• Tidak ada hasil yang ditemukan

CPUE KABUPATEN LEMBATA

31

selain selektifitas alat tangkap juga karena kesadaran nelayan ketika tertangkap ikan/mamalia yg dilindungi (Penyu/Lumba-lumba/Hiu) tidak dilepas namun dimanfaatkan (dimakan/dijual).

Indikator "Range Collapse" sumberdaya ikan diberikan status baik. Alasan yang dipakai untuk menentukan status dari indikator range collapse sumberdaya ikan pada domain ini dalam kategori baik karena jarak yang ditempuh dekat dan lokasi (habitat/ekosistem) yang dituju selalu tersedia ikan dalam jumlah yang banyak (75% nelayan setuju kalau lokasi penangkapan selalu tersedia stok ikan dalam jumlah banyak dan dekat dengan fishing base).

Indikator spesies ETP diberikan status buruk. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa nelayan di Kabupaten Lembata sudah sangat paham tentang biota yang dilindungi (91,43% menyatakan paham tentang biota yang dilindungi), namun tidak diikuti dengan tindakan melindungi, karena dari hasil analisis data menunjukan bahwa kesadaran nelayan untuk melindungi biota yang terancam punah/rentan/langka (ETP) masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya spesies-spesies yang dilindungi yaitu: Penyu= 1-20 ekor/trip, Lumba-lumba kurang lebih 20 ekor per tahun, Kima rata-rata 5 ekor per trip, dan Paus kurang lebih 20 ekor per tahun.

4.2.2. Domain Habitat dan Ekosistem

Indikator kualitas perairan diberikan status buruk (merupakan nilai akumulatif dari 3 kriteria dalam indikator kualitas perairan). Data hasil penelitian BLHD Kabupaten Lembata tahun 2011, menunjukkan kisaran nilai kualitas perairan laut (fisik, kimia, dan biologi) masih termasuk dalam baku mutu yang dipersyaratkan oleh PP No.82/2001, sementara untuk data tingkat kekeruhan (NTU) yang dijadikan indikator untuk mengetahui laju sedimentasi perairan dan eutrofikasi tidak tersedia data pendukung.

Indikator status lamun diberikan status sedang. Luasan lamun teridentifikasi berdasarkan citra Aster seluas 2,490.16 ha pada tahun 2009. Hasil pengamatan ditemukan 7 (tujuh) spesies lamun dijumpai di perairan Kabupaten Lembata. Ketujuh spesies tersebut adalah Enhalus accoroides, Thalasia

32 Syringodium isoetifolium, dan Halophyla sp). Persen tutupan lamun tertinggi

yaitu di lokasi Pasir Putih sebesar 48,3% dan tutupan terendah di lokasi Tg. Baja sebesar 16,5%.

Indikator status mangrove diberikan status baik. Hasil penelitian WWF (2009) di 16 stasiun di Kabupaten Lembata menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pohon terkategori tinggi (rata-rata 8.323 pohon/hektar di 16 stasiun). Dari hasil sampling vegetasi mangrove ditemukan 16 jenis mangrove (Acrostichum

speciosum, Avicennia alba, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera hainessii, Ceriops decandra, Ceriops Tagal, Lumnitzera racemosa, Nypa Fruticans, Pandanus tectorius, Phemphis acidula, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, dan Xylocarpus moluccensis), dari 9 family (Arecaceae, Avicenniaceae, Combretaceae, Lythraceae, Meliaceae, Pandanaceae, Pteridaceae, Rhizophoraceae, dan Sonneratiaceae). Dari 16 jenis yang ditemukan, 1 jenis (Ceriops decandra)

merupakan salah satu dari 14 jenis yang langka di Indonesia namun ditemukan melimpah setempat di Kabupaten Lembata.

Indikator status terumbu karang diberikan status sedang. Hasil penelitian WWF (2009), dimana pengamatan terumbu karang dengan metode LIT, yang dilakukan pada 18 stasiun diperoleh persentase tutupan karang hidup antara 22,77% - 71,97% dengan rerata persentase tutupan karang hidup 50,90%. 10 stasiun dalam kondisi baik (55,13% – 71,97%), 5 stasiun dalam kondisi cukup baik (38,17% - 48,60%, dan 3 stasiun dalam kondisi kurang baik (< 25 %). Dari hasil transek dan koleksi bebas dicatat karang batu sebanyak 19 suku dan 345 jenis.

