• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nomor Halaman

1 Faktor penyebab perceraian tahun 2001 ... 4 2 Kerangka pemikiran Analisis Kesiapan Menikah, Pemenuhan

Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah ... 16 3 Metode penarikan contoh penelitian ... 18 4 Sebaran contoh berdasarkan lama menikah ... 26 5 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ... 28 6 Sebaran contoh berdasarkan kesiapan menikahnya ... 40

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan sosial yang semakin kompleks menuntut keluarga untuk dapat beradaptasi secara cepat (Sunarti 2007). Duvall (1971) menjelaskan bahwa perubahan ini berdampak pada kondisi, kesempatan, masalah, janji, dan tantangan baru bagi keluarga sehingga sumberdaya yang ada di keluarga bertambah. Diperlukan sebuah keluarga yang fleksibel dalam menghadapi kondisi ini agar terhindar dari krisis. Maka dari itu, individu yang akan menikah harus mempersiapkan diri untuk memasuki pernikahan agar tercipta keluarga yang tahan terhadap perkembangan yang semakin kompleks.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Individu yang telah menikah tentunya menginginkan sebuah keluarga yang sukses. Sukses maksudnya dapat menyelesaikan dengan baik masalah atau krisis yang terjadi selama tahap kehidupan keluarga sehingga menjadi lebih berdaya. Kesuksesan keluarga dapat dilakukan dengan melihat kesiapan menikah dari individu tersebut (Gunarsa dan Gunarsa 2002).

Kesiapan menikah diartikan dalam Duvall (1971) sebagai laki-laki dan perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan secara fisik, emosi, tujuan, keuangan, dan pribadi telah siap untuk bertanggung jawab dalam komitmen pernikahan. Menurut Hill, Oesterle, dan Hawkins (2004), sebagai seorang dewasa muda yang akan menikah setidaknya harus mencapai kematangan fisik, psikologis dan emosi, keterampilan hidup, perilaku yang sesuai, hubungan sosial dan keluarga yang sehat, telah menyelesaikan pendidikan, memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan, dan lebih tidak mementingkan kepentingan pribadi. Hurlock (1980) menyebutkan persiapan pernikahan termasuk dalam keterampilan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, mengatur keuangan kelaurga, dan pendidikan seks. Syarat minimal bagi calon pasangan untuk menuju pernikahan mencakup tiga hal, yaitu mampu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan perkembangan keluarga, memiliki kualitas sumberdaya manusia yang memadai untuk mengelola

keluarga sebagai ekosistem, dan memiliki kematangan pribadi untuk menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga (Burgess dan Locke 1960). Untuk itu, dapat dirangkum bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi sebuah pernikahan yaitu, usia, pendidikan, dan perencanaan karir (Knox 1985). Penelitian yang dilakukan Rutledge (1968) diacu dalam Olson dan Fowers (1986) menyebutkan bahwa menyiapkan pernikahan merupakan upaya untuk mencegah perceraian. Sebagai upaya pencegahan, seseorang dapat melakukan hal-hal seperti mengetahui faktor-faktor yang dapat menghambat kesuksesan menikah, masing- masing individu mengukur hubungan dengan pasangan lainnya, dan melakukan intervensi terhadap pasangan yang bermasalah (Olson & Fowers 1986).

Kesuksesan keluarga juga dapat dilihat dari kemampuan keluarga menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga. Fungsi keluarga dapat dijalankan melalui tiga tugas, yaitu tugas dasar, krisis, dan perkembangan (Epstein dalam COPMI 2003). Tugas–tugas ini merupakan langkah awal untuk mencapai keberfungsian keluarga yang juga menjadi syarat kesuksesan keluarga. Tugas dasar, tugas yang pertama kali dipenuhi oleh sebuah keluarga. Menurut BKKBN, sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan merupakan hal dasar yang harus dicapai keluarga. Tugas perkembangan, merupakan serangakaian kewajiban yang harus dipenuhi oleh seseorang maupun keluarga selama kehidupannya yang akan mempengaruhi keberhasilan pada tugas perkembangan selanjutnya. Terakhir adalah tugas krisis, yaitu bagaimana keluarga dapat berhadapan dengan krisis atau masalah yang dialaminya.

Kemampuan keluarga dalam menghadapi krisis menutut adanya peran yang jelas dalam keluarga. Dijelaskan oleh Peterson (2009) bahwa beberapa peneliti setuju peran yang jelas dalam keluarga berhubungan dengan kemampuan keluarga untuk berhadapan dengan kehidupan yang modern saat ini, krisis yang tidak dapat terprediksi, dan perubahan yang biasa terjadi dalam keluarga untuk mencapai keluarga yang sukses. Krisis ini akan terjadi ketika keluarga tidak mampu memenuhi pemenuhan tugas perkembangan keluarganya. Pada level tertentu keluarga akan rentan terhadap masalah, namun ada kalanya keluarga juga akan tahan terhadap masalah. Keluarga yang hidup pada zaman dan perkembangan yang kompleks, akan memberikan tekanan yang lebih pada

keluarga sehingga krisis keluarga juga lebih kompleks. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa untuk memprediksi sebuah keluarga akan rentan atau tidak terlihat dari pemenuhan tugas dasarnya (Duvall 1971).

Krisis terjadi sepanjang masa tahap perkembangan keluarga, termasuk masa anak prasekolah. Pada umumnya, pada tahap keluarga ini suami dan istri mulai merencanakan untuk menambah anak. Duvall (1971) menyebutkan bahwa bertambahnya anggota keluarga dapat menyebabkan krisis pada keluarga. Apabila dalam masa ini hadir anggota keluarga baru, maka perhatian untuk anak prasekolah akan berkurang. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menyebutkan bahwa perkembangan anak usia prasekolah mulai berubah dari otonomi ke inisiatif sehingga anak mulai banyak bertanya dan terlibat dalam lingkungan sosial. Orangtua perlu memperhatikan anak pada usia ini karena masa ini merupakan awal terbentuknya pribadi anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar dan krisis dalam keluarga.

