• Tidak ada hasil yang ditemukan

Injeksi Bovine Somatotropin (bST) dan Penambahan Konsentrat pada Sapi Holstein Laktasi di Dataran Tinggi Cikole Lembang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Injeksi Bovine Somatotropin (bST) dan Penambahan Konsentrat pada Sapi Holstein Laktasi di Dataran Tinggi Cikole Lembang"

Copied!
266
0
0

Teks penuh

(1)

INJEKSI

BOVINE SOMATOTROPIN

(bST) DAN

PENAMBAHAN KONSENTRAT PADA SAPI

HOLSTEIN LAKTASI DI DATARAN TINGGI CIKOLE,

LEMBANG

ELVIA HERNAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

ELVIA HERNAWAN. Injeksi Bovine Somatotropin (bST) dan Penambahan Konsentrat pada Sapi Holstein Laktasi di Dataran Tinggi Cikole, Lembang. Di bawah bimbingan WASMEN MANALU, SYAHRUN HAMDANI NASUTION, dan NASTITI KUSUMORINI

Sebanyak 24 ekor sapi Holstein laktasi yang dipelihara di dataran tinggi telah digunakan untuk mempelajari respons fisiologis terhadap injeksi somatotropin. Penelitian dirancang menggunakan rancangan acak kelompok dengan pola faktorial 3x2. Faktor pertama adalah injeksi somatotropin (bST) dengan 3 level, yang terdiri atas injeksi nonbST atau kontrol (plasebo yang diberi injeksi 1 mL sesame oil/ekor/hari), injeksi bST harian (36 mg/ekor/hari), dan injeksi bST selang 14 hari. (500 mg/ekor/14hari). Faktor ke dua adalah penambahan konsentrat dengan 2 level, yang terdiri atas pakan standar dan pakan standar ditambah 25% konsentrat. Parameter yang diukur meliputi denyut jantung, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, nilai hematokrit, kadar hemoglobin, glukosa, trigliserida, nitrogen urea, kortisol, T4, T3 dalam darah, produksi susu, produksi 4% FCM (fat corrected milk), komposisi susu, bobot tubuh, pertambahan bobot tubuh, konsumsi bahan kering, efisiensi produksi susu dan nilai kondisi ternak, Injeksi somatotropin nyata meningkatkan denyut jantung dan frekuensi pernapasan demikian pula pemberian pakan standar ditambah 25% konsentrat nyata meningkatkan konsumsi bahan kering pakan. Terdapat interaksi antara injeksi bST dan penambahan 25% konsentrat pada produksi susu dan pertambahan bobot tubuh. Injeksi somatotropin pada sapi yang diberi pakan standar (sesuai dengan kebutuhan) dapat meningkatkan produksi susu sebesar 17-26%, sedangkan injeksi bST dan pakan yang ditambah 25% konsentrat cenderung menurunkan produksi susu, namun meningkatkan bobot tubuh, khususnya pada sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari.

(3)

3

ABSTRACT

ELVIA HERNAWAN. Bovine Somatotropin Injection and Concentrate Supplementations in Lactating Holstein Cows in the Highland Cikole, Lembang. Under the supervision of WASMEN MANALU, SYAHRUN HAMDANI NASUTION, and NASTITI KUSUMORINI

Twenty four lactating Holstein cows were used to study the effect of bovine somatotropin injection and concentrate supplementations in lactating cows in the highland Cikole Lembang. The experimental cows were assigned into a Randomized Block Design with a 3 x 2 factorial arrangement. The first factor was somatotropin injection with three levels (nonbST injection, daily injection, and biweekly injection). The second factor was concentrate supplementation with two levels (fed standard ration and standard ration plus 25% concentrate.) Parameters measured were heart rate, respiration frequency, rectal temperature, hematocrit, hemoglobin, glucose, triglyceride, blood urea nitrogen, cortisol, thyroxine, triiodothyronine concentrations in the blood, weight gain, dry matter intake, milk production efficiency, and body condition score, milk production, 4% FCM (fat corrected milk), milk composition, weight gain, dry matter intake, milk production efficiency, and body condition score. Bovine Somatotropin injection significantly increased heart rate and respiration rate. Concentrate supplementation increased dry matters intake. There were an interaction between bST and concentrate supplementation on milk production and weight gain. Bovine somatotropin injection in cows fed standart ration increased milk production by 17–26%, but injection in cows fed ration with 25% concentrate decreased milk production but showed increase weight gain. Daily and biweekly somatotropin supplementation did not significantly affect milk production.

(4)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan

judul Injeksi Bovine Somatotropin (bST) dan Penambahan Konsentrat pada Sapi

Holstein Laktasi di Dataran Tinggi Cikole, Lembang adalah benar-benar asli

karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan

atau tiruan dari tulisan siapa pun serta belum diajukan dalam bentuk apa pun

kepada perguruan tinggi mana pun.

Bogor, Mei 2007

Elvia Hernawan

(5)

5

INJEKSI

BOVINE SOMATOTROPIN

(bST) DAN

PENAMBAHAN KONSENTRAT PADA SAPI

HOLSTEIN LAKTASI DI DATARAN TINGGI

CIKOLE, LEMBANG

ELVIA HERNAWAN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

7

PENGUJI LUAR KOMISI

I. Ujian Tertutup tanggal 24 April 2007

Dr. Ir. Bagus Pryo Purwanto

Staf Pengajar Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor.

II. Ujian Terbuka tanggal 28 Mei 2007

1. Dr. Ir. Chalid Talib MS

Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan , Departemen

Pertanian.

2. Dr. Ir. Suryahadi DEA

Staf Pengajar Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak, Institut Pertanian

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1951 sebagai

anak ke empat dari 12 bersaudara pasangan R. H. Ma’mun Hernawan dan R. Hj.

Siti Halimah Zyin.

Pendidikan SD diselesaikan pada tahun 1963 di SD Palasari Bandung,

SMP diselesaikan pada tahun 1966 di SMPN V Bandung, dan SMA di selesaikan

pada tahun 1969 di SMAN II Bandung .

Pada tahun 1970 penulis tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan

Universitas Padjadjaran Bandung dan menyandang gelar Sarjana Peternakan pada

tahun 1977. Pada tahun 1985 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program

Studi Ilmu Ternak, Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, melalui

beasiswa TMPD dari Ditjen DIKTI, DEPDIKBUD dan memperoleh gelar

Magister Sain (MS) pada tahun 1989. Pada bulan September 2002 penulis

tercatat sebagai mahasiwa Program Doktor pada Program Studi Biologi, Fakultas

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan status swadana. Pada bulan

September 2003 mendapat beasiswa dari BPPS Ditjen DIKTI, DEPDIKNAS.

Penulis menikah dengan Ir. Burhanudin Soelaeman pada bulan Desember

1979 dan dikaruniai tiga anak, yaitu Gia Ginanjar S. Burhanudin, Gerry Nugraha

S. Burhanudin, dan Gistya Gemma Rahayu S. Burhanudin. Penulis tercatat

menjadi staf pengajar di Laboratorium Fisiologi dan Biokimia, Jurusan Nutrisi

(9)

9

PRAKATA

Alhamdulillah wa syukurillah atas berkah dan rahmat Allah SWT, penulis

dapat berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah yang berjudul Injeksi

Bovine Somatotropin (bST) dan Penambahan Konsentrat pada Sapi Holstein

Laktasi di Dataran Tinggi Cikole Lembang yang telah dilaksanakan sejak bulan

Juni 2005 sampai Maret 2006.

Pada kesempatan ini tak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih

dan penghargaan setinggi-tingginya kepada

1. Prof. Ir. Wasmen Manalu Ph.D Ketua komisi pembimbing yang telah

memberikan arahan dan bimbingan selama penulis mengikuti program S3.

2. Drh. Syahrun Hamdani Nasution Ph.D anggota komisi pembimbing yang telah

memberikan saran, dorongan, dan koreksi dalam penyempurnaan penelitian

disertasi.

3. Dra. Nastiti Kusumorini Ph.D anggota komisi pembimbing yang telah

memberikan arahan dan koreksi dalam penyempurnaan penelitian disertasi.

4. Dr. Ir. Bagus Pryo Purwanto penguji luar komisi pada ujian tertutup yang

telah memberikan saran dan koreksi dalam penyempurnaan disertasi.

5. Dr.Ir. Chalid Talib MS penguji luar komisis pada ujian terbuka yang telah

memberikan saran dan koreksi dalam penyempurnaan disertasi.

6. Dr. Ir. Suryahadi DEA penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah

memberikan masukan dalam penyempurnaan disertasi.

7. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian

Bogor yang telah memberikan fasilitas yang terbaik selama penulis

menimba ilmu di program S3.

8. Departemen Pendidikan Nasional dalam hal ini Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penulis melalui BPPS (Beasiswa

Pendidikan program Pascasarjana) saat mengikuti pendidikan Program

Doktor di Insitut Pertanian Bogor .

9. Rektor Universitas Padjadjaran, Dekan Fakultas Peternakan, Universitas

Padjadjaran, dan Kepala Laboratorium Fisiologi dan Biokimia, Fakultas

(10)

kesempatan untuk mengikuti program S3 dan dorongan yang tak

henti-hentinya.

10. Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dan Kepala Balai Peningkatan

Produksi Ternak Perah, Balai Pelatihan, Balai Pengujian Sarana Produksi

Peternakan Pakan, dan Balai Penyidikan Penyakit dan Kesmavet di Cikole

Lembang, yang telah memberikan izin dan fasilitas penelitian pada saat

penulis melaksanakan pengumpulan data

11. Bunda, Ibu Hj. Siti Halimah Zyin Hernawan, Keluarga besar Bpk R.H.

Mamun Hernawan dan Keluarga besar Bpk H.Soelaeman yang telah

memberikan doa, dorongan bantuan berupa materi dan spriritual yang tidak

ternilai kepada penulis.

