• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan

Keagamaan ... iii Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI ... vii

Prolog, oleh: Dr. H. Maulana Hasanuddin, M.Ag ... xi

Prakata Editor ... xix DAFTAR ISI ... xxvii BAB I PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang Masalah ... B. Batasan Masalah ... C. Rumusan Masalah ... D. Tujuan Penelitian ... E. Kegunaan Penelitian ... 1 1 7 8 9 9 BAB II PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIK ...

A. Deskripsi Teoritik ... 1. Produk Halal ... 2. Konsep tentang Sikap (Attitude)... 3. Perilaku Konsumen Muslim ... 4. Restoran ... B. Prior Research ... 11 11 11 12 14 18 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... B. Populasi dan Sampel ... C. Instrumen Penelitian ... D. Skala Pengukuran ... E. Model dan Hipotesis Penelitian ... F. Teknik Analisa Data ... G. Waktu ... 25 25 25 27 31 32 34 37 BAB IV HASIL DAN ANALISIS ...

Daftar Isi

B. Pengetahuan Komunitas Muslim terhadap Produk Halal ... C. Persepsi Komunitas Muslim terhadap Produk Ha-lal... D. Perilaku Komunitas Muslim dalam Me-ngonsumsi Produk Halal ... E. Korelasi antara Pengetahuan, Persepsi dan

Perilaku Konsumen Muslim terkait Produk Halal ...

47 56 74 93 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...

A. Kesimpulan ... B. Rekomendasi ... 107 107 109 DAFTAR PUSTAKA ... 113

B. Pengetahuan Komunitas Muslim terhadap Produk Halal ... C. Persepsi Komunitas Muslim terhadap Produk Ha-lal... D. Perilaku Komunitas Muslim dalam Me-ngonsumsi Produk Halal ... E. Korelasi antara Pengetahuan, Persepsi dan

Perilaku Konsumen Muslim terkait Produk Halal ...

47 56 74 93 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...

A. Kesimpulan ... B. Rekomendasi ... 107 107 109 DAFTAR PUSTAKA ... 113 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ndonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Sayangnya, mereka tak terlindungi dari produk-produk yang tak halal. Sebab, banyak produk makanan dan minuman yang beredar di sekitar kita tak berlabelkan halal. Hal ini sangat meng-khawatirkan karena pemerintah bersifat pasif, produsen malas mendaftarkan kehalalan produknya, masyarakat acuh tak acuh. Ketiga hal tersebut merupakan salah satu penyebab lambatnya kesadaran masyarakat atas kehalalan produk di Indonesia. Padahal, ini merupakan kewajiban produsen atau perusahaan untuk mendaftarkan produknya untuk melin-dungi konsumen dari produk yang tidak halal. Sementara komunitas muslim perkotaan di seluruh dunia telah mem-bentuk segmen pasar yang potensial dikarenakan pola khusus mereka dalam mengonsumsi produk halal. Di Amerika Seri-kat yang notabene kaum muslimin di sana jumlahnya minori-tas, diperkirakan mencapai empat sampai sembilan juta pemeluk agama Islam, pola konsumsi produk mereka sejalan dengan ajaran Islam atau pola konsumsinya ingin menyesuai-kan dengan ajaran agamanya. Sementara di Indonesia, yang populasi kaum muslimnya mayoritas dari jumlah total warga negara tentu merupakan pasar konsumen muslim yang besar.

Menyadari hal tersebut maka pemerintah berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dalam mengonsumsi produk tidak halal. Hal ini merupakan implementasi dari

Bab I. Pendahuluan

amanat sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain dalam pasal 30 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan yang mengatur label dan iklan pangan yang menyatakan (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia yang dikemas untuk diperdagang-kan wajib mencantumdiperdagang-kan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan; (2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. keterangan tentang halal; dan f. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa.

Di Indonesia, konsumen muslim dilindungi oleh instansi pemerintah dalam hal ini Badan Pengawasan Produk Obat dan Makanan (BPPOM) yang bertugas mengawasi produk-produk yang beredar di masyarakat. Selain itu ada kesepakatan kerjasama antara Kementerian Agama, Badan Pengawasan Produk Obat dan Makanan (BPPOM) dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika – Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) yang bertugas secara khusus mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh konsumen muslim di Indonesia.

BPOM mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan persetujuan, pencantuman tulisan/ logo halal pada label berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM-MUI dan telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan

tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen muslim.

Secara khusus pola konsumsi umat Islam sebetulnya telah diatur dalam ajaran Islam yang disebut dengan syari’at. Dalam ajaran syari’at, tidak diperkenankan bagi kaum muslim untuk mengonsumsi produk-produk tertentu yang substansi kandungan atau proses yang menyertainya tidak sesuai dengan ajaran syari’at tersebut. Syari’at Islam sangat tegas menghendaki umat Islam untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan melaksanakan apa saja yang diperintahkan. Hal ini membuat konsumen muslim bukanlah konsumen yang permissive dalam perilaku pola konsumsinya. Mereka dibatasi oleh kehalalan dan keharaman yang dimuat dalam nash al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi panduan utama bagi mereka.

Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 168 yang artinya: ‚Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi

baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu‛, dan dalam Hadits Riwayat Salman

Alfarisi RA: ‚Rasulullah SAW ditanya tentang hukum mentega,

keju, dan bulu binatang. Beliau menjawab, halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, haram adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan sesuatu yang Allah diamkan (tidak ditetapkan hukumnya) maka termasuk yang diampuni‛. (Ali Mustofa Ya’kub: 33).

Berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits di atas, maka ketentuan syari’at inilah yang menjadi tolok ukur utama konsumen muslim dalam proses pemilihan produk-produk makanan dan minuman. Ketidakinginan masyarakat muslim

Bab I. Pendahuluan

untuk mengonsumsi produk-produk haram akan mening-katkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses pemilihan produk (high involvement). Dengan demikian akan ada produk yang pilih untuk dikonsumsi dan produk yang disisihkan akibat adanya proses pemilihan tersebut. Proses pemilihannya sendiri akan menjadikan kehalalan sebagai parameter utama-nya. Ketentuan ini membuat keterbatasan pada produk-produk makanan untuk memasuki pasar umat Muslim. Konsumen Muslim sendiri bukan tanpa kesulitan untuk memilih produk-produk yang mereka konsumsi menjadi produk dalam kategori halal dan haram. Tentunya untuk memeriksakan sendiri kondisi kehalalan suatu produk adalah kurang memungkinkan. Hal ini berkaitan dengan masalah teknis dalam memeriksa kehalalan suatu produk, seperti uji kimia, pengamatan proses serta pemeriksaan kandungan produk.

Keberadaan LPPOM-MUI dapat membantu masyarakat memudahkan proses pemeriksaan kehalalan suatu produk. Dengan mendaftarkan produk untuk diaudit keabsahan halalnya oleh LPPOM-MUI sebuah perusahaan dapat men-cantumkan label halal pada produk tersebut. Hal itu berarti produk tersebut telah halal untuk dikonsumsi umat Muslim dan hilanglah barrier nilai yang membatasi produk dengan konsumen muslim. Dengan adanya label halal ini konsumen muslim dapat memastikan produk mana saja yang boleh mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan mencan-tumkan label halal pada kemasannya. Secara teori maka, untuk para pemeluk agama Islam yang taat, persepsi, sikap dan motivasi mereka menentukan pilihan produk makanan halal yang diwakili dengan label halal.

Seiring dengan pesatnya perkembangan media dan mudahnya informasi yang dapat diperoleh konsumen, akan turut mempengaruhi pola konsumsi mereka. Labelisasi halal yang secara prinsip adalah label yang memberi informasi kepada pengguna produk yang berlabel tersebut, bahwa produknya benar-benar halal dan nutrisi-nutrisi yang dikandungnya tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan secara syariah sehingga produk tersebut boleh dikonsumsi. Dengan demikian produsen yang tidak mencantukan label halal pada kemasannya dianggap belum mendapat persetujuan lembaga berwenang (LPPOM-MUI) untuk diklasifikasikan kedalam daftar produk halal atau dianggap masih diragukan kehalalannya. Keadaan label itu akan membuat konsumen muslim berhati-hati untuk memutuskan mengonsumsi atau tidak produk-produk tanpa label halal tersebut.

Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata halal dalam sebuah lingkaran. Peraturan pelabelan yang dikeluarkan Ditjen POM (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, mewajibkan para produsen makanan untuk mencantumkan label tambahan yang memuat informasi tentang kandungan (ingredient) produk makanan tersebut. Sehingga konsumen dapat memperoleh informasi yang dapat membantu mereka untuk menentukan sendiri kehalalan suatu produk. Kondisi masyarakat Muslim yang menjadi konsumen dari produk-produk makanan yang beredar dipasar, namun mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya mereka konsumsi selama ini. Sebagai orang Islam yang memiliki aturan yang sangat

Bab I. Pendahuluan

jelas tentang halal dan haram, seharusnya konsumen Muslim terlindungi dari produk-produk yang tidak halal atau tidak jelas kehalalannya (syubhat). LPPOM MUI memberikan sertifikasi halal pada produk-produk yang lolos audit sehingga produk tersebut dapat dipasang label halal pada kemasannya, sehingga masyarakat dapat mengonsumsi pro-duk tersebut dengan aman.

