• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Pekerjaan Sosial

Konsep pemberdayaan dalam wacana pengembangan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial (komunitas). Menurut Rappaport dalam Hikmat (2004), pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak- haknya menurut undang-undang. Sementara itu, Mc Ardle dalam Hikmat (2004) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekwen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriaannya, bahkan merupakan keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.

Gunardi dkk (2003) mendefinisikan makna pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya. Dalam kaitanya dengan pengembangan masyarakat, pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.

Ciri-ciri masyarakat yang telah berdaya menurut Sumarjo dkk (2004) adalah sebagai berikut : a) mampu memahami diri dan potensinya, b) mampu merencana-kan (mengantisipasi kondisi perubahan kedepan) dan mengarahmerencana-kan dirinya sendiri, c) memiliki kekuatan untuk berunding dan bekerjasama secara saling menguntungkan dengan ”bargaining power” yang memadai, d) bertanggung jawab atas tindakan sendiri.

Menurut Brokensha dan Hodge dalam Adi (2001), pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat.

Dalam pengembangan masyarakat, menurut Ife (2002) pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prinsip yang juga harus menjadi tujuan dari pengembangan masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa pengembangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam terminologi pekerjaan sosial, menurut Dubois-Milley (1992) pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strategi dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan keberfungsian sosial. Keberfungsian sosial diartikan sebagai suatu situasi dimana orang bisa melaksanakan peran sesuai dengan status yang dimilikinya untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupannya sebagai individu, anggota kelompok maupun anggota masyarakat secara luas. Salah satu upaya untuk mengatasi disfungsi sosial adalah melalui strategi pemberdayaan.

Menurut Kartasasmita (1996) pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk membangun daya saing dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan aksi yang dimiliki masyarakat serta berupaya untuk mengembangkannya. Suharto (1997) juga mengungkapkan bahwa pemberdayaan juga menunjuk pada kemampuan orang/kelompok/masyarakat yang rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam : a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan dan kesakitan, b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Manurut Siporin (1975), pekerjaan sosial menganggap kliennya adalah subyek dan bukan obyek dalam pemecahan masalah. Selain itu pekerjaan sosial juga menganggap bahwa masalah bukanlah atribut dari klien melainkan situasi dan kondisi yang mempengaruhi dan menimpa klien : “Problem in living generally are caused by many systemic factors : therefore blaming, faulting and scapegoating of people are unhelpful and are to be avoid”. Berdasarkan asumsi tersebut, dapat digunakan pendekatan dualistik (yaitu dengan merubah klien dan juga merubah lingkungan dalam pemecahan masalah klien) dalam pemberdayaan masyarakat miskin di pedesaan, khususnya masyarakat miskin di sekitar hutan.

11

Pendekatan dualistik pekerjaan sosial dalam pemberdayaan masyarakat miskin dilaksanakan seperti gambar di bawah ini :

Gambar 1 : Pendekatan Dualistik Pekerjaan Sosial dalam Pemberdayaan

Berdasarkan konsep-konsep diatas, dari berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Masya rakat miskin (khususnya masyarakat miskin di sekitar hutan di Desa Tonjong) merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan lemah serta tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berdaya. Melalui upaya pemberdayaan masyarakat, diharapkan mereka dapat memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi mereka dan keluarganya sehingga terbebas dari kemiskinan (kondisi kebodohan, kelaparan dan kesakitan). Melalui upaya pemberdayaan diharapkan mereka juga dapat menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan bagi mereka untuk meningkatkan pendapatan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, serta ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Kapasitas Individual Kapasitas Komunitas Kapasitas Organisasi Pemerintah Desa Masyarakat Lainnya Perguruan Tinggi Lembaga Swasta

Kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi yang lebih tinggi. Menurut SMERU dalam Suharto (2005), kemiskinan memiliki beberapa ciri : 1) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan), 2) ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi), 3) ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga), 4) kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal, 5) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam, 6) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, 7) ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan, 8) ketidakmampuan untuk berusaha, 9) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial.

Selanjutnya dalam Suharto (2005), Friedman mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasi basis kekuatan sosial yang meliputi : (a) modal produktif atau aset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.

Menurut Schiller dalam Ala (1996), kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terbatas. Dan oleh Salim, dikatakan bahwa, kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk meningkatkan kebutuhan hidup yang pokok. Lebih lanjut Salim menyatakan bahwa aktor kemiskinan atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki lima ciri, yaitu :

13

1. Mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup, modal ataupun keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas. 2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan

kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sedangkan syarat yang terpenuhi untuk memperoleh kredit perbankan, seperti adanya jaminan kredit dan lain- lain, sehingga mereka yang perlu kredit terpaksa berpaling kepada “lintah darat” yang biasanya meminta syarat pelunasan yang berat dan memungut bunga yang tinggi.

