• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Restystika Dianeswari. Marital Readiness, Basic Task, and Crisis Task Fulfillment in Preschool Families. Supervised by Euis Sunarti.

The aimed of this research was to analyze the difference, correlation, and influence of marital readiness, basic task and crisis task fulfillment in preschool families. Ninety preschool families (children age three, four, and five years old) was chosen by simple random sampling in Bubulak, Bogor, East Java. This study showed a difference among marital readiness of husband and wife, where husband had higher score than wife. There was no significant correlation between marital readiness of husband, wife, and basic task of the family but positive correlation was found between husband’s marital readiness (intellectual, emotional, and social dimenssion), wife’s marital readiness (intellectual

dimenssion) and family crisis task. Husband’s marital readiness (intelectual and social readiness dimension) had a positif influence toward family crisis task.

Keywords : basic task, crisis task, marital readiness, preschool, family

ABSTRAK

Restystika Dianeswari. Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah. Dibimbing oleh Euis Sunarti.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan, hubungan, dan pengaruh kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga prasekolah. Sebanyak 90 keluarga prasekolah (anak umur tiga, empat, dan lima tahun) dipilih di Desa Bubulak, Bogor, Jawa Barat dengan teknik simple random sampling. Penelitian ini menunjukkan perbedaan antara kesiapan menikah suami dan istri dengan nilai kesiapan menikah suami yang lebih tinggi daripada istri. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kesiapan menikah suami, istri, dan pemenuhan tugas dasar keluarga tetapi hubungan yang positif terdapat diantara kesiapan menikah suami (dimensi intelektual, sosial, dan emosi), kesiapan menikah istri (dimensi kesiapan intelektual) dan pemenuhan tugas krisis keluarga. Kesiapan menikah suami (dimensi intelektual dan sosial) memiliki pengaruh positif terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan sosial yang semakin kompleks menuntut keluarga untuk dapat beradaptasi secara cepat (Sunarti 2007). Duvall (1971) menjelaskan bahwa perubahan ini berdampak pada kondisi, kesempatan, masalah, janji, dan tantangan baru bagi keluarga sehingga sumberdaya yang ada di keluarga bertambah. Diperlukan sebuah keluarga yang fleksibel dalam menghadapi kondisi ini agar terhindar dari krisis. Maka dari itu, individu yang akan menikah harus mempersiapkan diri untuk memasuki pernikahan agar tercipta keluarga yang tahan terhadap perkembangan yang semakin kompleks.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Individu yang telah menikah tentunya menginginkan sebuah keluarga yang sukses. Sukses maksudnya dapat menyelesaikan dengan baik masalah atau krisis yang terjadi selama tahap kehidupan keluarga sehingga menjadi lebih berdaya. Kesuksesan keluarga dapat dilakukan dengan melihat kesiapan menikah dari individu tersebut (Gunarsa dan Gunarsa 2002).

(3)

keluarga sebagai ekosistem, dan memiliki kematangan pribadi untuk menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga (Burgess dan Locke 1960). Untuk itu, dapat dirangkum bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi sebuah pernikahan yaitu, usia, pendidikan, dan perencanaan karir (Knox 1985). Penelitian yang dilakukan Rutledge (1968) diacu dalam Olson dan Fowers (1986) menyebutkan bahwa menyiapkan pernikahan merupakan upaya untuk mencegah perceraian. Sebagai upaya pencegahan, seseorang dapat melakukan hal-hal seperti mengetahui faktor-faktor yang dapat menghambat kesuksesan menikah, masing-masing individu mengukur hubungan dengan pasangan lainnya, dan melakukan intervensi terhadap pasangan yang bermasalah (Olson & Fowers 1986).

Kesuksesan keluarga juga dapat dilihat dari kemampuan keluarga menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga. Fungsi keluarga dapat dijalankan melalui tiga tugas, yaitu tugas dasar, krisis, dan perkembangan (Epstein dalam COPMI 2003). Tugas–tugas ini merupakan langkah awal untuk mencapai keberfungsian keluarga yang juga menjadi syarat kesuksesan keluarga. Tugas dasar, tugas yang pertama kali dipenuhi oleh sebuah keluarga. Menurut BKKBN, sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan merupakan hal dasar yang harus dicapai keluarga. Tugas perkembangan, merupakan serangakaian kewajiban yang harus dipenuhi oleh seseorang maupun keluarga selama kehidupannya yang akan mempengaruhi keberhasilan pada tugas perkembangan selanjutnya. Terakhir adalah tugas krisis, yaitu bagaimana keluarga dapat berhadapan dengan krisis atau masalah yang dialaminya.

(4)

keluarga sehingga krisis keluarga juga lebih kompleks. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa untuk memprediksi sebuah keluarga akan rentan atau tidak terlihat dari pemenuhan tugas dasarnya (Duvall 1971).

Krisis terjadi sepanjang masa tahap perkembangan keluarga, termasuk masa anak prasekolah. Pada umumnya, pada tahap keluarga ini suami dan istri mulai merencanakan untuk menambah anak. Duvall (1971) menyebutkan bahwa bertambahnya anggota keluarga dapat menyebabkan krisis pada keluarga. Apabila dalam masa ini hadir anggota keluarga baru, maka perhatian untuk anak prasekolah akan berkurang. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menyebutkan bahwa perkembangan anak usia prasekolah mulai berubah dari otonomi ke inisiatif sehingga anak mulai banyak bertanya dan terlibat dalam lingkungan sosial. Orangtua perlu memperhatikan anak pada usia ini karena masa ini merupakan awal terbentuknya pribadi anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar dan krisis dalam keluarga.

Rumusan Masalah

Pernikahan merupakan hal yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya ketika mereka telah memasuki usia dewasa muda. Dewasa muda yang akan menikah paling tidak harus mencapai kematangan-kematangan yang disesuaikan dengan kesiapan dirinya untuk menikah seperti kematangan fisik, psikologis dan emosi, keterampilan hidup, perilaku yang sesuai, hubungan sosial dan keluarga yang sehat, telah menyelesaikan pendidikan, memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan, dan lebih tidak mementingkan kepentingan pribadi (Hill, Oesterle, dan Hawkins 2004).

(5)

meningkat sebanyak 50.000 kasus. Penyebab perceraian dikelompokkan menjadi empat masalah pada tahun 2007, yaitu:

1. Salah satu pasangan meninggalkan kewajiban. Masalah ini terdiri dari salah satu pasangan tidak bertanggung jawab, masalah ekonomi keluarga, dan perkawinan yang dipaksa.

2. Perselisihan terus menerus yang disebabkan ketidakharmonisan pribadi, gangguan pihak ketiga, dan faktor politis.

3. Masalah moral yang terdiri atas masalah poligami yang tidak sesuai peraturan, cemburu yang berlebihan, dan krisis akhlak.

4. Kekerasan dalam rumah tangga.

Berdasarkan Gambar 1 perceraian yang paling tinggi terjadi karena ketidakharmonisan pasangan suami istri yang mencapai 55.093 kasus.

Gambar 1 Faktor penyebab perceraian tahun 2007 Sumber : Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral

Badan Peradilan Agama 2008

(6)

sebenarnya memilliki kapasitas untuk mengembangkan kemampuannya. Namun tidak hanya pernikahan dini saja yang menyebabkan masalah perceraian. Komisi Penyiaran Indonesia (2011) menyebutkan bahwa tayangan Infotainment yang menampilkan serentetan kasus perceraian yang dilakukan oleh artis-artis juga mempengaruhi perkawinan masyarakat Indonesia.

Perceraian ini akan terjadi ketika keluaga tidak mampu menyelesaikan krisis yang ada di keluarga. Krisis pada masa prasekolah yaitu ketidakmampuan keluarga dalam melakukan koping terhadap perhatian, waktu, dan energi terhadap kebutuhan anak usia prasekolah (Duvall 1971). Bertambahnya anggota keluarga akan menimbulkan krisis bagi anak prasekolahnya berupa kurangnya perhatian orangtua akan kebutuhan anak. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menyebutkan bahwa orangtua perlu perhatian ekstra terhadap anak prasekolah karena pada masa inilah pribadi anak terbentuk.

Krisis lain yang pada umunya terjadi pada masa ini adalah hilangnya privasi antara suami dan istri dapat merenggangkan hubungan diantaranya. Hubungan yang renggang ini akan mengakibatkan perceraian apabila suami dan istri tetap tidak kompak dalam urusan rumah tangganya. Perceraian akan memberikan dampak tersendiri bagi perkembangan anak seperti kehilangan salah satu orangtua, kehilangan sumber ekonomi, minimnya stimulasi pengasuhan dari orangtua, dan banyaknya konflik antara orangtua akibat perceraian (Hughes 2009).

Bedasarkan rumusan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Seberapa besar tingkat kesiapan menikah contoh?

2. Seberapa besar tingkat pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis keluarga? 3. Adakah perbedaan pada tingkat kesiapan menikah suami dan istri?

