• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

TINJAUAN PUSTAKA Pajak

Pengertian pajak yang umum dipahami sebagai peralihan kekayaan dari pribadi kepada pemerintah (Soemitro, 1990). Dalam hal ini dilihat dari sudut pandang mikroekonomi yang mengurangi pendapatan seseorang dan mengurangi daya beli individu. Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang makroekonomi, pajak yang diterima pemerintah akan dikeluarkan lagi ke masyarakat untuk membiayai kepentingan umum masyarakat, yang akan memberi dampak yang besar pada perekonomian masyarakat. Pajak dapat mempengaruhi harga, pasar, sistem pengupahan, pengangguran, kesejahteraan masyarakat dan sebagainya

Pajak lahan merupakan jenis pajak yang tertua (Renne, 1958). Pajak lahan yang dimaksudkan disini tidak selalu hanya terbatas pada sebidang lahan saja, tetapi juga menyangkut bangunan dan aktivitas yang berada diatasnya serta bagian dalam bumi sampai batas-batas tertentu. Pajak lahan dapat didefinisikan sebagai suatu kontribusi yang wajib dibayarkan oleh penduduk atas lahan dan benda-benda yang berada di atasnya kepada pemerintah untuk menutupi ongkos-ongkos/pengeluaran atas lahan (Haim-Drabkin, 1981).

Pajak adalah kontribusi yang dipungut oleh pemerintah untuk kepentingan umum tanpa timbal balik dalam bentuk tertentu. Sistem perpajakan merupakan kekuatan penting dalam menentukan penggunaan dan kepemilikan lahan. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong konservasi dan penggunaan yang layak dari sumber daya alam. Pajak yang dikenakan pada properti merupakan biaya yang harus dihadapi apabila pemilik lahan ingin mempertahankan kepemilikannya. Apabila terjadi penunggakan pembayaran pajak, maka pemerintah dapat mengambil alih properti yang bersangkutan.

Pajak lahan merupakan pajak lahan khusus dikenakan kepada individu yang mendapatkan manfaat dari lahan yang dimiliki atau ditempati di daerah perkotaan. Pajak lahan kota dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Renne, 1958), yaitu :

8

1. Pajak kekayaan (property taxes), merupakan pajak lahan yang dilaksanakan di Indonesia selama ini.

2. Pajak pertambahan nilai atau pajak keuntungan lahan (landprofits taxes atau

betterment taxes).

3. Pajak lahan untuk memenuhi tujuan-tujuan perencanaan (taxes to fulfil planning

goals).

Dalam penentuan pajak lahan, pajak kekayaan belum optimal digunakan dalam penentuan besarnya pajak lahan untuk individu, kesulitannya adalah karena belum adanya standar yang bisa diterima (Berry, 2004).

Untuk memudahkan pelayanan pada kantor-kantor pajak telah dikembangkan Sistem Manajemen Informasi Obyek Pajak (SISMIOP) yaitu: suatu sistem yang terintegrasi untuk mengolah informasi data obyek dan subyek PBB dengan bantuan komputer (Ditjen Pajak, 2006). Kegiatan yang terintegrasi dalam SISMIOP ini meliputi beberapa kegiatan, antara lain:

1. Pengumpulan data melalui pendaftaran, pendataan dan penilaian) 2. Pemberian identitas obyek pajak yang disebut Nomer Obyek Pajak 3. Perekaman data

4. Pencetakan hasil keluaran (SPPT, STTS dan sebainya) 5. Pemantauan penerimaan dan pelaksanaan penagihan pajak 6. Pelayanan kepada wajib pajak melalui pelayanan satu tempat

Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terdiri dari lima sektor, yaitu sektor perkotaan, perdesaan, perkebunan, kehutanan dan sektor pertambangan dan penggalian (Mardiasmo, 2001). PBB termasuk ke dalam jenis pajak obyektif, yaitu beban pajak bertumpu pada obyek pajak yang berupa tanah dan bangunan, sehingga pengenaannya tanpa memperhatikan subyek pajaknya. Akan tetapi, pada pelaksanaannya PBB bersifat toleran dengan menggunakan prinsip keadilan yang mempertimbangkan pada kondisi dan budaya masyarakat.

9

PBB atau pajak properti di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 yang mewajibkan kepada individu tertentu untuk menyerahkan sebagian penguasaan sumber daya kepada pemerintah.