Rumusan Masalah

Pernikahan merupakan hal yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya ketika mereka telah memasuki usia dewasa muda. Dewasa muda yang akan menikah paling tidak harus mencapai kematangan-kematangan yang disesuaikan dengan kesiapan dirinya untuk menikah seperti kematangan fisik, psikologis dan emosi, keterampilan hidup, perilaku yang sesuai, hubungan sosial dan keluarga yang sehat, telah menyelesaikan pendidikan, memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan, dan lebih tidak mementingkan kepentingan pribadi (Hill, Oesterle, dan Hawkins 2004).

Tidak semua orang memperhatikan kesiapan-kesiapan menjelang pernikahan yang mungkin akan berdampak pada perceraian. Indonesia termasuk negara yang memiliki angka perceraian cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Peradilan Agama (2011) menyebutkan angka perceraian di Indonesia menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2009 tercatat terdapat 250.000 kasus perceraian. Dibandingkan tahun 2008, kasus perceraian pada tahun 2009

meningkat sebanyak 50.000 kasus. Penyebab perceraian dikelompokkan menjadi empat masalah pada tahun 2007, yaitu:

1. Salah satu pasangan meninggalkan kewajiban. Masalah ini terdiri dari salah satu pasangan tidak bertanggung jawab, masalah ekonomi keluarga, dan perkawinan yang dipaksa.

2. Perselisihan terus menerus yang disebabkan ketidakharmonisan pribadi, gangguan pihak ketiga, dan faktor politis.

3. Masalah moral yang terdiri atas masalah poligami yang tidak sesuai peraturan, cemburu yang berlebihan, dan krisis akhlak.

4. Kekerasan dalam rumah tangga.

Berdasarkan Gambar 1 perceraian yang paling tinggi terjadi karena ketidakharmonisan pasangan suami istri yang mencapai 55.093 kasus.

Gambar 1 Faktor penyebab perceraian tahun 2007 Sumber : Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral

Badan Peradilan Agama 2008

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2010), sumbangan paling besar terhadap perceraian adalah pernikahan dini. Pada tahun 2009, ketua KPAI menyatakan bahwa terdapat 34 persen pernikahan dini di Indonesia. Pernikahan dini menjadi pemicu perceraian dikarenakan kematangan usia seorang individu yang dibawah umur 18 tahun dirasa belum cukup. Kasus ini terjadi karena seseorang tidak mampu untuk mengembangkan kemampuannya sehingga tidak ada pilihan lain selain menikah. Pernikahan dini tidak hanya terjadi pada masayarakat bawah saja, namun sudah mulai merambah ke masyarakat kota yang

sebenarnya memilliki kapasitas untuk mengembangkan kemampuannya. Namun tidak hanya pernikahan dini saja yang menyebabkan masalah perceraian. Komisi Penyiaran Indonesia (2011) menyebutkan bahwa tayangan Infotainment yang menampilkan serentetan kasus perceraian yang dilakukan oleh artis-artis juga mempengaruhi perkawinan masyarakat Indonesia.

Perceraian ini akan terjadi ketika keluaga tidak mampu menyelesaikan krisis yang ada di keluarga. Krisis pada masa prasekolah yaitu ketidakmampuan keluarga dalam melakukan koping terhadap perhatian, waktu, dan energi terhadap kebutuhan anak usia prasekolah (Duvall 1971). Bertambahnya anggota keluarga akan menimbulkan krisis bagi anak prasekolahnya berupa kurangnya perhatian orangtua akan kebutuhan anak. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menyebutkan bahwa orangtua perlu perhatian ekstra terhadap anak prasekolah karena pada masa inilah pribadi anak terbentuk.

Krisis lain yang pada umunya terjadi pada masa ini adalah hilangnya privasi antara suami dan istri dapat merenggangkan hubungan diantaranya. Hubungan yang renggang ini akan mengakibatkan perceraian apabila suami dan istri tetap tidak kompak dalam urusan rumah tangganya. Perceraian akan memberikan dampak tersendiri bagi perkembangan anak seperti kehilangan salah satu orangtua, kehilangan sumber ekonomi, minimnya stimulasi pengasuhan dari orangtua, dan banyaknya konflik antara orangtua akibat perceraian (Hughes 2009).

Bedasarkan rumusan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Seberapa besar tingkat kesiapan menikah contoh?

2. Seberapa besar tingkat pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis keluarga? 3. Adakah perbedaan pada tingkat kesiapan menikah suami dan istri?

4. Adakah hubungan dan pengaruh antara kesiapan menikah dengan pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis keluarga?

Tujuan Tujuan umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk menganalisis kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah. Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:

1. Mengidentifikasi tingkat kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah

2. Menganalisis perbedaan tingkat kesiapan menikah antara suami dan istri

3. Menganalisis hubungan antara kesiapan menikah dengan pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah

4. Menganalisis pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini menyediakan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama keluarga, mengenai pemenuhan tugas dasar dan krisis serta keterkaitannya dengan kesiapan menikah. Bagi pemerintah atau institusi terkait, penelitian ini dapat menjadi masukan untuk membuat program yang sesuai bagi keluarga untuk membawa keluarga kepada kesuksesan keluarga. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengatahuan baru dalam bidang keluarga, khususnya kesiapan menikah dan pemenuhan tugas dasar dan krisis pada tahap keluarga prasekolah.

Dokumen terkait