(7)

Tujuan Tujuan umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk menganalisis kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah. Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:

1. Mengidentifikasi tingkat kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah

2. Menganalisis perbedaan tingkat kesiapan menikah antara suami dan istri

3. Menganalisis hubungan antara kesiapan menikah dengan pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah

4. Menganalisis pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah.

Kegunaan Penelitian

(8)

TINJAUAN PUSTAKA

Kesiapan menikah

Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan, keuangan, dan kepribadian untuk bertanggung jawab dalam pernikahannya. Komitmen bagi mereka yang ingin menikah timbul dari keterkaitan emosi, salah satunya rasa cinta. Namun tidak semua orang yang sangat ingin menikah memiliki kesiapan-kesiapan sebelum menikah (Blood 1962). Knox (1985) menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah, yaitu umur, pendidikan, dan rencana karir. Lain halnya dengan Rice (1983) yang menyebutkan bahwa dari beberapa penelitian didapatkan bahwa faktor yang menentukan seseorang siap atau tidak menikah antara lain usia, lamanya pasangan saling mengenal, kematangan sosial, motivasi untuk menikah, pengertian cinta menurut pasangan, kesiapan pasangan dan kemauan untuk tanggung jawab dalam pernikahan, kesiapan untuk setia terhadap satu pasangan, kesiapan emosi untuk menjadi orangtua, telah menyelesaikan pendidikan, serta kesiapan dan kemauan orangtua untuk menikahkan anaknya.

Usia merupakan faktor yang paling penting dalam mengukur kesiapan menikah menurut Rice (1983). Maka dari itu, seseorang yang menikah pada usia muda memiliki masalah dan ketidakpuasaan dibandingkan seseorang yang menikah pada usia lebih tua (Lee 1977 diacu dalam Rice 1983). Berkebalikan dengan penelitian yang dilakukan Oktaviani (2010) yang menyebutkan bahwa umur berhubungan negatif dengan pengetahuan yang dimiliki mengenai pernikahan. Semakin tua usia seseorang saat menikah, semakin sedikit pula pengetahuan yang dimilikinya yang diduga karena keterpaparan informasi yang masih sedikit dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Selain usia, faktor lain yang diperlukan dalam mengenali pasangan yakni menyadari perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh pasangan karena perbedaan inilah yang mengganggu ketenangan dan suasana aman dalam berkeluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2002).

(9)

dan Locke (1960) bahwa seseorang yang akan menikah harus memenuhi sumberdaya ekonomi, sumberdaya manusia, dan kematangan pribadinya. Menurut Rapaport dalam Duvall (1971), terdapat sepuluh kriteria kesiapan menikah, antara lain:

1. Siap untuk menjadi pasangan setia

2. Siap untuk berubah dari kehidupan yang bebas menjadi hubungan yang mendalam dengan pasangannya

3. Memiliki kelembutan dan kasih sayang untuk pasangannya 4. Peka terhadap emosi dan kehidupan orang lain

5. Berbagi keintiman dengan orang lain

6. Menyatukan rencana yang dimilikinya dengan pasangannya 7. Memiliki penilaian yang realistis mengenai pasangannya

8. Berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan keluarganya kelak 9. Memiliki rancangan atau rencana mengenai masalah keuangan

10. Siap untuk menjadi istri atau suami

(10)

menikah. Blood (1962) mengartikan kematangan sosial sebagai salah satu aspek kesiapan menikah yang berasal dari terpenuhinya aspek-aspek kehidupan seorang remaja. Kematangan sosial dapat terlihat dari seberapa lama mengenal orang lain dan memiliki kehidupan yang mandiri. Mengenal orang lain merupakan salah satu cara untuk mematangkan sosial seorang remaja. Bagi remaja yang hanya mengenal sedikit orang, akan lebih lama merasa cocoknya karena masih mencari kepribadian baru dari temannya. Mengenal tidak hanya dari banyaknya orang yang dikenal, tapi juga kemampuan untuk bersosialisasi dengan orang lain.

Saat seseorang sudah matang secara emosi dan sosial, maka ia dapat melanjutkan hubungannya dengan pasangan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa ketika seseorang siap untuk menikah maka ia harus sudah menyelesaikan semua tugas perkembangannya yang sesuai dengan umur pada saat ia akan menikah. Pernikahan memiliki tiga fungsi penting menurut Landis dan Landis (1970), yaitu menyediakan keadaan fisik untuk anak dan keluarga, mengembangkan kepribadian secara alami seperti menyediakan fasilitas untuk anak agar dapat sukses dalam kehidupan sosialnya, dan mempertemukan emosi antara orangtua dan anak dalam keluarga. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui alasan seseorang menikah. Bagi perempuan didapatkan alasan seperti untuk mendapatkan rasa aman dalam keuangan, dukungan emosi, dan prestis. Alasan menikah bagi laki-laki antara lain menciptakan kehidupan normal, kehidupan rumah, dan kepemimpinan.

Keberfungsian Keluarga

(11)

orang sosiolog ternama. Pendekatan ini mengakui adanya keberagaman dalam masyarakat yang menjadi sumber dalam struktur masyarakat.

Model fungsi keluarga McMaster merupakan model yang menggunakan pendekatan struktur dan organisasi. Toly (2009) menyebutkan fokus pada model ini ada tiga, yaitu tugas dasar seperti makan dan rumah, tugas perkembangan yang terjadi selama tahap perkembangan hidup keluarga, dan tugas krisis seperti cara keluarga dalam menangani masalah. Sejalan dengan model fungsi keluarga McMaster, the procces of family functioning, dikembangkan dari teori sistem yang menjelaskan bahwa fungsi keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam menyelesaikan tugas dasar, krisis, dan perkembangan karena fokus dalam model ini adalah penyelesaian ketiga tugas tersebut baik secara fisik, biologi, maupun sosial. Model ini mengidentifikasi tujuh objek yang dapat menunjukkan berhasilnya keluarga dalam menyelesaikan tugas dasar, krisis, dan perkembangan. Tujuh objek tersebut adalah penyelesaian tugas, peran yang jelas, komunikasi, interkasi langsung dalam keluarga, keterlibatan, pengawasan, serta nilai dan norma (Trangkasombat 2006). Perbedaan dalam model ini dengan model McMaster adalah model ini digunakan untuk memahami tentang keluarga sedangkan McMaster untuk terapi keluarga.

Tugas Dasar merupakan hal-hal dasar yang perlu dipenuhi oleh keluarga.

(12)

pekerjaan menjadi penyebab hambatan individu untuk menuju ke tingkat selanjutnya.

BKKBN membagi kategori kesejahteraan keluarga ke dalam tiga tingkatan, yaitu pra KS, KS I, KS II, KS III, dan KS III plus. Keluarga pra KS adalah keluarga yang hanya dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga saja yang termasuk dalam sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Keluarga KS I adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologis. Keluarga KS II adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pengenbangannya, sedangkan KS III adalah keluarga yang belum dapat memberikan suambangan maksimal kepada masyarakat. Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan semua kebutuhan merupakan keluarga dengan golongan KS III plus.

Tugas Krisis merupakan periode krusial pada setiap tahapan perkembangan keluarga. Sunarti (2007) menjelaskan bahwa krisis keluarga datang saat masalah yang diterima keluarga lebih banyak dari sumberdaya dan perilaku koping keluarga. Sumberdaya yang digunakan untuk koping berupa fisik dan materi (pendapatan, peralatan, ruang, tabungan, kesehatan, pendidikan, pengalaman, ide, dan intelektual), integrasi keluarga (komunikasi, tujuan, nilai, loyalitas, dan kerjasama), dan kemampuan adaptasi keluarga dalam menghadapi masalah atau krisis. Sumberdaya didapatkan keluarga dari keluarga besar dan teman yang berupa dukungan, bantuan, serta kemampuan pemecah masalah (Smart dan Smart 1980).

(13)

McCubbin dan Thompson (1987) menjelaskan bahwa keluarga yang tertimpa krisis dapat terlihat dari kadaan keluarga yang mulai tidak stabil. Untuk mengembalikan kestabilan itu, keluarga akan melakukan trial and error untuk mengurangi ketegangan yang ada dalam keluarga sehingga dapat dikatakan bahwa krisis keluarga merupakan masa transisi keluarga dari situasi yang tidak stabil menjadi situasi stabil dan di dalamnya terdapat usaha keluarga untuk memperbaiki dan beradaptasi dengan perubahan. Ketidakmampuan keluarga dalam menyesuaikan perilaku terhadap perubahan dalam masyarakat akan menimbulkan ketegangan emosi yang akan berakibat pada perpisahan atau perceraian. Keluarga modern lebih berpengalaman menghadapi krisis daripada keluarga terdahulu karena memiliki karakteristik yang kompleks walaupun tekanan yang dihadapinya lebih besar (Locke dan Burgess 1960).