12. Suami tercinta Ir. Burhanudin Soelaeman MM, buah hati tersayang Gia

Ginanjar BS, Gerry Nugraha BS, dan Gistya Gemma Rahayu BS, yang telah

memberikan pengertian dan dorongan dengan penuh keikhlasan, serta

kesempatan yang luas, sehingga banyak waktu-waktu keluarga yang tersita

selama penulis mengikuti program S3.

13. Bapak K.H Aan Mustafa Kamil beserta keluarga besar Tariqoh Assadzaliah

yang telah memberi semangat dan dorongan spiritual, siraman rohani yang

menyejukkan selama mengikuti program S3.

14. Dr. Ir. Aslamiyah MS dan Ir. Arief Nasution MS (dari Universitas

Hasanudin), teman seperjuangan menimba ilmu di program S3, yang telah

banyak membantu dan memberi semangat selama mengikuti program S3.

15. Grup Somatotropin (Gatot Muslim, SPt, M.Si, La Eddy SPd M.Si dari Ternate, Dr. Ir. Hudiana Hernawan MS, Ni Wayan M.Si dari Udayana) yang telah bahu membahu dalam persiapan dan pelaksanaan penelitian, dengan suasana penuh canda tawa dan kekeluargaan.

16. Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor beserta jajarannya, yang telah banyak memberikan fasilitas dan bantuan kepada penulis selama mengikuti program S3

17. Poppy, Yudi, Titta, Ida, Nining, Caca, Cecen, Dedih, Mang Ade, Ayun dan

Poniman, group Cikole adalah kawan- kawan setia yang telah menemani dan

(11)

11

18. Ibu Asmarida, Ibu Sri dan Pak Wawan dari Laboratorium Fisiologi,

Departemen AFF, FKH IPB, yang telah banyak membantu penulis dalam

penyelesaian penelitian di laboratorium.

19. Dinda Dr. Dra. Iis Arifiantini MSi beserta keluarga yang telah banyak tersita

waktunya untuk membantu saat akhir penyelesaian disertasi ini.

20. Rekan-rekan dan semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung

yang terlibat dalam pelaksanaan dan penulisan disertasi ini.

Akhirulkalam semoga amal dan budi baik yang telah diberikan kepada

penulis menjadikan pahala dan mendapat balasan yang berlipat ganda dari

Allah SWT, Sang Maha Pemberi dan Pengabul. Kunfayakun! Semoga Karya

Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan khasanah biologi khususnya

peternakan di Indonesia.

`

Bogor, Mei 2007

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

Hipotesis ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Sapi Perah di Indonesia ... 7

Masa Laktasi ... 9

Homeostasis ... 10

Somatotropin dan Mekanisme Kerja ... 11

Somatotropin, IGF-I, dan Produksi Susu ... 16

Somatotropin, Metabolisme, dan Produksi Susu ... 18

Somatotropin, Kesehatan Ternak dan Keamanan Pangan ... 22

MATERI DAN METODE PENELITIAN ... 25

Materi Penelitian ... 25

Metode Penelitian ... 25

Alir Penelitian ... 27

Peubah yang Diamati dan Cara Pengukuran ... 29

Analisis Statistik ... 34

HASIL ... 36

Status Faali dan Hematologi ... 36

Metabolit Darah dan Hormon Metabolisme ... 40

Produksi Susu... 46

Komposisi Susu dan Berat Jenis Susu ... 53

Tubuh, Konsumsi Bahan Kering, Efisiensi Produksi Susu, dan Nilai Kondisi Ternak ... 57

PEMBAHASAN ... 65

SIMPULAN ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(13)

13

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Komposisi asam-amino somatotropin manusia, sapi, domba, dan babi ... 13

Tabel 2 Komposisi pakan sapi perah laktasi di BPPTP Cikole ... 28

Tabel 3 Kandungan nutrisi pakan penelitian, imbangan hijauan dan konsentrat pakan, dan angka kebutuhan nutrien sapi penelitian .. 28

Tabel 4 Rataan denyut jantung, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, nilai hematoktit dan kadar hemoglobin sapi yang diinjeksi bST dan

ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .... 37

Tabel 5 Rataan kadar metabolit dan hormon metabolisme pada sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 41

Tabel 6 Rataan produksi susu dan 4% FCM pada sapi yang

disuplementasi bST dan pakan selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 47

Tabel 7 Hubungan produksi susu dan waktu perlakuan dari masing-masing kombinasi perlakuan selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 52

Tabel 8 Rataan komposisi dan bobot jenis susu pada sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 54

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kurva Produksi Susu selama Laktasi (Alim et al. 2001) ... 9

Gambar 2 Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan

dan metabolisme (Kamil et al. 2001) ... 15

Gambar 3 Koordinasi antarjaringan dalam adaptasi metabolik pada sapi

laktasi yang diinjeksi bST (Aker 2002) ... 21

Gambar 4 Alir Penelitian ... 27

Gambar 5 Rataan denyut jantung efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 36

Gambar 6 Rataan frekuensi pernapasan efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 38

Gambar 7 Rataan suhu tubuh efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 39

Gambar 8 Rataan nilai hematokrit efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 39

Gambar 9 Rataan kadar hemoglobin efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 40

Gambar 10 Rataan kadar glukosa serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 42

Gambar 11 Rataan kadar trigliserida serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 43

Gambar 12 Rataan kadar nitrogen urea serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)

pengamatan ... 43

Gambar13 Rataan kadar kortisol serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 44

Gambar 14 Rataan kadar T4 serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 45

(15)

15

Gambar 16 Rataan produksi susu (kg/minggu) masing-masing kombinasi

perlakuan selama penelitian ... 46

Gambar 17 Interaksi injeksi bST harian, injeksi bST selang 14 hari, dan pakan satandar (P1), pakan standar ditambah 25% konsentrat

(P2) ... 49

Gambar 18 Hubungan produksi susu dan waktu perlakuan dari masing-yang lebih rendah masing kombinasi perlakuan selama 84 hari

(12 minggu) ... 51

Gambar19 Rataan produksi susu 4% FCM efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 53

Gambar 20 Rataan protein susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 55

Gambar21 Rataan lemak susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 55

Gambar 22 Rataan BKTL susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 56

Gambar 23 Rataan bobot jenis susu efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 56

Gambar 24 Rataan bobot tubuh efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 57

Gambar 25 Interaksi injeksi bST harian, injeksi bST selang 14 hari, dan pakan standar (P1), pakan standar ditambah 25% konsentrat

(P2) pada penambahan bobot tubuh ... 59

Gambar 26 Rataan konsumsi bahan kering efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 59

Gambar 27 Rataan efisiensi produksi susu (EPS) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 60

Gambar 28 Rataan nilai kondisi ternak (NKT) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Analisis ragam rataan denyut jantung selama 84 hari pengamatan ... 91

Lampiran 2 Analisis ragam rataan frekuensi pernapasan selama 84 hari

pengamatan ... 91

Lampiran 3 Analisis ragam rataan suhu tubuh selama 84 hari pengamatan ... 91

Lampiran 4 Analisis ragam rataan nilai hematokrit selama 84 hari pengamatan ... 92

Lampiran 5 Analisis ragam rataan kadar hemoglobin selama 84 hari pengamatan ... 92

Lampiran 6 Analisis ragam rataan glukosa serum selama 84 hari pengamatan ... 92

Lampiran 7 Analisis ragam rataan nitrogen urea serum selama 84 hari

pengamatan ... 92

Lampiran 8 Analisis ragam rataan trigliserida serum selama 84 hari pengamatan ... 93

Lampiran 9 Analisis ragam rataan kortisol serum selama 84 hari pengamatan ... 93

Lampiran 10 Analisis ragam rataan T4 serum selama 84 hari pengamatan ... 93

Lampiran 11 Analisis ragam rataan T3 serum selama 84 hari pengamatan ... 93

Lampiran 12 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-1 perlakuan ... 89

Lampiran 13 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-2 perlakuan ... 89

Lampiran 14 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-3 perlakuan ... 89

Lampiran 15 Analisis ragam total produksi susu selama 84 hari pengamatan ... 89

Lampiran 16 Analisis ragam produksi susu 4% FCM selama 84 hari pengamatan ... 90

Lampiran 17 Analisis ragam rataan kadar protein susu selama 84 hari

pengamatan ... 90

Lampiran 18 Analisis ragam rataan kadar lemak susu selama 84 hari pengamatan ... 90

Lampiran 19 Analisis ragam rataan kadar berat kering tanpa lemak selama 84 hari pengamatan ... 90

(17)

17

Lampiran 21 Analisis ragam bobot tubuh awal sapi uji ... 94

Lampiran 22 Analisis ragam bobot tubuh akhir ... 94

Lampiran 23 Analisis ragam pertambahan bobot tubuh selama penelitin

... 94

Lampiran 24 Analisis ragam rataan bobot tubuh selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ... 94

Lampiran 25 Analisis ragam rataan konsumsi bahan kering selama 84

hari pengamatan ... 94

Lampiran 26 Analisis ragam efisiensi produksi susu selama 84 hari (12

minggu) pengamatan ... 95

Lampiran 27 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 1-4 minggu pengamatan ... 95

Lampiran 28 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 5-8 minggu pengamatan ... 95

Lampiran 29 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 8-12 minggu pengamatan ... 95

Lampiran 30 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 108

Lampiran 31 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 108

Lampiran 32 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 109

Lampiran 33 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 109

Lampiran 34 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan ... 109

(18)
(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Angka konsumsi susu di Indonesia saat ini tercatat paling rendah di

Asean, yaitu 7 kg/kapita/tahun atau setara dengan 19 cc/kapita/hari, sedangkan

Malaysia, Thailand dan Bangladesh mempunyai rataan konsumsi susu di atas 20

kg/kapita/tahun. Berdasarkan data produksi susu segar yang dilaporkan Direktorat

Jenderal Peternakan (2005) menunjukkan adanya peningkatan produksi susu dari

tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005 yang secara berturut-turut sebesar 493 375;

553 442; 550 000; dan 550 000 ton. Namun demikian, produksi susu dalam

negeri baru dapat mensuplai sekitar 30% saja sehingga kekurangannya yaitu

70% atau sebanyak 1 425 200 ton diimpor dalam bentuk susu olahan dari

Selandia Baru, Australia, Irlandia, Belanda, Filipina, dan Thailand. Kegiatan

impor susu ditengarai sebagai akibat rendahnya produksi susu dalam negeri, dan

di samping itu juga akibat kesenjangan yang kian melebar antara angka

kebutuhan konsumsi dan produksi susu dalam negeri.

