• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL ………... xii DAFTAR GAMBAR ………. xiv DAFTAR LAMPIRAN ………. x viii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ………... 1 Rumusan Permasalahan ……….... 4 Tujuan Studi ………. 5 Manfaat Studi ... 5 TINJAUAN PUSTAKA ………... 7 Pajak ………. 7

Pajak Bumi dan Bangunan ………... 8

Penggunaan Lahan ………... 12 Perencanaan Tata Guna Lahan ... 14 Pengendalian Penggunaan Lahan ... 15 Hubungan Land Rent Dengan Harga Tanah Dengan Penggunaan Lahan 18 Sistem Informasi Geografis ... 21 Citra Satelit Resolusi Tinggi ... 23

METODE PENELITIAN ……… 26

Karangka Pemikiran ………. 26

Lokasi dan Waktu Studi ………... 27

Data dan Sumber Data ………. 28

Metode Pengolahan dan Analisis Data ………... 30

KEADAAN UMUM WILAYAH STUDI ………... 44

Kecamatan Cibinong ……… 47

Kecamatan Cileungsi ………... 55

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 65 Permasalahan Pajak Lahan ………... 65 Penggunaan Lahan Tahun 2006 ... 67 Analisis Konsistensi RDTRK/RUTRK ……… 80

Perbedaan NJOP antara Pemanfaatan Lahan yang Konsisten dengan

RDTRK/RUTRK ... 85 Pengaruh Penggunaan Lahan terhadap Pajak Lahan ………... 86 Perbandingan Land Rent dengan Pajak Lahan ... 92

Pengendalian Pemanfaatan Lahan Melalui Pajak Lahan di Kecamatan

Cibinong dan Cileungsi ... 99 KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

Kesimpulan ……….. 102

Saran ……… 103 DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN ... 107

DAFTAR TABEL

No. Hal

1 Penerimaan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia ... 3 2 Spesifikasi Citra Ikonos ... 23 3 Spesifikasi Citra ALOS ... 23 4 Aspek, variabel dan sumber data yang digunakan ... 26 5 Matrik tujuan, analisis, variabel, data dan keluaran penelitian …………... 28 6 Matriks konsistensi antara arahan pemanfaatan ruang dengan

penggunaan lLahan di Kecamatan Cibinong dan Cileungsi ... 32 7 Matrik pola penggunaan lahan ... 33 8 Kebijakan perwilayahan di Kabupaten Bogor ... 43 9 Jumlah penduduk di Kecamatan Cibinong tahun 2005 ... 46 10 Jumlah rumah tangga menurut jenis pekerjaan utama tahun 2005 di

Kecamatan Cibinong ... 48 11 Perkembangan penerimaan pPajak bumi dan bangunan di Kecamatan

Cibinong tahun 2000 – 2005 ... 49 12 Alokasi pemanfaatan lahan di Kecamatan Cibinong 2005 – 2015 ... 51 13 Jumlah penduduk di Kecamatan Cileungsi tahun 2005 ... 55 14 Jumlah rumah tangga menurut jenis pekerjaan utama di Kecamatan

Cileungsi tahun 2000 – 2005 ... 57

15 Perkembangan Pokok Pajak Bumi dan Bangunan Di Kecamatan

Ciluengsi Tahun 2000 – 2005 ... 58 16 Alikasi pemanfaatan lahan di Kecamatan Cileungsi tahun 2002 – 2012... 61 17 Luas penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong Tahun 2006... 66 18 Luas penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi Tahun 2006... 69 19 Proporsi RDTRK Cibinong terhadap penggunaan lahan tahun 2006 ... 79 20 Proporsi RDTRK Cileungsi terhadap penggunaan lahan tahun 2006 ... 80