3. Tingkat pendidikan mereka masih rendah, tak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka tersisa habis untuk mencari nafkah sehingga secara turun temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis kemiskinan. 4. Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. Banyak diantara mereka tidak

memiliki tanah, kalaupun ada maka kecil sekali. Umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar pertanian. Karena pertanian bekerja secara musiman maka kesinambungan kerja kurang terjamin, sehingga banyak diantara mereka lalu menjadi “pekerja bebas” (self employed) dengan berusaha apa saja.

5. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai ketrampilan (skill) dan pendidikan, sedangkan kota dibanyak negara sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa ini.

Sharp dkk dalam Kuncoro (1997) mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi, antara lain :

a. Secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitas yang rendah.

b. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya

manusia ini disebabkan karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan.

c. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Ketiga penyebab kemiskinan tersebut bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidak-sempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan. Rendahnya pendapatan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya.

Menurut Ala (1996), kemiskinan pada masyarakat di pedesaan merupakan fenomena yang multi-dimensional karena banyak sekali nilai- nilai yang dibutuh-kan atau kebutuhan manusia itu bermacam- macam, maka kemiskinanpun memiliki banyak aspek. Menurut Friedman (1992), bila dilihat dari segi public policy maka terdapat dua aspek kemiskinan, yakni : 1) aspek primer terdiri dari : aset-aset, organisasi sosial dan politik, dan pengetahuan dan keterampilan; 2) aspek sekunder, terdiri dari : jaringan sosial, sumber-sumber keuangan, dan informasi.

Kemiskinan merupakan fenomena multi dimensional, disamping karena tingkat pendapatan yang rendah, juga dikarenakan dimensi-dimensi lain, yaitu : 1. Kurang atau tidak adanya kesempatan : rendahnya tingkat

konsumsi/pen-dapatan, biasanya bersifat relatif terhadap garis kemiskinan. Hal ini secara umum berkaitan dengan tingkat dan distribusi aset fisik (lahan, modal manusia dan sosial), serta peluang/kesempatan pasar.

2. Kemampuan atau kapabilitas yang rendah : sedikit atau hampir tidak ada perbaikan dalam indikator kesehatan dan pendidikan diantara kelompok sosial ekonomi tertentu.

3. Tingkat jaminan keamanan yang rendah : terhadap resiko dan bencana yang muncul di tingkat nasional, lokal maupun rumah tangga dan individu.

4. Kurangnya pemberdayaan : kapasitas golongan masyarakat miskin atau akses untuk memberikan pengaruh terhadap lembaga pemerintah dan proses sosial, yang membentuk alokasi sumberdaya dan pilihan kebijakan umum.

15

Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial

Kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah “social institution”. Akan tetapi ada pula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk istilah “social institution” tersebut, yang menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Koentjaraningrat (1997) menyatakan bahwa kelembagaan sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya Polak dalam Tonny (2005) mengungkapkan bahwa kelembagaan sosial merupakan suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai- nilai yang penting. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting.

Menurut Wiriatmaja (1978) secara ringkas lembaga merupakan pola-pola aktifitas yang sudah tersusun dengan baik. Suatu masyarakat telah menyusun pola-pola untuk pemenuhan kebutuhan dasar ekonominya (seperti : makanan, pakaian, perumahan dan lain- lainnya). Uphoff (1993) juga menegaskan bahwa institutions, whether organizations or not, are complexs of norms and behaviors that persist by serving collectively valued purposed. Sedangkan organisasi adalah structures of recognized and accepted roles. Meskipun kedua batasan tersebut berbeda, namun keduanya merupakan suatu yang stabil, mantap dan berpola serta berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat.

Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku. Sejalan dengan konsep tersebut, maka kelembagaan sosial memiliki fungsi antara lain :

a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat : bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah- masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan,

b. Menjaga keutuhan : dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara,

c. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control) : artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya,

d. Memenuhi kebutuhan pokok manusia (masyarakat).

Syahyuti (2003) berpendapat bahwa kelembagaan berisikan dua aspek penting yaitu “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku sosial, dimana inti kajiannya asalah tentang value, norm, custom, mores, folksway, usage, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain- lain. Sementara dalam aspek keorganisasian meliputi struktur atau struktur sosial dengan inti kajiannya terletak pada aspek peran (role).