Pada tahun 2005 populasi sapi perah di Indonesia adalah sekitar 374 000

ekor dan hampir 91,1% dikelola dalam usaha yang berbasis peternakan rakyat

dengan produksi susu yang masih rendah, yaitu berkisar antara 8 dan 10

L/ekor/hari atau antara 2 500 dan 3 000 L/laktasi. Sejumlah 8,9% lainnya

dikelola dalam perusahaan komersial dengan produksi susu antara 3 000 dan

5 000 L/laktasi. Berdasarkan asal usulnya, sapi perah yang banyak dipelihara di

Indonesia adalah bangsa FH yang berasal dari negara beriklim

subtropis/temperate, yang telah mengalami proses adaptasi lingkungan. Namun,

hasil produksinya masih jauh di bawah rataan sapi-sapi perah di negara asalnya,

yakni 7 342 kg/laktasi (Talib et al. 2003).

Indonesia termasuk daerah tropis lembab yang dicirikan oleh suhu

lingkungan, kelembaban, dan curah hujan yang tinggi. Sapi perah termasuk hewan

homoioterm yang akan selalu menjaga keseimbangan antara panas tubuhnya

dengan lingkungan disekeliling. Perubahan lingkungan luar akan segera diikuti

dengan perubahan lingkungan dalam tubuh, dan dikembalikan ke kondisi semula

(20)

dengan proses homeostasis. Konsep homeostasis melibatkan keseimbangan panas,

kegiatan organ sirkulasi, kardiovaskular, dan lain-lain.

Perubahan lingkungan dalam tubuh akan menimbulkan serangkaian

perubahan reaksi biokimia dalam tubuh, yang berdampak pada aktivitas sel dan

kerja organ yang pada gilirannya menyebabkan banyak energi yang digunakan

hanya untuk mempertahankan kondisi tubuh atau untuk hidup pokok. Proses yang

jika berlangsung cukup lama dan berkesinambungan ini akan mempengaruhi

penggunaan energi, sedangkan produksi yang dihasilkan ternak merupakan

kelebihan energi setelah digunakan untuk mengelola atau mempertahankan

kebutuhan hidup pokok. Ternak dalam kondisi tersebut di atas cenderung

menurunkan level konsumsi pakan bila berada di daerah panas. Proses tersebut

diyakini sebagai penyebab rendahnya produktivitas ternak di daerah panas karena

serangkaian proses metabolisme tubuh yang harus dilakukan untuk

mempertahankan sistem kerja organ-organ tubuh.

Sapi perah asal subtropis akan berkembang biak secara baik dengan

produksi susu yang cukup tinggi pada daerah yang mempunyai ketinggian dari

750 sampai 1 250 m di atas permukaan laut, yang memiliki kisaran suhu udara

antara 17 dan 22°C dan kelembaban di atas 55% (Atmadilaga 1979). Hasil

penelitian di Thailand, yang juga negara tropis, menunjukkan bahwa sapi-sapi

perah subtropis dapat beraklimatisasi dengan baik pada suhu di bawah 18°C dan

kelembaban di atas 55% (Siregar et al. 2003). Dengan alasan ini, populasi sapi

perah di Indonesia tersebar di daerah-daerah tertentu saja, khususnya yang

mempunyai kesamaan iklim dengan daerah asalnya.

Dalam menanggulangi permasalahan tentang kesenjangan antara produksi

susu dan kebutuhan konsumsi susu nasional, pemerintah dalam kebijakan

peningkatan produksi dan kualitas susu tahun 2010 mencanangkan peningkatan

suplai susu dalam negeri dari 30 menjadi 40% melalui peningkatan produksi susu

dari 8-10 L menjadi 15L/ekor/hari, kepemilikan ternak dari 4-6 ekor menjadi 10

ekor/kepala keluarga (Departemen Pertanian 2006). Sebagai tindak lanjut maka

berbagai upaya peningkatan produktivitas ternak telah banyak dilakukan, di

antaranya dengan memanipulasi lingkungan, nutrisi, bahkan reproduksi melalui

inseminasi buatan dan trasfer embrio. Namun, hasilnya dipandang belum

(21)

3

dilaporkan, sementara di luar negeri penggunaan produk bioteknologi seperti

hormon pertumbuhan rekombinan sudah luas di kalangan peternak.

Somatotropin sapi rekombinan atau bovine somatotropin (bST)

rekombinan telah dikenal sejak tahun 80-an, yang merupakan hasil bioteknologi

khususnya dalam manipulasi genetik, reproduksi dan fisiologi, dan aplikasinya

sangat mewarnai perubahan dalam industri peternakan. Mekanisme kerja

somatotropin dalam peningkatan produksi susu pada sapi laktasi secara langsung

terlibat dalam penggalangan nutrisi. Sementara aktivitas sintesis susu dalam

kelenjar susu tidak secara langsung oleh kerja ST karena di dalam sel-sel kelenjar

susu hampir tidak ditemukan reseptor ST, namun reseptor IGF-1 banyak djumpai

sehingga para peneliti meyakini bahwa perangsangan produksi susu melalui

injeksi bST pada sapi laktasi dimediasi oleh insulin like growth factor-1 (IGF-1).

Hal ini terlihat jelas adanya peningkatan konsentrasi IGF-1 mencapai 3 sampai 4

kali lipat setelah diberi perlakuan ST, dan peningkatan akan terus berlanjut selama

perlakuan.

Somatotropin pada sapi laktasi berperan dalam proses-proses yang

berkaitan erat dengan penggalangan nutrien untuk kebutuhan sintesis susu

sehingga perangsangan produksi susu melalui injeksi ST berdampak pada

metabolisme. Peningkatan sintesis susu memerlukan sejumlah tambahan nutrien

baik substrat atau prekursor sehingga sebagai konsekuensinya aliran darah menuju

kelenjar susu perlu ditingkatkan. Dalam penggalangan nutrien, ST berperan

sebagai agen homeorhesis dengan melakukan serangkaian adaptasi metabolisme

dalam tubuh.

Semakin tersedianya ST hasil isolasi pituitari atau rekayasa genetika,

penggunaan ST dalam industri peternakan semakin berkembang pesat. Hasil

ulasan Peel dan Bauman (1987), Chalupa dan Galligan (1989) menyimpulkan

bahwa penggunaan ST tidak memberikan dampak yang merugikan pada ternak,

bahkan akan tampak seperti produksi susu dari jenis genetik unggul jika diberikan

pada sapi yang berproduksi tinggi. Injeksi ST pada sapi-sapi yang berproduksi

rendah dengan manajemen yang baik akan memberikan respons yang lebih baik

dibandingkan dengan sapi yang berproduksi tinggi.

Bovine somatotropin (bST) semakin populer di kalangan peternak, dan

(22)

waktu tertentu (14 atau 28 hari). Cara injeksi tersebut di atas akan berdampak

pada konsentrasi ST dalam darah yang pada gilirannya akan berdampak pada

kerja ST dalam penggalangan nutrisi. Injeksi bST selang 14 hari dilaporkan

menghasilkan produksi susu yang lebih rendah, yaitu hanya 70-79%

dibandingkan dengan cara injeksi bST harian, namun dipandang lebih efektif

untuk aplikasi di lapangan (Chilliard 1989, Jenny et al.1992, Etherton&Bauman

1998). Penambahan hormon eksogen berpengaruh pada konsentrasi hormon–

hormon lain yang saling berkaitan secara metabolis. Respons sapi laktasi terhadap

injeksi bST akan meningkatkan sekresi susu harian atau mingguan, dan

peningkatan produksi susu akan dipertahankan selama pemberian yang

berkesinambungan (Akers 2002), tetapi akan cepat kembali ke level basal ketika

injeksi bST dihentikan ( Manalu 2001; Akers 2002). Injeksi ST dalam industri

peternakan saat ini dianggap merupakan suatu terobosan dari hasil bioteknologi

yang cukup ekonomis dan efisien, sekalipun dibandingkan dengan upaya

pemberantasan penyakit, vaksinasi atau penggunaan bioteknologi reproduksi

(Hardjopranjoto 2001).

