• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman

1 Keberadaan setiap spesies tumbuhan akuatik pada lokasi tanpa eceng gondok (TEG) dan lokasi dengan eceng gondok (DEG) di

lima lokasi pengambilan sampel ... 182 2 Keberadaan spesies dari masing-masing ordo dan famili serangga

dominan pada lokasi tanpa eceng gondok (TEG) dan lokasi dengan

eceng gondok (DEG) di lima lokasi pengambilan sampel... 184 3 Keberadaan setiap spesies semut pada lokasi tanpa eceng gondok

(TEG) dan lokasi dengan eceng gondok (DEG) di lima lokasi

pengambilan sampel... 210 4 Keberadaan spesies serangga herbivor dari masing-masing ordo

dan famili pada lokasi tanpa eceng gondok (TEG) dan lokasi

dengan eceng gondok (DEG) di lima lokasi pengambilan sampel ... 212 5 Keberadaan spesies dari masing-masing famili Hymenoptera

parasitoid pada lokasi tanpa eceng gondok (TEG) dan lokasi

dengan eceng gondok (DEG) di lima lokasi pengambilan sampel ... 217 6 Spesies tumbuhan yang digunakan dalam uji preferensi Neochetina

eichhorniae menggunakan metode dengan dan tanpa pilihan ... 226 7 Gejala kerusakan pada beberapa spesies tumbuhan yang digunakan

dalam uji preferensi Neochetina eichhorniae menggunakan metode

tanpa pilihan ... 233 8 Hasil pengamatan keberadaan Neochetina eichhorniae pada

tumbuhan akuatik di sekitar eceng gondok... 233 9 Hasil pengamatan keberadaan Neochetina eichhorniae pada

Latar Belakang Penelitian

Spesies asing invasif telah menjadi issu hangat yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini, terutama berkaitan dengan spesies tumbuhan invasif. Banyak spesies tumbuhan terbawa oleh manusia ke bagian dunia yang lain, baik secara sengaja maupun tidak. Aktivitas dan mobilitas manusia telah menyebabkan spesies tumbuhan tersebut terbawa dan menyebar ke berbagai belahan bumi. Hal ini dimungkinkan dengan dimulainya era eksplorasi yang dapat menghilangkan penghalang biogeografi, yang sebelumnya mengisolasi biota benua selama jutaan tahun (Mooney & Cleland, 2001). Penyebaran spesies tumbuhan akibat aktivitas manusia telah melebihi yang pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah geologi. Ribuan spesies tumbuhan pada saat ini telah mapan secara permanen pada zona fitogeografi yang tidak akan pernah terjadi dalam proses evolusi yang normal (Wilson. 1988)

Introduksi suatu spesies tumbuhan asing dapat menimbulkan masalah yang serius pada habitat yang baru. Setelah keluar dari habitat alaminya, tumbuhan asing tersebut seringkali berkembang menjadi penginvasi agresif yang lebih kompetitif daripada spesies tumbuhan lokal. Beberapa spesies invasif dapat mengubah jalur evolusi dari spesies lokal melalui kompetisi, pemindahan relung, hibridisasi, dan akhirnya kepunahan (Mooney & Cleland, 2001). Schoonhoven et al. (1996) melaporkan bahwa di beberapa bagian dunia, 60-97% gulma merupakan spesies asing, yang telah merusak ekosistem alam atau menimbulkan kehilangan yang nyata bagi produksi pertanian.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa introduksi suatu spesies tumbuhan melewati batas geografis, baik secara sengaja maupun tidak, dapat menyebabkan perubahan struktur komunitas tumbuhan di ekosistem yang baru. Keberadaan spesies asing invasif cenderung merugikan karena merupakan ancaman serius terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003). Primack et al. (1998) menyatakan bahwa salah satu ancaman utama terhadap keanekaragaman hayati adalah upaya introduksi spesies-spesies asing.