Indikator habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding

ground, upwelling) diberikan status buruk. Kajian SPAG masih dalam proses oleh

WWF dan Kajian Upwelling di Lembata belum ditemukan.

Indikator perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat diberikan status sedang, karena belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim dan dampak terhadap habitat terumbu karang terkena dampak perubahan iklim dibawah 5%.

33 4.2.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan

Indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau illegal diberikan status buruk. Data penelitian menunjukkan bahwa rata-rata 10 kasus per tahun untuk aktivitas pemanfaatan yang merusak lingkungan, dan 41,67% responden menyebut bom ikan sebagai penyebab terbesar (bahkan pada musim tuna antara bulan Juli-September aktivitas bom bisa berlangsung setiap harinya dan salah satu lokasi pengeboman ikan yaitu di Selat Solor).

Indikator modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan diberikan status sedang. Data penelitian menunjukkan bahwa prosentasi memodifikasi alat tangkap dan alat bantu yang berpotensi merusak ekosistem dan penangkapan ikan yuwana berpeluang kecil, karena dari total responden hanya 12,50% yang memodifikasi alat tangkap namun yang dimodifikasi hanya penyambungan antara panjang jaring dan kedalaman (Pukat dan Purse seine). Ukuran ikan target yang dominan tertangkap rata-rata berukuran sedang atau layak tangkap, hanya beberapa ikan pelagis besar (Cakalang, Tongkol, dan Tuna) yang sering tertangkap dengan ukuran dibawah ukuran normal (belum matang gonad).

Indikator kapasitas perikanan dan upaya penangkapan (fishing capacity and

effort) diberikan status sedang. Penghitungan hasil tangkapan per unit usaha

(CPUE) menunjukkan bahwa 13,24% responden menyatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, ikan yang ditangkap relatif berukuran sama/tidak berubah, trip rata-rata alat tangkap: pukat dan purse seine 5 jam, pancing tuna 5 jam, bagan 8-10 jam, pancing dasar 10 jam, dan jaring insang 8 jam (data tambahan adalah kapasitas tangkapan yg direkap dari statistik perikanan tangkap).

Indikator selektivitas penangkapan diberikan status baik. Dari analisa prosentase penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang selektif (PS') mendapatkan nilai= 21,43%, karena dari total 14 jenis alat tangkap yang digunakan (Jaring Insang Hanyut, Bagan, Bubu, Jaring insang dasar, Lampara, Pancing tuna, Pancing dasar, Pancing tonda, Pancing gurita, Pancing layang, Pancing tegak, Pukat Kombong, Pukat Tudak, Purse seine) terdapat 3 alat tangkap yang berselektivitas rendah yaitu: Lampara, Pukat kombong, dan Pukat tuduk (daftar acuan selektivitas alat tangkap versi EAFM, 2012).

34

Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal diberikan status buruk, karena kesesuaian rendah antara fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal juga karena kapal perikanan di Kabupaten Lembata mayoritas dibawah 5 GT.

Indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan diberikan status buruk. Untuk kecakapan awak kapal perikanan diberikan skor rendah karena sertifikasi awak kapal dikeluarkan bagi kapal yang berlayar diatas 60 mil dengan kapal ukuran diatas 10 GT, sementara di Kabupaten Lembata mayoritas kapal perikanan dibawah 5 GT. Dengan data ini hampir dipastikan bahwa kualifikasi awak kapal perikanan rendah, karena tidak bisa terukur secara formal, hanya berdasarkan pengalaman melaut semata.