Somatotropin sangat menjanjikan peningkatan produktivitas serta efisiensi

penggunaan pakan pada sapi perah. Penggunaan bST pada tingkat peternak dapat

meningkatkan rataan produksi susu hingga 5 kg/hari atau berkisar antara 15 dan

20% tanpa menimbulkan penyakit metabolis atau perubahan kualitas susu yang

berarti (Manalu 1994), bahkan laporan terakhir peningkatan produksi susu dapat

mencapai antara 30 dan 40% bergantung pada dosis pemakaian (Akers 2002).

Namun, demikian pasokan pakan yang diberikan perlu mendapat perhatian,

khususnya dalam hal keseimbangan nutrisi pakan agar bisa mendukung

penggalangan pasokan bahan sintesis susu.

Pakan sapi perah terdiri atas penyusun pakan terbesar berupa hijauan dan

konsentrat sebagai tambahan. Keseimbangan antara hijauan dan konsentrat akan

berpengaruh pada produksi dan komposisi susu. Pakan melalui proses fermentasi

rumen akan menghasilkan sejumlah asam lemak terbang (asam asetat, asam

propionat, asam butirat) yang akan digunakan sebagai sumber energi utama

(Akers 2002). Hijauan secara kuantitas cenderung berpengaruh pada produksi

asam asetat dan berkaitan erat dengan kadar lemak susu serta penyediaan rangka

(23)

5

propionat yang melalui proses glukoneogenesis dalam hati akan diubah menjadi

glukosa. Glukosa merupakan substrat dan prekursor yang sangat dibutuhkan

dalam proses sintesis susu khususnya dalam sintesis laktosa. Untuk dapat

meningkatkan produksi susu perlu dilakukan penambahan sumber glukosa yang

tiada lain dari konsentrat.

Peningkatan produksi susu melalui injeksi bST pada usaha sapi perah

kiranya dapat dijadikan salah satu jalan pintas bagi penyediaan kebutuhan

konsumsi susu dalam negeri. Namun, perlu penjajagan ke arah tersebut. Untuk

mendapatkan data konkrit khususnya bagi peternakan di Indonesia yang berlatar

belakang iklim tropis, dan dicirikan rendahnya produktivitas yang diakibatkan

oleh suhu lingkungan dan kelembaban tinggi, maka perlu dilakukan penelitian

tentang injeksi somatotropin (bST) pada sapi laktasi di dataran tinggi.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi sapi perah yang sudah

beradaptasi dengan iklim Indonesia dalam merespons injeksi bST dan

penambahan konsentrat dalam upaya peningkatan produktivitas ternak. Tujuan

penelitian secara rinci :

1. Membandingkan efektivitas selang waktu injeksi bST dan penambahan 25%

konsentart pada profil metabolit dan hormon metabolisme darah yang erat

kaitannya dengan sintesis susu.

2. Membandingkan pengaruh selang waktu injeksi bST dan penambahan 25%

konsentrat pada produksi susu dan komposisi susu.

3. Membandingkan efisiensi produksi susu masing-masing selang waktu injeksi

bST dan penambahan 25% konsentrat.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah biologi dalam

penerapan produk bioteknologi, yaitu somatotropin rekombinan dan selanjutnya

dapat dijadikan informasi dasar bagi para peternak atau penentu kebijakan dalam

(24)

Hipotesis

Injeksi bST selang 14 hari dan penambahan 25% konsentrat pada sapi

Holstein laktasi akan menghasilkan produksi susu dan komposisi yang sama

dengan hasil injeksi bST harian dan pakan standar, yang dinilai melalui

perubahan status faali, hematologi, metabolit, hormon metabolisme, bobot tubuh,

(25)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah di Indonesia

Rumpun sapi perah Fries Holstein (FH) banyak dipelihara di Indonesia.

Rumpun sapi perah ini berasal dari daerah subtropis atau lebih jelasnya dari

provinsi Holland Utara dan Friesland Barat Belanda. Berdasarkan asal usulnya,

rumpun sapi ini dikembangkan dari nenek moyang sapi liar Bos (Taurus) Typicus

primigenius dan telah diternakkan di negeri Belanda sekurang-kurangnya 2000

tahun.

Sapi FH mempunyai ciri-ciri kepala panjangnya sedang, mulut lebar

dengan hidung terbuka lebar, rahang kuat, dahi lebar, leher panjang dan pipih.

Selain itu, sapi FH mempunyai punggung kuat dan rata dengan ruas-ruas tulang

belakang yang rapih hubungannya, dan pinggang lebar dan kuat. Kedudukan

keempat kaki sapi FH membentuk empat persegi panjang, dan bentuk kaki halus

tetapi tampak kuat. Warna tubuh pada umumnya belang hitam putih, tetapi di

negeri Belanda bagian timur dan di Jerman terdapat kelompok sapi yang berwarna

belang merah putih (Sosroamidjojo & Soeradji 1978).

Pada umumnya sapi-sapi Eropa mempunyai kisaran suhulingkungan

nyaman yang rendah sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin

dibandingkan suhu lingkungan panas. Agar sapi perah FH dapat memberikan

produksi maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, perlu lokasi yang

mempunyai lingkungan mikro yang hampir menyamai tempat asalnya. Wilayah

yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang memiliki suhu

lingkungan antara 0 dan 20ºC, sedangkan suhu kritis untuk sapi Holstein, Brown

Swiss, dan Brahman secara berturut-turut adalah 21; 24-27; 32ºC (Hafez 1968).

Sapi perah akan berproduksi maksimal pada suhu lingkungan antara 4,4 dan

21,1ºC dengan tingkat kelembaban berkisar antara 60 dan 80%. Kenaikan suhu

lingkungan akan menurunkan konsumsi pakan dan produksi susu sementara

konsumsi air meningkat (Schmidt 1971).

Sekitar abad ke-19 sapi FH pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh

pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan susu bagi bangsa Belanda yang

ada di Indonesia. Indonesia terletak di daerah tropis yang sangat sedikit daerah

(26)

sehingga kombinasi tersebut menyebabkan fluktuasi suhu harian dan kelembaban

yang sangat luas. Secara geografis, Indonesia terletak antara 5 dan 7º Lintang

Utara dan Lintang Selatan, yang mempunyai suhu yang relatif konstan (± 27ºC),

curah hujan yang tinggi berkisar dari 2 032 sampai 3 048 mm (Williamson &

Payne 1993). Dalam kurun waktu yang cukup panjang sapi-sapi asal Belanda

tersebut mengalami aklimatisasi dengan lingkungan tropis Indonesia, bahkan

pada saat ini telah berkembang pesat peranakan FH yang telah lebih beradaptasi

dengan lingkungan.

Suhu optimal untuk produksi susu sapi yang berasal dari daerah subtropis

adalah 10°C (Williamson & Payne 1993). Penampilan produksi masih cukup baik

walau suhu lingkungan meningkat sampai 21,1°C (Sutardi, 1981). Suhu kritis

yang berdampak pada penurunan produksi susu yang tajam adalah antara 21

sampai 27°C (Williamson & Payne 1993). Tidak mengherankan apabila

pemeliharaan sapi FH sebagian besar terkonsentrasi pada daerah-daerah dataran

tinggi (±1000 m dpl) seperti Garut, Lembang, Pangalengan, Pujon, Nongkojajar,

yang lingkungannya hampir menyamai daerah asalnya (Siregar et al. 2003).

Populasi sapi perah di Indonesia menunjukkan perkembangan. Selama

kurun waktu 1970 hingga 2001 terjadi peningkatan populasi dari 52 000 ekor

menjadi 347 000 ekor, sedangkan sejak tahun 1994 produksi susu tercatat

426 727 ton dan meningkat menjadi 550 000 ton pada tahun 2004 (Direktorat

Jenderal Peternakan 2005).

Sapi Fries Holstein mempunyai produksi susu yang tinggi (4 000 sampai

5 000 L/tahun), dan di daerah tropis dalam kisaran dari 2 500 sampai 5 000 kg/

laktasi (Pane 1986). Tampaknya sapi Fries Holstein mengalami penurunan

produktivitas khususnya pada peternakan rakyat: produksi susu mencapai 8 L/hari

dan pada peternakan sapi perah komersial berkisar dari 3 000 sampai 5 000 L/305

hari, sedangkan di negara asalnya rata-rata produksi mencapai 7 342 kg/laktasi

(27)

9

Masa Laktasi

Masa laktasi seekor sapi perah menunjukkan lamanya waktu sapi perah

tersebut menghasilkan susu dalam satu periode (Bath et al.1978). Periode laktasi

normal berlangsung kira-kira 44 minggu atau 305 hari. Produksi susu sapi perah

pada awal laktasi umumnya meningkat secara dramatis dan mencapai puncaknya

pada minggu keempat hingga kedelapan setelah partus dan menurun secara

perlahan sampai ahir masa laktasi (NRC 1988). Produksi susu selama 2 bulan

pertama laktasi mencapai 145% dari rataan produksi satu periode laktasi,

sedangkan pada bulan ketiga dan keempat menunjukkan penurunan menjadi

120%, bulan laktasi kelima dan keenam produksi susu sama dengan rataan

produksi dalam satu periode laktasi dan setelah itu produksi menjadi 78% pada

bulan laktasi ketujuh dan kedelapan, akan menurun hingga 70% ketika menjelang

beranak (Tanuwiria 2004). Sebagai gambaran kurva produksi susu selama laktasi

disajikan pada Gambar 1.