PBB merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang potensial, namun jenis pajak ini merupakan jenis pajak yang kurang populer karena sulit dalam pengadministrasiannya dan pembebanan pajaknya dapat mengakibatkan penggunaan lahan yang kurang menguntungkan (Sidik, 1993).

PBB merupakan jenis pajak obyektif yang dikenakan atas lahan (bumi) dan bangunan, sehingga secara langsung kebijakan PBB dapat digunakan sebagai instrumen dalam mengatasi permasalahan penggunaan lahan perkotaan khususnya dan pembangunan lahan perkotaan pada umumnya dengan menjalankan kedua fungsi pokoknya yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulasi (Mardiasmo, 2001). Fungsi budgeter merupakan penerimaan PBB dapat dijadikan sumber penerimaan daerah dalam rangka pembangunan sarana dan fasilitas perkotaan, sedangkan fungsi regulasi dimana pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Fungsi regulasi ini dapat memberikan beberapa keuntungan diantaranya mengatasi spekulasi tanah, optimalisasi alokasi dan penggunaan lahan serta perencanaan kota (Lerche, 1974).

Kedua fungsi tersebut bekerja secara simultan dan berkesinambungan dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kesederhanaan dapat diharapkan sebagai alat pengendali terhadap guna lahan. Aspek budgeter lebih menjadi tujuan pemungutan, maka PBB tidak dapat lagi dilihat sebagai alat yang signifikan untuk mengatasi masalah penggunaan lahan di perkotaan.

Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) pada bidang lahan dilakukan tiga tahun sekali oleh Menteri Keuangan (Menkeu), kecuali untuk daerah tertentu yang perkembangannya pesat, sehingga mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar ditetapkan setiap satu tahun sekali. Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) atau assesment value, yaitu nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar

10

perhitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya (Mardiasmo, 2001).

Tarif pajak yang dikenakan atas obyek PBB adalah tarif tunggal sebesar 0,5% dari NJKP atau efektifnya 0,1% dari NJOP. Tarif yang 0,5% tersebut dihitung berdasarkan ketentuan pasal 6 dari PP No. 46 Tahun 1985. Dengan tarif sebesar ini pemerintah menjamin tidak akan terjadi seorang wajib pajak terpaksa harus menjual tanahnya dikarenakan tidak mampu membayar pajak atas tanahnya, walaupun PBB merupakan pajak yang obyektif yang tidak menghiraukan keadaan wajib pajak. Tarif PBB tersebut adalah flate rate yaitu tarif proposional yang presentasenya tetap atau tidak berubah, namun besar pajaknya akan berbeda-beda, tergantung pada besar kecilnya NJKP.

Kebijakan fiskal yang berkaitan dengan lahan di Indonesia adalah pajak lahan yang menyatu dengan pajak bangunan (Prasetyo, 2005). Kedua perpajakan ini dalam kebijakan fiskal di Indonesia disebut sebagai Pajak Bumi dan Bangunan seperti diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Sebagai pajak lahan khususnya lahan kota, PBB belum diterapkan untuk mengendalikan penggunaan lahan karena dasar penetapan dan metoda penilaiannya belum mengacu pada penggunaan lahan dan rencana penggunaan lahan yang ada.

PBB biasa disebut juga pajak properti mempunyai azas pemungutan khusus yang membedakannya dengan pajak lainnya (Davey dalam Suharno, 2003). Menurutnya, pajak properti mempunyai azas pemungutan yang meliputi kecukupan dan elastisitas, keadilan, kemampuan administratif, dan kesepakatan politis. Kecukupan berarti bahwa sumber-sumber pajak properti dapat menghasilkan penerimaan yang memadai, sementara prinsip elastisitas mengharuskan pajak properti sejalan dengan perubahan tingkat inflasi dan pendapatan nasional kotor (GNP). Konsep keadilan mensyaratkan kewajiban untuk memikul secara bersama-sama beban pengeluaran pemerintah. Kesepakatan politis diperlukan dalam pengenaan pajak, penetapan struktur tarif dan wajib pajak, serta pengenaan dan penerapan sanksi. Pengenaan pajak properti menyangkut aspek sosial ekonomi pada dimensi

11

yang luas. Kesalahan dalam menentukan kebijakan dalam pengenaan pajak ini akan mengakibatkan timbulnya gejolak sosial dan politik yang mahal harganya.