Hal ini didasarkan pada kemungkinan terjadinya kompetisi interspesifik. Jika spesies asing introduksi tersebut lebih dominan daripada spesies lokal, besar kemungkinan akan terjadi dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati lokal, bahkan tidak mustahil akan terjadi kepunahan spesies Selain itu, beberapa spesies asing mempunyai kemampuan untuk menginvasi dan mendominasi habitat baru sekaligus menggantikan kedudukan spesies lokal. Hal ini disebabkan antara lain karena ketidakhadiran musuh alami dan kompetitornya di habitat yang baru.

Spesies asing invasif pada habitat yang baru dapat menyebabkan terjadinya homogenisasi biotik dan pergantian spesies lokal dengan spesies introduksi (Olden et al. (2004). Hal ini dapat terjadi karena spesies asing invasif mampu beradaptasi dan mendominasi suatu habitat baru yang awalnya didominasi oleh spesies lokal. Salah satu contoh adalah introduksi gulma

Hypericum perforatum L. dari Eropa ke Amerika Utara. Spesies gulma ini secara cepat menyebar pada padang rumput California hingga menutupi 59% komunitas tersebut dan mengakibatkan spesies rumput lokal yang sebelumnya dominan menurun menjadi 22% dari penutupan lahan (Bellows 2001).

Pergeseran komposisi vegetasi akibat invasi spesies asing diprediksi akan mempengaruhi komunitas serangga yang berasosiasi dengan tumbuhan tersebut. Menurut Kruess (2003), keanekaragaman komunitas serangga pada suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi habitat. Selanjutnya Altieri dan Nicholls (2004) menyatakan bahwa populasi serangga secara langsung dapat dipengaruhi oleh konsentrasi atau dispersi spasial tumbuhan inang mereka, sebab kemampuan serangga untuk menemukan dan menggunakan tumbuhan inangnya dipengaruhi oleh asosiasi spesies tumbuhan.

Dalam konteks keanekaragaman serangga, implikasi introduksi spesies tumbuhan asing invasif perlu mendapat perhatian lebih serius sebab serangga merupakan komponen penting dari suatu ekosistem. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa serangga merupakan salah satu kelompok hewan yang dominan di antara kelompok hewan lain, baik dalam kelimpahan individu maupun kekayaan

spesiesnya. Secara ekologi, serangga memegang peranan penting dalam kelestarian keanekaragaman hayati karena serangga tersebut dapat bertindak sebagai herbivor, karnivor (parasitoid dan predator), polinator, dan dekomposer (Borror et al. 1996; Gullan & Cranston 1994).

Salah satu jenis tumbuhan yang dikenal sangat invasif dan telah menyebar ke seluruh dunia adalah eceng gondok, Eichhornia crassipes (Mart.) Solms. (Pontederiaceae) (Gopal & Sharma 1981; Center et al. 2002). Keberadaan eceng gondok pada suatu ekosistem perairan dikhawatirkan akan menggeser komposisi spesies tumbuhan akuatik lain. Hal ini dapat terjadi karena tingginya daya adaptasi dan laju reproduksi eceng gondok sehingga hampir selalu memenangkan kompetisi dengan spesies tumbuhan lain (Gopal & Sharma 1981; Center et al. 2002). Eceng gondok dapat hidup di daerah tropis dan subtropis (Gopal & Sharma 1981), terdistribusi mulai dari latitude 40o Lintang Utara hingga 40o Lintang Selatan (Center et al. 2002). Populasi eceng gondok berkembang dengan sangat cepat karena tumbuhan ini dapat berreproduksi secara seksual melalui biji dan aseksual dengan stolon. Reproduksi secara aseksual atau vegetatif memegang peranan penting karena dengan cara ini laju pertumbuhan jumlah rumpun eceng gondok dapat berkisar antara 1,2%-13,8% per hari (Gopal & Sharma 1981).