21 Pertumbuhan NJOP dan NJOP Rata-rata di Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Tahun 2006 ...

85

22 Hasil koefisien korelasi ... 89 23 Perbandingan nilai land rent dengan NJOP di Kec. Cibinong dan

Cileungsi Tahun 2007 ... 96

24 Korelasi NJOP rata-rata terhadap land rent penggunaan lahan di

Kecamatan Cinong ... 97

24 Korelasi NJOP rata-rata terhadap land rent penggunaan lahan di

Kecamatan Cinong ... 97

DAFTAR GAMBAR

No. Hal 1 Pola perkembangan aktivitas berdasarkan nilai land rent dan jarak ……. 7 2 Bagan alir kerangka pemikiran ... 27 3 Peta orientasi studi ... 28 4 Bagan alir pendekatan analisis ... 31 5 Proses mengetahui bentuk kemungkinan hubungan spasial ... 36 6 Kebijakan perwilayahan di Kabupaten Bogor ... 44 7 Gapura selamat datang dan Sungai Ciliwung si Kota Cibinong ... 45

8 Peta kepadatan penduduk per desa/kelurahan di Kecamatan Cibinong

tahun 2006... 47 9 Komposisi jenis pekerjaan utama di Kecamatan Cibinong Tahun 2005 .. 48 10 Perkembangan jumlah wajib pajak di Kecamatan Cibinong tahun

2000-2005 ... 49 11 Peta arahan pemenfaatan lahan di Kecamatan Cibinong tahun 1998 –

2008 ... 56 12 Kondisi lalu lintas di jalan layang Cileungsi ... 55 13 Peta kepadatan penduduk di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 58 14 Komposisi jenis pekerjaan utama di Kecamatan Cileungsi tahun 2005 ... 59 15 Perkembangan jumlah wajib pajak di Kecamatan Cilileungsi tahun

2000-2005 ... 60 16 Peta arahan pemanfaatan lahan di Kecamatan Cileungsi tahun 2002

-2012 ... 64 17 Komposisi penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong Tahun 2006 ... 68 18 Peta penggunaan lahan Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 69

19 Komposisi penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi Tahun 2006 ... 71 20 Peta penggunaan lahan Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 72 21 Peta sebaran pemukiman di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 74 22 Peta sebaran industri di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 75 23 Peta sebaran RTH di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 75 24 Peta sebaran lahan kosong di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 76 25 Peta sebaran pemukiman di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 78 26 Peta sebaran industri pemukiman di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 .... 78 27 Peta sebaran RTH di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 79 28 Peta sebaran lahan kosong di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 79 29 Peta inkonsistensi pemanfaatan ruang RDTRK Cibinong ... 83 30 Peta inkonsistensi pemanfaatan ruang RUTRK Cileungsi ... 84 31 Peta NJOP rata-rata di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 88 32 Peta NJOP rata-rata di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 89 33 Penggunaan lahan untuk sawah di Desa Tengah Kec. Cibinong dan

Desa Pasir Angin Kecamatan Cileungsi ... 93 34 Penggunaan lahan untuk kebun campuran di Desa Pakansari

KecamatanCibinong dan Desa Setu sari Kecamatan Cileungsi ... 93 35 Penggunaan lahan kosong berupa tempat penampungan barang bekas di

Desa Keradenan dan tempat penjualan pasir sungai ... 94 36 Pengunaan lahan kosong berupa tempat berjualan tanaman hias dan

tambulampot Desa Sukahati Kec. Cibinong dan Desa Mekarsari

Kecamatan Cileungsi ... 94 37 Penggunaan lahan untuk perumahan, komplek perumahan Pondok

Sukahati Desa Sukahati Kec. Cibinong dan Desa Cipenjo Kecamatan

Cileungsi ... 95 38 Penggunaan lahan untuk industri di Desa Limus Nunggal Kecamatan

Cileungsi ... 95

39 Penggunaan lahan untuk ruko di Desa Cileungsi dan losmen di Desa Limus Nunggal Kecamatan Cileungsi ...

96 40 Perbedaan land rent dengan NJOP rata-rata di Kecamatan Cibinong

tahun 2006 ... 97 41 Perbedaan land rent dengan NJOP rata-rata di Kecamatan Cileungsi

tahun 2006 ... 97

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1 Kuesioner ………. 106

2a Penggunaan lahan Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 109

2b Penggunaan lahan Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 109

3a Luas inkonsistensi RDTRK Cibinong tahun 2006 ... 110

3b Luas inkonsistensi RUTRK Cileungsi tahun 2006 ... 110

4a Hasil inventarisasi pemanfaatan lahan yang konsisten dan tidak konsisten serta NJOP di Kec. Cibinong tahun 2006 ...