Konsepsi modal sosial merupakan konsepsi yang cukup luas. Colleta-Cullen (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum, kepercayaan, pertukaran timbal balik, petukaran ekonomi dan informasi, kelompok-kelompok formal dan informal serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal- modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Modal sosial memiliki empat dimensi, yaitu : 1) integrasi (integration) yaitu ikatan yang kuat antar anggota keluarga, keluarga dengan tetangga sekitarnya dan ikatan- ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik dan agama; 2) pertalian (linkage) yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal dalam bentuk jejaring

(network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic associations); 3) integritas organisasional (organizational integrity) yaitu keefektifan dan

kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan; 4) sinergi (sinergy) yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-community relations).

Konsepsi modal sosial merupakan konsep yang luas. Putnan dalam Tonny (2005) mendefinisikan modal sosial sebagai elemen-elemen dalam masyarakat yang digunakan untuk memudahkan tindakan kolektif. Elemen-elemen tersebut berupa kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network). Hal ini senada

17

dengan Fedderke (1999) yang menyatakan bahwa modal sosial berarti ciri-ciri dari organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama.

Komunitas membangun modal sosial melalui pengembangan hubungan-hubungan aktif, partisipasi demokrasi dan penguatan pemilikan komunitas dan kepercayaan. Sumber-sumber modal sosial itu muncul dalam bentuk tangung jawab dan harapan-harapan yang tergantung pada kepercayaan dari lingkungan sosial, kemampuan aliran informasi dalam struktur sosial dan norma-norma yang disertai sanksi.

Dasgupta dan Serageldin (1999) menjelaskan bahwa wujud modal sosial belum sejelas wujud modal manusia atau modal fisik, pemahamannya lebih ditekankan pada hubungan timbal balik antara modal sosial dan sifat sosial. Sifat sosial dalam modal sosial adalah : 1) adanya saling menguntungkan paling kurang antara dua orang, kelompok, kolektifitas, atau manusia pada umumnya, 2) di-peroleh melalui proses sosial, 3) menunjuk pada hubungan sosial, instritusi, struktur sosial, 4) semua sifat berhubungan dengan rasa percaya (trust), hubungan timbal balik (resiprositas), hak dan kewajiban, dan jejaring sosial.

Penguatan Kapasitas dalam Pengembangan Kelembagaan

Penguatan kapasitas merupakan suatu pendekatan pembangunan dimana semua orang (pihak) memiliki hak yang sama terhadap sumber daya, dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Menurut Eade dalam Tonny (2005), pengembangan kapasitas terfokus pada lima isu pokok sebagai berikut :

1. Penguatan kapasitas sering digunakan secara sederhana untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif mengimplementasikan proyek pembangunan. Kelembagaan merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Penguatan kapasitas dapat juga menunjuk pada upaya yang mendukung organisasi untuk menjadi katalis dialog dan atau memberikan kontribusi dalam mencapai alternatif pembangunan. Pandangan ini menekankan peran mendemokratisasikan organisasi pemerintah dan organisasi berbasis masyarakat dalam masyarakat madani.

3. Jika penguatan kapasitas adalah suatu cara untuk mencapai tujuan, kemudian tujuan yang dimaksudkan oleh lembaga- lembaga yang ikut serta, maka harus dinyatakan secara eksplisit agar dapat membandingkan berbagai pilihan atau mengevaluasi kemajuannya. Fokusnya adalah mengembangkan hubungan antara struktur, proses dan kegiatan organisasi yang menerima dukungan dan kualitas dan jumlah dari hasilnya dan efeknya. Kriteria efektifitas terkonsentrasi pada dampaknya di tingkat lokal.

4. Jika penguatan kapasitas merupakan tujuan akhir (misalnya memperkuat kualitas suatu pengambilan keputusan), maka pilihan tersebut membutuhkan tujuan yang jelas dan analisis kontektual terhadap unsur-unsur kelembagaan. Fokusnya adalah misi organisasi yang berimbang, dan keterkaitannya dengan lingkungan eksternal, struktur dan aktifitasnya. Kriteria efektifitasnya akan berhubungan dengan faktor luar dimana misi itu dirasakan tepat, masuk akal dan terpenuhi.

5. Jika penguatan kapasitas adalah suatu proses penyesuaian untuk merubah dan proses penegasan terhadap sumber daya untuk mengatasi tantangan maupun keinginan untuk aksi berkelanjutan. Fokusnya adalah membantu mitra kerja untuk menjadi lebih mandiri dalam hubungan jangka panjang.

Menurut Sumpeno (2002), penguatan kapasitas adalah suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang terleh ditetapkan secara efektif dan efisien. Penguatan kapasitas adalah perubahan perilaku untuk : 1) meningkatkan kemampuan individu dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap; 2) meningkat-kan kemampuan kelembagaan dalam organisasi dan manajemen, finansial dan kultur; 3) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kemandirian, keswadaya-an dkeswadaya-an mengkeswadaya-antisipasi perubahkeswadaya-an.

