• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman Lampiran 1 Analisis ragam rataan denyut jantung selama 84 hari

pengamatan ... 91 Lampiran 2 Analisis ragam rataan frekuensi pernapasan selama 84 hari

pengamatan ... 91 Lampiran 3 Analisis ragam rataan suhu tubuh selama 84 hari

pengamatan ... 91 Lampiran 4 Analisis ragam rataan nilai hematokrit selama 84 hari

pengamatan ... 92 Lampiran 5 Analisis ragam rataan kadar hemoglobin selama 84 hari

pengamatan ... 92 Lampiran 6 Analisis ragam rataan glukosa serum selama 84 hari

pengamatan ... 92 Lampiran 7 Analisis ragam rataan nitrogen urea serum selama 84 hari

pengamatan ... 92 Lampiran 8 Analisis ragam rataan trigliserida serum selama 84 hari

pengamatan ... 93 Lampiran 9 Analisis ragam rataan kortisol serum selama 84 hari

pengamatan ... 93 Lampiran 10 Analisis ragam rataan T4 serum selama 84 hari

pengamatan ... 93 Lampiran 11 Analisis ragam rataan T3 serum selama 84 hari

pengamatan ... 93 Lampiran 12 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-1 perlakuan ... 89 Lampiran 13 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-2 perlakuan ... 89 Lampiran 14 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-3 perlakuan ... 89 Lampiran 15 Analisis ragam total produksi susu selama 84 hari

pengamatan ... 89 Lampiran 16 Analisis ragam produksi susu 4% FCM selama 84 hari

pengamatan ... 90 Lampiran 17 Analisis ragam rataan kadar protein susu selama 84 hari

pengamatan ... 90 Lampiran 18 Analisis ragam rataan kadar lemak susu selama 84 hari

pengamatan ... 90 Lampiran 19 Analisis ragam rataan kadar berat kering tanpa lemak

selama 84 hari pengamatan ... 90 Lampiran 20 Analisis ragam rataan bobot jenis susu selama 84 hari

17

Lampiran 21 Analisis ragam bobot tubuh awal sapi uji ... 94 Lampiran 22 Analisis ragam bobot tubuh akhir ... 94 Lampiran 23 Analisis ragam pertambahan bobot tubuh selama penelitin

... 94 Lampiran 24 Analisis ragam rataan bobot tubuh selama 84 hari (12

minggu) pengamatan ... 94 Lampiran 25 Analisis ragam rataan konsumsi bahan kering selama 84

hari pengamatan ... 94 Lampiran 26 Analisis ragam efisiensi produksi susu selama 84 hari (12

minggu) pengamatan ... 95 Lampiran 27 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 1-4 minggu

pengamatan ... 95 Lampiran 28 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 5-8 minggu

pengamatan ... 95 Lampiran 29 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 8-12 minggu

pengamatan ... 95 Lampiran 30 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara

produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 108 Lampiran 31 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara

produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 108 Lampiran 32 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara

produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 109 Lampiran 33 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara

produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 109 Lampiran 34 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara

produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 109 Lampiran 35 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara

produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 110

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Angka konsumsi susu di Indonesia saat ini tercatat paling rendah di Asean, yaitu 7 kg/kapita/tahun atau setara dengan 19 cc/kapita/hari, sedangkan Malaysia, Thailand dan Bangladesh mempunyai rataan konsumsi susu di atas 20 kg/kapita/tahun. Berdasarkan data produksi susu segar yang dilaporkan Direktorat Jenderal Peternakan (2005) menunjukkan adanya peningkatan produksi susu dari tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005 yang secara berturut-turut sebesar 493 375; 553 442; 550 000; dan 550 000 ton. Namun demikian, produksi susu dalam negeri baru dapat mensuplai sekitar 30% saja sehingga kekurangannya yaitu 70% atau sebanyak 1 425 200 ton diimpor dalam bentuk susu olahan dari Selandia Baru, Australia, Irlandia, Belanda, Filipina, dan Thailand. Kegiatan impor susu ditengarai sebagai akibat rendahnya produksi susu dalam negeri, dan di samping itu juga akibat kesenjangan yang kian melebar antara angka kebutuhan konsumsi dan produksi susu dalam negeri.