Kenyataan yang berlaku pada saat ini adalah bahwa LPPOM-MUI memberikan sertifikat halal kepada produsen-produsen obat dan makanan yang secara sukarela mendaf-tarkan produknya untuk diaudit LPPOM-MUI. Dengan begitu produk yang beredar dikalangan konsumen muslim bukanlah produk yang secara keseluruhan memiliki label halal yang dicantumkan pada kemasannya. Artinya masih banyak produk yang beredar di masyarakat belum memiliki sertifikat halal yang diwakili label halal pada kemasan produknya. Oleh karena itu konsu-men muslim akan dihadapkan pada produk-produk halal yang diwakili label halal yang ada pada kemasannya dan produk yang tidak memiliki label halal pada kemasannya diragukan kehalalan produknya. Maka keputusan untuk membeli produk yang berlabel halal atau tidak, akan sepenuhnya ditentukan oleh konsumen sendiri.

Perilaku komunitas muslim dalam mengonsumsi produk halal sesungguhnya tergantung bagaimana mereka memiliki pengetahuan terkait apa itu halal. Meskipun Qur’an dan al-Hadits telah memberikan panduan tentang kehalalan suatu produk, akan tetapi dengan semakin berkembangnya arus informasi dan teknologi kemasan produk yang telah mem-berikan penawaran menggiurkan akan dapat memengaruhi prilaku itu sendiri. Perilaku dalam mengonsumsi produk halal

dapat dilihat dari seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang telah ada label halal, seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya serta seberapa sering mereka mengajak orang lain untuk mengonsumsi produk halal dan mencegah orang lain mengonsumsi produk tidak halal. Selain faktor pengetahuan atas produk halal, persepsi masyarakat mengenai pentingnya kehalalan itu sendiri dapat berpengaruh terhadap perilaku. Persepsi dapat berupa keyakinan yang tinggi atas pentingnya mengonsumsi produk halal, tingkat harapan/keinginan komu-nitas muslim perkotaan untuk memperoleh produk halal serta persepsi tentang pentingnya labelisasi halal.

Tinggi rendahnya pengetahuan dan persepsi komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal tidak terlepas dari aktifitas keagamaan yang mereka lakukan. Semakin rajin komunitas muslim perkotaan mencari informasi mengenai produk halal maka secara alami akan meningkatkan pe-ngetahuan dan persepsi dan sikap terhadap produk halal. Faktor lingkungan seperti dorongan keluarga, ceramah agama, ikut berperan dalam menentukan tingkat penge-tahuan dan persepsi terhadap produk halal.

Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih jelas serta bukti ilmiah mengenai perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal, Puslitbang Kehidupan keagamaan akan melakukan penelitian tentang ‚Perilaku Komunitas Muslim dalam Mengonsumsi Produk Halal‛. B. Batasan Masalah

Mengingat keterbatasan waktu dan dana yang ada, maka dalam penelitian ini dibatasi pada perilaku komunitas muslim perkotaan terhadap produk-produk makanan dan

Bab I. Pendahuluan

minuman dalam bentuk kemasan yang diproduksi oleh pabrikan serta makanan dan minuman yang disajikan di restoran.

Penelitian dibatasi dengan mengkaji komunitas muslim perkotaan karena muslim perkotaan adalah trendsetter yang secara disadari atau tidak, merupakan konstruksi atas dinamika industrialisasi, dominasi budaya lokal maupun daerah minoritas muslim. Representasi tiga karakteristik kota ini terdapat pada 7 (tujuh) kota, yaitu DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Batam, Solo, Menado dan Denpasar..

C. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas permasalahan ini selanjutnya dirinci ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Seberapa besar tingkat pengetahuan komunitas muslim perkotaan terhadap konsep dasar produk halal ?

2. Seberapa besar penilaian/persepsi sikap mereka terhadap produk halal dan labelisasi halal?

3. Seberapa besar kesadaran komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal?

4. Adakah pengaruh yang signifikan antara pengetahuan tentang konsep dasar produk halal dengan persepsi dan sikap terhadap produk halal ?

5. Adakah pengaruh yang signifikan antara pengetahuan tentang konsep dasar produk halal dan persepsi serta sikap atas produk halal terhadap perilaku mengonsumsi produk halal?

6. Bagaimana pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui tingkat pengetahuan komunitas muslim per-kotaan terhadap konsep dasar kehalalan produk baik makanan dan minuman kemasan maupun makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan/restauran. 2. Mengetahui tingkat persepsi dan sikap mereka terhadap

produk halal.

3. Mengetahui pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal.

4. Menguji adakah pengaruh yang signifikan pengetahuan konsep dasar kehalalan produk dengan persepsi masya-rakat terhadap perilaku produk halal.

5. Menguji ada tidaknya pengaruh signifikan antara pengetahuan tentang konsep dasar kehalalan produk dengan persepsi dan sikap terhadap produk halal atas perilaku mengonsumsi produk halal.

6. Mengidentifikasi pola perilaku komunitas muslim per-kotaan dalam mengonsumsi produk halal

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:

1. Bahan masukan bagi Kementerian Agama RI dan instansi lainnya dalam merumuskan kebijakan yang terkait dengan produk halal.

Bab I. Pendahuluan

2. Referensi bagi instansi terkait sebagai bahan kajian lebih lanjut.

BAB II

PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIK

Dokumen terkait