Krisis terjadi disepanjang siklus hidup keluarga dan terjadi ketika keluarga tidak mampu memenuhi tugas perkembangan individu maupun keluarganya (Duvall 1971). Begitupula dengan keluarga anak prasekolah, masing-masing memiliki tugas perkembangan dirinya maupun keluarganya. Krisis pada masa prasekolah umumnya tidak mampu melakukan koping terhadap hilangnya energi, perhatian, dan waktu terhadap kebutuhan anak prasekolah dan hilangnya privacy antara pasangan (Duvall 1971). Penelitian yang dilakukan Lee et al. (2010) menyebutkan bahwa konflik yang terjadi antarpasangan antara lain masalah hubungan dengan pasangan, anak, keuangan, tanggung jawab dalam rumah tangga, kesehatan, keluarga besar, rahasia, dan perpindahan rumah.

McCubin (1987) menyebutkan masa parsekolah merupakan masa yang membutuhkan kedisiplinan sehingga anak dapat melakukan kegiatannya secara disiplin. Hurlock (1980) membedakan ke dalam dua kelompok bahaya atau krisis bagi anak usia prasekolah, yaitu dampak psikologis dan fisik. Adapaun yang termasuk dalam bahaya psikologis antara lain bahaya dalam berbicara, emosi, sosial, bermain, perkembangan konsep, moral, penggolongan jenis kelamin, kepribadian, dan hubungan keluarga. Bahaya fisik di antaranya adalah kematian, penyakit, kecelakaan, penampilan fisik yang kurang menarik, dan kegemukan.

(14)

(Duvall 1971). Pemenuhan tugas-tugas perkembangan ini akan membawa kebahagiaan dan kesiapan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan selanjutnya. Apabila seseorang gagal untuk memenuhi kebutuhannya, maka akan mempengaruhi pemenuhan tugas perkembangan selanjutnya, ketidakbahagiaan, dan ditolak oleh masyarakat (Duvall 1971).

Sama seperti tugas krisis, tugas perkembangan membutuhkan dukungan dari pihak lain. Dukungan tersebut umunya datang dari dalam diri individu tersebut, namun dipengaruhi dari apa yang diharapkan oleh orang lain atas perilaku seorang individu tersebut. Permasalahan umumnya terjadi pada pemenuhan tugas perkembangan adalah belum matanganya seseorang, tekanan dari lingkungan, ambisi, dan orientasi nilai (Duvall 1971). Tugas perkembangan sejatinya akan terus dihadapi oleh seseorang selama ia hidup. Maka dari itu, terdapat tugas perkembangan sesuai dengan umur yang diselaraskan dengan pencapaian kematangan/kedewasaan. Duvall (1971) menyebutkan bahwa terdapat empat asumsi mengenai tugas perkembangan. Adapun asumsi tersebut ialah inidvidu menerima perilaku baru yang dihasilkan dari apa yang diharapkan orang lain maupun ketika melihat orang lain lebih dewasa, membentuk konsep diri yang baru, melakukan koping secara efektif terhap permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi, dan berkeinginan keras untuk mencapai tugas perkembangan selanjutnya.

(15)
(16)

KERANGKA PEMIKIRAN

Menikah merupakan sesuatu yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya dewasa muda. Untuk menuju ke pernikahan, persiapan sebelum menikah harus dilakukan. Siap secara fisik, emosi, tujuan, finansial, dan pribadi adalah beberapa hal yang perlu disiapkan bagi seseorang yang akan menikah. Kesiapan-kesiapan tersebut diharapkan dapat membentuk pribadi yang tahan terhadap perkembangan yang kompleks. Kesuksesan keluarga menjadi tujuan dalam setiap pernikahan. Kesuksesan keluarga dapat dilihat dari kesiapan menikah dan kemampuan keluarga dalam menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga. Tiga tugas dalam fungsi keluarga yang menjadi langkah awal menuju kesuksesan keluarga adalah tugas dasar, perkembangan, dan krisis.

(17)

Krisis pada masa prasekolah umumnya ada dua, yaitu hilangnya privasi antara suami dan istri serta ketidakmampuan keluarga dalam melakukan koping waktu, energi, dan perhatian terhadap kebutuhan anak prasekolah. Masa prasekolah merupakan masa terbentuknya pribadi anak. Anak prasekolah memiliki ciri-ciri keras kepala karena sifatnya yang masih egosentris dan insiatif karena rasa ingin tahunya. Untuk itu dibutuhkan bimbingan orangtua agar anak dapat berkembangan dengan optimal.

Variabel yang diteliti Variabel yang tidak ditelliti

Gambar 2 Kerangka pemikiran Analisis Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah

Kesiapan menikah 1. Kesiapan emosi 2. Kesiapan sosial 3. Kesiapan intelektual 4. Kesiapan moral 5. Kesiapan individu 6. Kesiapan finansial 7. Kesiapan mental

Tugas Dasar Tugas Krisis Tugas Perkembangan

(18)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu

Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan pada satu waktu. Pemillihan tempat dilakukan dengan cara pupossive, yaitu Desa Bubulak. Bubulak dipilih karena dari seluruh Kelurahan di Bogor Barat, Kelurahan Bubulak menjadi satu-satunya kelurahan yang belum berkembang dan memiliki keluarga dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah paling banyak. Penelitian ini dilakukan pada keluarga yang memiliki anak prasekolah di tempat tersebut untuk menganalisis kesiapan menikah suami istri, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis. Waktu pengambilan data dari penentuan contoh hingga wawancara dilaksanakan dari bulan Juni hingga Juli 2011.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

(19)

Gambar 3 Metode Penarikan Contoh Penelitian Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara dengan bantuan kuesioner kepada contoh untuk mengunpulkan karakteristik keluarga, membantu melakukan recall kesiapan menikahnya, pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis keluarga. Karakteristik keluarga terdiri dari jumlah anggota keluarga, usia saat menikah, usia saat ini, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Kesiapan menikah diukur melalui tujuh dimensi, yaitu intekektual, emosi, sosial, moral, individu, finansial, dan mental.

Pengembangan kuesioner diawali dari definisi kesiapan menikah menurut Duvall (1971) yang harus siap secara fisik, emosi, tujuan, finansial, dan pribadi. Definisi dari Duvall kemudian dilanjutkan dengan melihat perkembangan yang harus dicapai sebagai dewasa muda. Menurut Papalia dan Olds (1986) seorang dewasa muda harus dapat mengembangakan kemampuan intelektual, sosial, emosi, dan moralnya. Selain itu, ada kesiapan khusus yang harus dipersiapkan oleh seorang dewasa muda untuk menikah. Untuk kesiapan intelektual dan moral, kuesioner yang digunakan dikembangkan dari Personal Value Scale (Schott1985). Kesiapan emosi dan sosial dikembangakan dari konsep kecerdasan emosi dan keterampilan sosial dalam Goleman (1994). Kesiapan individu, finansial, dan mental dikembangkan dari konsep yang dikemukakan oleh Rapoport dalam Duvall (1971). Kuesioner pemenuhan tugas dasar dikembangkan dari indikator

Total n= 90 Kelurahan Bubulak Kecamatan Bogor Barat

N= 118

Purpossive

Purpossive

Simple random Sampling Kota Bogor

(20)

keluarga pra-sejahtera menurut BKKBN, sedangkan pemenuhan tugas krisis dikembangkan dari krisis menurut Duvall (1971) dan Hurlock (1980). Pernyataan mengenai pemenuhan tugas krisis keluarga diturunkan dari tugas perkembangan keluarga, orangtua, dan anak usia prasekolah menurut Duvall (1971). Namun karena ada beberapa kesamaan tugas krisis yang dikembangkan dari Duvall maupun Hurlock, maka beberapa pernyataan digabung agar tidak mengakibatkan overlaping. Instrumen kesiapan menikah dan tugas dasar memiliki nilai cronbach alpha sebesar 0,6. Untuk tugas krisis nilai reliabilitasnya sebesar 0,9. Data sekunder didapatkan dari data monografi desa. Berikut adalah tabel variabel dan responden yang digunakan sebagai alat ukur

Tabel 1 Variabel dan responden yang digunakan dalam kuesioner

No Variabel Responden

1 Karakteristik keluarga: a. Jenis Kelamin b. Besar keluarga c. Usia d. Pendidikan e. Pekerjaan f. Pendapatan Suami Istri

2 Kesiapan menikah pasangan a. Kesiapan Emosi b. Kesiapan Sosial c. Kesiapan Intelektual d. Kesiapan Moral e. Kesiapan individu f. Kesiapan finansial g. Kesiapan mental

Suami Istri

3 Tugas dasar keluarga a. Sandang b. Pangan c. Papan d. Kesehatan Istri 4 Tugas Krisis

a. Tugas krisis terkait anak

b. Tugas krisis terkait hubungan suami dan istri

c. Tugas krisis terkait kesiapan sekolah anak

Istri

(21)

adalah pasangan suami istri dengan asumsi memiliki kesiapan menikah yang berbeda-beda. Pemenuhan tugas dasar ditanyakan kepada istri dengan asumsi istri lebih banyak dirumah dan pengelolaan rumah tangga yang dipegang oleh istri. Waktu yang dihabiskan oleh istri dan anak juga menjadi asumsi istri lebih mengetahui pemenuhan tugas krisis dalam keluarga.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil wawancara terlebih dahulu dilakukan proses editing, coding, scoring, entering, cleaning, dan analyzing yang menggunakan bantuan program komputer yang sesuai. Karakteistik keluarga dianalisis dengan menggunakan frekuensi dan tabulasi silang. Umur suami dan istri dikelompokkan menurut Hurlock (1980), yaitu dewasa awal, madya, dan akhir. Berdasarkan BKKBN, besar keluarga dapat dikelompokkan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥ 7 orang). Pendapatan perkapita keluarga dikategorisasi sesuai dengan pendapatan per kapita di perkotaan Provinsi Jawa Barat menurut BPS tahun 2010 yang kemudian dikelompokkan menjadi baik dan kurang.

