• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4. Pengaruh Pergerakan Air terhadap Kadar Hara dalam Tanah

2.4.3. Curah Hujan dan Kadar Air

1 ( 0 c c im = θ − θ ...(9) di mana θ = kadar air (% volume atau cm/cm), C = konsentrasi tracer yang diukur

dalam tanah (ppm), dan Co = konsentrasi input dalam infiltrometer (ppm). Penggunaan persamaan di atas untuk menentukan bagian pori imobil. Pada kasus tersebut, Clothier et al. (1992) mengasumsikan bahwa koefisien transfer cukup kecil di mana waktu untuk berdifusi ke zona imobil sangat pendek sebelum tanah diambil sampelnya. Adapun menurut Addiscott dan Whitmore (1991), air mobil adalah air yang terikat pada potensial matrik > -0,2 MPa dan air imobil yang terikat pada potensial matrik < -0,2 MPa.

Hasil penelitian Bejat et al. (2000) menunjukkan bahwa karakter pori tanah berhubungan erat dengan parameter pergerakan solut. Peningkatan indeks distribusi ukuran pori cenderung menurunkan kecepatan air pori maupun koefisien dispersi tanah. Penurunan kecepatan air pori dan koefisien dispersi tanah dapat memperlambat pergerakan solute dalam tanah.

2.4.3. Curah Hujan dan Kadar Air

Pergerakan air yang dapat membawa hara dan mendistribusikan air dalam tanah sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Curah hujan menentukan distribusi air dalam zona perakaran, sehingga dapat melarutkan dan membawa hara. Sifat-sifat hujan yang dapat mempengaruhi pergerakan air yang dapat membawa hara dalam tanah adalah jumlah dan intensitas hujan. Intensitas hujan mempengaruhi waktu breakthrough (waktu yang dibutuhkan oleh solute untuk mencapai kedalaman tertentu dalam solum tanah), dimana pada intensitas hujan yang paling tinggi, waktu breakthrough tercepat dan makin banyak jumlah perkolat (Granovsky et al., 1993). Namun menurut Scott et al. (1998), dengan makin tingginya intensitas hujan dapat mengakibatkan air melalui matrik tanah dan aliran preferential melalui sebagian kecil tanah.

Intensitas hujan juga mempengaruhi pergerakan bahan kimia. Makin tinggi intensitas hujan, makin banyak bahan kimia yang dipindahkan (Granovsky et al., 1993, Trojan dan Linden, 1992). Namun, intensitas hujan tidak mempengaruhi rata-rata konsentrasi solute dalam perkolat, tetapi lebih mempengaruhi jumlah volume perkolat. Konsentrasi solute lebih dipengaruhi oleh mobilitas solute, dimana makin tinggi mobilitas solute, makin tinggi konsentrasinya dalam perkolat.

Kondisi kadar air awal juga mempengaruhi waktu breakthrough (Edward et al., 1992, Granovsky et al., 1993), volume perkolat, dan laju pergerakan air maupun solute dalam tanah (Edward et al., 1992; Granovsky et al., 1993 ). Kadar air awal yang rendah memudahkan aliran air dan solute melalui aliran preferensial pori makro (Granovsky et al., 1993), sehingga waktu breakthrough lebih cepat. Nampaknya kondisi kelembaban tanah yang rendah mengurangi kontribusi matrik tanah terhadap infiltrasi air pada tahap awal. Shipitalo et al. (1990) menyatakan bahwa, waktu untuk perkolasi berkurang pada kadar air awal rendah, dan infiltrasi pada permukaan tanah yang kering lebih dihambat oleh bahan organik yang bersifat hidrofobik.

Ada pendapat lain mengatakan bahwa hujan yang melalui pori makro relatif tidak terkontaminasi solute karena tidak efektifnya pencucian solute yang tertinggal pada pori-pori kapiler atau karena kurangnya interaksi antara air hujan dengan matrik tanah. Namun hujan yang membawa bahan kimia dari permukaan tanah dapat melewati zona perakaran (Shipitalo et al , 1990).

Menurut Shipitalo et al (1990), pengaruh hujan terhadap nasib bahan kimia yang diberikan di permukaan tanah tidak terlepas dalam hubungannya dengan sifat spesifik tanah dan sifat bahan kimia yang diberikan. Sebagai contoh, hujan deras yang berlangsung singkat setelah pemberian bahan kimia dapat membawa sejumlah bahan kimia yang teradsorpsi di luar zona perakaran, sebaliknya hujan ringan setelah pemberian bahan kimia dapat menggerakkan solute ke dalam matrik tanah di mana mereka dapat teradsorpsi. Solute tersebut dapat dilewati aliran air dalam pori makro pada hujan-hujan berikutnya.

Distribusi air dalam tanah baik secara spatial dan temporal juga berpengaruh terhadap lingkungan reaksi biokimia dalam tanah, sehingga berpengaruh terhadap kelarutan hara dalam tanah.

2.4.4. Tanaman

Kuantifikasi kecepatan ekstraksi air oleh akar tanaman dapat berperan dalam informasi fluks solute dalam zone perakaran. Serapan air oleh sistem perakaran dapat mengendalikan waktu dan jumlah polutan kimia yang akan masuk ke ground water, melalui eliminasi pola aliran preferential air dan bahan kimia, atau melalui pengaturan absorbsi hara atau trace mineral (Vrugt, Hopmans, dan Simunek, 2001). Serapan air oleh akar secara aktual tidak hanya tergantung pada distribusi akar dan fungsinya, tetapi juga pada ketersediaan air tanah. Serapan air berkurang (stres air) terjadi apabila ketersediaan air dalam tanah rendah dan konsentrasi garam terlarut melebihi batas ambang kebutuhan tanaman (Vrugt et al., 2001).

Tanaman berperan penting dalam proses evapotranspirasi. Akar tanaman menyerap air sehingga kadar air dan hara di bawah tanaman lebih rendah dibanding di bawah antar tanaman. Keadaan tersebut dapat mengurangi kehilangan air dan hara ke lapisan yang lebih dalam. (Timlin et al., 1992). Perbedaan pencucian solute di bawah kedalaman tanah 0,5 m pada barisan dan antar barisan tanaman tergantung pada tipe tanah dan tanaman, curah hujan, irigasi, dan evapotranspirasi. Sistem diversifikasi pertanaman dapat mengurangi kehilangan hara dari zona perakaran dan menurunkan kadar NO3-N pada subsoil. dibanding monocultur (Varvel dan Peterson, 1990).

Peterson and Russelle (1991) melaporkan bahwa akar alfalfa dapat mengabsorbsi hara dan air dari kedalaman tanah 11 m, tetapi Campbell et al. (1994) menemukan bahwa kedalaman air dan hara yang dapat diekstraksi oleh alfalfa adalah sekitar 2,5 m. Kemampuan akar tanaman dalam menyerap hara sangat tergantung pada ketersediaan air dalam tanah, dan kadar hara yang cukup dapat menghemat penggunaan air (Roy et al., 2006)

Penelitian dilakukan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di lapangan di Desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor mulai bulan April 2005 sampai dengan April 2007. Pemilihan lokasi penelitian dan analisis data di laboratorium berlangsung sejak April 2005 sampai dengan Februari 2006. Percobaan lapangan dilakukan bersamaan dengan analisis laboratorium sejak Februari 2006 sampai dengan Juli 2006. Selanjutnya diikuti analisis laboratorium sampai dengan April 2007.