• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar lemak TVP dari tepung tempe komak lebih besar dari kadar lemak tepung kacang dengan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (lampiran 4). Hal terjadi akibat kapang Rhizopus oligosporus yang digunakan dalam proses fermentasi tempe dapat meningkatkan jumlah lemak kasar selama masa pertumbuhan aktifnya karena adanya degradasi karbohidrat dan degradasi lemak menjadi asam-asam lemak bebas serta terbatasnya konsumsi lemak oleh kapang tersebut (Ningsih, 2007). Selain itu, selama proses ekstrusi, lemak bersama pati akan membentuk struktur yang baru, yaitu kompleks antara amilosa dan asam oleat yang akan menghambat modifikasi protein. Namun keberadaan lemak dalam produk akan memberikan citarasa, aroma dan tekstur (Harper, 1981).

Hasil TSP yang dibuat oleh Irawan (2001) dengan formula 75% tepung tempe kedelai rendah lemak dan 25% gluten menghasilkan kandungan lemak sebesar 5,1% (bk) jauh melebihi kadar lemak pada THP. Hal ini dikarenakan komak mengandung lemak 1-2% (bk), sedangkan tempe kedelai mengandung lemak 6,29% (bk). Hasil analisis yang menunjukan kadar lemak yang rendah (sekitar di bawah 1%) merupakan keunggulan yang dimiliki oleh kacang komak ini sehingga memudahkan dalam pembuatan TVP karena tanpa perlu proses ekstraksi lemak.

Gambar 15. Grafik hasil analisis kadar lemak THP (angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kepercayaan 95%)

e. Kadar Karbohidrat Texturized Hyacinth Protein (THP)

Kadar karbohidrat TVP dari tepung kacang lebih besar dari kadar karbohidrat tepung tempe komak dengan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (lampiran 5). Penurunan kadar karbohidrat selama fermentasi disebabkan oleh pemecahan gula-gula kompleks (pati, stakiosa, rafinosa) menjadi gula-gula yang mudah dicerna oleh kapang (Hermana, 2001). Kandungan karbohidrat dalam pembuatan meat analog akan membantu proses pengembangan saat ekstrusi akibat adanya gelatinisasi. Namun keberadaan karbohidrat perlu dibatasi karena akan mengurangi kemampuan protein untuk termodifikasi (Breene, 1978).

Kadar karbohidrat pada TVP yang berasal dari 25% gluten lebih rendah dari TVP yang berasal dari 10% gluten dengan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Hal ini dikarenakan kandungan karbohidrat pada gluten (15%) lebih rendah dari kacang komak (kacang komak kontrol:73,33% dan bentuk tempenya: 67,43%).

Nilai kadar karbohidrat yang didapatkan lebih tinggi dari nilai karbohidrat TSP yang dilaporkan oleh Irawan (2001), yaitu sebesar 43,82-48,91% (bk). Kandungan karbohidrat yang disarankan agar protein termodifikasi maksimal sebesar 40 – 50% (Lin et al., 2000). Kandungan karbohidrat yang cukup besar pada komak baik kacang maupun tempe yaitu sekitar 60% (bk) menyebabkan perlunya penambahan bahan lain yang rendah karbohidrat, dalam hal ini tepung gluten.

Gambar 16. Grafik hasil analisis kadar karbohidrat THP (angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kepercayaan 95%)

f. Kadar Serat Kasar Texturized Hyacinth Protein (THP)

Hasil uji analisis sidik ragam dengan menunjukan bahwa kadar serat kasar pada THP dari bahan tempe lebih rendah dan berbeda nyata taraf kepercayaan 95% (lampiran 6). Menurut Irawan (2001) penurunan kadar serat pada tempe dikarenakan adanya tahap pengupasan pada pembuatan tempe.

Serat banyak terdapat pada bagian kulit ari (perikarp) serealia. Pada proses ekstrusi, serat dapat digunakan sebagai bulking agent, sebagai bagian nutrisi dan untuk memodifikasi tekstur produk ekstrusi. Penggunaan serat sebagai pemberi nutrisi sering dibatasi pada bahan baku ekstrusi karena efeknya yang mampu menghambat pengembangan produk (Huber, 2001).

Gambar 17. Grafik hasil analisis kadar serat THP (angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kepercayaan 95%)

Bila dibandingkan dengan TSP yang dibuat dari campuran kedelai dan gluten maka THP mengandung kandungan serat yang lebih tinggi karena kacang maupun tempe komak mengandung serat kasar 10,54- 15,85 % berat kering (Harnani, 2009) dibandingkan dengan kedelai yang hanya mengandung serat kasar tempe kedelai sebesar 7,1% berat kering (Irawan, 2001).

2. Analisis Fisikokimia dan Fisik Texturized Hyacinth Protein (THP)

a. Derajat Pengembangan Texturized Hyacinth Protein (THP)

Derajat pengembangan produk ekstrusi merupakan karakteristik yang penting. Pada dasarnya derajat pengembangan produk ini adalah membandingkan diameter produk dengan diameter cetakan. Salah satu karakteristik dari produk-produk ekstrusi adalah adanya fenomena puffing yaitu terjadinya pengembangan volume (Muchtadi et al., 1988).