111 4b Hasil inventarisasi pemanfaatan lahan yang konsisten dan tidak konsisten serta NJOP di Kec. Cileungsi tahun 2006 ...

111 5a Luas penggunaan lahan dan intensitas penggunaan lahan serta NJOP rata-rata per poligon di kecamatan Cibinong tahun 2006 ...

113 5b Luas penggunaan lahan dan intensitas penggunaan lahan serta NJOP rata-rata per poligon di kecamatan Cileungsi tahun 2006 ...

113 6 Hasil analis regresi berganda ... 117

7 Hasil analisis korelasi ... 124

8a Pola penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 126

8b Pola penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 128

9 Hasil uji Mann- Whitney ... 130

10 Format isian pendugaan nilai land rent ... 117

11 Sebaran jumlah penduduk menurut desa/kelurahan dan jumlah responden untuk pendugaan nilai land rent di Kec. Cibinong dan Cileungsi tahun 2007 ... 118

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan penduduk kota yang sangat pesat selama beberapa dekade terakhir, baik secara alamiah maupun akibat urbanisasi, telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan penduduk kota beserta berbagai kegiatan sosial, ekonomi dan fisiknya. Peningkatan kebutuhan lahan ini ternyata tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan yang cukup atau memadai. Hal ini disebabkan karena lahan yang tersedia di wilayah perkotaan terbatas, padahal kebutuhannya terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Terbatasnya lahan yang tersedia di perkotaan menimbulkan permasalahan lahan kota.

Permasalahan lahan perkotaan pada dasarnya disebabkan oleh dua hal utama, yaitu permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya kebutuhan pemerintah daerah akan lahan untuk melaksanakan pembangunan daerah dan permasalahan yang ditimbulkan oleh kebutuhan manusia akan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Permasalahan kurang atau tidak tersedianya lahan kota untuk melaksanakan pembangunan kota tersebut akan menghambat pelaksanaan pembangunan kota.

Dilihat dari situasi sekarang ini, perkembangan lahan tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk, yang disebabkan pertumbuhan penduduk jauh melampaui daya dukung lahan. Hal ini menyebabkan sering terjadi perubahan tata guna lahan yang tidak pada tempatnya, dan menyebabkan kerugian bagi penduduk maupun lingkungan sekitar. Penyediaan lahan yang sangat terbatas untuk mencukupi kebutuhan prasarana kota cenderung mengakibatkan kenaikan harga yang mendorong kepada pola penggunaan lahan yang kurang efisien. Menurut laporan World Bank

(1991) dalam Sudjarwadi (1994), beberapa permasalahan yang dialami Indonesia dalam pembangunan daerah perkotaan diantaranya adalah penggunaan lahan perkotaan yang masih tidak produktif (underutilized) dan belum sesuai dengan potensi terbaik yang dimiliki (its highest and best use).

2

Penjelasan dari pengaruh pajak lahan terhadap penggunaan lahan perkotaan dapat disederhanakan dengan teori Alonso (Alonso, 1965) mengenai interaksi antara sewa lahan dengan penggunaan lahan. Menurut Alonso, sewa lahan memiliki korelasi positif dengan penggunaan lahan yang ditunjukan dengan penggunaan komersial berada di pusat kota dan penggunaan non komersial menempati wilayah pinggir kota. Dalam penelitian ini sewa lahan diasumsikan sebagai pajak lahan.

Pemerintah melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 telah memberlakukan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai penyederhanaan sistem perpajakan atas tanah dan bangunan yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perpajakan, seperti Pajak Rumah Tangga, Pajak Kekayaan, IPEDA, Pajak Jalan serta jenis pungutan lainnya yang dikenakan atas tanah dan bangunan.