Keberadaan spesies invasif eceng gondok di Indonesia pada saat ini cukup memprihatinkan. Keprihatinan ini cukup beralasan karena sebagian besar ekosistem air tawar di Indonesia telah terinvestasi oleh eceng gondok, meliputi hampir seluruh wilayah mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Irian Jaya. Tjitrosoedirdjo dan Wijaya (1991) melaporkan bahwa perairan terbuka yang telah terinvestasi oleh eceng gondok meliputi Danau Situ Bagendit, Danau ‘Danau Rawa’, Danau Curug, dan Waduk Saguling di Jawa Barat; Danau Rawa Pening di Jawa Tengah; Waduk Wlingi Raya, Waduk Bureng, dan Sungai Surabaya di Jawa Timur; Danau Kerinci di Jambi; Danau Maninjau di Sumatera Barat; Danau Sentani di Irian Jaya.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi invasi eceng gondok di Indonesia. Pengendalian secara biologi merupakan salah satu teknik

pengendalian yang dikembangkan sejak tiga dekade yang lalu, yaitu dengan memanfaatkan musuh alami gulma tersebut yang berupa serangga herbivor. Kegiatan ini dimulai dengan diintroduksinya dua spesies Neochetina spp. (Coleoptera: Curculionidae), yaitu N. eichhorniae (Subagyo et al. 1977) dan N. bruchi (Widayanti et al. 1998). Introduksi dan pelepasan agens hayati tersebut diharapkan dapat menekan perkembangan populasi eceng gondok. Menurut Bellows (2001), introduksi agens hayati berupa serangga herbivor dapat mengurangi dominasi spesies tumbuhan asing invasif dan merestorsi spesies-spesies tumbuhan lokal.

Introduksi serangga herbivor sebagai agens hayati suatu spesies gulma ke suatu ekosistem yang baru perlu mendapat perhatian yang serius sebab dikhawatirkan dapat menimbulkan efek negatif terhadap komunitas spesies bukan sasaran (nontarget effect), baik tumbuhan maupun serangga. Efek nontarget introduksi agens hayati bisa bersifat langsung (direct effect) maupun tidak langsung (indirect effect). Efek langsung terjadi bila agens hayati introduksi tersebut menyerang spesies tumbuhan lain yang bukan target pengendalian. Sementara itu, efek tidak langsung dapat terjadi melalui penggantian ekologi ketika agens hayati secara fisik dan fungsional menggantikan spesies lokal (Pearson & Callaway, 2003).

Beberapa hasil penelitian dewasa ini menunjukkan bahwa introduksi agens hayati gulma berupa serangga herbivor dapat menimbulkan efek nontarget. Simberloff dan Stiling (1996) melaporkan bahwa herbivor generalis yang diintroduksi untuk pengendalian hayati gulma dapat menyerang spesies tumbuhan lokal non-target sehingga mengurangi vegetasi spesies tersebut secara nyata dan mengubah komposisi komunitas tumbuhan dan herbivor lokal. Sebagai salah satu contoh, introduksi ulat ngengat Cactoblastis cactorum ke Florida Keys untuk agens pengendalian hayati pada Opuntia spp. telah mendorong O. spinosissima dan O. triacantha menjadi langka dan terancam punah. Bahkan agens hayati yang inangnya spesifik juga dapat menimbulkan efek nontarget yang besar melalui efek tidak langsung yang muncul sebagai

akibat dari pergantian ekologi, respon kompensasi, dan subsidi jaring-jaring makanan (Pearson & Callaway, 2003).

Masalah lain yang perlu mendapat perhatian adalah fakta bahwa kebanyakan introduksi serangga herbivor untuk pengendalian gulma tidak diikuti dengan upaya monitoring yang serius terhadap distribusinya dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati di lapangan. Tanpa adanya upaya monitoring, degradasi keanekaragaman hayati dalam suatu ekosistem tidak dapat dipantau, terutama tempat-tempat atau habitat yang jauh dari titik pelepasan (Simberloff dan Stiling, 1996).

