nishab dihitung dari jumlah harta perserikatan secara keseluruhan dan ada yang menghitung serta memandangnya sebagai harta milik pribadi (individu), sehingga dalam perbedaan pendapat ini kelihatan sudut pandangnya dalam penggabungan harta benda mempengaruhi ketentuan zakat atau tidak.

Perbedaan pendapat tentang cara menghitung nishab harta benda perserikatan yang mempengaruhi ketentuan zakat: Pertama, apabila nishab harta benda yang bercampur dipandang nishab seorang pemilik atau tidak, Kedua, apakah sifat penggabungan harta benda mempengaruhi ketentuan zakat.

Perbedaan pendapat timbul akibat terdapatnya perbedaan dalam memahami hadits Nabi

Muhammad SAW yang diterima dari Anas bin Malik di atas.

Dari pernyataan Imam al-Syafi'i di dalam kitab al-Umm-nya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa percampuran harta yang berdampak pada hukum zakat tersebut tidak terbatas pada hewan ternak saja, tetapi juga mencakup percampuran dan perkongsian dalam bidang pertanian. Bahkan, menurut penuturan Ibnu Rusyd, al-Syafi'i berpendapat bahwa dampak pada hukum zakat tersebut berlaku atas seluruh jenis perkongsian.

Berdasarkan uraian dan analisis yang telah dipaparkan di atas, maka penulis lebih cenderung kepada pendapat yang kedua, yaitu harta benda perserikatan wajib dizakatkan, apabila sudah mencapai satu nisab dan memenuhi ketentuan wajib zakat.

Harta Kekayaan Yang Wajib Dizakatkan Zakat merupakan ʻibādah māliyyah dan ijtimāʻiyyah, yakni ibadah dalam bentuk harta yang berdimensi sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Zakat juga merupakan salah satu rukun Islam yang sangat vital dalam membangun kesejahteraan umat Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari peranannya yang aktif dalam perekonomian sejak zaman Rasulullah hingga sekarang, sebab zakat merupakan pungutan yang mendorong kehidupan ekonomi hingga tercipta padanya pengaruh-pengaruh tertentu (Euis Amalia, 2009).

Dokumen terkait