Produksi

Susu

(

Kg)

BULAN

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 1 Kurva Produksi Susu selama Laktasi (Alim et al. 2001)

Produksi susu setiap periode laktasi akan meningkat sejalan dengan

bertambahnya umur, dan puncak prestasi produksi dicapai pada umur antara 6 dan

7 tahun. Laktasi pertama sapi betina yang sehat akan terjadi pada umur dua tahun

dengan produksi susu 75% dari produksi umur dewasa, laktasi kedua terjadi pada

umur tiga tahun dengan produksi 85% dari produksi umur dewasa, laktasi ketiga

(28)

92% dan 98% dari produksi umur dewasa. Umur dewasa dicapai pada 6 tahun,

keadaan ini sedikit bervariasi di antara sapi perah. Jika sapi betina berumur dari 8

sampai 9 tahun atau lebih maka produksi susu akan menunjukkan penurunan

setiap laktasi (Schmidt et al. 1988).

Jumlah produksi susu per laktasi dari seekor sapi perah sangat dipengaruhi

oleh bangsa sapi, umur, musim kelahiran, geografis, masa laktasi, manajemen,

nutrien, dan frekuensi pemerahan (Homan & Wattiaux 1996). Selain itu, jumlah

produksi susu per laktasi dipengaruhi juga oleh manajemen sehingga lambatnya

pengaturan perkawinan dalam periode laktasi akan memungkinkan periode laktasi

lebih panjang.

Homeostasis

Semua ternak merupakan hewan homeotermis yang mempunyai suhu

tubuh yang relatif tetap atau mempunyai kisaran suhu tubuh yang sempit. Untuk

dapat mempertahankan suhu tubuh yang tetap, ternak harus mampu mengatur

keseimbangan antara panas yang diproduksi dari hasil metabolisme seluler dan

yang diperoleh dari lingkungan dengan pengeluaran panas dari tubuh (Hafez

1968).

Produksi panas tubuh berlangsung secara berkesinambungan di dalam

protoplasma sebagai hasil oksidasi zat-zat makanan terutama yang terjadi di

dalam tenunan-tenunan otot dan kelenjar. Ternak tetap memerlukan energi untuk

menyelenggarakan proses-proses untuk mendukung hidup pokok, yaitu sirkulasi

darah, respirasi, gerak otot, ekskresi, dan lain-lainnya (Soeharsono 1984). Selain

itu, panas diperoleh secara langsung dari luar tubuh berupa penyerapan melalui

permukaan tubuh dari panas matahari (Cole 1962; Hafez 1968). Proses fisiologis

hanya akan berlangsung baik apabila kondisi lingkungan luar tubuh (millieu

exterieur) dan di dalam tubuh (millieu interieur) berada dalam keseimbangan.

Perubahan kondisi lingkungan luar tubuh akan mengubah kondisi lingkungan di

dalam tubuh.

Pada ternak homoiotermis, perubahan dari luar akan berdampak pada

serangkaian proses dalam tubuh untuk mengembalikan ke dalam keadaan yang

relatif tetap. Proses tersebut dikenal dengan homeostasis. Setiap individu akan

(29)

11

environment) dan lingkungan dalam tubuh (internal enviroment). Perubahan

lingkungan eksternal akan menimbulkan banyak perubahan reaksi biokimia yang

berdampak pada gangguan kerja sel dan kerja organ yang mengakibatkan banyak

energi yang digunakan hanya untuk mempertahankan kondisi tubuh atau hidup

pokok (Soeharsono 1984).

Konsep homeostasis menyangkut keseimbangan panas, pengaturan suhu

tubuh, keseimbangan kimiawi air, persenyawaan karbon, elektrolit, kardiovaskular

dan lain-lain. Kondisi luar yang menimbulkan perubahan di dalam tubuh terjadi

terus menerus sehingga lambat laun ternak akan terbiasa dengan perubahan di luar

tersebut dan kegiatan proses homeostasis semakin ringan menandakan ternak telah

mengalami proses penyesuaian fisiologis. Dalam jangka panjang akan terjadi

proses adaptasi, namun tidak memperlihatkan produktivitas yang tinggi

(Soeharsono 1984).

Somatotropin dan mekanisme kerja

Somatotropin (ST) adalah nama ilmiah hormon pertumbuhan (growth

hormone atau GH) yang merupakan hormon protein atau hormon polipeptida

dengan rangkaian 190-191 residu asam amino yang membentuk satu molekul

polipeptida. Somatotropin disintesis dan disekresikan oleh sel-sel somatotrof yang

terletak dalam lobus anterior kelenjar pitiutari (Djojosoebagio 1990; Manalu

1994; Soeharsono 2001), dan sekresinya sangat dipengaruhi oleh faktor neural,

metabolik, dan hormonal (Djojosoebagio 1990).

Fungsi fisiologis hormon ini adalah mempengaruhi proses metabolisme

yang menyangkut pertumbuhan melalui stimulasi sintesis protein, meningkatkan

transportasi asam amino ke dalam sel, mempengaruhi metabolisme karbohidrat,

glukoneogenesis dalam hati, memacu mobilisasi lemak tubuh, dan mempengaruhi

metabolisme mineral (Hardjopranjoto 2001; Koentjoko 2001; Soeharsono 2001).

Bovine somatotropin (bST) mampu mempercepat pengangkutan asam amino

melalui dinding sel ke dalam sitoplasma sehingga dapat menambah konsentrasi

asam amino dalam sel. Selain itu, bST juga mampu meningkatkan pembentukan

asam ribonukleat (RNA) dalam inti sel sehingga dapat mendorong proses

transkripsi dan translasi dalam ribosom di dalam sitoplasma sel (Hardjopranjoto

(30)

Secara spesifik terdapat 3 macam bentuk somatotropin. Bentuk pertama

adalah ST dengan 191 asam amino, dengan berat molekul 22 kDa, yang

mengandung dua jembatan disulfida yang menghubungkan asam amino 53 dan

165 membentuk suatu loop besar dan asam amino 182 dan 189 dekat terminus

karboksil dari peptida membentuk loop yang kecil. Bentuk ST ini banyak terdapat

dalam kelenjar pituitari. Bentuk kedua adalah ST yang mempunyai urutan asam

amino yang sama dengan bentuk pertama, tapi kehilangan 15 asam amino nomor

32-46 dari terminal Amino, dengan berat molekul 20 kDa, dan terdapat sekitar 10

sampai 15% dari hormon pituitari. Bentuk ketiga merupakan dimerisasi 2 bentuk

22 kDa peptida yang dihubungkan dengan ikatan disulfida antar-rantai dengan

berat molekul 45 kDa dan hanya ditemukan sekitar 1% dari jumlah hormon

pituitari. Secara keseluruhan perbedaan bentuk tersebut menyebabkan adanya

perbedaan fungsi biologis somatotropin. Bentuk 20 kDa mempunyai ikatan yang

kurang efektif terhadap reseptor hati dan kelenjar susu dibandingkan dengan

bentuk 22 kDa, walaupun kedua hormon tersebut sama-sama merangsang

pertumbuhan (Kamil et al. 2001). Komposisi asam amino penyusun ST berbeda

antarspesies (Tabel 1) sehingga aktivitas biologis ST dari satu spesies tidak akan

mempunyai pengaruh apabila disuntikkan ke spesies lain, atau dengan kata lain

setiap somatotropin dari satu spesies mempunyai kekhususan sendiri (species

specifity) (Turner & Bagnara l988; Djojosoebagio 1990; Soeharsono 2001).

Sekresi ST oleh kelenjar hipofisa dilakukan sesuai kebutuhan fisiologis

melalui dua faktor, yakni growth hormone releasing factor (GHRF) dan growth

hormone inhibiting factor (GHIF) atau somatostatin (Gambar 2). Somatotropin

(ST) setelah dikeluarkan oleh pituitari akan diangkut melalui sistem aliran darah,

namun dengan sifat molekulnya yang besar hormon ini tidak dapat menerobos

membran sel sehingga hormon protein memerlukan kehadiran reseptor spesifik di

(31)
[image:31.595.111.511.104.410.2]

13

Tabel 1. Komposisi asam amino somatotropin manusia, sapi, domba, dan babi

Asam Amino Manusia Sapi Domba Babi

Lisina 9 11 13 11

Histidina 3 3 3 3

Arginina 11 13 13 12 Aspartat 20 16 16 15 Treonina 10 12 12 7 Serina 18 13 12 14 Glutamat 26 24 25 24 Prolina 8 6 8 7 Glisina 8 10 10 8 Alanina 7 15 14 16 Sistina 4 4 4 4 Valina 7 6 7 8

Metionina 3 4 4 3

Isoleusina 8 7 7 6

Leusina 26 27 22 24 Tirosina 8 6 6 7

Fenilalanina 13 13 13 12

Triptofan 1 1 1 1

Sumber : Hariadi et al. (2001)

Reseptor ST adalah suatu glikoprotein berantai tunggal dari 620 asam

amino dengan suatu domain ekstraseluler yang luas (246 residu asam amino),

domain transmembran tunggal (24 residu), dan domain sitoplasmik yang panjang

(350 residu). Reseptor ST terdapat dalam dua bentuk, yaitu reseptor yang

berafinitas tinggi dan rendah. Reseptor berafinitas tinggi sangat spesifik dikaitkan

dengan pertumbuhan. Bagian ekstraseluler meliputi hormone binding site dan

suatu daerah yang penting untuk dimerisasi reseptor. Reseptor ST banyak

didapatkan pada permukaan sel seperti hati, otot, tulang, dan jaringan adiposa

(Granner 1997; Kamil et al, 2001).

Somatotropin atau growth hormone yang beredar dalam aliran darah

diikat oleh suatu growth hormone binding proteins (GHBP). Fungsi GHBP ini

masih belum jelas, tetapi diyakini bahwa kehadiran GHBP dapat meningkatkan

waktu paruh ST, memodifikasi distribusinya, mengurangi efek biologis ST pada

preadiposit, dan mengurangi efek biologis sekresi ST pulsatif dengan mengurangi

(32)

(GHBP) berada dalam sirkulasi darah beberapa spesies termasuk manusia, kera,

kelinci, babi, kuda, sapi, domba, anjing, tikus, ayam, dan kalkun (Kamil et al.

