• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Peta Desa Tonjong ... 111 2 Pedoman Pengumpulan Data (Wawancara, FGD dan Observasi) ... 112 3 Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... 129

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis ekonomi dan politik yang terjadi sejak akhir tahun 1997 telah menghancurkan struktur bangunan ekonomi dan pencapaian hasil pembangunan di bidang kesejahteraan sosial selama rezim Orde Baru (1967-1998). Salah satu penyebab terjadinya krisis tersebut adalah kenyataan bahwa meningkatnya angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi selama orde baru tidak benar-benar merefleksikan terjadinya pemerataan kesempatan dan perolehan kesejahteraan secara bermakna. Pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan hanya melahirkan peningkatan kesejahteraan semu (pada sekelompok kecil orang yang sangat kaya), daripada yang secara riil dirasakan oleh mayoritas penduduk (penduduk miskin).

Kondisi kesejahteraan sosial dewasa ini dibuktikan dengan tingginya angka kemiskinan, angka pengangguran, angka putus sekolah, dan meningkatnya jumlah anak kekurangan gizi. Pada tahun 2004, sekitar 30 sampai 40 juta angkatan kerja menganggur atau bekerja secara tidak teratur. Laporan Biro Pusat Statistik (Desember 2004) menunjukkan bahwa 37,4 % Warga Negara Indonesia mengalami kemiskinan absolut (dibawah garis kemiskinan) dan sebanyak 20 % yang lain sangat rentan jatuh kebawah garis kemiskinan. Semua bukti tersebut menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia selama ini ternyata mengalami distorsi (distorted development). Menurut Midgley (2005), pembangunan yang terdistorsi adalah ketika pembangunan ekonomi tidak sejalan dengan, atau kurang berdampak pada, peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat secara luas. Dengan kata lain, usaha pembangunan mengalami distorsi apabila keuntungan yang dicapai tidak mampu atau tidak diciptakan agar menyentuh dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dan menurunkan jumlah orang miskin secara bermakna.

Kedudukan manusia dalam proses pembangunan, terutama pembangunan di pedesaan, adalah sumberdaya yang diunggulkan, mengingat sumber daya alam dan jumlah penduduk desa yang potensial. Wilayah pedesaan umumnya ditandai

2

oleh karakteristik penduduk yang berpendapatan, produktifitas, tingkat pendidikan, kesehatan, gizi serta kesejahteraan hidup yang lemah. Keadaan inilah yang menjadi sasaran pembangunan, karenanya kehidupan mereka perlu ditingkatkan, terutama untuk mengatasi kemiskinan masyarakat di pedesaan. Pengentasan kemiskinan merupakan kegiatan multidimensi, tidak hanya terkait dengan sasaran bidang pendidikan, tetapi juga sasaran pemenuhan kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang harus ditangani secara terpadu.

Ada tiga faktor kritis yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan di pedesaan, yaitu cepatnya laju pertumbuhan penduduk, semakin sempitnya lahan pertanian, dan semakin sempitnya kesempatan kerja yang ada dan terbuka. Terjadinya ketimpangan antara tenaga kerja dan faktor tanah disebabkan oleh tekanan pertambahan penduduk yang tinggi dengan sumberdaya alam yang terbatas. Hal ini dapat mengakibatkan menurunnya pemerataan pendapatan dan pembagian kekayaan di pedesaan. Selanjutnya akan terjadi kecenderungan polarisasi komunitas petani, yaitu petani terbagi atas petani komersial yang luas dan petani yang tidak memiliki tanah.

Emil Salim dalam Supriatna (1997), mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin. Kelima karakteristik penduduk miskin tersebut adalah : 1) tidak memiliki faktor produksi sendiri, 2) tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, 3) tingkat pendidikan pada umumnya rendah, 4) banyak diantara mereka yang tidak memiliki fasilitas, 5) diantara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.