Pada tahun 2005 populasi sapi perah di Indonesia adalah sekitar 374 000 ekor dan hampir 91,1% dikelola dalam usaha yang berbasis peternakan rakyat dengan produksi susu yang masih rendah, yaitu berkisar antara 8 dan 10 L/ekor/hari atau antara 2 500 dan 3 000 L/laktasi. Sejumlah 8,9% lainnya dikelola dalam perusahaan komersial dengan produksi susu antara 3 000 dan 5 000 L/laktasi. Berdasarkan asal usulnya, sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia adalah bangsa FH yang berasal dari negara beriklim subtropis/temperate, yang telah mengalami proses adaptasi lingkungan. Namun, hasil produksinya masih jauh di bawah rataan sapi-sapi perah di negara asalnya, yakni 7 342 kg/laktasi (Talib et al. 2003).

Indonesia termasuk daerah tropis lembab yang dicirikan oleh suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan yang tinggi. Sapi perah termasuk hewan homoioterm yang akan selalu menjaga keseimbangan antara panas tubuhnya dengan lingkungan disekeliling. Perubahan lingkungan luar akan segera diikuti dengan perubahan lingkungan dalam tubuh, dan dikembalikan ke kondisi semula agar seluruh kerja sistem organ kembali ke dalam keadaan normal, atau dikenal

dengan proses homeostasis. Konsep homeostasis melibatkan keseimbangan panas, kegiatan organ sirkulasi, kardiovaskular, dan lain-lain.

Perubahan lingkungan dalam tubuh akan menimbulkan serangkaian perubahan reaksi biokimia dalam tubuh, yang berdampak pada aktivitas sel dan kerja organ yang pada gilirannya menyebabkan banyak energi yang digunakan hanya untuk mempertahankan kondisi tubuh atau untuk hidup pokok. Proses yang jika berlangsung cukup lama dan berkesinambungan ini akan mempengaruhi penggunaan energi, sedangkan produksi yang dihasilkan ternak merupakan kelebihan energi setelah digunakan untuk mengelola atau mempertahankan kebutuhan hidup pokok. Ternak dalam kondisi tersebut di atas cenderung menurunkan level konsumsi pakan bila berada di daerah panas. Proses tersebut diyakini sebagai penyebab rendahnya produktivitas ternak di daerah panas karena serangkaian proses metabolisme tubuh yang harus dilakukan untuk mempertahankan sistem kerja organ-organ tubuh.

Sapi perah asal subtropis akan berkembang biak secara baik dengan produksi susu yang cukup tinggi pada daerah yang mempunyai ketinggian dari 750 sampai 1 250 m di atas permukaan laut, yang memiliki kisaran suhu udara antara 17 dan 22°C dan kelembaban di atas 55% (Atmadilaga 1979). Hasil penelitian di Thailand, yang juga negara tropis, menunjukkan bahwa sapi-sapi perah subtropis dapat beraklimatisasi dengan baik pada suhu di bawah 18°C dan kelembaban di atas 55% (Siregar et al. 2003). Dengan alasan ini, populasi sapi perah di Indonesia tersebar di daerah-daerah tertentu saja, khususnya yang mempunyai kesamaan iklim dengan daerah asalnya.