Secara keseluruhan, kategori pengelompokkan untuk kesiapan menikah, tugas dasar, dan tugas krisis dibedakan menjadi tinggi, sedang, dan rendah. Nilai tersebut didapatkan dari rumus interval kelas yang disajikan berikut ini

Interval kelas (A) = skor maksimum (NT) - skor minimum (NR) Jumlah Kelas

Adapun variabel, skala, dan kategori skor disajikan pada tabel berikut ini Tabel 2 Variabel, skala data, dan kategori skor

No Variabel Skala Data Kategori skor

1 Karakteristik keluarga

a.Jenis Kelamin Nominal [1] Laki-laki; [2] Perempuan

b.Besar keluarga Rasio [1] Keluarga kecil (≤ 4 orang); [2] Keluarga sedang

(5-6); [3] Keluarga besar (≥ 7 orang)

c.Usia Rasio [1] Dewasa awal (18-40); [2] Dewasa madya

(40-60)

d.Pendidikan Rasio [0] tidak sekolah; [1-6] SD; [7-9] SMP; [10-12]

SMA; [13-16] Sarjana (S1); [17-18] master (S2); [20-23] doktor (S3)

e.Pekerjaan Nominal [0] tidak bekerja; [1] PNS; [2] karyawan swasta; [3]

wiraswasta; [4] buruh; [5] kyai/ustad/guru agama

f.Pendapatan Rasio BPS kota di Jawa Barat (2010)

[1] ≤ Rp 212.210[2] >Rp 212.210

2 Kesiapan menikah

a.Kesiapan Emosi (10) Ordinal Rendah (0-3); Sedang (4-7); Tinggi (8-10)

(22)

Lanjutan Tabel 2

No Variabel Skala Data Kategori skor

c.Kesiapan Intelektual (6)

Ordinal Rendah (0-2); Sedang (3-4); Tinggi (5-6)

d.Kesiapan Moral (11)

Ordinal Rendah (0-3); Sedang (4-7); Tinggi (8-11)

e.Kesiapan individu (12)

Ordinal Rendah (0-3); Sedang (4-7); Tinggi (8-12)

f.Kesiapan finansial (8)

Ordinal Rendah (0-2); Sedang (3-5); Tinggi (6-8)

g.Kesiapan mental (5)

Ordinal Rendah (0-1); Sedang (2-3); Tinggi (4-5)

3 Tugas Dasar (7) Ordinal Rendah (0-2); Sedang (3-4); Tinggi (5-6) 4 Tugas Krisis

a. Tugas Krisis Anak Prasekolah (10)

Ordinal Rendah (0-3); Sedang (4-6); Tinggi (7-10)

b. Tugas Krisis Hubungan Suami istri (3)

Ordinal Rendah (0-1); Sedang (2); Tinggi (3)

c. Tugas Krisi Kesiapan Memasuki usia Sekolah (2)

Ordinal Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2)

Data yang telah diskoring kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data juga dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Uji statistik yang digunakan adalah:

a. Uji korelasi Pearson untuk melihat hubungan kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis.

b. Uji beda t-test untuk menganalisis perbedaan kesiapan menikah suami dan istri

c. Uji regresi linear berganda untuk melihat pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis. Pengaruh kesiapan menikah dan tugas dasar tidak dilakukan dalam penelitian ini karena pemenuhan tugas dasar yang seragam sehingga tidak terlihat adanya pengaruh antara kesiapan menikah suami dan istri dengan pemenuhan tugas dasar. Model regresi kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis dapat didefinisikan dalam persamaan sebagai berikut:

Pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis

(23)

Keterangan :

Y = Pemenuhan tugas dasar X11 = Kesiapan intelektual suami X12 = Kesiapan emosi suami X13 = Kesiapan sosial suami X14 = Kesiapan moral suami X15 = Kesiapan individu suami X16 = Kesiapan finansial suami X17 = Kesiapan mental suami X21 = Kesiapan intelektual istri X22 = Kesiapan emosi istri X23 = Kesiapan sosial istri X24 = Kesiapan moral istri X25 = Kesiapan individu istri X26 = Kesiapan finansial istri X27 = Kesiapan mental istri e = Galat

Definisi Operasional

Keluarga adalah sekumpulan orang yang terdiri atas suami, istri, dan anak yang dipersatukan oleh pernikahan, hubungan darah atau adopsi

Besar keluarga adalah jumlah orang yang berada dalam suatu tumah tangga yang terdiri atas ayah/suami, ibu/istri, anak, dan lainnya yang terikat pernikahan atau adopsi

Pendapatan per kapita adalah jumlah uang per bulan yang diterima ayah atau ibu yang bekerja dan kemudian dibagi setiap anggota keluarga

Pendidikan adalah lamanya seseorang menempuh jalur formal untuk mendapatkan pengetahuan atau ilmu

Lama Pernikahan adalah lamanya suami istri membentuk sebuah rumah tanngga Keluarga Prasekolah adalah suami dan istri yang memiliki anak pertama usia

tiga sampai lima tahun.

(24)

Kesiapan Emosi adalah potensi diri untuk merasakan, menggunakan, mengkomunikasikan, mengendalikan, mendidentifikasi apa yang dirasakan dalam dirinya.

Kesiapan Sosial adalah kemampuan untuk bergaul atau berhubungan dengan orangtua maupun orang lain di sekitarnya.

Kesiapan Moral adalah kemampuan seseorang dalam membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang benar dan salah yang menjadi nilai absolut dalam diri manusia

Kesiapan Intelektual adalah kemampuan daya tangkap, daya pikir, dan daya ingat serta memecahkan masalah

Tugas Dasar adalah peubah yang harus dipenuhi oleh keluarga yang menjadi awal pemenuhan tahapan selanjutnya.

(25)
(26)

HASIL PENELITIAN

Gambaran umum lokasi penelitian

Desa Bubulak, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat menjadi pilihan sebagai lokasi penelitian karena diantara seluruh Kecamatan Bogor Barat, Keluarhan Bubulak menjadi satu-satunya kelurahan yang belum berkembangan dengan jumlah masyarakan menengah ke bawah yang lebih banyak. Berdasarkan data monografi desa, luas kelurahan adalah 157,085 Ha. Luas daerah ini diperuntukkan untuk beberapa hal seperti jalan, sawah, ladang, bangunan umum, pemukiman, jalur hijau, pekuburan, dan lai-lain. Sebanyak 68,265 Ha digunakan sebagai ladang dan 47,2 Ha dijadikan perumahan. Desa Bubulak berada dalam dataran rendah dengan ketinggian 160 meter dari permukaan laut. Batas sebelah utara Keluarahan Bubulak adalah Kelurahan Semplak, sedangkan batas selatannya adalah Kelurahan Margajaya. Batas sebelah barat adalah Keluarhan Situgede dan batas timurnya adalah Kelurahan Sindangbarang. Jarak Kelurahan Bubulak ke pusat pemerintahan kecmatan sejauh 6 km, sedangkan ke pemerintahan pusat kota sejauh 9 km. Desa Bubulak memiliki 13 RW dengan jumlah kepala keluarga per tahun 2010 sebanyak 3437 kepala keluarga dengan jumlah laki-laki sebanyak 6280 orang dan perempuan 6194 orang. Untuk penduduk musiman, terdapat 137 kepala keluarga yang tercatat di Desa Bubulak1.

Karakteristik keluarga Besar keluarga

BKKBN menyebutkan bahwa keluarga dengan anggota tiga sampai empat orang termasuk dalam kategori keluarga kecil. Hampir seluruh contoh (98,8%) memiliki besar keluarga kecil (Tabel 3). Satu contoh lainnya anggota keluarga sebanyak lima orang. Rata-rata besar keluarga contoh adalah sebesar 3,21 orang atau tiga orang dengan standar deviasi sebesar 0,437.

1

(27)

Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga Jumlah Persentase

Kecil (3-4 orang) 89 98,8

Sedang (5-7 orang) 1 1,1

Besar (≥ 8 orang) 0 0

Total 90 100

Keterangan:

Nilai minimum-maksimum : 3-5 Rata-rata±sd besar keluarga contoh : 3,21±0,437

Lama menikah contoh

Gambar 4 menunjukkan bahwa hampir setengah contoh (48,9%) menikah selama lima tahun. Satu contoh menikah selama tiga tahun dan terdapat dua contoh yang sudah menikah selama 10 tahun. Lama menikah contoh berada dalam rentang tiga sampai sepuluh tahun. Rata-rata lama menikah contoh adalah 5,13 tahun dengan standar deviasi sebesar 1,144.

Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan lama menikah Usia suami dan istri saat ini

Hurlock (1980) membagi usia dewasa kedalam tiga kategori, yaitu dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa akhir ( >60 tahun). Terlihat dari Tabel 4 bahwa hampir seluruh suami dan istri (94,4% dan 98,9%) berada dalam rentang usia dewasa muda dengan rentang usia 22 sampai 47 tahun. Rata-rata umur suami saat ini adalah 32,94 tahun, sedangkan umur istri saat ini adalah 28,08 tahun. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara usia suami dan istri dengan nilai p value sebear 0,000.

1,1 24,4

48,9

20

2,2 1,1 2

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 lama menikah per se nt as e (% ) (tahun)

(28)

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia saat ini

Kategori Suami Istri Total

Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Dewasa muda (18-40) 85 94,4 89 98,9 174 96,7

Dewasa madya (40-60) 5 5,6 1 1,1 6 3,3

Total 90 100 90 100 180 100

Keterangan:

Nilai minimum-maksimum umur suami dan istri saat ini : 22-47 Rata-rata±sd umur suami dan istri saat ini : 30,5±4,8

P value : 0,000

Usia menikah suami dan istri

Blood (1962) menyatakan bahwa umur merupakan indikator seseorang sudah matang dan dewasa. Kematangan seseorang yang akan menikah diperlukan untuk membentuk komitmen dalam pernikahan. Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa seseorang diperbolehkan menikah pada usia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Berdasarkan undang-undang tersebut, terlihat dalam penelitian ini bahwa seluruh laki-laki menikah lebih dari umur 19 tahun dan hanya terdapat satu perempuan (1,1%) yang menikah saat umur 16 tahun (Tabel 5). Perbedaan yang sangat signifikan terdapat antara umur menikah suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0,000.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan umur menikah

Kategori Jumlah Persentase Total

Jumlah Persentas Suami

≤19 tahun 0 0 0 0

>19 tahun 90 100 90 100

Istri

≤16 tahun 1 1,1 1 1,1

>16 tahun 89 98,9 89 98,9

Keterangan :

Nilai minum-maksimum umur menikah suami : 20-39 Rata-rata±sd umur menikah suami : 27,8±4,2 Nilai minum-maksimum umur menikah istri : 16-36 Rata-rata±sd umur menikah suami : 22,9±3,7

P value : 0,000**

Pekerjaan suami dan istri

(29)

Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan Lama pendidikan suami dan istri

Pendidikan merupakan jalan untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Pendidikan akan memberikan wawasan, pengetahuan, dan membentuk perilaku yang baik2. Pemerintah mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan minimal sembilan tahun menurut Undang-undang No. 47 tahun 2008. Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh suami menempuh sekolah formal kurang dari sembilan tahun dengan nilai rata-ata dan standar deviasi sebesar 9,7 dan 2,8. Sama halnya dengan suami, istri juga menempuh pendidikan formal kurang dari sembilan tahun sebanyak 65,6 persen. Rata-rata istri menempuh pendidikan selama 8,84 tahun dengan nilai standar deviasi sebesar 3,1. Terdapat perbedaan pendidikan yang signifikan antara suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0,049.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan

Pendidikan Suami Istri Total

Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase

≤ 9 tahun 48 53,3 59 65,6 107 59,4

> 9 tahun 42 46,7 31 34,4 73 40,6

Total 90 100 90 100 180 100

Keterangan:

Nilai minimal-maksimal lama pendidikan suami dan istri : 0-16 Rata-rata±sd lama pendidikan suami dan istri : 9,3±3,1

P value : 0,049

1,1 2,2

31,1 3,3 25,6 3,3 41,1 2,2

1,1 0 1,1

87,8 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Suami Istri

per se nt as e (% )

PNS Karyawan

Wiraswasta Buruh

Kyai/guru agama/ustadz Tidak bekerja/IRT

2

(30)

Pendapatan per kapita

Garis kemiskinan wilayah perkotaan di Provinsi Jawa Barat menurut BPS tahun 2010 adalah Rp212 210. Berdasarkan hal tersebut, Tabel 7 menunjukkan bahwa 86,7 persen contoh memiliki pendapatan per kapita di atas garis kemiskinan wilayah perkotaan di Provinsi Jawa Barat menurut BPS 2010.

Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan garis kemiskinan BPS

Garis Kemiskinan BPS 2010 Jumlah Persentase

< Rp 212.210 12 13,3

≥ Rp 212.210 78 86,7

Total 90 100

Rata-rata±sd 482.000 ± 357.654

Min-max 70.000-1.666.667

Keterangan:

Nilai minimal-maksimal pendapatan per kapita contoh : Rp70.000-1.666.667 Rata-rata±sd pendapatan per kapita contoh : Rp482.000±357.654

Kesiapan Menikah

Kesiapan menikah diartikan oleh Duvall (1971) sebagai laki-laki dan perempuan yang telah menyelesaikan tugas perkembangan remajanya dan telah siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan, dan pribadi siap untuk bertanggung jawab dan menikah. Untuk itu peneliti mengukur kesiapan menikah dari beberapa dimensi, yaitu kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, finanasial, dan mental.

Kesiapan Intelektual

(31)

menggemparkan dunia hingga selesai. Bagi suami, tidak perlu mengikuti berita sampai selesai karena bagi mereka mengetahui berita terbaru saja sudah cukup.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan intelektual

Hasil penelitian yang dilakukan Dopplet dan Wallace (1955) dalam Papalia dan Olds (1986) menunjukkan bahwa kesiapan intelektual dewasa muda akan meningkat pada usia 20-an dan akan menurun setelahnya. Kemampuan ini akan berubah seiring jalannya waktu dan berhubungan dengan aspek motorik dan emosi. Hasil penelitian ini menunjukkan kesiapan intelektual suami lebih tinggi daripada istri dan ada perbedaan yang nyata antara kecerdasa intelektual suami dan istri. Sebuah penelitian yang dilakukan Furnham dan Bunclark (2006) dan Furnham dan Petrides (2004) dalam Sanchez et.al (2008) menyebutkan bahwa laki-laki memiliki nilai kesiapan intelektual yang lebih baik daripada perempuan. Pencapaian kesiapan intelektual suami yang tinggi dapat terlihat dari pendidikan suami yang juga lebih tinggi daripada istri. Pendidikan akan memberikan akses bagi keluarga untuk melakukan salah satu syarat minimal untuk menikah yang disebutkan oleh Burgess dan Locke (1960), yaitu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Semakin tinggi pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan akan semakin tinggi juga (Duvall 1971).

Pemenuhan suami (32,2%) maupun istri (44,4%) mengenai keikutsertaannya dalam perkumpulan seni sebagai upaya untuk melestarikan budaya masih rendah. Dilihat dari rata-ratanya, suami dapat memenuhi kesiapan intelektual lebih baik daripada istri. Perbedaan yang signifikan terdapat pada

No Pernyataan Suami (%) Istri (%)

1

Saat saya menemukan hal yang baru, saya memiliki rasa keingintahuan yang tinggi untuk mendalami hal tersebut

91,1 81,1

2 Saya mengikuti perkumpulan budaya sebagai

upaya untuk melestarikan budaya 44,4 32,2

3 Saya mencari berita untuk mendapatkan berita

terbaru (melalui surat kabar, televisi, internet) 94,4 85,6

4 Saya suka membaca buku mengenai ilmu

pengetahuan 80 71,1

5

Saat ada peristiwa yang menggemparkan dunia, saya akan mengikuti kejadian tersebut hingga selesai

84,4 94,4

6 Saya menyukai perkembangan dunia politik 54,4 41,1

(32)

kesiapan intelektual keduanya dengan nilai p-value sebesar 0,020. Secara keselurahan, lebih dari separuh suami berada dalam memiliki kesiapan intelektual yang tinggi dan mayoritas istri berada dalam kategori sedang (Tabel 9).