Prinsip keadilan dalam pajak properti dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu keadilan horisontal dan vertikal. Menurut Plimmer dan Conellan dalam Prasetio (2005), keadilan horisontal mengandung arti bahwa properti yang bernilai sama dikenakan pajak yang sama (equals treated equals), sedangkan keadilan vertikal mengandung arti bahwa nilai properti tinggi harus dikenakan pajak yang lebih tinggi. Ketidakadilan secara vertikal menyebabkan pajak bersifat regresif. Keduanya sama pentingnya dan mengabaikan salah satunya akan mengaburkan esensi keadilan itu sendiri. Keadilan sosial dalam penetapan pajak seharusnya disesesuaikan dengan besarnya penghasilan/kekayaan seseorang, tetapi perhitungan kekayaan seseorang belum optimal diatur dalam penentuan pajak bumi dan bangunan (Douglas, 1997).

Suharno (2003) berpendapat bahwa pengenaan pajak berdasarkan nilai lahan akan mendorong pemilik lahan untuk melakukan improvement di atas lahannya. Pajak ini erat hubungannya dengan aspek tata guna lahan dan perencanaan wilayah serta sebagai alat kontrol spekulasi lahan. Pengenaan pajak yang lebih tinggi terhadap lahan dibandingkan dengan bangunan akan mengurangi pinalti terhadap

improvement dan mendorong penggunaan lahan lebih intensif. Kelebihan

penggunaan nilai lahan sebagai dasar pengenaan pajak adalah pertama, menyederhanakan sistem karena tidak adanya kaharusan untuk terus menerus memperbaharui nilai suatu bangunan. Kedua, penilaian massal atas lahan dapat lebih sering dilakukan, terutama untuk menyesuaikan dengan dampak inflasi. Ketiga, mendorong penggunaan lahan yang lebih baik, sehingga menghambat upaya penguasaan tanah untuk tujuan spekulasi. Disisi lain kelemahan pajak ini adalah sulitnya proses penilaian terutama dalam memisahkan antara nilai lahan dan nilai total properti, dapat merugikan pemilik lahan karena tidak mampu memanfaatkan lahannya dalam kondisi terbaik (highest and best use), dan kurang mempertimbangkan kemampuan ekonomis wajib pajak.

12

Menurut Renne (1958), sepanjang lahan tidak diproduksi dan dapat habis dipakai, maka pajak atas lahan tidak akan menghambat suatu produksi dan menimbulkan distorsi ekonomi. Hal ini yang membedakan dengan pajak lain yang menjadikan barang dagangan, kekayaan, penghasilan sebagai obyek pajak. Pajak atas lahan akan menghambat penguasaan lahan tidur dan mendorongnya untuk pembangunan dan penggunaan yang lebih baik. Sebaliknya pajak atas bangunan cenderung akan menghambat penggunaan dan pembangunan suatu bangunan.

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda (Rustiadi et al. (2005). Penggunaan lahan (land use) menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik. Rustiadi (1996) juga mengacu pendapat Vink (1975) mendefinisikan penggunaan lahan sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan baik yang bersifat permanen atau cyclic dalam rangka meenuhi kepuasan dan kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan tangan manusia terhadap sumber daya lahan baik yang bersifat permanen atau cyclic dalam rangka memenuhi kepuasan dan kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink dalam Rustiadi, 1996). Sedangkan menurut PP No. 16 tentang Penatagunaan Tanah, penggunaan lahanh adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Arsyad (1989) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam bentuk yaitu : 1. Penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air

dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat diatas lahan tersebut.

2. Penggunaan lahan non pertanian seperti penggunaan lahan permukiman kota atau desa, industri, rekreasi dan sebagainya.

13

Penggunaan lahan kota yang tercermin dari pola dan intensitas pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh banyak faktor, yang pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa sistem (Chapin dan Edward, 1979), yaitu:

♦ Sistem aktivitas kota (activity system)

Sistem aktivitas kota adalah cara manusia dan lembaganya seperti lembaga rumah tangga, perusahaan, pemerintahan dan lainnya mengorganisasikan berbagai aktivitasnya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya dan berinteraksi satu dengan lainnya dalam waktu dan ruang. Cerminan aktivitas ini terlihat pada aspek tingkah laku manusia dan lembaganya dalam memanfaatkan lahan yang dilihat dari kebutuhan mereka akan lahan yang dijabarkan dalam skala waktu dan ruang. Selanjutnya Chapin dan Edward membedakan sistem aktivitas ke dalam komponen-komponen aktivitas dalam ruang dan tempat tertentu yang terwujud dalam pola tata guna lahan perkotaan dan komponen aktivitas antara ruang yang melibatkan pergerakan orang, barang dan lain-lain yang terwujud dalam sistem transportasi kota.