Dalam menanggulangi permasalahan tentang kesenjangan antara produksi susu dan kebutuhan konsumsi susu nasional, pemerintah dalam kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu tahun 2010 mencanangkan peningkatan suplai susu dalam negeri dari 30 menjadi 40% melalui peningkatan produksi susu dari 8-10 L menjadi 15L/ekor/hari, kepemilikan ternak dari 4-6 ekor menjadi 10 ekor/kepala keluarga (Departemen Pertanian 2006). Sebagai tindak lanjut maka berbagai upaya peningkatan produktivitas ternak telah banyak dilakukan, di antaranya dengan memanipulasi lingkungan, nutrisi, bahkan reproduksi melalui inseminasi buatan dan trasfer embrio. Namun, hasilnya dipandang belum memuaskan. Upaya peningkatan melalui aplikasi hasil bioteknologi belum banyak

3

dilaporkan, sementara di luar negeri penggunaan produk bioteknologi seperti hormon pertumbuhan rekombinan sudah luas di kalangan peternak.

Somatotropin sapi rekombinan atau bovine somatotropin (bST) rekombinan telah dikenal sejak tahun 80-an, yang merupakan hasil bioteknologi khususnya dalam manipulasi genetik, reproduksi dan fisiologi, dan aplikasinya sangat mewarnai perubahan dalam industri peternakan. Mekanisme kerja somatotropin dalam peningkatan produksi susu pada sapi laktasi secara langsung terlibat dalam penggalangan nutrisi. Sementara aktivitas sintesis susu dalam kelenjar susu tidak secara langsung oleh kerja ST karena di dalam sel-sel kelenjar susu hampir tidak ditemukan reseptor ST, namun reseptor IGF-1 banyak djumpai sehingga para peneliti meyakini bahwa perangsangan produksi susu melalui injeksi bST pada sapi laktasi dimediasi oleh insulin like growth factor-1 (IGF-1). Hal ini terlihat jelas adanya peningkatan konsentrasi IGF-1 mencapai 3 sampai 4 kali lipat setelah diberi perlakuan ST, dan peningkatan akan terus berlanjut selama perlakuan.

Somatotropin pada sapi laktasi berperan dalam proses-proses yang berkaitan erat dengan penggalangan nutrien untuk kebutuhan sintesis susu sehingga perangsangan produksi susu melalui injeksi ST berdampak pada metabolisme. Peningkatan sintesis susu memerlukan sejumlah tambahan nutrien baik substrat atau prekursor sehingga sebagai konsekuensinya aliran darah menuju kelenjar susu perlu ditingkatkan. Dalam penggalangan nutrien, ST berperan sebagai agen homeorhesis dengan melakukan serangkaian adaptasi metabolisme dalam tubuh.

Semakin tersedianya ST hasil isolasi pituitari atau rekayasa genetika, penggunaan ST dalam industri peternakan semakin berkembang pesat. Hasil ulasan Peel dan Bauman (1987), Chalupa dan Galligan (1989) menyimpulkan bahwa penggunaan ST tidak memberikan dampak yang merugikan pada ternak, bahkan akan tampak seperti produksi susu dari jenis genetik unggul jika diberikan pada sapi yang berproduksi tinggi. Injeksi ST pada sapi-sapi yang berproduksi rendah dengan manajemen yang baik akan memberikan respons yang lebih baik dibandingkan dengan sapi yang berproduksi tinggi.

Bovine somatotropin (bST) semakin populer di kalangan peternak, dan

waktu tertentu (14 atau 28 hari). Cara injeksi tersebut di atas akan berdampak pada konsentrasi ST dalam darah yang pada gilirannya akan berdampak pada kerja ST dalam penggalangan nutrisi. Injeksi bST selang 14 hari dilaporkan menghasilkan produksi susu yang lebih rendah, yaitu hanya 70-79% dibandingkan dengan cara injeksi bST harian, namun dipandang lebih efektif untuk aplikasi di lapangan (Chilliard 1989, Jenny et al.1992, Etherton&Bauman 1998). Penambahan hormon eksogen berpengaruh pada konsentrasi hormon– hormon lain yang saling berkaitan secara metabolis. Respons sapi laktasi terhadap injeksi bST akan meningkatkan sekresi susu harian atau mingguan, dan peningkatan produksi susu akan dipertahankan selama pemberian yang berkesinambungan (Akers 2002), tetapi akan cepat kembali ke level basal ketika injeksi bST dihentikan ( Manalu 2001; Akers 2002). Injeksi ST dalam industri peternakan saat ini dianggap merupakan suatu terobosan dari hasil bioteknologi yang cukup ekonomis dan efisien, sekalipun dibandingkan dengan upaya pemberantasan penyakit, vaksinasi atau penggunaan bioteknologi reproduksi (Hardjopranjoto 2001).