Tabel 9 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan intelektual contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n %

Rendah (0-33.3%) 6 6.7 8 8.9 14 7.8

Sedang (33.4-66.7%) 34 37.8 47 52.2 81 45

Tinggi (66.8-100%) 50 55.6 35 38.9 85 47.2

Total 90 100 90 100 180 100

Kesiapan Emosi

Kesiapan emosi diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengontrol, mengendalikan, dan mengevaluasi emosi. Papalia dan Olds (1986) mendefinisikan kesiapan emosi adalah kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan dunia, orang lain, dan perasaan. Kesiapan emosi dinilai Blood (1962) sebagai konsep penting dalam kesiapan menikah karena konsep ini sebagai tanda bahwa seseorang telah masuk pada masa dewasa. Hampir seluruh suami (98,9%) dan istri (95,6%) dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan sebanyak 93,3 persen suami dan istri mendapatkan dukungan dari keluarga disegala aktivitas saat sebelum menikah (Tabel 10). Terdapat satu istri yang merokok, baik dalam aktivitas sehari-harinya maupun saat sedang stres.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan emosi 1 Saat saya dikhianati oleh pasangan, saya akan merasa

kecewa 81,1 57,8

2 Saya tidak menggerutu saat marah 33,3 24,4

3 Apabila pasangan saya diganggu oleh orang lain, saya tidak

akan menghampiri 44,4 90

4 Saya tidak merokok saat stres 28,9 98,9

5 Saya mendapat dukungan dari keluarga disegala aktivitas

saya 93,3 93,3

6 Saya dapat menyelesaikan pekerjaan saya tepat waktu 98,9 95,6 7 Jika ada teman yang mengganggu pekerjaan saya, maka saya

akan menyuruhnya pergi dengan baik-baik 57,8 52,2 8 Saya tidak pernah melempar barang dan berteriak jika saya

merasa kesal dengan beban pekerjaan 68,9 23,3

9 Saat saya berbeda persepsi dengan teman saya, maka saya

segera menyamakan persepsi kami 58,9 42,2

10 Saya ikut sedih ketika mendengarkan cerita sedih teman saya 73,3 81,1

Rataan (%) 63,9 71,2

Tabel 10 terlihat bahwa suami dapat memenuhi pernyataan kesiapan emosi rata-rata enam pernyataan (63,9%), sedangkan istri rata-rata tujuh pernyataan

[image:32.595.104.515.83.807.2] [image:32.595.100.516.486.732.2]
(33)

(71,2%). Pernyataan yang pemenuhannya masih rendah oleh suami adalah merokok saat sedang setres maupun dalam aktivitas sehari-hari karena suami yang tidak merokok hanya tiga dari sepuluh orang (28,9%). Untuk istri, pernyataan yang pemenuhannya masih rendah adalah tidak melempar barang saat sedang marah. Sebanyak 76,7 persen istri yang melempar barang saat marah. Terlihat pada penelitian ini bahwa kesiapan emosi istri lebih baik daripada suami dan ada perbedaan yang signifikan antara kesiapan emosi suami dan istri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Awasthi dan Katyal (2005) menghasilkan kesiapan emosi wanita lebih baik daripada laki-laki. Penemuan ini diduga karena kesiapan emosi berhubungan dengan menjaga dan mengekspresikan emosi yang terlihat dari kemampuan empatinya, tanggung jawab sosialnya, dan hubungan interpersonalnya. Selain kemampuannya untuk menjaga emosi dan hubungan personalnya, kesiapan emosi dipengaruhi oleh lingkungan masyarakatnya dan kepribadiannya. Perempuan lebih sensitif dalam mengekspresikan emosinya terhadap orangtua, kerabat, dan peer group sehingga saat seorang perempuan lebih menjaga emosi dan hubungan personalnya daripada laki-laki, maka kesiapan emosinya pun baik.

Lebih dari tiga perempat istri memiliki kesiapan emosi dalam kategori tinggi dan lebih dari separuh suami berada dalam kategori sedang (Tabel 11). Kesiapan emosi suami dan istri berbeda dengan nilai p-value seesar 0,000.

Tabel 11 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan emosi contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n %

Rendah (0-33.3%) 0 0 1 1,1 1 0,5

Sedang (33.4-66.7%) 49 54,4 21 23,3 70 38,9

Tinggi (66.8-100%) 41 45,6 68 75,6 109 60,6

Total 90 100 90 100 180 100

Kesiapan Sosial

(34)

sedangkan untuk perempuan adalah16 tahun. Namun, umur tersebut terlalu dini untuk melangsungkan pernikahan, menurut BKKBN. Hampir 90 persen istri akan menyapa terlebih dahulu tetangga baru yang ada di lingkungan rumahnya saat sebelum menikah. Kesiapan sosial suami dan istri berbeda dengan nilai p value sebesar 0,038. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa kesiapan sosial suami lebih baik daripada istri dan terdapat perbedaan yang nyata antara kesiapan sosial suami dan istri. Pernyataan yang masih rendah pemenuhannya adalah menilai seseorang saat pertama kali bertemu. Menurut Carli (2001) kesiapan sosial itu ditentukan oleh beberapa hal, yaitu jumlah laki-laki dan perempuan dalam satu grup yang sedang berinteraksi, cara berkomunikasi, dan isi pembicaraan (hal yang mengandung unsur feminin atau maskulin). Papalia, Olds, dan Feldman (2008) menyebutkan bahwa laki-laki lebih menyukai pembicaraan mengenai olahraga dan permainan yang kompetitif, sedangkan perempuan lebih suka menceritakan pengalamnnya.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan sosial

1 Saya sudah cukup umur untuk menikah 90 85,6

2 Ketika saya sedang bermasalah dengan pasangan, saya cepat dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebur

40 47,8

3 Saya cepat beradaptasi dengan lingkungan baru 40 21,1 4 Saya akan menyapa duluan saat ada tetangga baru 86,7 88,9 5 Saya akan mengenyampingkan kepentingan saya

untuk mencapai kepentingan bersama 84,4 67,8

6 Saya tidak pernah melarang teman saya untuk

berteman dengan orang lain 88,9 80

7 Saya tidak langsung menilai seseorang dari

penampilan 38,9 41,1

Rataan (%) 66,9 61,7

Berdasarkan kelas interval, kesiapan sosial dibagi ke dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Mayoritas suami (60%) memiliki untuk kesiapan sosial dalam kategori tinggi, sedangkan lebih dari separuh istri (54,4%) memiliki kesiapan sosial dalam kategori sedang.

Tabel 13 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan sosial contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n %

Rendah (0-33.3%) 1 1,1 4 4,4 5 2,8

Sedang (33.4-66.7%) 35 38,9 49 54,4 85 47,2

Tinggi (66.8-100%) 54 60 37 41,1 90 50

Total 90 100 90 100 180 100

(35)

Kesiapan Moral

Kesiapan moral diartikan sebagai kemampuan seseorang menilai apakah sesuatu itu baik atau buruk. Masa dewasa muda memiliki tahap perkembangan moral yang paling tinggi, yaitu post conventional menurut Kohlberg. Tahap ini dibagi dua, yaitu social contract dan universal ethical principles. Social contract adalah moral yang ditentukan oleh hak-hak manusia, sedangkan universal ethical principles adalah moral yang diasumsiakn adanya prinsip universal dan nurani sebagai pedoman kebajikan. Papalia dam Olds (1986) menyebutkan bahwa perkembangan moral dewasa muda berfungsi sebagai fungsi pribadi, sosialisasi, dan pengalaman moral. Hampir seluruh contoh, baik suami (96.7%) dan istri (94.4%), akan menolong orang yang tidak disukainya. Sebanyak 94,4 persen istri akan ikut mencela orang lain walaupun hanya bercanda dan 24,4 persen istri pernah melakukan bullying terhadap juniornya baik secara verbal maupun non verbal (Tabel 14).

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan moral

No Pernyataan Suami (%) Istri (%)

1 Saya selalu menolong orang lain meskipun orang

tersebut tidak menyukai saya 96,7 94,4

2 Saat ada orang yang dicela, saya tidak ikut mencela 37,8 5,6 3 Saya selalu memikirkan perasaan orang lain 41,1 37,8

4 Saya pernah menyontek saat ujian 65,6 60

5 Saya selalu berkata jujur kepada semua orang 93,3 93,3 6 Saya dapat menyembunyikan perasaan saya saat

senang maupun sedih 32,2 36,7

7 Saat teman saya terlibat dalam suatu masalah yang saya ketahui, saya akan menceritakan masalah tersebut sejauh pengetahuan saya

46,7 53,3

8 Saya tidak pernah mengambil barang orang 65,6 68,9 9 Saya tidak pernah menggunakan barang orang tanpa

izin 62,2 65,6

10 Saya tidak pernah melakukan bullying terhadap

junior saya 55,6 75,6

11 Saya tidak pernah membeberkan rahasia teman saya 56,7 45,6

Rataan (%) 59,4 57,9

[image:35.595.80.486.211.801.2]
(36)

perbedaan dengan nilai p value sebesar 0,464. Peneltian yang dilakukan oleh Walker (1984) mendukung penelitian ini yang menunjukkan bahwa perkembangan moral baik laki-laki maupun perempuan tidak berbeda (Papalia dan Olds 1986). Gilligan (1977) menemukan bahwa moral perempuan lebih baik pada perhatian atau kepekaannya kepada lingkungan, sedangkan laki-laki lebih lebih baik pada moral justice (Podolskiy 2008). Berdasarkan kategori, lebih dari separuh suami (64,4%) dan lebih dari tiga perempat istri (76,7%) berada pada kategori sedang (Tabel 15).

Tabel 15 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan moral contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n %

Rendah (0-33.3%) 4 4,4 1 1,1 5 2,7

Sedang (33.4-66.7%) 58 64,4 69 76,7 127 70,6

Tinggi (66.8-100%) 28 31,2 20 22,2 48 26,7

Total 90 100 90 100 180 100

Kesiapan Individu

Blood (1962) menjelaskan bahwa kebanyakan orang belajar menjadi istri dan suami secara otomatis. Dalam proses pendewasaannya mereka belajar untuk menjadi suami dari ayahnya dan menjadi istri dari ibunya. Apabila orangtua mereka berhasil memberikan contoh yang baik untuk anak-anaknya, maka keberhasilan rumah tangga anaknya dapat terjamin. Salah satu yang perlu disiapkan untuk menikah adalah siap untuk mengasuh anak. Lebih dari separuh ibu sudah mengerti cara mengasuh anak karena latar belakangnya yang pernah mengasuh adik, tetangga, ataupun pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga (Tabel 16). Namun sisanya mengandalkan pengalaman masa lalunya saat diasuh oleh orangtua mereka. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menjelaskan bahwa banyak orangtua yang tidak menyiapkan diri untuk mendidik atau mengasuh anaknya dan mengandalkan pengalaman masa lalunya sehingga mereka menggunakan anak mereka sebagai “kelinci percobaan”.