Salah satu dasar pertimbangan diberlakukannya undang-undang ini adalah bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperoleh kepada negara melalui pembayaran pajak. Dalam pasal 6 ayat (3) dikatakan bahwa dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yang ditetapkan serendah-rendahnya 20 % dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).

Dari penjelasan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan pemungutan PBB di Indonesia masih difokuskan pada tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara guna membiayai pembangunan. Bagi pemerintah kabupaten dan kota, PBB merupakan sumber pembiayaan pembangunan yang sangat diandalkan, karena disamping besarnya penerimaan PBB yang tiap tahunnya meningkat juga karena kebijakan pembagian hasil penerimaan PBB yang membagikan sebagian besar penerimaan kepada daerah. Sebagai gambaran, pada Tabel 1 disajikan besarnya kontribusi penerimaan PBB terhadap penerimaan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

3

Tabel 1 Penerimaan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia

1998/1999 1999/2000 2000

No. Uraian Jumlah

(miliar Rp) % (miliar Rp) Jumlah % (miliar Rp) Jumlah % 1.

2.

3. 4. 5.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Bagian Daerah

a.Bagi Hasil Pajak

(PBB+BPHTB) b.Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi

Pinjaman Daerah

Sisa lebih tahun sebelumnya

2.246,6 2.538,8 449,8 14.861,1 267,0 539,8 10,8 12,1 2,1 71,1 1,3 2,6 2.765,4 2.892,8 432,1 20.743,7 102,7 1.062,4 9,9 10,3 1,5 74,1 0,4 3,8 2.491,9 2.679,2 437,8 21.950,3 119,2 1.109,8 8,7 9,3 1,5 76,2 0,4 3,8 Jumlah Penerimaan APBD

Kabupaten/Kota

20.905,2 27.999,0 28.788,2 Sumber: Rahardjo et al. (2001), diolah.

Berdasarkan PP No. 16 tahun 2000 tentang pembagian hasil penerimaan PBB antara pusat dan daerah dijelaskan bahwa 10% merupakan bagian pusat dan 90% merupakan bagian daerah yang terbagi lagi menjadi 16,2% untuk provinsi, 64,8% untuk kabupaten/kota dan 9% untuk biaya pemungutan.

Rencana kota dapat berfungsi atau berjalan dengan baik jika ditunjang oleh tersedianya lahan yang memadai untuk menampung berbagai aktivitas atau kegiatan yang direncanakan tersebut. Dengan kata lain, ketersedian lahan di daerah perkotaan harus dipertimbangkan sebagai salah satu faktor pendukung dan sekaligus sebagai faktor kendala bagi implementasi rencana kota. Dalam hal ini, rencana kota saja tidak cukup untuk menjamin terciptanya lingkungan yang ideal seperti yang dicita-citakan, melainkan dalam mekanisme pelaksanaan rencana kota perlu didukung oleh berbagai faktor penunjang lainnya yang dapat menjamin keefisienan dan keefektifan pelaksanaan rencana kota tersebut, misalnya saja peraturan-peraturan penunjang sebagai mekanisme pengendalian pelaksanaan rencana kota dan lain sebagainya. Salah satu peraturan penunjang tersebut yang akan dibahas disini adalah peraturan mengenai kebijaksanaan lahan perkotaan.

Wilayah Bogor (Kabupaten dan Kota Bogor) memiliki arti penting bagi Kota Metropolitan Jakarta. Sebagai salah satu hinterland wilayah Jakarta, Bogor telah

4

menjadi daerah limpahan perluasan kawasan perkotaan untuk sektor permukiman, industri, maupun pariwisata. Pada dasa warsa terakhir, Bogor mengalami perkembangan fisik yang cukup tinggi. Sebagai contoh meningkatnya kegiatan industri di sepanjang Jalan Raya Jakarta – Bogor, Kawasan Industri Cibinong serta Cimanggis.