Somatotropin sangat menjanjikan peningkatan produktivitas serta efisiensi penggunaan pakan pada sapi perah. Penggunaan bST pada tingkat peternak dapat meningkatkan rataan produksi susu hingga 5 kg/hari atau berkisar antara 15 dan 20% tanpa menimbulkan penyakit metabolis atau perubahan kualitas susu yang berarti (Manalu 1994), bahkan laporan terakhir peningkatan produksi susu dapat mencapai antara 30 dan 40% bergantung pada dosis pemakaian (Akers 2002). Namun, demikian pasokan pakan yang diberikan perlu mendapat perhatian, khususnya dalam hal keseimbangan nutrisi pakan agar bisa mendukung penggalangan pasokan bahan sintesis susu.

Pakan sapi perah terdiri atas penyusun pakan terbesar berupa hijauan dan konsentrat sebagai tambahan. Keseimbangan antara hijauan dan konsentrat akan berpengaruh pada produksi dan komposisi susu. Pakan melalui proses fermentasi rumen akan menghasilkan sejumlah asam lemak terbang (asam asetat, asam propionat, asam butirat) yang akan digunakan sebagai sumber energi utama (Akers 2002). Hijauan secara kuantitas cenderung berpengaruh pada produksi asam asetat dan berkaitan erat dengan kadar lemak susu serta penyediaan rangka karbon, sedangkan konsentrat berpeluang untuk meningkatkan produksi asam

5

propionat yang melalui proses glukoneogenesis dalam hati akan diubah menjadi glukosa. Glukosa merupakan substrat dan prekursor yang sangat dibutuhkan dalam proses sintesis susu khususnya dalam sintesis laktosa. Untuk dapat meningkatkan produksi susu perlu dilakukan penambahan sumber glukosa yang tiada lain dari konsentrat.

Peningkatan produksi susu melalui injeksi bST pada usaha sapi perah kiranya dapat dijadikan salah satu jalan pintas bagi penyediaan kebutuhan konsumsi susu dalam negeri. Namun, perlu penjajagan ke arah tersebut. Untuk mendapatkan data konkrit khususnya bagi peternakan di Indonesia yang berlatar belakang iklim tropis, dan dicirikan rendahnya produktivitas yang diakibatkan oleh suhu lingkungan dan kelembaban tinggi, maka perlu dilakukan penelitian tentang injeksi somatotropin (bST) pada sapi laktasi di dataran tinggi.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi sapi perah yang sudah beradaptasi dengan iklim Indonesia dalam merespons injeksi bST dan penambahan konsentrat dalam upaya peningkatan produktivitas ternak. Tujuan penelitian secara rinci :

1. Membandingkan efektivitas selang waktu injeksi bST dan penambahan 25% konsentart pada profil metabolit dan hormon metabolisme darah yang erat kaitannya dengan sintesis susu.

2. Membandingkan pengaruh selang waktu injeksi bST dan penambahan 25% konsentrat pada produksi susu dan komposisi susu.

3. Membandingkan efisiensi produksi susu masing-masing selang waktu injeksi bST dan penambahan 25% konsentrat.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah biologi dalam penerapan produk bioteknologi, yaitu somatotropin rekombinan dan selanjutnya dapat dijadikan informasi dasar bagi para peternak atau penentu kebijakan dalam upaya peningkatan produktivitas sapi perah nasional.