Introduksi N. eichhorniae ke Indonesia sebagai agens hayati eceng gondok juga perlu mendapat perhatian yang serius. Selain aspek efektivitasnya dalam mengendalikan populasi eceng gondok, evaluasi tentang implikasinya terhadap keanekaragaman hayati lokal juga perlu dilakukan. Apa yang akan terjadi apabila serangga herbivor tersebut menyerang tumbuhan lokal dan mempengaruhi eksistensi keanekaragaman serangga lokal akibat terjadinya kompetisi interspesifik? Pertanyaan ini sangat penting karena dari hasil penelitian diketahui bahwa N. eichhorniae dapat hidup dalam periode tertentu pada beberapa tanaman inang alternatif seperti ganyong (Canna edulis), jahe (Zingiber officinale), galangale (Kaempa galangale) dan temu lawak (Curcuma domestica) (Widayanti et al. 1998).

Issu pergeseran komunitas tumbuhan dan serangga sebagai dampak introduksi spesies asing invasif telah menjadi perhatian serius para ahli ekologi dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian, evaluasi mengenai implikasi keberadaan spesies invasif tersebut, khususnya eceng gondok, terhadap komunitas tumbuhan akuatik dan serangga yang berasosiasi dengannya, sejauh ini belum banyak dilakukan. Hal ini perlu dilakukan, terutama di Indonesia yang sebagian besar ekosistem perairannya telah terintestasi oleh spesies tumbuhan tersebut. Selain itu, evaluasi terhadap introduksi agens hayati Neochetina spp., terutama berkaitan dengan aspek efektivitasnya dalam mengendalikan populasi eceng gondok dan implikasinya terhadap keanekaragaman hayati lokal, juga belum pernah dilakukan.

Bertitik tolak pada uraian di atas, pertanyaan yang saat ini muncul adalah: (1) Seberapa jauh implikasi keberadaan eceng gondok terhadap komunitas tumbuhan akuatik? (2) Seberapa jauh implikasi keberadaan eceng gondok terhadap komunitas serangga? (3) Bagaimana penyebaran dan kelimpahan

Neochetina spp. di lapangan dan bagaimana pengaruhnya terhadap eceng gondok? (4) Apakah ada dampak nontarget introduksi agens hayati Neochetina eichhorniae?

Tujuan Penelitian

Sejalan dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implikasi keberadaan spesies invasif eceng gondok dan agens hayatinya, Neochetina spp., terhadap komunitas tumbuhan akuatik dan serangga. Sesuai dengan topik-topik penelitian, secara khusus rangkaian penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi:

1. Implikasi keberadaan spesies invasif eceng gondok terhadap komunitas tumbuhan akuatik.

2. Implikasi keberadaan spesies invasif eceng gondok terhadap komunitas serangga.

3. Penyebaran agens hayati Neochetina spp. dan dampaknya terhadap eceng gondok.

4. Potensi dampak non-target introduksi agens hayati Neochetina eichhorniae.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang sejauh mana implikasi keberadaan spesies invasif eceng gondok terhadap keanekaragaman hayati, khususnya tumbuhan akuatik dan serangga. Informasi lain yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah tentang kemapanan agens hayati Neochetina spp. yang diintroduksi, dan sejauh mana efektivitas agens hayati tersebut di lapangan. Kajian tentang implikasi keberadaan spesies invasif terhadap keanekaragaman hayati merupakan informasi dasar dalam pengembangan strategi konservasi keanekaragaman hayati. Selain itu, hasil

penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi praktisi pengendalian hayati dalam introduksi spesies serangga asing sebagai agens pengendalian hayati gulma.

Alur Pemikiran dan Landasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian implikasi spesies invasif eceng gondok dan agens hayatinya, Neochetina spp., terhadap komunitas tumbuhan akuatik dan serangga meliputi empat topik penelitian sebagai berikut:

Penelitian 1: Evaluasi implikasi keberadaan spesies invasif eceng gondok terhadap komunitas tumbuhan akuatik dan serangga.

Penelitian 2: Evaluasi implikasi keberadaan spesies invasif eceng gondok terhadap komunitas serangga herbivor dan parasitoid.

Penelitian 3: Evaluasi penyebaran agens hayati Neochetina spp. dan dampaknya terhadap eceng gondok.

