• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

GLUKOSA NEFA

ASAM AMINO

Gambar 3 Koordinasi antarjaringan dalam adaptasi metabolik pada sapi laktasi yang diinjeksi bST (Aker 2002)

Pada sapi yang mendapat injeksi bST akan terjadi peningkatan glukoneogenesis hati, yang paling tidak menjelaskan kemampuan antiinsulin untuk menghambat glukoneogenesis. Glukosa akan digunakan sebagai substrat untuk sintesis laktosa di dalam kelenjar susu, dan pada sapi laktasi dengan produksi yang tinggi hampir mendekati 85% total glukosa digunakan untuk sintesis susu. Injeksi bST dapat meningkatkan pemanfaatan netto glukosa pada jaringan kelenjar susu dan menurunkan penggunaan glukosa pada jaringan nonkelenjar susu. Adaptasi metabolik ini cukup untuk memenuhi kebutuhan glukosa untuk sintesis susu (Akers 2002).

Menurut Cohick et al. (1989) bahwa pada ruminansia, peningkatan kehilangan karbon secara irrevesibel mempunyai implikasi peningkatan glukosa, terutama oleh hati. Dalam jangka pendek (yaitu dalam tempo beberapa jam)

peningkatan ini bisa disebabkan oleh peningkatan glikogenolisis, akan tetapi dalam tempo beberapa hari keadaan itu pasti disebabkan oleh glukoneogenesis.

Beberapa hormon yang terlibat dalam metabolisme dalam tubuh adalah tiroksin, insulin, prolaktin, dan somatotropin (McDonald & Pineda 1980; Collier 1984; Bauman et al. 1985) dan beberapa hormon yang turut andil dalam metabolisme mineral dalam penyediaan aliran mineral ke kelenjar susu di antaranya, paratiroid, kalsitonin, dan vitamin D (McDonald & Pineda 1980; Collier et al. 1984; Tucker 1985).

Tiroksin (triiodotironin dan tetraiodotironin) berperan sangat vital dalam penyediaan energi ATP (McDonald & Pineda 1980; Ultiger 1987) bagi perakitan glukosa, asam amino, asam lemak, dan gliserol menjadi glikogen, protein, dan lemak. Hormon tiroksin telah diketahui dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme pada kelenjar susu (Sumaryadi & Manalu 1995b).

Kortisol berfungsi dalam memobilisasi glukosa, asam amino, dan asam lemak untuk tujuan sintesis pada jaringan dan menghambat penggunaan zat-zat makanan untuk tujuan oksidasi dalam sel (McDonald & Pineda 1980; Manalu & Sumaryadi 1995b) dengan merombak cadangan energi tubuh yang akan dibebaskan ke dalam sistem sirkulasi untuk mendukung proses sintesis di kelenjar susu (Annison et al. 1984).

Insulin mempunyai peran dalam mengangkut glukosa, asam amino, dan asam lemak ke dalam sel (Bines & Hart 1982). Namun, insulin tidak memiliki reseptor pada sel-sel kelenjar susu sehingga tidak menunjukkan pengaruh pada pengangkutan substrat ke dalam sel-sel sekretoris kelenjar susu (Manalu 1994).

Prolaktin sangat spesifik dan selalu dikaitkan dengan produksi susu, namun berperan hanya sebatas mengaktifkan (menginisiasi) bukan memelihara atau mempertahankan sintesis air susu (Forsyth 1986).

Somatotropin, Kesehatan Ternak, dan Keamanan Pangan

Sebelumnya telah diramalkan bahwa penggunaan bST akan menimbulkan pengaruh yang membahayakan bagi kesehatan sapi yang mengakibatkan permasalahan ketosis, milk fever, dan “burn-out” (Manalu 2001).

Injeksi bST pada sapi perah menunjukkan terjadinya perubahan metabolisme dalam tubuh, yang disebabkan mekanisme pengaturan metabolisme

23

seiring dengan peningkatan produksi (Akers 2002). Peningkatan pengaliran subtrat ke kelenjar susu membawa konsekuensi peningkatan aliran darah, namun selama penggunaan bST ini tidak nyata berpengaruh pada pengukuran klinis seperti suhu tubuh ataupun pernapasan (Eppard et al. 1987; Manalu et al. 1991), tapi denyut nadi tampak sedikit meningkat khususnya pada pemakaian dosis tinggi (Soderholm et al. 1988). Perubahan-perubahan kimia darah yang terjadi selama perlakuan bST umumnya berkaitan dengan peningkatan produksi dan tetap berada dalam kisaran normal yang dapat diterima secara klinis. Angka hemoglobin dan nilai hematokrit termasuk dalam kategori ini, dan kelihatannya penurunan tersebut terlalu kecil untuk menggambarkan anemia fungsional (Manalu 1994).