Hipotesis

Injeksi bST selang 14 hari dan penambahan 25% konsentrat pada sapi Holstein laktasi akan menghasilkan produksi susu dan komposisi yang sama dengan hasil injeksi bST harian dan pakan standar, yang dinilai melalui perubahan status faali, hematologi, metabolit, hormon metabolisme, bobot tubuh, konsumsi bahan kering, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak.

7

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah di Indonesia

Rumpun sapi perah Fries Holstein (FH) banyak dipelihara di Indonesia. Rumpun sapi perah ini berasal dari daerah subtropis atau lebih jelasnya dari provinsi Holland Utara dan Friesland Barat Belanda. Berdasarkan asal usulnya, rumpun sapi ini dikembangkan dari nenek moyang sapi liar Bos (Taurus) Typicus

primigenius dan telah diternakkan di negeri Belanda sekurang-kurangnya 2000

tahun.

Sapi FH mempunyai ciri-ciri kepala panjangnya sedang, mulut lebar dengan hidung terbuka lebar, rahang kuat, dahi lebar, leher panjang dan pipih. Selain itu, sapi FH mempunyai punggung kuat dan rata dengan ruas-ruas tulang belakang yang rapih hubungannya, dan pinggang lebar dan kuat. Kedudukan keempat kaki sapi FH membentuk empat persegi panjang, dan bentuk kaki halus tetapi tampak kuat. Warna tubuh pada umumnya belang hitam putih, tetapi di negeri Belanda bagian timur dan di Jerman terdapat kelompok sapi yang berwarna belang merah putih (Sosroamidjojo & Soeradji 1978).

Pada umumnya sapi-sapi Eropa mempunyai kisaran suhulingkungan nyaman yang rendah sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan suhu lingkungan panas. Agar sapi perah FH dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, perlu lokasi yang mempunyai lingkungan mikro yang hampir menyamai tempat asalnya. Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang memiliki suhu lingkungan antara 0 dan 20ºC, sedangkan suhu kritis untuk sapi Holstein, Brown Swiss, dan Brahman secara berturut-turut adalah 21; 24-27; 32ºC (Hafez 1968). Sapi perah akan berproduksi maksimal pada suhu lingkungan antara 4,4 dan 21,1ºC dengan tingkat kelembaban berkisar antara 60 dan 80%. Kenaikan suhu lingkungan akan menurunkan konsumsi pakan dan produksi susu sementara konsumsi air meningkat (Schmidt 1971).

Sekitar abad ke-19 sapi FH pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan susu bagi bangsa Belanda yang ada di Indonesia. Indonesia terletak di daerah tropis yang sangat sedikit daerah curah hujan rendah dan musiman, radiasi sinar matahari yang sangat kuat

sehingga kombinasi tersebut menyebabkan fluktuasi suhu harian dan kelembaban yang sangat luas. Secara geografis, Indonesia terletak antara 5 dan 7º Lintang Utara dan Lintang Selatan, yang mempunyai suhu yang relatif konstan (± 27ºC), curah hujan yang tinggi berkisar dari 2 032 sampai 3 048 mm (Williamson & Payne 1993). Dalam kurun waktu yang cukup panjang sapi-sapi asal Belanda tersebut mengalami aklimatisasi dengan lingkungan tropis Indonesia, bahkan pada saat ini telah berkembang pesat peranakan FH yang telah lebih beradaptasi dengan lingkungan.

Suhu optimal untuk produksi susu sapi yang berasal dari daerah subtropis adalah 10°C (Williamson & Payne 1993). Penampilan produksi masih cukup baik walau suhu lingkungan meningkat sampai 21,1°C (Sutardi, 1981). Suhu kritis yang berdampak pada penurunan produksi susu yang tajam adalah antara 21 sampai 27°C (Williamson & Payne 1993). Tidak mengherankan apabila pemeliharaan sapi FH sebagian besar terkonsentrasi pada daerah-daerah dataran tinggi (±1000 m dpl) seperti Garut, Lembang, Pangalengan, Pujon, Nongkojajar, yang lingkungannya hampir menyamai daerah asalnya (Siregar et al. 2003).