(37)

Sebelum menikah, hampir seluruh istri melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini mungkin dikarenakan wanita yang sering pekerjaan domestik dibandingkan publik. Hampir seperlima istri (17,8%) istri yang secara aktif mencari pengetahuan reproduksi, kehamilan, dan kelahiran sebelum menikah. Hal yang sama terjadi dengan suami yang hanya 38,9 persen yang memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum menikah (Tabel 16).

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan individu

1 Sebagai satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga

besar 33,3 5,6

2 Pasangan yang sudah dipilih merupakan pasangan

yang seperti diharapkan 72,2 61,1

3 Sudah memiliki waktu yang cukup untuk mengenal

pasangan 83,3 63,3

4 Memiliki pengetahuan tentang berkeluarga (peran, fungsi, dan tugas setiap anggota keluarga dalam keluarga)

87,8 85,6

5 Memiliki pengetahuan mengenai cara menstimulasi

anak dengan benar 64,4 67,8

6 Memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak 68,9 61,1 7 Anda akan mengurangi kesenangan pribadi setelah

menikah 78,9 71,1

8 Membiasakan diri untuk melakukan pekerjaan

rumah tangga 75,6 95,6

9 Anda memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum menikah (Bapak)

Anda memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, kehamilan, dan kelahiran (Ibu)

38,9 17,8

10 Sebelum menikah, pasangan telah membicarakan

mengenai jumlah anak yang diinginkan 52,2 52,2

11 Sebelum menikah Anda telah hidup mandiri

(terpisah dari orangtua) 54,4 23,3

12 Anda memiliki keyakinan akan mendapatkan pekerjaan yang layak karena keterampilan yang dimiliki

63,3 30

Rataan (%) 64,4 52,9

Istri dapat memenuhi rata-rata 52,9 persen pernyataan atau setara rata-rata delapan pernyataan dan suami dapat memenuhi rata-rata enam pernyataan dari 12 pernyataan yang diajukan mengenai kesiapan individu. Pernyataan yang pemenuhannya masih rendah adalah memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum menikah. Perbedaan yang signifikan ada diantara kesiapan individu suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0.000. Berdasarkan kategori, hampir separuh suami (44,4%) berada pada kategori sedang dan tinggi, sedangkan hampr tiga per empat istri (72,2%) berada pada kategori sedang (Tabel 17). Secara keseluruhan,

[image:37.595.71.490.231.683.2]
(38)

Tabel 17 menunjukkan bahwa kesiapan individu dari seluruh contoh berada pada kategori sedang (58,3%).

Tabel 17 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan individu contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n %

Rendah (0-33.3%) 10 1,2 18 20 28 15,6

Sedang (33.4-66.7%) 40 44,4 65 72,2 105 58,3

Tinggi (66.8-100%) 40 44,4 7 7,8 47 26,1

Total 90 100 90 100 180 100

Kesiapan Finansial

(39)

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan finansial

1 Sebelum menikah Anda memiliki pekerjaan tetap 84,4 76,7 2 Sebelum menikah Anda sudah memiliki rumah

sendiri 7,8 1,1

3 Sebelum menikah Anda memiliki tabungan 72,2 42,2

4 Sebelum menikah Anda memiliki investasi emas

atau perhiasan 20 64,4

5 Sebelum menikah Anda sudah memiliki kendaraan

sendiri 35,6 8,9

6 Memiliki pengetahuan cara mengelola keuangan

(dari buku, internet, televisi) 55,6 70

7 Memiliki jejaring yang banyak 52,2 74,4

8 Memiliki pendapatan sampingan 50 16,7

Rataan (%) 47,2 44,3

Hasil nilai rataan pada Tabel 18 menunjukkan bahwa suami dan istri dapat memenuhi pernyataan kesiapan finansial rata-rata hampir setengah dari pernyataan (47,2% dan 44,3%). Pernyataan yang masih sedikit dapat dipenuhi oleh suami dan istri adalah kepemilikan rumah. Hanya hampir sepersepuluh suami dan 1,1% istri yang menyiapkan rumah sebagai tempat tinggal setelah menikah. Sisanya masih menumpang di rumah orangtua dan mengontrak. Tidak ada perbedaan kesiapan finansial antara suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0.384. Kategori skor pada Tabel 19 menunjukkan bahwa suami dan istri berada dalam kategori sedang (57,8% dan 60%).

Tabel 19 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan finansial contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n %

Rendah (0-33.3%) 24 26,7 28 31,1 52 28,9

Sedang (33.4-66.7%) 52 57,8 54 60 106 58,9

Tinggi (66.8-100%) 14 15,5 8 8,9 22 12,2

Total 90 100 90 100 180 100

Kesiapan Mental

Kesiapan mental perlu dipersiapkan karena menurut Gunarsa dan Gunarsa (2002), dalam kehidupan berumah tangga tentunya sering menemukan ketidakcocokan antara apa yang disukai dan apa yang tidak disukai oleh pasangan. Maka dari itu, setiap pasangan suami istri harus menjadi tim yang kuat dalam menanggulangi perbedaan tersebut sehingga tidak membawa pada perpisahan. Sebelum menikah terdapat syarat yang sebaiknya diajukan sendiri maupun kesepakatan bersama karena akan berdampak pada kesiapan mental pasangan yang akan menikah. Menurut Napolitano, Furstenberg, dan Kefalas (2005)

(40)

kesiapan mental dalam pernikahan termasuk dalam menerima aturan-aturan dalam hubungan pernikahan dan melakukan perjanjian sebagai suami dan istri yang dibuat saat pernikahan. Chairy (2006) mengatakan bahwa kesiapan mental adalah hal yang pertama kali harus disiapkan oleh pasangan yang akan menikah. Pernyataan yang sudah dapat dipenuhi dengan baik oleh suami maupun istri yaitu siap apabila pendapatan keluarga tidak hanya untuk keluarganya saja. Penelitian menunjukkan bahwa istri lebih tidak siap apabila hidup dalam keterbatasan daripada suami. Sebanyak 67,8 persen istri siap untuk hidup terbatas dibandingkan suami yang lebih dari empat perlimanya (82,2%) siap jika harus hidup dalam keterbatasan.

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan mentalnya

1 Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri

untuk hidup dalam keterbatasan setelah menikah 82,2 67,8 2 Sebelum menikah, Anda telah memikirkan

bagaimana cara membagi penghasilan yang didapatkannya untuk dirinya, keluarganya, juga untuk keluarga besar

94,4 90

3 Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri untuk kemungkinan hubungan yang kurang baik dengan mertua (misalnya mendapatkan sindiran)

61,1 60

4 Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri jika pasangan melakukan perilaku yang sesuai selama pernikahan

67,8 53,3

5 Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri jika

memiliki anak tidak seperti yang diharapkan 62,2 67,8

Rataan (%) 73,6 67,8

Suami dapat memenuhi pernyataan rata-rata hampir tiga perempatnya (73,6%) dari lima pernyataan yang diajukan mengenai kesiapan mental. Pernyataan yang belum dapat dipenuhi oleh suami dengan baik adalah ketidaksiapan hubungan dengan mertua. Istri sudah dapat memenuhi rata-rata lebih dari setengah pernyataan (67,8%). Pernyataan yang belum dapat memenuhi oleh istri dengan baik adalah ketidaksiapannya atas perilaku pasangan yang tidak diharapkan. Dilihat dari kategori skor, lebih dari separuh contoh (55%) berada dalam kategori tinggi untuk kesiapan mentalnya. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kesiapan mental suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0,150.

[image:40.595.98.516.204.805.2]
(41)
[image:41.595.49.479.43.656.2]

Tabel 21 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan mental contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n %

Rendah (0-33.3%) 3 1,7 9 10 12 6,7

Sedang (33.4-66.7%) 34 18,9 35 38,9 69 38,3

Tinggi (66.8-100%) 53 29,4 46 51,1 99 55

Total 90 100 90 100 180 100

Secara keseluruhan, kesiapan menikah suami lebih baik daripada istri. Suami dapat memenuhi rata-rata 63,2 persen dari 59 pernyataan kesiapan menikah, sedangkan istri memenuhi rata-rata 59,6 persen pernyataan kesiapan menikah. Hanya dalam kategori kesiapan emosi saja istri memiliki tingkat kesiapan yang lebih baik daripada suami. Sebagian besar suami maupun istri memiliki kesiapan menikah dalam kategori sedang. Perbedaan yang signifikan antara suami dan istri ditunjukkan dengan nilai p value sebesar 0,008.