Bahan baku yang mempunyai kadar protein, lemak, dan serat kasar yang tinggi akan menghasilkan produk ekstrusi yang kurang mengembang. Tingginya kadar protein dan lemak akan menurunkan derajat gelatinisasi dengan demikian derajat pengembangan turun. Sedangkan dengan semakin tingginya presentase serat kasar dalam bahan baku akan menurunkan derajat pengembangan dari produk ekstrusi.

Menurut Linko et al. (1981) pengembangan produk ekstrusi tergantung pada gelatinisasi pati dan pengembangan uap air ketika melalui cetakan. Ketika produk melewati cetakan, penurunan tekanan yang mendadak menyebabkan penguapan air yang sudah sangat panas. Jika gel cukup kuat, uap air yang berekspansi ke luar menghembus sel meninggalkan ruang porous yang berongga. Protein dan lemak akan membentuk jaringan (matriks) yang menyerupai serat, mempersulit transfer air maupun panas ke dalam bahan sehingga menyebabkan proses pengembangan menjadi terhambat.

Menurut Harper (1981), komponen pati yang berperan terhadap pengembangan (puffing) produk ekstrusi adalah amilopektin. Pati yang kaya akan amilopektin akan menyebabkan lebih mengembang dibandingkan dengan pati yang kaya akan amilosa, karena rantai amilosa akan berikat satu sama lain pada proses pemasakan, sehingga proses saling terkaitnya amilosa tersebut menyebabkan polimer-polimer amilosa tersebut sulit tertarik pada saat proses pengembangan (pada saat produk keluar dari die) yang menyebabkan produk ekstrusi kurang mengembang. Pada bahan yang memiliki kandungan air yang sama, amilopektin lebih mudah mengembang daripada amilosa.

Secara umum kecepatan putar ulir dapat meningkatkan spesific mechanical energy (SME). Hal ini disebabkan karena peningkatan dalam shear rate ketika peningkatan kecepatan ulir ekstruder tercapai. Peningkatan kecepatan ulir meningkatkan shear dan friksi dalam ekstruder sehingga menghasilkan rata-rata transfer SME yang lebih tinggi (Li et al., 2004). Peningkatan rata-rata SME memiliki efek linear positif dalam rata-rata pengembangan ekstrudat. Peningkatan kecepatan ulir menyebabkan peningkatan rasio pengembangan (Lin et al., 2002). Kenaikan kadar air bahan baku akan menurunkan derajat pengembangan dan melemahkan tekstur produk ekstrusinya (Lin et al., 2002).

Berdasarkan hasil uji analisis sidik ragam dengan taraf kepercayaan 95% (lampiran 7) terlihat bahwa proses fermentasi meningkatkan derajat pengembangan secara signifikan karena rendahnya kadar lemak yang dapat menghambat derajat pengembangan dan gelatinisasi. Penambahan gluten juga meningkatkan derajat pengembangan. Derajat pengembangan TVP berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini dikarenakan pada formula 2 (25% gluten), penggunaan gluten yang lebih banyak dibandingkan formula 1 (10% gluten). Nilai derajat pengembangan pada penelitian ini berada pada kisaran nilai derajat pengembangan yang dilaporkan oleh Irawan (2001), yaitu sebesar 192 -211%.

Gambar 18. Grafik hasil analisis derajat pengembangan THP (angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kepercayaan 95%)

b. Densitas Texturized Hyacinth Protein (THP)

Berdasarkan hasil analisis (Gambar 19), terlihat bahwa semakin rendah jumlah tepung komak (kontrol dan tempe) maka semakin rendah pula densitas TVP nya. Hasil ini berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (lampiran 8). Hal ini diduga disebabkan oleh aktivitas kapang tempe selama fermentasi yang dapat menguraikan komponen-komponen kompleks pada kacang komak menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga ukuran partikelnya menjadi lebih kecil dan teksturnya lebih berongga.

Berdasarkan hasil analisis (Gambar 19) terlihat bahwa semakin besar kadar gluten maka semakin rendah nilai densitasnya. Hal ini berkaitan dengan sifat protein gluten yang kenyal sehingga semakin tinggi tepung gluten maka densitas produknya akan semakin rendah. Densitas berguna dalam kaitannya dengan kerapatan dari produk ekstrusi dalam menempati ruang yang berhubungan dengan pengembangan produk jika mengalami rehidrasi.

Menurut Hartman (1996), penggunaan gluten dalam pembuatan daging tiruan dapat membantu terbentuknya tekstur dan kekenyalan seperti daging asli. Nilai densitas hasil penelitian ini berada di kisaran nilai densitas daging tiruan yang dilaporkan oleh Yung (1995), yaitu sebesar 0,36-0,48 g/ml.

Gambar 19. Grafik hasil analisis densitas THP (angka yang diikuti dengan huruf yang