Penelitian 4: Studi potensi dampak non-target introduksi agens hayati

Neochetina eichhorniae.

Penelitian 1 dilakukan untuk menjawab permasalahan 1 dan 2, penelitian 2 untuk menjawab permasalahan 2, penelitian 3 untuk menjawab permasalahan 3, dan penelitian 4 untuk menjawab permasalahan 4 (Gambar 1.1). Penelitian 1 akan memberikan informasi tentang komunitas tumbuhan akuatik dan komunitas serangga secara umum yang berasosiasi dengan komunitas tumbuhan akuatik pada lokasi dengan dan tanpa keberadaan eceng gondok. Penelitian 2 akan memberikan informasi tentang komunitas serangga yang diprediksi paling banyak terkena dampak keberadaan eceng gondok, yaitu serangga herbivor dan parasitoid. Penelitian 3 akan memberikan informasi tentang penyebaran agens hayati Neochetina spp. pada beberapa daerah di Jawa Barat dan DKI Jakarta, serta efektivitasnya dalam menekan populasi eceng gondok. Penelitian 4 akan memberikan informasi tentang potensi dampak non-target agens hayati N. eichhorniae terhadap komunitas tumbuhan dan serangga lokal.

Gambar 1.1 Kerangka penelitian implikasi keberadaan spesies asing invasif eceng gondok dan agens hayatinya, Neochetina spp., terhadap komunitas tumbuhan akuatik dan serangga (*garis solid = direct nontarget-effect; garis putus-putus = indirect nontarget-effect).

Ekosistem baru

Pergeseran komunitas serangga lokal (Permasalahan 2) Introduksi spesies asing

invasif eceng gondok

Dominasi eceng gondok pada ekosistem perairan

Introduksi Neochetina spp. sebagai agens hayati

Pergeseran komunitas tumbuhan akuatik lokal

(Permasalahan 1) Direct/indirect* nontarget-effects? (Permasalahan 4) Rekomendasi untuk pengembangan strategi konservasi keanekaragaman hayati Kelestarian keanekaragaman hayati terganggu Direct target-effect? (Permasalahan 3)

Distribusi dan Pemencaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif

Banyak spesies tumbuhan yang secara sengaja maupun tidak terbawa oleh manusia ke bagian dunia yang lain. Aktivitas dan mobilitas manusia telah menyebabkan spesies tumbuhan ini terbawa dan menyebar ke berbagai belahan bumi. Hal ini dimungkinkan dengan dimulainya era eksplorasi yang dapat menghilangkan penghalang biogeografi yang sebelumnya mengisolasi biota benua selama jutaan tahun (Mooney & Cleland, 2001). Wilson (1988) melaporkan bahwa penyebaran spesies tumbuhan akibat aktivitas manusia telah melebihi yang pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah geologi. Ribuan spesies tumbuhan pada saat ini telah mapan secara permanen pada zona fitogeografi yang tidak akan pernah terjadi dalam proses evolusi yang normal.

Setelah keluar dari habitat alaminya, tumbuhan asing tersebut seringkali berkembang menjadi penginvasi agresif yang lebih kompetitif daripada spesies tumbuhan lokal. Beberapa spesies invasif dapat mengubah jalur evolusi dari spesies lokal melalui kompetisi, pemindahan relung, hibridisasi, dan akhirnya kepunahan (Mooney & Cleland, 2001). Schoonhoven et al. (1996) melaporkan bahwa di beberapa bagian dunia, 60-97% gulma merupakan spesies asing, yang mengakibatkan pengaruh merusak dalam ekosistem alam atau menimbulkan kehilangan yang nyata bagi produksi pertanian. Kehilangan hasil pertanian oleh gulma melampaui kehilangan hasil oleh serangga dan pengeluaran untuk herbisida di seluruh dunia 30% lebih tinggi daripada insektisida.