Pertambahan jumlah penduduk di wilayah Bogor baik karena proses alami maupun urbanisasi telah menimbulkan kebutuhan akan lahan (ruang) meningkat. Semakin bertambah jumlah penduduk, maka kebutuhan akan fasilitas pelayanan sosial terutama permukiman semakin meningkat. Jumlah penduduk wilayah Bogor selama sepuluh tahun terakhir (1995 – 2004) rata-rata peningkatan penduduk sebesar 2,3 % per tahun ( BPS, 2005). Potensi sumber daya lahan tersedia dalam jumlah tetap (fixed), sementara kebutuhan akan ruang terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan ruang (terutama permukiman) sebagai konsekuensi dari pertumbuhan jumlah penduduk, maka konversi lahan telah menjadi alternatifnya.

Rumusan Permasalahan

Masalah yang dikemukakan disini adalah pola penggunaan lahan di Wilayah Kabupaten Bogor yang kurang teratur. Fenomena ini terlihat dari banyaknya penetrasi kegiatan perdagangan terhadap kawasan perumahan sehingga bercampurnya berbagai pengggunaan lahan dalam suatu kawasan (mix used), bahkan sebagian bangunan perkantoran baru Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor didirikan persis di pinggiran Situ Cikaret Kecamatan Cibinong yang tercatat sebagai kawasan lindung. Perubahan jenis penggunaan lahan dengan sendirinya. menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas kegiatan. Jika hal ini tidak didukung oleh kesiapan sarana dan prasarana untuk kegiatan tersebut sehingga akan muncul masalah seperti kemacetan lalu lintas dan degradasi lingkungan.

Hal ini menyebabkan perlu adanya pengendalian penggunaan lahan yang bersifat membatasi arah pergerakan penetrasi guna lahan tersebut. Dalam prosesnya

5

pengendalian dapat bersifat insentif maupun disintensif sesuai dengan tujuan pengendalian untuk setiap daerah. Pengendalian disini bukan berarti melakukan pembongkaran untuk setiap pelanggaran penggunaan lahan tetapi hanya membatasi perubahan yang terjadi.

Dari berbagai di atas maka beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini meliputi:

1. Bagaimanakah pelaksanaan pajak lahan selama ini, terutama jika dikaitkan dengan upaya pengaturan dan penataan ruang?

2. Bagaimanakah keterkaitan pajak lahan dengan penggunaan lahan dan upaya pengendalian pemanfaatan lahannya?

3. Bagaimanakah pengaruh dari pola distribusi dan intensitas penggunaan lahan terhadap pajak lahan?

4. Seberapa besar land rent dapat digunakan sebagai dasar dalam penetapan besarnya pajak lahan?.

Tujuan Studi

Tujuan umum dari studi ini adalah mengetahui permasalahan dari pajak lahan dalam kaitannya dengan penggunaan lahan.

Sedangkan tujuan khusus dari studi ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui konsistensi RDTRK/RUTRK.

2. Mengetahui perbedaan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten dengan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)/ Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK).

3. Mengetahui pengaruh penggunaan lahan terhadap pajak lahan . 4. Mengetahui rasio NJOP terhadap land rent.

Manfaat Studi

Studi ini diharapkan dapat menjadi informasi penting untuk menentukan langkah-langkah perbaikan apa yang perlu dilakukan dalam kerangka kerja

6

perencanaan tata ruang atau tata guna lahan, terutama bagaimana informasi mengenai PBB dapat mempunyai andil dalam pengendalian pemanfaatan lahan. Juga informasi tentang besarnya land rent dapat menjadi bagian penting dalam suatu kerangka kerja perencanaan tata guna lahan.

Hasil penelitian ini berguna bagi penyusun kebijakan Pemerintah Daerah Bogor, khususnya Bappeda juga instansi lain seperti Dinas Tata Ruang, BPN dan Kantor Pajak berhubungan dengan pengembangan dari sistem informasi lahan.