♦ Sistem pengembangan lahan (land development system)

Merupakan suatu proses konversi lahan dan proses penyesuaiannya untuk berbagai penggunaan lahan dalam skala waktu dan ruang sesuai dengan sistem aktivitas kotanya. Sistem ini sangat berhubungan dengan penyediaan lahan kota dimana pengembangannya dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi kota dan kemampuan ilmu dan teknologi. Contohnya, lahan yang tadinya tidak dapat digunakan karena keterbatasan fisik, akan dapat dimanfaatkan dengan bantuan ilmu dan teknologi.

♦ Sistem lingkungan (environment system)

Merupakan sistem kehidupan biotik dan abiotik yang menyediakan tempat bagi kelangsungan hidup manusia dan habitat beserta sumber daya lain untuk mendukung kelangsungan hidup manusia. Sistem ini berperan sebagai penyedia lahan dan pendukung kedua sistem lainnya.

Keseluruhan sistem ini saling berinteraksi satu sama lain, tetapi di daerah perkotaan sistem aktivitas kota dan pengembangan lahan lebih mendominasi

14

dibandingkan dengan sistem lingkungan yang berfungsi sebagai pembatas perkembangan penggunaan lahan saja.

Katagori penggunaan lahan perkotaan dibedakan menjadi katagori perumahan dan komersial (non perumahan) seperti industri dan perdagangan. Disamping harga pasar, besarnya pokok PBB dipengaruhi oleh pola distribusi penggunaan lahan kota menurut berbagai kategori penggunaan (Nasucha, 1995). Secara tidak langsung, besarnya nilai lahan untuk daerah-daerah seperti di pusat kota telah mencerminkan penggunaan lahannya, kecuali pada lahan di kawasan campuran (contoh: kawasan perumahan dengan perdagangan). Hal ini disebabkan karena kawasan campuran terdiri dari berbagai macam kegiatan sehingga tidak adanya keseragaman nilai lahan. Daerah di pusat kota dipengaruhi oleh faktor aksesibilitas sehingga nilainyapun melonjak, tetapi belum tentu demikian halnya pada kawasan campuran.

Untuk mengetahui intensitas pemanfaatan lahan pada suatu kawasan, dapat dilihat dari indek ketinggian (high index) dan indek intensitas (intensity index) (Murphy dalam Brotosunaryo, 1992). Terdapat hubungan yang sangat kuat antara pola penggunaan lahan, intensitas pemanfataan lahan dengan harga lahan (Knos dalam Brotosunaryo, 1992).

Perencanaan Tata Guna Lahan

Perencanaan tata guna lahan dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah dan kemampuan lahan untuk menunjang kehidupan dan memperhatikan pengendalian pengembangan lahannya (Jayadinata, 2003). Sedangkan penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai suatu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat yang adil (PP No. 16 tahun 2004).

Kunci informasi untuk perencanaan tata guna lahan (Chapin dan Edward, 1979) adalah: ekonomi, penduduk, aktivitas dan kualitas ruang, penggunaan lahan, lingkungan dan transportasi – utilitas – komunikasi.

15

Disamping itu, hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan lahan, antara lain: pasar (market), peraturan (land use control) dan kemilikan. Dalam melakukan pengembangan lahan seperti konversi lahan pertanian menjadi lahan perumahan, maka ketiga aspek tersebut harus terpenuhi karena saling terkait secara keseluruhan.

Dalam ilmu perencanaan, terdapat model-model tertentu untuk pengembangannya seperti penjaluran (zoning) dan penggunaan tanah yang sekarang

(existing land use). Pada model penjaluiran, tanah di daerah tertentu dibagi menurut

zona penggunaan seperti zona perkantoran, perdagangan, permukiman dan sebagainya. Sedangkan pada model existing land use, lebih memperhatikan peta kemampuan tanah dan perkembangan sosial ekonomi masyarakat.