2001). Dalam keadaan normal, kadar hormon di dalam darah dipengaruhi oleh

kecepatan sintesis dan degradasi hormon serta kecepatan sekresi, sedangkan kerja

hormon dipengaruhi oleh keadaan reseptor pada sel target dan protein pengangkut

di dalam darah.

Ikatan hormon dengan reseptor (HR) pada permukaan membran sel akan

meningkatkan permiabilitas membran plasma sehingga meningkatkan

permiabilitas ion-ion dan zat-zat lain yang mempunyai konfigurasi sedemikian

rupa. Selain itu, HR dapat menyebabkan hiperpolarisasi membran plasma

sehingga memungkinkan pemasukan ion-ion dan zat-zat anorganik ke dalam sel.

Selanjutnya, perubahan ini akan diikuti dengan proses-proses dalam sitoplasma

dan juga modulasi enzim adenilat siklase yang akan merangsang sintesis cyclic

adenosine 3, 5–monophosphate (cAMP), yaitu caraka kedua (second messenger),

yang bekerja mempengaruhi fungsi sel (Djojosoebagio 1990; Manalu 2001;

Shahib 2001).

Meskipun ST telah diketahui sejak tahun 30-an, pada permulaan tahun

1937 para peneliti mendapatkan bahwa sapi-sapi yang disuntik dengan ekstrak ST

dari hipofisis sapi yang diperoleh dari rumah potong hewan (RPH)

memperlihatkan peningkatan produksi susu. Sampai dengan tahun 70-an,

kemajuan yang dicapai hanya sebatas aplikasi ST pada ternak untuk tujuan

komersial. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan produksi ST. Untuk

memperoleh ST yang akan diberikan kepada seekor sapi dibutuhkan ekstrak

hipofisis yang berasal dari 200 ekor sapi (Hardjopranjoto 2001). Setelah 50 tahun,

pemakaian ST berkembang pesat khususnya ketika ditemukannya sistem

rekombinan, ST banyak digunakan untuk meningkatkan produksi ternak daging

dan susu (Kamil et al. 2001).

Dewasa ini berkembang hormon rekombinan antara lain recombinant

growth hormone (rbGH) atau recombinant soamtotropin (rbST). Salah satu

produk tersebut dibuat oleh Monsanto Corporation melalui rekayasa genetika,

yakni rbGH dengan nama dagang Posilac yang juga dikenal sebagai bST atau

(33)

15

dalam penggunaannya dewasa ini, yaitu bovine Somatotropin (bST), ovine

Somatotropin (oST), dan porcine Somatotropin (pST) (Hardjopranjoto 2001).

HIPOTALAMUS

GHRH SOMATOSTATIN

SOMATOTROF

AKSI LANGSUNG

EFEK ANTI INSULIN

METABOLISME KARBOHIDRAT LIPOLISIS

FFA DAN

GLISEROL GLUKOSA

AKTIVITAS DIABETOGENIK AKSI TAK LANGSUNG

HATI

PERTUMBUHAN TULANG SOMATOMEDIN

KHONDROSIT

LIPOGENESIS SINTESIS PROTEIN OTOT SEL LEMAK

SEL LEMAK PROLAKTIN

KHORIONIK SOMATOTROPIN INSULIN

MEKANISME UMPAN BALIK

(–) (+)

KELENJAR PITUITARI

SOMATOTROPIN

PEMBENTUKAN KARTILAGO

Gambar 2. Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan dan metabolisme ( Kamil et al. 2001)

Somatotropin berpengaruh pada metabolisme tubuh yang pada gilirannya

akan merangsang proses produksi dan proses adaptasi homeostatis yang akan

menyediakan nutrien yang digunakan dalam proses tersebut (Vernon 1989).

Somatotropin mempunyai dua pengaruh utama. Pengaruh pertama berkaitan

dengan proses-proses produksi yang mungkin sebagian diperantarai oleh IGF-I.

Pengaruh yang kedua adalah penyediaan zat-zat makanan yang diperantarai oleh

ST sendiri, akan tetapi pengaruh ini bergantung pada keadaan fisiologis hewan

[image:33.595.108.512.155.574.2]
(34)

mengakibatkan peningkatan akresi protein otot sementara selama laktasi

perlakuan ST dapat mengakibatkan kehilangan protein tubuh (Peel et al. 1981;

Akers 2002).

Somatotropin, IGF-I, dan Produksi susu

Telah disepakati bahwa somatotropin tidak saja berperan dalam

pengontrolan pertumbuhan, namun juga berperan dalam produksi susu (Manalu

1994). Somatotropin sering juga digunakan sebagai agen galaktopoietis yang

dapat meningkatkan produksi susu tanpa memberikan implikasi pada kesehatan

konsumen atau ternak itu sendiri (Tucker 2000).

Somatomedins atau IGF-I (Insulin-like growth factor I) mempunyai

rangkaian 70 asam amino dengan berat molekul 7 649 Dalton sedangkan IGF-II

mengandung 67 asam amino dengan berat molekul 7 471 Dalton. Urutan asam

amino IGF-I dan IGF-II memiliki kemiripan sekitar 70% dan juga mempunyai

struktur yang sama dengan proinsulin. Aktivitas biologis IGF bergantung pada

reseptor IGF yang spesifik yang ada pada sel target. Reseptor IGF ada dua

macam, tipe I (reseptor IGF-I) dan tipe II (reseptor IGF-II). Reseptor IGF-I

merupakan glikoprotein yang mempunyai dua subunit ekstra selluler dan dua

subunit B transmembran. Walaupun mempunyai persamaan affinitas ikatan,

reseptor IGF-I lebih menyukai ikatan dengan IGF-I diikuti dengan IGF-II dan

insulin. Tipe II atau reseptor IGF-II merupakan polipeptida rantai tunggal yang

disebut sebagai reseptor mannosa-6-fosfat. Secara struktural reseptor ini tidak

berkaitan dengan reseptor IGF-I atau insulin. Reseptor tipe II mengikat IGF-II

dengan afinitas yang lebih tinggi daripada IGF-I dan tidak mengenal insulin (

Kamil et al.2001).

Hipotesis klasik yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu bahwa aksi ST

menstimulasi hati untuk memproduksi somatomedin atau insulin-like growth

faktor I (IGF-I) yang selanjutnya akan diangkut melalui darah untuk bereaksi

pada organ sasaran yang spesifik (Sharma et al. 1994). Reseptor ST banyak

dijumpai pada hati sehingga diyakini sebagian besar peneliti bahwa ST

memodulasi hati untuk mensintesis IGF-I. Insulin-like growth factor I (IGF-I)

mempunyai peranan penting dalam mengatur metabolisme sel mammalia,

pertumbuhan, dan diferensiasi. Insulin-like growth factor I (IGF-I) hampir

(35)

17

jaringan dapat mensintesisnya sehingga IGF-I bukan saja bereaksi secara endokrin

tetapi juga sebagai autokrin atau parakrin (Prosser & Mepham 1989; Sharma et al.

1994; Tucker 2000; Kamil et al. 2001) sehingga level plasma IGF-I merupakan

produksi kumulatif dari beberapa jaringan (Tucker 2000). Produksi IGF-I akut

sensitif terhadap status nutrien (Prosser & Mepham 1989).

Hampir sebagian besar hormon dalam aksi biologisnya mempunyai organ

target. Namun, tidak demikian halnya dengan ST. Hormon ini tidak memiliki

organ target yang spesifik, tetapi sebagian besar sel tubuh dapat merespons ST

(Djojosoebagio 1990). Efek ST pada peningkatan produksi susu sangat

kontradiktif karena pada jaringan kelenjar susu hampir tidak ditemukan reseptor

untuk ST (Prosser & Mepham 1989; Akers 2002), sedangkan untuk melakukan

aktivitasnya kehadiran reseptor spesifik sangat mutlak (Shahib 2001) sehingga

diyakini bahwa ST tidak mempunyai efek langsung pada fungsi sel sekretori

kelenjar susu (Prosser & Mepham 1989). Pernyataan tersebut didasarkan pada

hasil pengamatan in vitro bahwa pemberian infus ST langsung melalui pembuluh

darah arteri kelenjar susu mengakibatkan terjadi pengurangan efek ST pada

jaringan kelenjar susu dan stimulasi sekresi susu.

Hipotesis lain menyatakan bahwa aksi ST dimediasi oleh somatomedin,

khususnya IGF-I. Pernyataan ini didasari pengamatan secara in vitro bahwa efek

langsung IGF-I pada pertumbuhan kelenjar susu dan perkembangan sistem

transport glukosa pada sel-sel epitel kelenjar susu diyakini sebagai aksi ST dalam

kelenjar susu yang dimediasi oleh IGF-I. Bukti lain adalah bahwa konsentrasi

IGF-I plasma meningkat 3 sampai 4 kali pada sapi laktasi yang diberi injeksi ST

dalam jangka waktu singkat (short term). Peningkatan IGF-I jika dihitung

berdasarkan peningkatan aliran darah ternyata dapat mencapai 5 kali dari jumlah

IGF-I yang beredar dalam kelenjar susu (Prosser & Mepham 1989).