7

TINJAUAN PUSTAKA Pajak

Pengertian pajak yang umum dipahami sebagai peralihan kekayaan dari pribadi kepada pemerintah (Soemitro, 1990). Dalam hal ini dilihat dari sudut pandang mikroekonomi yang mengurangi pendapatan seseorang dan mengurangi daya beli individu. Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang makroekonomi, pajak yang diterima pemerintah akan dikeluarkan lagi ke masyarakat untuk membiayai kepentingan umum masyarakat, yang akan memberi dampak yang besar pada perekonomian masyarakat. Pajak dapat mempengaruhi harga, pasar, sistem pengupahan, pengangguran, kesejahteraan masyarakat dan sebagainya

Pajak lahan merupakan jenis pajak yang tertua (Renne, 1958). Pajak lahan yang dimaksudkan disini tidak selalu hanya terbatas pada sebidang lahan saja, tetapi juga menyangkut bangunan dan aktivitas yang berada diatasnya serta bagian dalam bumi sampai batas-batas tertentu. Pajak lahan dapat didefinisikan sebagai suatu kontribusi yang wajib dibayarkan oleh penduduk atas lahan dan benda-benda yang berada di atasnya kepada pemerintah untuk menutupi ongkos-ongkos/pengeluaran atas lahan (Haim-Drabkin, 1981).

Pajak adalah kontribusi yang dipungut oleh pemerintah untuk kepentingan umum tanpa timbal balik dalam bentuk tertentu. Sistem perpajakan merupakan kekuatan penting dalam menentukan penggunaan dan kepemilikan lahan. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong konservasi dan penggunaan yang layak dari sumber daya alam. Pajak yang dikenakan pada properti merupakan biaya yang harus dihadapi apabila pemilik lahan ingin mempertahankan kepemilikannya. Apabila terjadi penunggakan pembayaran pajak, maka pemerintah dapat mengambil alih properti yang bersangkutan.

Pajak lahan merupakan pajak lahan khusus dikenakan kepada individu yang mendapatkan manfaat dari lahan yang dimiliki atau ditempati di daerah perkotaan. Pajak lahan kota dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Renne, 1958), yaitu :

8

1. Pajak kekayaan (property taxes), merupakan pajak lahan yang dilaksanakan di Indonesia selama ini.

2. Pajak pertambahan nilai atau pajak keuntungan lahan (landprofits taxes atau

betterment taxes).

3. Pajak lahan untuk memenuhi tujuan-tujuan perencanaan (taxes to fulfil planning

goals).

Dalam penentuan pajak lahan, pajak kekayaan belum optimal digunakan dalam penentuan besarnya pajak lahan untuk individu, kesulitannya adalah karena belum adanya standar yang bisa diterima (Berry, 2004).

Untuk memudahkan pelayanan pada kantor-kantor pajak telah dikembangkan Sistem Manajemen Informasi Obyek Pajak (SISMIOP) yaitu: suatu sistem yang terintegrasi untuk mengolah informasi data obyek dan subyek PBB dengan bantuan komputer (Ditjen Pajak, 2006). Kegiatan yang terintegrasi dalam SISMIOP ini meliputi beberapa kegiatan, antara lain:

1. Pengumpulan data melalui pendaftaran, pendataan dan penilaian) 2. Pemberian identitas obyek pajak yang disebut Nomer Obyek Pajak 3. Perekaman data

4. Pencetakan hasil keluaran (SPPT, STTS dan sebainya) 5. Pemantauan penerimaan dan pelaksanaan penagihan pajak 6. Pelayanan kepada wajib pajak melalui pelayanan satu tempat

Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terdiri dari lima sektor, yaitu sektor perkotaan, perdesaan, perkebunan, kehutanan dan sektor pertambangan dan penggalian (Mardiasmo, 2001). PBB termasuk ke dalam jenis pajak obyektif, yaitu beban pajak bertumpu pada obyek pajak yang berupa tanah dan bangunan, sehingga pengenaannya tanpa memperhatikan subyek pajaknya. Akan tetapi, pada pelaksanaannya PBB bersifat toleran dengan menggunakan prinsip keadilan yang mempertimbangkan pada kondisi dan budaya masyarakat.

9

PBB atau pajak properti di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 yang mewajibkan kepada individu tertentu untuk menyerahkan sebagian penguasaan sumber daya kepada pemerintah.