Rencana peruntukan dan penggunaan ruang merupakan alat untuk mengarahkan, membimbing dan membina penggunaan tanah. Maka dari itu, pengembangan wilayah sudah seharusnya mengikuti rencana wilayah tersebut agar tidak terjadi adanya penyimpangan dalam melaksanakan tata guna tanah. Sedangkan manfaat rencana tersebut bagi masyarakat adalah untuk menjadi pedoman dalam memenuhi kebutuhan akan penggunaan tanah yang dikuasainya. Apabila pedoman ini diimplementasikan dengan benar, maka hal-hal berikut ini dapat dihindari:

1. Penggunaan lahan yang kurang bermanfaat

2. Penelantaran tanah pada daerah yang potensial dan strategis

3. Timbulnya keresahan sosial oleh karena masyarakat golongan ekonomi lemah terdesak ke wilayah pinggiran.

Pengendalian Penggunaan Lahan

Pengendalian adalah proses penetapan apa yang telah dicapai yaitu proses evaluasi kinerja, dan jika diperlukan akan dilakukan perbaikan dengan mendasarkan pada rencana yang telah ditetapkan (Siregar dan Samadhi, 1988). Kegiatan ini sangat erat kaitannya dengan kaitan perencanaan sebab pada kegiatan pengendalian inilah dapat dilihat apakah yang direncanakan tersebut dapat dicapai atau tidak.

16

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pengendalian, pada prinsipnya dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Sebagai langkah pertama dilakukan pengukuran terhadap kinerja yang telah ditampilkan dalam selang waktu pengendalian tertentu.

2. Kemudian hasil yang dicapai tersebut dibandingkan dengan standar-standar yang telah ditetapkan dalam rencana untuk menentukan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

3. Apabila penyimpangan-penyimpangan yang terjadi masih berada dalam batas-batas yang diijinkan dalam rencana, maka proses manajemen terus dilakukan dan jika tidak maka harus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap rencana yang telah dibuat sehingga proses manajemen berulang kembali.

Dalam kaitannya dengan lahan kota, beberapa aspek yang diharapkan ada dalam pengendalian penggunaan lahan kota, adalah (Gihring. 1999):

1. Menentukan standar rencana yang digunakan sebagai tujuan yang ingin dicapai, yaitu mewujudkan atau mengimplementasikan rencana tata guna lahan seperti yang tertuang dalam produk tata ruang kota yang disahkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

2. Inventarisasi pelaksanaan rencana, dimana dari hasil inventarisasi ini akan diperoleh adanya penyimpangan, yakni dengan mencocokkan antara rencana tata guna lahan dengan eksisting penggunaan lahan.

3. Evaluasi dilakukan terhadap adanya penyimpangan yang terjadi, apa penyebabnya dan mengapa terjadi demikian.

4. Akhirnya mengambil langkah-langkah kebijakan untuk memperbaiki adanya penyimpangan dan kekurangan.

Untuk menghindari penggunaan lahan yang tidak baraturan , dibanyak negara diterapkan pendekatan manajemen penggunaan lahan dimana beberapa diantaranya yang sangat penting adalah (Haim dan Drabkin, 1981):

1. Menyusun rencana penggunaan lahan tingkat regional dan nasional yang berjangka panjang, termasuk rencana konservasi (perlindungan) lingkungan hidup. Bentuk rencana tersebut adalah rencana komprehensif, dengan tujuan

17

utama untuk mengantisipasi dampak negatif penggunaan lahan pada area pengembangan kota. Jangka waktu rencana adalah sekitar 20 – 30 tahun. Implementasi rencana membutuhkan adanya koordinasi diantara berbagai tingkat pemerintahan, baik tingkat nasional, regional maupun lokal.

2. Menyusun rencana-rencana pengaturan kembali (readjusment) pada area-area tertentu. Tujuan pengaturan kembali adalah menyediakan area-area tertentu yang dibutuhkan negara, yakni area yang sudah dilengkapi fasilitas umum seperti jaringan jalan, tempat parkir, air bersih dan lain-lain. Rencana pengaturan kembali atau readjusment ini dapat dilakukan dengan cara pengamplingan tanah dengan mendapatkan kompensasi (ganti rugi), baik berupa uang atau lahan pengganti di area yang sama atau lahan pengganti di lokasi berbeda.