Hasil pengamatan in vivo tentang aksi IGF-I untuk meningkatkan sekresi

susu pada ternak kambing, dengan cara penyuntikan IGF-I pada arteri tertutup ke

dalam satu kelenjar dengan laju 1,1 ηmol/menit selama 6 jam, ternyata dapat

meningkatkan laju sekresi sebesar 30 ± 5% dibandingkan dengan yang tidak

mendapat infus hanya sebesar 15 ± 4% (Prosser & Mepham 1989). Konsentrasi

IGF-I dalam susu telah meningkat sebesar 32 ± 22% dibandingkan dengan yang

(36)

kelenjar susu dan peningkatan sekresi susu juga diamati secara in vitro ketika

ternak ruminansia kecil diinfus IGF-I melalui pembuluh darah yang langsung

menuju kelenjar susu (Sharma et al. 1994). Efek galaktopoietik ST mengantar

peningkatan sekresi IGF-I ke dalam susu, walaupun pada puncak produksi masih

terdapat dalam rentang fisiologis normal untuk ruminansia penghasil susu.

Somatotropin, Metabolisme, dan Produksi Susu

Penggunaan somatoropin pada sapi laktasi dapat memodifikasi hampir

seluruh aspek metabolisme baik melalui pengaruh langsung atau tidak langsung

(Vernon 1989). Pengaruh langsung khususnya dalam rangka penggalangan zat-zat

makanan, sedangkan pengaruh tidak langsung bukan berkaitan dengan

proses-proses produksi yang mungkin sebagian diperantarai oleh IGF-1. Kerja

somatoropin bergantung pada keadaan fisiologis hewan percobaan. Perlakuan ST

pada hewan yang sedang tumbuh akan mengakibatkan peningkatan akresi protein

otot, sedangkan pada hewan laktasi menyebabkan kehilangan protein tubuh (Peel

et al.1981).

Glukosa merupakan prekursor laktosa utama dan hampir 80% glukosa

darah pada sapi laktasi digunakan untuk sintesis laktosa. Pada ternak ruminansia,

konsentrasi glukosa dalam sistem sirkulasi berasal dari ekstraksi propionat dalam

hati (Baldwin & Smith 1983; Annison et al. 1984; Collier 1985). Laktosa atau

gula susu adalah karbohidrat susu berupa disakarida yang tersusun dari satu

molekul glukosa dan satu molekul galaktosa yang bersatu dalam ikatan karbon 1-4

sebagai β-galaktosida (Larson 1985). Kadar laktosa dalam susu relatif konstan dan

dipertahankan pada kisaran yang tetap. Laktosa merupakan osmoregulator dan

determinan untuk volume susu sehingga produksi susu akan sejalan dengan

produksi laktosa.

Jalur sintesis laktosa adalah sebagai berikut :

Glukosa + ATP --- (1) Æ Glukosa -6-fosfat + ADP

Glukosa-6-fosfat --- (2) Æ Glukosa-1-fosfat

Uridine trifosfat + glukosa-1-P -- (3) Æ Uridine difosfat-glukosa + Pirofosfat

Uridine difosfat glukosa --- (4) Æ Uridine Difosfat-galaktosa

(37)

19

(1) Heksokinase

(2) Fosfoglukomutase

(3) Uridine difosforil glukosa pirofosforilase

(4) Uridine difosforil galaktosa-4-epimerase

(5) Laktosa sintetase ( terdiri atas galaktosil transferase dan α-laktalbumin)

Protein susu disintesis dari asam amino yang beredar dalam darah hasil

penyerapan dari saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh.

Glukosa dan beberapa sumber nitrogen diperlukan untuk sintesis asam amino di

kelenjar susu ruminansia (Annison et al. 1984; Collier 1985).

Sintesis lemak susu terjadi dalam sitoplasma sel-sel kelenjar susu. Pada

ternak ruminansia, asetat dan β-OH butirat (hasil metabolisme asam butirat),

selain untuk sumber energi juga digunakan untuk sintesis lemak di dalam kelenjar

susu oleh enzim asetil KoA karboksilase (Annison et al. 1984; Collier 1985).

Oksidasi glukosa melalui siklus pentosa oleh enzim glukosa 6-p dehidrogenase

menghasilkan NADPH yang diperlukan untuk sintesis asam lemak di kelenjar

susu.

Laju sintesis komponen air susu terutama laktosa, lemak, dan protein akan

semakin berkurang jika ketersediaan substrat di kelenjar susu semakin sedikit

sehingga dalam keadaan seperti ini sejumlah besar cadangan zat-zat makanan

akan dimobilisasi untuk mempertahankan produksi susu (Bines & Hart 1982).

Neraca nutrien negatif akan terjadi bila tingkat konsumsi tidak memenuhi

kebutuhan untuk sintesis susu, dan keadaan ini sering dijumpai pada awal laktasi

karena hampir 65% sampai 83% dari metabolisme energi akan diubah untuk

sintesis susu selama laktasi (Gardner & Hogue 1985).

Hasil mobilisasi asam lemak menyebabkan penumpukan asetil KoA yang

tak dapat memasuki siklus asam sitrat sehingga akan diubah menjadi benda-benda

keton seperti aseton, β-OH butirat, maupun asetoasetat sebagai hasil kondensasi

2 molekul asetil KoA (Foot et al. 1984). Pada ternak yang berada dalam neraca

nitrogen negatif akan terjadi katabolisme protein yang ditandai dengan

peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah (Peel et al. 1981).

Produksi susu merupakan fungsi jumlah sel-sel sekretoris yang aktif dan

(38)

hanya akan bergantung pada jumlah sel-sel sekretoris yang aktif dan tersedianya

subtrat (zat-zat makanan) untuk sintesis komponen air susu (Davis & Collier

1983). Lebih lanjut dikemukakan Sumaryadi & Manalu (1996) bahwa dengan

meningkatkan aliran substrat, sel-sel sekretoris akan lebih aktif sehingga keadaan

tersebut diduga akan dapat memperlambat laju involusi sel-sel sekretoris.

Proses modulasi aliran substrat ke kelenjar susu sangat ditentukan oleh

konsentrasi substrat dan laju aliran darah ke kelenjar susu. Substrat atau zat-zat

makanan yang berada dalam sistem sirkulasi berasal dari penyerapan dari sistem

saluran pencernaan (Davis & Collier 1983) dan mobilisasi cadangan energi tubuh

(Collier 1985; Vernon 1989), yang selanjutnya masuk ke dalam sel-sel sekretori

dengan sistem transportasi melalui pengaturan hormonal.

Hormon-hormon metabolisme, melalui pengaktifan beberapa enzim pada

saat laktasi, akan meningkatkan aktivitas sintesis komponen susu dalam sel-sel

sekretoris yang telah siap bersama semua perangkat enzimnya untuk merangkai

substrat berupa glukosa, asam amino, asam lemak, dan gliserol secara berturut

menjadi laktosa, protein (kasein), dan lemak untuk menghasilkan susu (Anderson

1985).

Penggunaan bST dalam memacu produksi akan menyebabkan terjadinya

adaptasi metabolik yang sangat dinamis dan sangat variatif sesuai dengan status

hewan yang bersangkutan. Koordinasi antarjaringan dalam regulasi homeorhetik

stimulasi bST pada sintesis susu dapat dilihat pada Gambar 3. Kehadiran reseptor

ST pada hati (Pocious & Herbein 1986) menyebabkan pemberian ST akan

berpengaruh langsung pada metabolisme glukosa, dan ST pada situasi ini mampu

bekerja mirip insulin, khususnya dalam meningkatkan glukosa darah, sementara

dalam keadaan lain ST akan bersifat antiinsulin dengan cara mengurangi glukosa

dengan mengorbankan cadangan lemak (Manalu 1994).

Perlakuan bST akan menyebabkan perubahan dalam metabolisme

karbohidrat karena terjadinya peningkatan kebutuhan glukosa yang tinggi untuk

sintesis susu. Dengan demikian, terjadi peningkatan produksi glukosa hati dan

terjadi penurunan oksidasi oleh jaringan tubuh dalam upaya meningkatkan

glukosa untuk sintesis susu. Pada hewan ruminan, produk fermentasi rumen

adalah volatile fatty acid (VFA) dan hanya sedikit persentase (15%) pada glukosa

(39)

21

glukoneogenesis hati yang mana produksinya dapat bertambah 3 kg/hari pada sapi

laktasi yang tinggi.

KELENJAR SUSU

ALIRAN DARAH SINTESIS SUSU

PENGAMBILAN GLUKOSA DAN SINTESIS LAKTOSA

PENGGUNAAN NEFA UNTUK SINTESIS LEMAK SUSU PENGGUNAAN ASAM AMINO UNTUK PROTEIN SUSU PEMELIHARAAN JUMLAH SEL SEKRETORI

HATI

GLUKONEOGENESIS

JARINGAN TUBUH

PENGAMBILAN GLUKOSA OKSIDASI ASAM AMINO

UNTUK ENERGI

GUDANG LEMAK

PENGAMBILAN GLUKOSA DAN ASETAT

LIPOGENESIS SELAMA NERACA ENERGI POSITIF

LIPOLISIS SELAMA NERACA ENERGI NEGATIF

GLUKOSA DARI GLISEROL MELALUI LIPOLISIS

GLUKOSA NEFA ASAM AMINO

Gambar 3 Koordinasi antarjaringan dalam adaptasi metabolik pada sapi laktasi yang diinjeksi bST (Aker 2002)

Pada sapi yang mendapat injeksi bST akan terjadi peningkatan

glukoneogenesis hati, yang paling tidak menjelaskan kemampuan antiinsulin untuk menghambat glukoneogenesis. Glukosa akan digunakan sebagai substrat

untuk sintesis laktosa di dalam kelenjar susu, dan pada sapi laktasi dengan

produksi yang tinggi hampir mendekati 85% total glukosa digunakan untuk

sintesis susu. Injeksi bST dapat meningkatkan pemanfaatan netto glukosa pada

jaringan kelenjar susu dan menurunkan penggunaan glukosa pada jaringan

nonkelenjar susu. Adaptasi metabolik ini cukup untuk memenuhi kebutuhan

glukosa untuk sintesis susu (Akers 2002).