Berdasarkan konsep diatas, maka kondisi masyarakat miskin di Desa Tonjong dapat digolongkan dalam penduduk miskin. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi bahwa sebagian besar penduduk tidak memiliki faktor produksi sendiri serta tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Berdasarkan data dalam buku “Kecamatan Tonjong dalam Angka 2004” yang didasarkan pada laporan monografi desa-desa di seluruh Kecamatan Tonjong, maka luas lahan Desa Tonjong yaitu + 672 hektar. Komposisi penggunaan lahan tersebut secara umum dapat dibagi atas lahan sawah seluas 301 hektar (44,79 %), tanah tegalan/ladang seluas 125 hektar (18,60 %),

pemukiman seluas 98 hektar (14,58 %), tanah hutan (hutan produksi) seluas 115 hektar (17,11 %), lain- lain (fasilitas umum, kantor desa, Puskesmas, sekolah, lapangan olah raga) seluas 33 hektar (4,91 %).

Berdasarkan komposisi penggunaan lahan tersebut, maka sebagian besar wilayah Desa Tonjong dimanfaatkan sebagai lahan sawah. Akan tetapi, sebagian lahan tersebut hanya dimiliki oleh sebagian masyarakat kaya (pemilik lahan). Para pemilik lahan tersebut menyewakan kepada para petani (buruh tani) untuk menggarap lahan sawahnya dengan dengan sistem “mertelu” (hasil pertanian 2/3 untuk pemilik sawah, 1/3 untuk penggarap/buruh tani). Dengan sistem pembagian hasil tersebut, mengakibatkan rendahnya kondisi penghasilan buruh tani, sehingga mengakibatkan mereka semakin miskin.

Semakin rendahnya hasil pendapatan dari usaha pertanian dan kurang baiknya saluran irigasi, mengakibatkan pemilik lahan menjual sawahnya dan beralih fungsi menjadi bangunan/pemukiman penduduk. Kondisi ini mengakibatkan hilangnya sumber penghasilan para buruh tani yang miskin. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah desa mengambil kebijakan kepada para buruh tani untuk mengolah/menggarap ”tanah bengkok” dengan sistem sewa Rp. 400.000,00/hektar/pertahun. Sementara untuk masyarakat miskin di sekitar wilayah hutan (Dukuh Pecangakan, Dukuh Karang Anjog, Dukuh Mingkrik), mereka diberi kesempatan untuk mengolah lahan disekitar hutan sebagai sumber penghasilan mereka.

Kondisi masyarakat miskin di Desa Tonjong juga ditunjukkan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan mereka yang pada umumnya rendah. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku, kemampuan berpikir dan usaha dalam memperoleh pekerjaan. Data yang diperoleh dari hasil Pemetaan Sosial, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Tonjong Tidak/Belum Tamat SD sebanyak 2.187 jiwa (50,50 %) dan sebanyak 1.480 jiwa (34,17 %) penduduk Desa Tonjong hanya berpendidikan tamat SD. Hal ini berpengaruh pada jenis mata pencaharian penduduk, dimana karena tingkat pendidikan dan keterampilan rendah sebagian besar penduduk hanya bekerja sebagai petani (buruh tani) dan buruh bangunan. Rendahnya penghasilan penduduk yang bekerja

4

sebagai petani serta buruh tani dan bangunan juga menjadi salah satu penyebab tingginya jumlah masyarakat miskin di Desa Tonjong.

Salah satu karakteristik yang menunjukkan Desa Tonjong sebagai wilayah pedesaan adalah sebagian besar mata pencaharian penduduk tergantung pada sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan dari data yang menjelaskan bahwa jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani sebanyak 803 orang (28,66 %) dan buruh tani sebesar 1.413 orang (50,43 %). Petani yang berjumlah tersebut pada kenyataannya bukan pemilik lahan pertanian, mereka sebagai penyewa atau penyawah dari para pemilik tanah. Sebagian dari mereka juga merupakan penyewa atau penyawah dari tanah Bengkok dan lahan- lahan kosong di sekitar hutan.

Kondisi penduduk Desa Tonjong yang bermata pencaharian sebagai buruh tani sebagian besar berada pada kondisi miskin. Hal ini diakibatkan rendahnya penghasilan dari sektor pertanian yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Semakin sempitnya lahan pertanian juga mengakibatkan makin rendahnya penghasilan mereka.