Dari hasil beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika, pemakaian hingga dosis 40,5 mg/hari tidak menunjukkan kejadian mastitis (Manalu 1994). Injeksi bST secara berlebihan dapat mendorong terjadinya pemakaian lemak yang berlebihan sehingga menghasilkan asam asetoasetat dalam hati yang akan dikeluarkan ke dalam cairan tubuh dan menyebabkan terjadinya penyakit metabolik seperti ketosis (Harjopranjoto 2001).

Injeksi bST tidak menghasilkan pengaruh yang konsisten pada kejadian mastitis klinis atau hitungan sel somatis (Phipps 1989). Pada suatu percobaan selama dua tahun di U.K, hitungan sel somatis untuk kontrol dan sapi perlakuan lebih rendah dibandingkan rata-rata kejadian secara nasional (Phipps 1989). Bahkan, bovine somatotropin (bST) secara positif bisa mempengaruhi pemulihan fungsi kelenjar susu setelah kejadian mastitis (Phipps 1989).

Hasil penelitian dari Cornell University menunjukkan bahwa sapi-sapi yang diinjeksi bST setiap hari, mulai hari ke-84 sampai hari ke-272 postpartum, ternyata tidak menunjukkan adanya gangguan pada kesehatan maupun status reproduksi (Hariadi et al. 2001). Lebih lanjut diungkapkan bahwa hasil tersebut di atas diperoleh dari sapi-sapi yang dikelola dengan baik, namun sampai sejauh mana injeksi bST bila diberikan pada sapi-sapi yang dikelola secara sederhana masih belum diketahui (Hariadi et al. 2001).

Hasil diskusi The Standing Senate Committee on Agriculture and Forestry, Canada pada tahun 1999 yang dikutip Soeharsono (2001) menyatakan bahwa penggunaan bST dapat meningkatkan produksi hingga 10% namun akan

menyebabkan adanya metabolit IGF-I yang disebut miotropin pada susu yang dapat menyebabkan mastitis pada sapi perah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa penyuntikan bST/rbGH di California (sebelum tahun 1995) dapat menurunkan harapan hidup sapi perah, meningkatkan risiko penyakit, penurunan bobot hidup, kadang-kadang menyebabkan sapi jadi infertile dan lebih peka terhadap mastitis.

Dampak injeksi bST pada keamanan pangan sudah banyak dipublikasikan, namun masih menyisakan kontroversi di antara peneliti. Injeksi bST pada sapi perah dapat meningkatkan produksi susu secara tajam, namun bagaimana pengaruhnya pada orang yang mengkonsumsi produk susu tersebut masih perlu kajian lebih lanjut. Kandungan hormon, faktor pertumbuhan, dan peptida lainnya telah banyak diteliti. Konsentrasi ST pada susu sapi hampir sama dengan susu manusia masing-masing kurang dari 1 ηg/mL. Konsentrasi IGF-I, suatu mediator untuk aksi ST berkisar antara 1,5 sampai 8 ηg/mL pada susu sapi dan 1 sampai 3 ηg/mL pada susu manusia, konsentrasi tersebut akan meningkat pada penggunaan bST antara 2 sampai 5 ηg/mL, sedangkan konsentrasi IGF-II tidak meningkat (Budinuryanto 2001). Lebih lanjut diungkapkan adanya kontroversi antarpeneliti, khususnya yang berkaitan dengan jumlah IGF-I dan kanker. Insulin- like growth factor I dan II diidentifikasi merupakan regulator pertumbuhan autokrin dan endokrin yang ikut memacu berbagai karsinoma. Insulin- like growth

factor I (IGF-I) memainkan peranan sangat penting pada proliferasi sel kanker

pankreas, serta berperan dalam metabolisme glukosa dalam tumor, bahkan pasteurisasi yang menginaktifkan dan merusak bST tidak mempengaruhi IGF-I. Berkaitan dengan dugaan sebagian peneliti bahwa bST yang diberikan secara oral akan tercerna dalam traktus digestivus dan tidak terabsorbsi, dan tidak masuk ke pembuluh darah, namun peneliti lainnya berpendapat bahwa IGF-I tidak rusak, kandungan kasein akan melindungi IGF-I dan selanjutnya diabsorbsi dan masuk ke dalam darah.

25

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Dokumen terkait