Menurut Cohick et al. (1989) bahwa pada ruminansia, peningkatan

kehilangan karbon secara irrevesibel mempunyai implikasi peningkatan glukosa,

[image:39.595.112.512.115.496.2]
(40)

peningkatan ini bisa disebabkan oleh peningkatan glikogenolisis, akan tetapi

dalam tempo beberapa hari keadaan itu pasti disebabkan oleh glukoneogenesis.

Beberapa hormon yang terlibat dalam metabolisme dalam tubuh adalah

tiroksin, insulin, prolaktin, dan somatotropin (McDonald & Pineda 1980; Collier

1984; Bauman et al. 1985) dan beberapa hormon yang turut andil dalam

metabolisme mineral dalam penyediaan aliran mineral ke kelenjar susu di

antaranya, paratiroid, kalsitonin, dan vitamin D (McDonald & Pineda 1980;

Collier et al. 1984; Tucker 1985).

Tiroksin (triiodotironin dan tetraiodotironin) berperan sangat vital dalam

penyediaan energi ATP (McDonald & Pineda 1980; Ultiger 1987) bagi perakitan

glukosa, asam amino, asam lemak, dan gliserol menjadi glikogen, protein, dan

lemak. Hormon tiroksin telah diketahui dapat mempengaruhi aktivitas

metabolisme pada kelenjar susu (Sumaryadi & Manalu 1995b).

Kortisol berfungsi dalam memobilisasi glukosa, asam amino, dan asam

lemak untuk tujuan sintesis pada jaringan dan menghambat penggunaan zat-zat

makanan untuk tujuan oksidasi dalam sel (McDonald & Pineda 1980; Manalu &

Sumaryadi 1995b) dengan merombak cadangan energi tubuh yang akan

dibebaskan ke dalam sistem sirkulasi untuk mendukung proses sintesis di kelenjar

susu (Annison et al. 1984).

Insulin mempunyai peran dalam mengangkut glukosa, asam amino, dan

asam lemak ke dalam sel (Bines & Hart 1982). Namun, insulin tidak memiliki

reseptor pada sel-sel kelenjar susu sehingga tidak menunjukkan pengaruh pada

pengangkutan substrat ke dalam sel-sel sekretoris kelenjar susu (Manalu 1994).

Prolaktin sangat spesifik dan selalu dikaitkan dengan produksi susu,

namun berperan hanya sebatas mengaktifkan (menginisiasi) bukan memelihara

atau mempertahankan sintesis air susu (Forsyth 1986).

Somatotropin, Kesehatan Ternak, dan Keamanan Pangan

Sebelumnya telah diramalkan bahwa penggunaan bST akan menimbulkan

pengaruh yang membahayakan bagi kesehatan sapi yang mengakibatkan

permasalahan ketosis, milk fever, dan “burn-out” (Manalu 2001).

Injeksi bST pada sapi perah menunjukkan terjadinya perubahan

(41)

23

seiring dengan peningkatan produksi (Akers 2002). Peningkatan pengaliran

subtrat ke kelenjar susu membawa konsekuensi peningkatan aliran darah, namun

selama penggunaan bST ini tidak nyata berpengaruh pada pengukuran klinis

seperti suhu tubuh ataupun pernapasan (Eppard et al. 1987; Manalu et al. 1991),

tapi denyut nadi tampak sedikit meningkat khususnya pada pemakaian dosis

tinggi (Soderholm et al. 1988). Perubahan-perubahan kimia darah yang terjadi

selama perlakuan bST umumnya berkaitan dengan peningkatan produksi dan tetap

berada dalam kisaran normal yang dapat diterima secara klinis. Angka

hemoglobin dan nilai hematokrit termasuk dalam kategori ini, dan kelihatannya

penurunan tersebut terlalu kecil untuk menggambarkan anemia fungsional

(Manalu 1994).

Dari hasil beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika, pemakaian

hingga dosis 40,5 mg/hari tidak menunjukkan kejadian mastitis (Manalu 1994).

Injeksi bST secara berlebihan dapat mendorong terjadinya pemakaian lemak yang

berlebihan sehingga menghasilkan asam asetoasetat dalam hati yang akan

dikeluarkan ke dalam cairan tubuh dan menyebabkan terjadinya penyakit

metabolik seperti ketosis (Harjopranjoto 2001).

Injeksi bST tidak menghasilkan pengaruh yang konsisten pada kejadian

mastitis klinis atau hitungan sel somatis (Phipps 1989). Pada suatu percobaan

selama dua tahun di U.K, hitungan sel somatis untuk kontrol dan sapi perlakuan

lebih rendah dibandingkan rata-rata kejadian secara nasional (Phipps 1989).

Bahkan, bovine somatotropin (bST) secara positif bisa mempengaruhi pemulihan

fungsi kelenjar susu setelah kejadian mastitis (Phipps 1989).

Hasil penelitian dari Cornell University menunjukkan bahwa sapi-sapi

yang diinjeksi bST setiap hari, mulai hari ke-84 sampai hari ke-272 postpartum,

ternyata tidak menunjukkan adanya gangguan pada kesehatan maupun status

reproduksi (Hariadi et al. 2001). Lebih lanjut diungkapkan bahwa hasil tersebut di

atas diperoleh dari sapi-sapi yang dikelola dengan baik, namun sampai sejauh

mana injeksi bST bila diberikan pada sapi-sapi yang dikelola secara sederhana

masih belum diketahui (Hariadi et al. 2001).

Hasil diskusi The Standing Senate Committee on Agriculture and Forestry,

Canada pada tahun 1999 yang dikutip Soeharsono (2001) menyatakan bahwa

(42)

menyebabkan adanya metabolit IGF-I yang disebut miotropin pada susu yang

dapat menyebabkan mastitis pada sapi perah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa

penyuntikan bST/rbGH di California (sebelum tahun 1995) dapat menurunkan

harapan hidup sapi perah, meningkatkan risiko penyakit, penurunan bobot hidup,

kadang-kadang menyebabkan sapi jadi infertile dan lebih peka terhadap mastitis.

Dampak injeksi bST pada keamanan pangan sudah banyak dipublikasikan,

namun masih menyisakan kontroversi di antara peneliti. Injeksi bST pada sapi

perah dapat meningkatkan produksi susu secara tajam, namun bagaimana

pengaruhnya pada orang yang mengkonsumsi produk susu tersebut masih perlu

kajian lebih lanjut. Kandungan hormon, faktor pertumbuhan, dan peptida lainnya

telah banyak diteliti. Konsentrasi ST pada susu sapi hampir sama dengan susu

manusia masing-masing kurang dari 1 ηg/mL. Konsentrasi IGF-I, suatu mediator

untuk aksi ST berkisar antara 1,5 sampai 8 ηg/mL pada susu sapi dan

1 sampai 3 ηg/mL pada susu manusia, konsentrasi tersebut akan meningkat pada

penggunaan bST antara 2 sampai 5 ηg/mL, sedangkan konsentrasi IGF-II tidak

meningkat (Budinuryanto 2001). Lebih lanjut diungkapkan adanya kontroversi

antarpeneliti, khususnya yang berkaitan dengan jumlah IGF-I dan kanker.

Insulin-like growth factor I dan II diidentifikasi merupakan regulator pertumbuhan

autokrin dan endokrin yang ikut memacu berbagai karsinoma. Insulin- like growth

factor I (IGF-I) memainkan peranan sangat penting pada proliferasi sel kanker

pankreas, serta berperan dalam metabolisme glukosa dalam tumor, bahkan

pasteurisasi yang menginaktifkan dan merusak bST tidak mempengaruhi IGF

Gambar

Tabel 1. Komposisi asam amino somatotropin manusia, sapi, domba, dan babi
Gambar 2. Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan dan
Gambar 3 Koordinasi antarjaringan dalam adaptasi metabolik pada sapi laktasi
Gambar 4  Alir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Öteki Karasu var bir de: Öyküsünü parçalamadan, anlatısını bölmeden edemeyen, ses tonunu, bakış açısını sürekli değiştiren, adeta ayna karşısında makyaj

 Mendiskusikan data hasil pengamatan/ percobaan, meng-analisis informasi kelainan- kelainan yang mungkin terjadi pada sistem pencernaan manusia dari berbagai sumber

Indikator hubungan yang makin baik diperoleh rata-rata skor sebesar 3,76 yang menjawab sangat setuju dan setuju sebesar 70% sedangkan yang kurang setuju, tidak

Bukti dari peningkatan keterampilan menghitung volume bangun ruang siswa dapat diketahui dari nilai atau hasil tes keterampilan menghitung volume bangun ruang yang telah

Dengan hormat, disampaikan kepada saudara agar dapat menghadiri acara Pembuktian Kualifikasi dan Klarifikasi Harga Penawaran untuk paket pekerjaan tersebur diatas dengan membawa

Informasi dan data bergerak melalui kabel-kabel maupun dengan sistem wireless sehingga memungkinkan pengguna jaringan komputer dapat saling bertukar dokumen dan

10 Dapat diketahui bahwa konsep fitrah dalam al-Quran memiliki macam-macam konsep fitrah, sebagaimana dikemukakan dalam al-Quran surat al-Rum ayat 30 di atas,