Keberadaan spesies asing invasif cenderung merugikan karena merupakan ancaman serius terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003). Lebih lanjut Olden et al. (2004) menyatakan bahwa spesies asing invasif dapat menyebabkan terjadinya homogenisasi biotik dan pergantian spesies lokal dengan spesies introduksi. Hal ini dapat terjadi karena spesies asing invasif mampu beradaptasi dan mendominasi suatu habitat baru yang awalnya didominasi oleh spesies lokal. Salah satu contoh adalah introduksi gulma Hypericum perforatum L. dari Eropa ke Amerika Utara. Spesies gulma

ini secara cepat menyebar pada padang rumput California hingga menutupi 59% komunitas tersebut dan mengakibatkan spesies rumput lokal yang sebelumnya dominan menurun menjadi 22% dari penutupan lahan (Bellows 2001).

Sifat invasif spesies tumbuhan asing dapat terjadi pada tumbuhan akuatik maupun tumbuhan terestrial. Spesies tumbuhan akuatik yang hidup dan berkembang pada habitat perairan dapat dianggap sebagai gulma apabila keberadaannya telah mengganggu kepentingan manusia untuk memanfaatkan perairan, serta gangguan terhadap pemenfaatan habitat perairan oleh flora dan fauna akuatik lokal (Forno & Julien 2000). Banyak contoh tumbuhan akuatik yang menjadi invasif ketika diintroduksi ke luar dari daerah aslinya. Tumbuhan akuatik asing dapat menjadi gulma diduga antara lain terjadi karena tumbuhan tersebut tidak lagi dikendalikan oleh musuh alami, ataupun adanya tekanan kompetisi dari spesies tumbuhan lain yang mempunyai karakter yang mirip. Eceng gondok, Eichhornia crassipes (Mart.) Solms. (Pontederiaceae), merupakan salah satu spesies tumbuhan akuatik paling merusak di dunia, menginvasi danau, kolam, saluran irigasi dan sungai. Menurut beberapa literatur menunjukkan bahwa eceng gondok berasal dari Brasil, sedangkan menurut literatur yang lain menyatakan bahwa eceng gondok adalah tumbuhan asli perairan Amerika Selatan. (Gopal & Sharma 1981).

Spesies invasif eceng gondok menyebar ke berbagai negara dalam kurun waktu akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dan mengakibatkan degradasi ekosistem perairan (Center et al. 2002). Gopal dan Sharma (1981) menyatakan bahwa pada saat ini tersedia cukup data yang membuktikan bahwa manusia telah membantu distribusi dan pemencaran eceng gondok ke seluruh penjuru dunia, baik secara sengaja maupun tidak.

Penyebaran eceng gondok pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1880-an ketika eceng gondok sengaja diintroduksi sebagai tanaman hias kolam (Julien et al. 1999). Eceng gondok kemudian menyebar ke Mesir, Australia, dan Asia Selatan pada tahun 1890 (Gopal & Sharma 1981). Menurut Fayad et al. (2001), eceng gondok pertama kali dilaporkan di Mesir oleh Simpson pada tahun 1932. Untuk Asia Tenggara, eceng gondok pertama kali menyebar melalui Indonesia pada tahun 1894, tepatnya Kebun Raya Bogor,

Jawa Barat (Gopal & Sharma 1981). Tumbuhan akuatik ini diintroduksi sebagai tanaman hias dan penutup kolam ikan (Soerjani et al. 1987).

Pada saat ini, penyebaran eceng gondok di Indonesia sangat luas dan hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Irian Jaya. Dari laporan inventori pada beberapa perairan terbuka di Indonesia menunjukkan bahwa beberapa danau secara serius terinfestasi oleh eceng gondok. Tjitrosoedirdjo & Wijaya (1991) melaporkan bahwa perairan terbuka yang telah diokupasi oleh eceng gondok meliputi Danau Situ Bagendit, Danau ‘Danau Rawa’, Danau Curug, dan Waduk Saguling di Jawa Barat; Danau Rawa Pening di Jawa Tengah; Waduk Wlingi Raya, Waduk Bureng, dan Sungai Surabaya di Jawa Timur; Danau Kerinci di Jambi; Danau Maninjau di Sumatera Barat; Danau Sentani di Irian Jaya.