Akibat semakin sempitnya lahan pertanian dan sedikitnya penghasilan/ pendapatan dari sektor pertanian, menyebabkan sebagian penduduk berupaya untuk mencari pekerjaan lain di kota-kota besar. Di antaranya menjadi buruh bangunan sebanyak 448 jiwa (15,98 %) dan buruh pabrik/industri sebanyak 81 orang (2,89 %). Sebagian penduduk ada juga yang bekerja menjadi Tenaga Kerja di Luar Negeri (TKI) sebanyak 15 orang (0,53 %). Bahkan, kecenderungannya akan semakin banyak penduduk yang ingin menjadi TKI.

Kondisi masyarakat miskin di Desa Tonjong juga ditunjukkan dengan kurang tersedianya fasilitas- fasilitas (transportasi serta pelayanan pemerintahan dan kesehatan) bagi masyarakat. Berdasarkan gambaran dalam peta Desa Tonjong terlihat bahwa akses untuk menuju wilayah dukuh di pusat desa sangat terjangkau karena dilalui jalan raya dengan sarana transportasi berupa bus, mobil, motor dan dokar/andong. Akan tetapi untuk menuju dukuh-dukuh yang jauh dari pusat desa hanya dapat dilalui dengan kendaraan bermotor (ojeg) melalui jalan desa yang sempit. Sementara untuk menuju wilayah Dukuh Pecangakan, Karang Anjog dan Dukuh Mingkrik (kondisi wilayahnya termasuk wilayah sekitar hutan) hanya

dapat dilalui dengan jalan kaki karena kondisi jalan yang berbatu dan sulit dilalui dengan kendaraan bermotor. Kondisi yang terpencil dan tidak terjangkau sarana transportasi mengakibatkan rendahnya kondisi perekonomian masyarakat di wilayah tersebut, karena barang-barang kebutuhan pokok dan hasil pertanian sulit untuk diangkut menuju atau keluar wilayah tersebut. Sehingga kondisi masyarakat di 3 dukuh tersebut sebagian besar miskin, dengan kondisi wilayah berupa kebun dan lahan hutan.

Disamping akses sarana jalan, kondisi masyarakat miskin di 3 dukuh (Dukuh Pecangakan, Dukuh Karang Anjog dan Dukuh Mingkrik) juga jauh dari sarana/fasilitas perekonomin seperti : pasar dan pertokoan yang menyediakan bahan kebutuhan pokok bagi masyarakat. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat miskin di wilayah tersebut kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Pemenuhan kebutuhan pokok sebagian besar diperoleh dari hasil ladang/pekarangan penduduk. Disamping itu, kondisi wilayah yang jauh dari pusat desa mengakibatkan masyarakat kurang mendapatkan pelayanan pemerintahan dan kesehatan. Karena, sarana/fasilitas pemerintaha n dan kesehatan berada di pusat desa.

Upaya pengembangan masyarakat di pedesaan didasarkan pada kebijakan pembangunan daerah/pedesaan ya ng menggunakan sumber daya lokal (sumber daya alam, fisik dan lingkungan) serta kelembagaan dan modal sosial yang ada ditingkat lokal/pedesaan. Permasalahan yang dihadapi dalam proses pengembangan masyarakat di pedesaan adalah rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan masyakarat. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan akses sumber daya yang tersedia.

Adi (2001), mengemukakan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat merupakan upaya mengembangkan partisipasi aktif dan meningkatkan prakarsa masyarakat dalam menentukan arah tujuan yang dicapai dalam kelembagaan yang dibentuk bersama oleh masyarakat, dan pengembangan masyarakat merupakan suatu gerakan untuk meningkatkan taraf hidup yang meliputi berbagai kegiatan pembangunan tingkat lokal baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah.

6

Dengan demikian, pengembangan masyarakat merupakan suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan. Syarat pembangunan kerakyatan menurut Corten (1990) adalah tersentuhnya aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumber daya alam dan adanya partisipasi masyarakat. Dalam konteks seperti ini maka pembangunan adalah proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri.

Rumusan Masalah

Dalam rangka mengentaskan masyarakat miskin di sekitar hutan di Desa Tonjong dari kondisi kemiskinan, maka diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan melalui upaya pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Oleh karena itu pertanyaan kajian ini adalah : “Bagaimana langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam upaya Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan Melalui Upaya Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat”.