4.2.4. Domain Sosial

Indikator partisipasi pemangku kepentingan diberikan status buruk . Data penelitian menunjukkan bahwa hanya 5,88% responden yang menyatakan adanya keterlibatan dan kesepakatan dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, kegiatan dan kesepakatan tersebut antara lain: bersih pantai, membahas jenis dan ukuran tangkapan, membahas alat tangkap yang boleh digunakan, dan sharing ilmu dan pengalaman budidaya. Status rendah diberikan untuk indikator ini karena dari 68 responden, 94,12% menyatakan tidak terlibat dalam kegiatan dan kesepakatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

Indikator konflik perikanan diberikan status buruk. Data WWF (2011), diketahui tercatat 10-15 konflik wilayah antara nelayan tuna di Desa Balauring dengan nelayan pole and line asal Kabupaten Flores Timur yang menangkap di wilayah rumpon nelayan Balauring.

Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya

ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) diberikan status sedang. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Lembata cukup baik, hasil analisa data penelitian menunjukkan skor 2 pada skala likert (19,12% responden menyatakan ada dan dimanfaatkan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya

35

ikan), karena selain mempunyai pengetahuan lokal (aturan adat) juga telah berlaku kurang lebih 100 tahun (misalnya: tidak boleh menggunakan pukat harimau, dilarang menggunakan bom dan potas serta pengambilan ikan tidak boleh merusak karang).

4.2.5. Domain Ekonomi

Indikator kepemilikan aset diberikan status sedang. Sifat kepemilikan sarana penangkapan biasanya berhubungan dengan penerimaan keuntungan dari usaha perikanan. Kepemilikan sarana penangkapan di Kabupaten Lembata dimiliki oleh pemilik lokal. Sifat kepemilikan sarana dan prasarana ini menunjukkan tingkat kemandirian penduduk/nelayan lokal terhadap kepemilikan aset usaha perikanan yang tidak tergantung pada pihak luar. Hasil analisis menunjukkan bahwa 11,11% responden menyatakan bahwa terjadi penurunan aset produktif, sementara 88,89% menyatakan aset produktif tetap atau tidak terjadi penambahan dari tahun sebelumnya.

Gambar 11. Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap Indikator pendapatan rumah tangga (RTP) diberikan status baik. Gambar 11 menunjukkan bahwa dari 6 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan untuk kategori perikanan pelagis, didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp.1.020.416 per bulan untuk alat tangkap jaring insang dan tertinggi untuk alat tangkap lampara sebesar Rp. 5.959.083 per bulannya, dengan

1,020,416 1,468,887 3,489,144 1,820,167 3,327,228 5,959,083 - 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000 Jaring Insang Pancing Purse Seine Pukat Kombong Bagan Apung Lampara

Pendapatan Rumah Tangga Perikanan

36

data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Lembata sudah cukup baik (UMR Provinsi NTT Rp. 1.050.000).

Gambar 12. Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap

Demikian juga dengan perikanan demersal, dari 3 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan, didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp. 557.065 per bulan untuk alat tangkap pancing dan tertinggi untuk alat tangkap jaring insang sebesar Rp. 806.142 per bulannya, dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Lembata sudah cukup baik karena kisaran nilai RTP perikanan demersal tidak terlampau kecil dari nilai UMR Provinsi NTT (UMR Provinsi NTT Rp. 1.050.000).

Walaupun nilai pendapatan rumah perikanan pelagis dan demersal sudah cukup baik, namun disarankan untuk ditingkatkan nilai produk hasil perikanan pelagis dan demersal lewat diversifikasi/pengolahan produk ikan segar bernilai budaya (misalkan pengolahan ikan tuna se’i/asap). Dengan keragaman diversifikasi produk olahan tradisional berbasis budaya diharapkan bisa meningkatkan ekonomi rumah tangga perikanan, selain itu juga sebagai solusi terciptanya kedaulatan pangan secara nasional karena rakyat mampu menyediakan ikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein baik secara segar maupun diolah.

Indikator saving rate diberikan status baik. Dari data penelitian menunjukkan nilai tertinggi saving ratio pada alat tangkap lampara sebesar Rp. 2.295.333 dan terendah pada alat tangkap jaring insang bahkan mendapatkan nilai

557,065 550,185 806,142 - 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 900,000 Pancing Bubu Jaring Insang

Pendapatan Rumah Tangga Perikanan

Dokumen terkait