PBB merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang potensial, namun jenis pajak ini merupakan jenis pajak yang kurang populer karena sulit dalam pengadministrasiannya dan pembebanan pajaknya dapat mengakibatkan penggunaan lahan yang kurang menguntungkan (Sidik, 1993).

PBB merupakan jenis pajak obyektif yang dikenakan atas lahan (bumi) dan bangunan, sehingga secara langsung kebijakan PBB dapat digunakan sebagai instrumen dalam mengatasi permasalahan penggunaan lahan perkotaan khususnya dan pembangunan lahan perkotaan pada umumnya dengan menjalankan kedua fungsi pokoknya yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulasi (Mardiasmo, 2001). Fungsi budgeter merupakan penerimaan PBB dapat dijadikan sumber penerimaan daerah dalam rangka pembangunan sarana dan fasilitas perkotaan, sedangkan fungsi regulasi dimana pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Fungsi regulasi ini dapat memberikan beberapa keuntungan diantaranya mengatasi spekulasi tanah, optimalisasi alokasi dan penggunaan lahan serta perencanaan kota (Lerche, 1974).

Kedua fungsi tersebut bekerja secara simultan dan berkesinambungan dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kesederhanaan dapat diharapkan sebagai alat pengendali terhadap guna lahan. Aspek budgeter lebih menjadi tujuan pemungutan, maka PBB tidak dapat lagi dilihat sebagai alat yang signifikan untuk mengatasi masalah penggunaan lahan di perkotaan.

Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) pada bidang lahan dilakukan tiga tahun sekali oleh Menteri Keuangan (Menkeu), kecuali untuk daerah tertentu yang perkembangannya pesat, sehingga mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar ditetapkan setiap satu tahun sekali. Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) atau assesment value, yaitu nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar

10

perhitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya (Mardiasmo, 2001).

Tarif pajak yang dikenakan atas obyek PBB adalah tarif tunggal sebesar 0,5% dari NJKP atau efektifnya 0,1% dari NJOP. Tarif yang 0,5% tersebut dihitung berdasarkan ketentuan pasal 6 dari PP No. 46 Tahun 1985. Dengan tarif sebesar ini pemerintah menjamin tidak akan terjadi seorang wajib pajak terpaksa harus menjual tanahnya dikarenakan tidak mampu membayar pajak atas tanahnya, walaupun PBB merupakan pajak yang obyektif yang tidak menghiraukan keadaan wajib pajak. Tarif PBB tersebut adalah flate rate yaitu tarif proposional yang presentasenya tetap atau tidak berubah, namun besar pajaknya akan berbeda-beda, tergantung pada besar kecilnya NJKP.

Kebijakan fiskal yang berkaitan dengan lahan di Indonesia adalah pajak lahan yang menyatu dengan pajak bangunan (Prasetyo, 2005). Kedua perpajakan ini dalam kebijakan fiskal di Indonesia disebut sebagai Pajak Bumi dan Bangunan seperti diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Sebagai pajak lahan khususnya lahan kota, PBB belum diterapkan untuk mengendalikan penggunaan lahan karena dasar penetapan dan metoda penilaiannya belum mengacu pada penggunaan lahan dan rencana penggunaan lahan yang ada.

PBB biasa disebut juga pajak properti mempunyai azas pemungutan khusus yang membedakannya dengan pajak lainnya (Davey dalam Suharno, 2003). Menurutnya, pajak properti mempunyai azas pemungutan yang meliputi kecukupan dan elastisitas, keadilan, kemampuan administratif, dan kesepakatan politis. Kecukupan berarti bahwa sumber-sumber pajak properti dapat menghasilkan penerimaan yang memadai, sementara prinsip elastisitas mengharuskan pajak properti sejalan dengan perubahan tingkat inflasi dan pendapatan nasional kotor (GNP). Konsep keadilan mensyaratkan kewajiban untuk memikul secara bersama-sama beban pengeluaran pemerintah. Kesepakatan politis diperlukan dalam pengenaan pajak, penetapan struktur tarif dan wajib pajak, serta pengenaan dan penerapan sanksi. Pengenaan pajak properti menyangkut aspek sosial ekonomi pada dimensi

Dokumen terkait