Menurut Sumpeno (2002), hasil yang diharapkan dengan adanya penguatan kapasitas adalah : 1) penguatan individu, organisasi dan masyarakat; 2) terbentuk-nya model pengembangan kapasitas dan program; 3) terbangunterbentuk-nya sinergisitas pelaku dan kelembagaan.

19

Mengacu berbagai pendapat diatas, terdapat dua fokus dalam penguatan kapasitas, yaitu : 1) perubahan perilaku, 2) strategi dalam penguatan kelembagaan untuk mengatasi masalah dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya strategi penguatan kapasitas kelembagaan diharapkan pemberdayaan masyarakat secara institusional maupun individual dapat terwujud.

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Sejalan dengan perubahan paradigma pengelolaan hutan dari “Timber Management” menjadi “Forest Resources Management” dan “State Based Forest Management” dan kemudian menjadi “Community Based Management” serta se-jalan dengan visi dan misi perusahaan, Perum Perhutani kemudian mensosialisasi-kan Program “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)” pada semua lapisan masyarakat dan instansi terkait.

Sebenarnya model- model PHBM telah dilaksanakan Perhutani dan berjalan sejak berdirinya Perum Perhutani tahun 1972, bahkan sebelum itu, dengan melibatkan dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, antara lain dengan Program Perhutanan Sosial, Agroforestry, Sylofishery, Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDH-T) yang implementasinya dilaksanakan pada kegiatan tumpangsari, insus tumpangsari, penanaman di bawah tegakan, Perhutanan Sosial, tebangan, pemasaran, pembangunan sarana dan prasarana dan lain- lain. Kegiatan tersebut berkelanjutan dan sudah menjadi budaya dan ladang kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat dan stakeholders, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian melalui peningkatan pendapatan dan produksi pangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.01/Menhut-II/2004, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. PHBM dilaksanakan berdasarkan pengelolaan hutan berbasis

pember-dayaan masyarakat dengan memperhatikan prinsip-prinsip : manfaat dan lestari, swadaya, kebersamaan dan kemitraan, keterpaduan antar sektor, bertahap, berkelanjutan, spesifik lokal dan adaptif.

Pengembangan PHBM dilaksanakan dalam kerangka pengelolaan hutan lestari melalui strategi pokok yaitu :

1. Kelola kawasan merupakan rangkaian kegiatan prakondisi yang dilakukan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan social forestry dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan,

2. Kelola Kelembagaan merupakan rangkaian upaya dalam rangka optimalisasi pelaksanaan social forestry melalui penguatan organisasi, penetapan aturan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia,

3. Kelola usaha merupakan rangkaian kegiatan yang mendukung tumbuh dan berkembangnya usaha di areal kerja social forestry melalui kemitraan dengan perimbangan hak dan tanggung jawab.

Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah (2005) menyatakan bahwa jiwa dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) adalah berbagi yang meliputi berbagi dalam pemanfaatan lahan dan atau ruang, pemanfaatan waktu, pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling mendukung. PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional. Tujuannya adalah : a. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas

ekonomi dan sosial masyarakat.

b. Meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya hutan.

c. Meningkatkan mutu sumber daya hutan, produktifitas dan keamanan hutan. d. Mendorong dan menyelaraskan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan

21

Sedangkan menurut WARSI (2002) Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat diartikan sebagai Community Based Forest Management (CBFM) atau sistem hutan kerakyatan yang merupakan sistem pengelolaan sumber daya alam hutan yang dikembangkan oleh masyarakat di lingkungannya bagi kesejahteraannya. Dimana hutan bukan sekedar tegakan pohon melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan wilayah hukum adat yang ele mennya terdiri atas hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, ladang, kebun, pemukiman, tanah keramata dan komunitas serta sistem ekologinya. Sistem ini memberikan syarat bagi berlangsungnya kehidupan. Misalnya sebagai penyedia air, menjaga kesuburan tana h, penyedia bahan makanan, papan, sandang, obat-obatan dan religi.

Dalam pengembangan konsep CBFM, masyarakat terlibat secara aktif, berakar di masyarakat dan bersendikan adat istiadat maupun norma- norma yang berlaku di masyarakat pula. Dimana penguasaan lahan, distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak terlepas dari adat dan kebiasaan setempat. Bahkan dikontrol oleh pranata sosial dan budaya lokal. Artinya pengembangan CBFM bukan untuk tujuan ekonomi semata, karena sistem ini secara tegas menekan bahwa aktor utamanya adalah rakyat yang berada pada komunitas-komunitas lokal.

Kerangka Pemikiran

Upaya pemberdayaan masyarakat miskin di sekitar hutan didasari dari

Dokumen terkait