Upaya pengembangan kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) didukung oleh adanya unsur Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang menjadi perwakilan masyarakat miskin di sekitar hutan dalam kelembagaan tersebut. Namun demikian, kendala yang dihadapi adalah adanya permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kapasitas LMDH dan kapasitas masyarakat miskin di sekitar hutan.

Permasalahan lainnya adalah berkaitan dengan performa kelembagaan PHBM, dimana selama ini aktifitas dan program kerja yang dijalankan belum menyentuh tujuan utamanya yaitu pemberdayaan masyarakat miskin di sekitar hutan. Kurangnya peranserta LMDH dan masih lemahnya jaringan kerjasama dalam kelembagaan tersebut juga mempengaruhi performa kelembagaan PHBM.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi lokal dan modal sosial di tingkat lokal yang dapat mendukung upaya pengembangan kelembagaan PHBM. Selain itu, strategi dan program yang tepat juga perlu disusun dan dirumuskan bersama dalam upaya pencapaian tujuan pengembangan kelembagaan PHBM yaitu pemberdayaan masyarakat miskin di sekitar hutan.

Tujuan Kajian

Secara umum tujuan kajian ini adalah mengkaji dan merumuskan strategi yang tepat dalam upaya Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Secara khusus, tujuan kajian adalah :

1. Mengetahui dan menganalisis kapasitas Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan kapasitas individu masyarakat miskin di sekitar hutan di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong ?

2. Mengkaji performa kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong ?

3. Menganalisis dan menggali potensi lokal dan modal sosial yang ada di masyarakat yang dapat mendukung upaya pengembangan kelembagaan PHBM di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong ?

4. Merumuskan strategi dan program yang tepat dalam upaya pengembangan kelembagaan PHBM di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong ?

Kegunaan Kajian

1. Kegunaan praktis, diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah dan Dinas Kehutanan Kabupaten Brebes dalam upaya Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.

8

2. Kegunaan strategis, diharapkan dapat memberikan kontribusi atas penyusunan program dan strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.

3. Kegunaan akademis, diharapkan dapat memperkaya tentang praktek-praktek Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.

Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Pekerjaan Sosial

Konsep pemberdayaan dalam wacana pengembangan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial (komunitas). Menurut Rappaport dalam Hikmat (2004), pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak- haknya menurut undang-undang. Sementara itu, Mc Ardle dalam Hikmat (2004) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekwen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriaannya, bahkan merupakan keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.

Gunardi dkk (2003) mendefinisikan makna pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya. Dalam kaitanya dengan pengembangan masyarakat, pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.

Ciri-ciri masyarakat yang telah berdaya menurut Sumarjo dkk (2004) adalah sebagai berikut : a) mampu memahami diri dan potensinya, b) mampu merencana-kan (mengantisipasi kondisi perubahan kedepan) dan mengarahmerencana-kan dirinya sendiri, c) memiliki kekuatan untuk berunding dan bekerjasama secara saling menguntungkan dengan ”bargaining power” yang memadai, d) bertanggung jawab atas tindakan sendiri.

Menurut Brokensha dan Hodge dalam Adi (2001), pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat.

10

Dalam pengembangan masyarakat, menurut Ife (2002) pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prinsip yang juga harus menjadi tujuan dari pengembangan masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa pengembangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam terminologi pekerjaan sosial, menurut Dubois-Milley (1992) pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strategi dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan keberfungsian sosial. Keberfungsian sosial diartikan sebagai suatu situasi dimana orang bisa melaksanakan peran sesuai dengan status yang dimilikinya untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupannya sebagai individu, anggota kelompok maupun anggota masyarakat secara luas. Salah satu upaya untuk mengatasi disfungsi sosial adalah melalui strategi pemberdayaan.