Eceng Gondok sebagai Gulma Asing Invasif

Eceng gondok merupakan tumbuhan mengapung yang tumbuh pada habitat air tawar. Eceng gondok tergolong dalam ordo Liliales, famili Pontederiaceae (Gopal & Sharma 1981). Tumbuhan ini memiliki akar serabut. Daun merumpun mengelilingi pangkal rumpun, hijau mengkilat, dan membulat berbentuk seperti jantung dengan ujung meruncing, lebar daun rata-rata 7,25 cm. Bunga biseksual dan berwarna ungu dengan enam tangkai sari yang melekat pada pembuluh kelopak bunga dengan kepala putik yang panjangnya 1,5–2,0 mm (Soerjani et al. 1987). Morfologi eceng gondok sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1.

Pertumbuhan dan perkembangan eceng gondok akan sangat maksimal pada perairan yang dangkal dan subur (Center 1994), seperti kolam, danau, selokan, dan sungai. Reproduksi eceng gondok dapat terjadi secara generatif dengan biji dan vegetatif dengan stolon. Perkembangbiakan dengan stolon lebih cepat dibandingkan dengan biji (Gopal & Sharma 1981). Pada kondisi lingkungan yang menguntungkan, eceng gondok dapat menghasilkan 3000 individu baru dalam 50 hari. Biji dapat bertahan selama 15 tahun di dasar perairan dan akan tumbuh kembali setelah muncul ke permukaan (Soerjani et al. 1987).

Isthmus Helaian daun Rambut akar Stolon Float(gondok) Bunga Petiol

Gambar 2.1 Morfologi eceng gondok (Eichhornia crassipes) (Sumber: Gopal & Sharma 1981; Gurure 1999).

Gulma eceng gondok dikenal sangat invasif karena spesies tumbuhan ini memiliki daya adaptasi dan laju reproduksinya yang tinggi. Eceng gondok dapat hidup di daerah tropis dan subtropis (Gopal & Sharma 1981) dan sangat toleran terhadap iklim sedang dan tropis (Julien et al. 1999). Tumbuhan ini terdistribusi mulai dari latitude 40o Lintang Utara hingga 40o Lintang Selatan (Center et al.

2002). Populasi eceng gondok berkembang dengan sangat cepat karena tumbuhan ini dapat berreproduksi secara seksual melalui biji dan aseksual dengan stolon. Reproduksi secara aseksual atau vegetatif memegang peranan penting karena dengan cara ini laju pertumbuhan jumlah rumpun eceng gondok dapat berkisar antara 1,2%-13,8% per hari (Gopal & Sarma 1981).

Keberadaan eceng gondok telah menimbulkan berbagai masalah yang serius pada ekosistem perairan. Kerugian yang disebabkan oleh eceng gondok pada habitat baru terjadi akibat akumulasi biomassa, penutupan permukaan, pendangkalan danau, dan sungai secara cepat, sehingga menjadi elemen penting dalam perubahan lanskap perairan (Tjitrosoedirdjo & Wijaya 1991). Masalah lain yang ditimbulkan adalah bahwa gulma ini lebih kompetitif dari pada

tumbuhan lokal. Pada daerah perairan, tumbuhan asli dan satwa air tidak dapat bertahan dan mati (Tjitrosemito 1999).

Center et al. (2002) mengindentifikasi dua masalah besar yang dapat timbul akibat keberadaan gulma ini yakni kerugian ekonomi dan kerusakan ekologi. Kerugian ekonomi terjadi karena pertumbuhan gulma yang cepat dapat menutupi wilayah perairan yang luas dan mengakibatkan terhambatnya aktivitas pelayaran pada daerah-daerah yang mengandalkan sarana transportasi air. Biomassa yang besar juga seringkali menutupi saluran irigasi menghambat aliran air. Selain itu, infestasi gulma ini juga dapat menurunkan nilai jual daerah tujuan wisata dan seringkali mengganggu perekonomian masyarakat nelayan perikanan darat. Eceng gondok dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan

Dokumen terkait