Populasi sapi perah di Indonesia menunjukkan perkembangan. Selama kurun waktu 1970 hingga 2001 terjadi peningkatan populasi dari 52 000 ekor menjadi 347 000 ekor, sedangkan sejak tahun 1994 produksi susu tercatat 426 727 ton dan meningkat menjadi 550 000 ton pada tahun 2004 (Direktorat Jenderal Peternakan 2005).

Sapi Fries Holstein mempunyai produksi susu yang tinggi (4 000 sampai 5 000 L/tahun), dan di daerah tropis dalam kisaran dari 2 500 sampai 5 000 kg/ laktasi (Pane 1986). Tampaknya sapi Fries Holstein mengalami penurunan produktivitas khususnya pada peternakan rakyat: produksi susu mencapai 8 L/hari dan pada peternakan sapi perah komersial berkisar dari 3 000 sampai 5 000 L/305 hari, sedangkan di negara asalnya rata-rata produksi mencapai 7 342 kg/laktasi (Talib et al. 2003).

9

Masa Laktasi

Masa laktasi seekor sapi perah menunjukkan lamanya waktu sapi perah tersebut menghasilkan susu dalam satu periode (Bath et al.1978). Periode laktasi normal berlangsung kira-kira 44 minggu atau 305 hari. Produksi susu sapi perah pada awal laktasi umumnya meningkat secara dramatis dan mencapai puncaknya pada minggu keempat hingga kedelapan setelah partus dan menurun secara perlahan sampai ahir masa laktasi (NRC 1988). Produksi susu selama 2 bulan pertama laktasi mencapai 145% dari rataan produksi satu periode laktasi, sedangkan pada bulan ketiga dan keempat menunjukkan penurunan menjadi 120%, bulan laktasi kelima dan keenam produksi susu sama dengan rataan produksi dalam satu periode laktasi dan setelah itu produksi menjadi 78% pada bulan laktasi ketujuh dan kedelapan, akan menurun hingga 70% ketika menjelang beranak (Tanuwiria 2004). Sebagai gambaran kurva produksi susu selama laktasi disajikan pada Gambar 1.

Produksi Susu ( K g) BULAN 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 1 Kurva Produksi Susu selama Laktasi (Alim et al. 2001) Produksi susu setiap periode laktasi akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur, dan puncak prestasi produksi dicapai pada umur antara 6 dan 7 tahun. Laktasi pertama sapi betina yang sehat akan terjadi pada umur dua tahun dengan produksi susu 75% dari produksi umur dewasa, laktasi kedua terjadi pada umur tiga tahun dengan produksi 85% dari produksi umur dewasa, laktasi ketiga dan keempat terjadi pada umur antara 4 dan 5 tahun dengan produksi susu antara

92% dan 98% dari produksi umur dewasa. Umur dewasa dicapai pada 6 tahun, keadaan ini sedikit bervariasi di antara sapi perah. Jika sapi betina berumur dari 8 sampai 9 tahun atau lebih maka produksi susu akan menunjukkan penurunan setiap laktasi (Schmidt et al. 1988).

Jumlah produksi susu per laktasi dari seekor sapi perah sangat dipengaruhi oleh bangsa sapi, umur, musim kelahiran, geografis, masa laktasi, manajemen, nutrien, dan frekuensi pemerahan (Homan & Wattiaux 1996). Selain itu, jumlah produksi susu per laktasi dipengaruhi juga oleh manajemen sehingga lambatnya pengaturan perkawinan dalam periode laktasi akan memungkinkan periode laktasi lebih panjang.

Homeostasis

Semua ternak merupakan hewan homeotermis yang mempunyai suhu tubuh yang relatif tetap atau mempunyai kisaran suhu tubuh yang sempit. Untuk dapat mempertahankan suhu tubuh yang tetap, ternak harus mampu mengatur keseimbangan antara panas yang diproduksi dari hasil metabolisme seluler dan yang diperoleh dari lingkungan dengan pengeluaran panas dari tubuh (Hafez 1968).