Menurut Kartasasmita (1996) pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk membangun daya saing dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan aksi yang dimiliki masyarakat serta berupaya untuk mengembangkannya. Suharto (1997) juga mengungkapkan bahwa pemberdayaan juga menunjuk pada kemampuan orang/kelompok/masyarakat yang rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam : a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan dan kesakitan, b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Manurut Siporin (1975), pekerjaan sosial menganggap kliennya adalah subyek dan bukan obyek dalam pemecahan masalah. Selain itu pekerjaan sosial juga menganggap bahwa masalah bukanlah atribut dari klien melainkan situasi dan kondisi yang mempengaruhi dan menimpa klien : “Problem in living generally are caused by many systemic factors : therefore blaming, faulting and scapegoating of people are unhelpful and are to be avoid”. Berdasarkan asumsi tersebut, dapat digunakan pendekatan dualistik (yaitu dengan merubah klien dan juga merubah lingkungan dalam pemecahan masalah klien) dalam pemberdayaan masyarakat miskin di pedesaan, khususnya masyarakat miskin di sekitar hutan.

Pendekatan dualistik pekerjaan sosial dalam pemberdayaan masyarakat miskin dilaksanakan seperti gambar di bawah ini :

Gambar 1 : Pendekatan Dualistik Pekerjaan Sosial dalam Pemberdayaan

Berdasarkan konsep-konsep diatas, dari berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Masya rakat miskin (khususnya masyarakat miskin di sekitar hutan di Desa Tonjong) merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan lemah serta tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berdaya. Melalui upaya pemberdayaan masyarakat, diharapkan mereka dapat memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi mereka dan keluarganya sehingga terbebas dari kemiskinan (kondisi kebodohan, kelaparan dan kesakitan). Melalui upaya pemberdayaan diharapkan mereka juga dapat menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan bagi mereka untuk meningkatkan pendapatan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, serta ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Kapasitas Individual Kapasitas Komunitas Kapasitas Organisasi Pemerintah Desa Masyarakat Lainnya Perguruan Tinggi Lembaga Swasta

12

Kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi yang lebih tinggi. Menurut SMERU dalam Suharto (2005), kemiskinan memiliki beberapa ciri : 1) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan), 2) ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi), 3) ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga), 4) kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal, 5) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam, 6) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, 7) ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan, 8) ketidakmampuan untuk berusaha, 9) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial.

Selanjutnya dalam Suharto (2005), Friedman mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasi basis kekuatan sosial yang meliputi : (a) modal produktif atau aset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.

Menurut Schiller dalam Ala (1996), kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terbatas. Dan oleh Salim, dikatakan bahwa, kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk meningkatkan kebutuhan hidup yang pokok. Lebih lanjut Salim menyatakan bahwa aktor kemiskinan atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki lima ciri, yaitu :

1. Mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup, modal ataupun keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas. 2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan

kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sedangkan syarat yang terpenuhi untuk memperoleh kredit perbankan, seperti adanya jaminan kredit dan lain- lain, sehingga mereka yang perlu kredit terpaksa berpaling kepada “lintah darat” yang biasanya meminta syarat pelunasan yang berat dan memungut bunga yang tinggi.

3. Tingkat pendidikan mereka masih rendah, tak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka tersisa habis untuk mencari nafkah sehingga secara turun temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis kemiskinan. 4. Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. Banyak diantara mereka tidak

memiliki tanah, kalaupun ada maka kecil sekali. Umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar pertanian. Karena pertanian bekerja secara musiman maka kesinambungan kerja kurang terjamin, sehingga banyak diantara mereka lalu menjadi “pekerja bebas” (self employed) dengan berusaha apa saja.

5. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai ketrampilan (skill) dan pendidikan, sedangkan kota dibanyak negara sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa ini.

Sharp dkk dalam Kuncoro (1997) mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi, antara lain :

a. Secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitas yang rendah.

b. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya

14

manusia ini disebabkan karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan.

c. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Ketiga penyebab kemiskinan tersebut bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidak-sempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan. Rendahnya pendapatan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya.

Menurut Ala (1996), kemiskinan pada masyarakat di pedesaan merupakan fenomena yang multi-dimensional karena banyak sekali nilai- nilai yang dibutuh-kan atau kebutuhan manusia itu bermacam- macam, maka kemiskinanpun memiliki banyak aspek. Menurut Friedman (1992), bila dilihat dari segi public

Dokumen terkait