3. Kontrol penggunaan lahan secara khusus pada area yang sudah ditunjuk. Sistem ini dilakukan dengan cara menetapkan area-area tertentu sebagai prioritas, yang disertai dengan aturan-aturan seperti ijin lokasi dan ijin bangunan di atas lahan area tersebut.

4. Menetapkan penggunaan lahan yang sesuai menurut rencana pembangunan. Sistem ini merupakan pengendalian penggunaan lahan dengan cara penetapan dan dengan sedikit memaksa pembangunan di atas lahan-lahan yang sudah teralokasi. Di atas lahan-lahan kososng tersebut (sudah teralokasi tetapi belum terbangun) dikenai pajak yang tinggi, terutama didaerah perkotaan. Tujuannnya adalah agar segera dibangun, sehingga sistem ini disebut juga kontrol atau cara pengendalian yang positif.

5. Aturan-aturan untuk mereka yang memiliki lahan lebih dahulu (pre emption

rights). Dimana maksud dari aturan ini adalah kalau si pemilik/penguasa lahan

bermaksud akan menjual lahannya, maka sebagai pembeli yang mendapat prioritas adalah Negara, baru kalau Negara atau pemerintah tidak berminat maka bias dijual ke pihak swasta atau perorangan. Untuk hal yang demikian terdapat aturan-aturan perundangannya. Tujuan dari system ini adalah

18

membatasi atau mengendalikan harga pasar tanah, tanpa pemerintah harus membeli tanah yang luas terlebih dahulu dalam jangka pendek.

6. Pengambil alihan lahan untuk keperluan pemerintah; secara umum lahan bias diambil alih oleh pemerintah dengan tujuan untuk kepentingan umum atau demi alasan kesejahteraan masyarakat luas.

Sedangkan untuk di Indonesia, pajak lahan sebagai kebijakan insentif dan disinsentif atau sebagai salah satu instrumen pengendalian konversi lahan sudah dilakukan di Kabupaten Badung Provinsi Bali (Pemda Kab. Badung, 2007). Pemerintah Kabupaten Badung memberikan pembebasan untuk membayar pajak bagi pemilik lahan yang lahannya diperuntukkan untuk kawasan jalur hijau. Selain itu memberikan keringanan pajak dan bantuan modal terhadap semua subak yeh yang ada di Kabupaten Badung. Dengan demikian selama dari tahun 2002 sampai dengan 2006 luas alih fungsi lahan pertanian ke pertanian semakin kecil persentasenya.

Hubungan Penggunaan Lahan dengan Land Rent

Nilai lahan adalah ukuran dari kemampuan lahan untuk memperoduksi sesuatu yang secara langsung dapat memberikan nilai ekonomis (Nasucha, 1995). Selanjutnya Rahman et al (1992) menyatakan bahwa nilai lahan adalah hasil pengukuran yang didasarkan kepada kemampuan lahan secara ekonomis yang berhubungan dengan produktivitas dan nilai strategis ekonomisnya. Sebagai ukuran produktivitas misalnya tingkat kesuburan, sedangkan ukuran strategis ekonomisnya adalah letaknya secara langsung.

Salah satu teori lokasi yang menjelaskan mengenai pola penggunaan tanah adalah model Alonso (1965) yang menggunakan komponen kunci yaitu aksesibilitas dan hubungannya dengan biaya transportasi. Model Alonso dikembangkan atas dasar model Von Thunnen tentang pola pemanfaatan lahan pertanian. Menurut Von Thunnen, intensitas penggunaan lahan akan berkurang secara berbanding lurus dengan jarak dari pusat kota, atau dengan kata lain penggunaan lahan akan semakin intensif apabila jaraknya semakin dekat dari pusat kota.

19

Dalam ekonomi sumberdaya lahan dikenal istilah rent. Suatu bidang lahan sekurang-kurangnya terdapat 4 jenis rent yaitu: (1) Richardian Rent; yaitu yang menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan; (2) Locational Rent; yang menyangkut fungsi aksesibilitas lahan; (3) Ecological Rent; yaitu yang menyangkut fungsi ekologi lahan dan (4) Sociological Rent; yaitu yang menyangkut fungsi sosial lahan (Nasution dan Rustiadi, 1990).

Land rent sesungguhnya merupakan cermin dari harga yang terbentuk

melalui mekanisme pasar. Namun dalam kenyataan land rent yang mencerminkan mekanisme pasar selama ini hanya menyangkut Richardian Rent dan Locational

Dokumen terkait