Produksi panas tubuh berlangsung secara berkesinambungan di dalam protoplasma sebagai hasil oksidasi zat-zat makanan terutama yang terjadi di dalam tenunan-tenunan otot dan kelenjar. Ternak tetap memerlukan energi untuk menyelenggarakan proses-proses untuk mendukung hidup pokok, yaitu sirkulasi darah, respirasi, gerak otot, ekskresi, dan lain-lainnya (Soeharsono 1984). Selain itu, panas diperoleh secara langsung dari luar tubuh berupa penyerapan melalui permukaan tubuh dari panas matahari (Cole 1962; Hafez 1968). Proses fisiologis hanya akan berlangsung baik apabila kondisi lingkungan luar tubuh (millieu exterieur) dan di dalam tubuh (millieu interieur) berada dalam keseimbangan. Perubahan kondisi lingkungan luar tubuh akan mengubah kondisi lingkungan di dalam tubuh.

Pada ternak homoiotermis, perubahan dari luar akan berdampak pada serangkaian proses dalam tubuh untuk mengembalikan ke dalam keadaan yang relatif tetap. Proses tersebut dikenal dengan homeostasis. Setiap individu akan dihadapkan pada dua tipe lingkungan, yakni lingkungan luar (external

11

environment) dan lingkungan dalam tubuh (internal enviroment). Perubahan

lingkungan eksternal akan menimbulkan banyak perubahan reaksi biokimia yang berdampak pada gangguan kerja sel dan kerja organ yang mengakibatkan banyak energi yang digunakan hanya untuk mempertahankan kondisi tubuh atau hidup pokok (Soeharsono 1984).

Konsep homeostasis menyangkut keseimbangan panas, pengaturan suhu tubuh, keseimbangan kimiawi air, persenyawaan karbon, elektrolit, kardiovaskular dan lain-lain. Kondisi luar yang menimbulkan perubahan di dalam tubuh terjadi terus menerus sehingga lambat laun ternak akan terbiasa dengan perubahan di luar tersebut dan kegiatan proses homeostasis semakin ringan menandakan ternak telah mengalami proses penyesuaian fisiologis. Dalam jangka panjang akan terjadi proses adaptasi, namun tidak memperlihatkan produktivitas yang tinggi (Soeharsono 1984).

Somatotropin dan mekanisme kerja

Somatotropin (ST) adalah nama ilmiah hormon pertumbuhan (growth

hormone atau GH) yang merupakan hormon protein atau hormon polipeptida

dengan rangkaian 190-191 residu asam amino yang membentuk satu molekul polipeptida. Somatotropin disintesis dan disekresikan oleh sel-sel somatotrof yang terletak dalam lobus anterior kelenjar pitiutari (Djojosoebagio 1990; Manalu 1994; Soeharsono 2001), dan sekresinya sangat dipengaruhi oleh faktor neural, metabolik, dan hormonal (Djojosoebagio 1990).

Fungsi fisiologis hormon ini adalah mempengaruhi proses metabolisme yang menyangkut pertumbuhan melalui stimulasi sintesis protein, meningkatkan transportasi asam amino ke dalam sel, mempengaruhi metabolisme karbohidrat, glukoneogenesis dalam hati, memacu mobilisasi lemak tubuh, dan mempengaruhi metabolisme mineral (Hardjopranjoto 2001; Koentjoko 2001; Soeharsono 2001).

Bovine somatotropin (bST) mampu mempercepat pengangkutan asam amino

melalui dinding sel ke dalam sitoplasma sehingga dapat menambah konsentrasi asam amino dalam sel. Selain itu, bST juga mampu meningkatkan pembentukan asam ribonukleat (RNA) dalam inti sel sehingga dapat mendorong proses transkripsi dan translasi dalam ribosom di dalam sitoplasma sel (Hardjopranjoto

Dokumen terkait