Gambar 6 Sebaran contoh berdasarkan kesiapan menikahnya Tugas Dasar

Tugas dasar merupakan bagian-bagian yang harus dipenuhi oleh keluarga mapun individu sebelum memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya (Maslow 1970). Menurut BKKBN, kebutuhan dasar yang harus dipenuhi keluarga antara lain kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Berikut adalah tabel pemenuhan tugas dasar keluarga di lokasi penelitian.

63,2

59,6

kesiapan menikah

per

se

nt

as

e

(%

)

(42)

Tabel 22 Sebaran keluarga berdasarkan pemenuhan tugas dasarnya

No Pernyataan Pemenuhan (%)

1 Memiliki ketersediaan makanan 100

2 Anggota keluarga makan minimal dua kali sehari 100

3 Memilliki rumah yang permanen 100

4 Memiliki atap dan dinding yang kokoh 95,6

5 Memiliki pakaian yang berbeda untuk setiap kegiatan 91,1 6 Pergi ke dokter/klinik/bidan saat ada anggota keluarga

yang sakit

98,9

7 Melakukan KB di rumah sakit/klinik/bidan 87,8

Rataan (%) 96,2

Tabel 22 memperlihatkan bahwa seluruh keluarga menyediakan makanan untuk makan sehari-hari dan tidak ada anggota keluarga yang makan kurang dari dua kali. Seluruh keluarga juga menempati rumah permanen, baik masih mengontrak, rumah sendiri, maupun masih tinggal dengan orangtua atau mertua. Hampir seluruh contoh membawa anggota keluarga yang sedang sakit ke dokter, klinik, maupun bidan terdekat. Namun ada satu keluarga yang masih menggunakan obat tradisional.

Seluruh keluarga di lokasi penelitian rata-rata hampir memenuhi seluruh pernyataan mengenai tugas dasar keluarga. Dari tujuh pernyataan mengenai pemenuhan tugas dasar, terdapat tiga peryataan yang dapat dipenuhi dengan sempurna oleh keluarga, yaitu ketersediaan makanan, makan lebih dari dua kali sehari, dan memiliki rumah permanen. Terdapat empat keluarga yang atap rumahnya masih terbuat dari anyaman bambu ataupun asbes, bahkan masih ada yang tidak memiliki loteng, lantainya masih dari tanah, dan dindingnya hanya tersusun dari batako putih yang rapuh (belum diplester). Hampir seluruh keluarga (91,1%) memiliki baju yang berbeda untuk setiap kegiatan dan sisanya tidak memiliki baju untuk acara yang berbeda. Delapan keluarga hanya membeli baju setahun sekali, saat lebaran. Sebanyak 87,8 persen ibu melakukan KB, sisanya tidak melakukan karena penyakit (kista dan miom), tidak cocok, dan keyakinan bahwa KB dapat menghambat rezeki untuk mendapatkan anak.

Tugas Krisis

(43)
[image:43.595.58.481.131.421.2]

dan kesiapan sekolah anak. Berikut adalah tabel item pernyataan tugas krisis keluarga prasekolah di lokasi penelitian.

Tabel 23 Sebaran keluarga berdasarkan pemenuhan tugas krisisnya

No Pernyataan Pemenuhan (%)

Tugas krisis anak

1 Tidak mengabaikan anak karena bicaranya yang belum jelas 11,1

2 Tidak menyalahkan anak saat terjatuh 24,4

3 Tidak membiarkan anak di depan televisi 36,7

4 Tidak membiarkan anak menangis 56,7

5 Melakukan sebagian besar pengasuhan sendiri 41,1

6 Mendapatkan dukungan pengasuhan 80

7 Membaca buku tentang pengasuhan 37,8

8 Tidak membiarkan anak gemuk 13,3

9 Tidak membiarkan anak buang air sembarangan 51,1 10 Mengatur keadaan rumah yang layak untuk perkembangan

anak 25,5

Tugas krisis hubungan suami dan istri

11 Memiliki privasi untuk menjaga hubungan dengan pasangan 26,7 12 Memiliki waktu untuk melakukan pengasuhan dan

pekerjaan rumah (khusus ayah)

80

13 Memiliki waktu untuk merawat diri 27,8

Tugas krisis kesiapan sekolah anak

14 Memiliki biaya untuk sekolah anak 74,4

15 Memiliki kesempatan untuk menstimulasi anak 67,8

Rataan (%) 43,6

Sebanyak 88,9 persen ibu masih sering mengabaikan anak karena bicaranya yang belum jelas. Namun, saat menangis lebih dari setengah ibu tidak membiarkan anaknya. Sebanyak duapuluh persen ibu tidak mendapatkan dukungan untuk mengasuk karena tinggalnya yang berjauhan atau tidak ingin merepotkan orangtua sehingga setengah ibu memilih untuk meminta bantuan baby sitter maupun saudara kandungnya. Sisanya melakukan pengasuhan sendiri (Tabel 23).

(44)

dari 20 persen ayah yang tidak memiliki waktu untuk mengurus anaknya karena kelelahan bekerja atau menyerahkan pekerjaan rumah tangga kepada istrinya.

Usia prasekolah merupakan usia persiapan untuk masuk ke sekolah formal. Terdapat 37,8 persen anak yang belum sekolah karena beberapa alsan, salah satunya belum cukup umur untuk masuk PAUD. Namun, umur bukan alasan anak tidak sekolah. Sebelum masuk PAUD, ibu memasukkan anaknya ke TPA sebagai persiapan masuk PAUD. Hampir sama dengan PAUD, di TPA anak mulai mengenal angka, warna, dan ditambah dengan membaca iqra’. Terdapat 30 persen anak yang mengikuti TPA, sedangkan terdapat 31,1 persen anak yang sudah masuk PAUD, dan hanya satu anak yang sudah masuk TK. Tentunya kerjasama antara sekolah dan keluarga diperlukan agar anak benar-benar siap masuk ke sekolah dasar. Namun hanya terdapat 32,2 persen ibu yang menstimulasi anak agar siap untuk sekolah. Ibu yang tidak sempat menstimulasi anak memiliki alasan seperti sibuk bekerja, anaknya yang tidak mau mengulangi pelajaran di PAUD/TPA/TK, memiliki adik yang masih bayi atau usia balita, dan sedang hamil sehingga lebih terkonsentrasi dengan kehamilannya. Secara umum, tugas krisis keluarga dalam lokasi penelitian ini dalam kategori sedang. Dari 15 pertanyaan tersebut, keluarga dapat memenuhi rata-rata 43,6 persen pernyataan atau rata-rata enam pernyataan mengenai tugas krisis.

(45)

Krisis terjadi ketika stressor mulai mengganggu kestabilan keluarga. Kemampuan keluarga dalam menghadapi stressor tergantung dari sumberdaya keluarga. Besarnya stressor dan tahap perkembangan keluarga akan mempengaruhi kelentingan keluarga yang kemudian rentan atau tidaknya keluarga ditentukan oleh tipe keluarga. Tipe keluarga resilience tidak akan menimbulkan krisis bagi keluarga karena keluarga menjadi fleksibel ketika masalah datang.

Kekuatan, sumberdaya, dan kemampuan keluarga mengartikan stres akan mempengaruhi pemecahan masalah dan koping strategi yang dilakukan keluarga. Krisis atau tidaknya keluarga akan ditentukan dari kekuatan, sumberdaya, dan kemampuan keluarga dalam mengartikan sters tersebut. Keluarga yang resilience (rentan) adalah keluarga yang mampu mengelola tekanan yang diukur dari fleksibitas dan kelekatan keluarga. Tipe keluarga ini menjadi komponen utama untuk menjadikan keluarga yang sehat, kuat dan menunjang keberfungsian keluarga. Keluargatipe ini dapat dikatakan memiliki pola adaptasi yang baik dan ditunjukkan dengan kepuasan keluarga, perkembangan anak, pernikahan, dan lingkungan sekitar.

Hubungan Umur Menikah, Pendidikan serta Kesiapan Menikah Suami dan

Gambar

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan emosi
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah

adalah obat yang digunakan sebagai penenang untuk mengatasi kecemasan dan panik, Alprazolam termasuk obat dalam kelompok. INDIKASI

Konsep desain taman rumah tinggal tradisional Madura adalah adanya ruang publik ( taneyan ) berbentuk axis yang menghubungkan pintu masuk dengan ruang semi publik ( langghar )

Dasar utamanya adalah iman akan Kristus yang sungguh telah bangkit dari antara orang mati dan hidup selama- lamanya, kebangkitan Kristus membawa harapan bagi umat

Dikatakan pula  bahwa epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakitnya (AIDS) tetapi juga epidemi virus  bahwa epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakitnya (AIDS)

Pemilihan metode ini paling tepat sesuai penelitian yang dilakukan karena tahapan yang dilakukan dalam penelitian sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah dalam seven

Dan kedua contoh di atas cukup memberi gambaran kepada kita, peranan lingkungan yang mirip telah menyebabkan dua spesies yang berasal dari nenek moyang yang berbeda

 Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet. Anak dengan