• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU KOMUNITAS MUSLIM PERKOTAAN DALAM MENGONSUMSI PRODUK HALAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERILAKU KOMUNITAS MUSLIM PERKOTAAN DALAM MENGONSUMSI PRODUK HALAL"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU KOMUNITAS MUSLIM

PERKOTAAN DALAM MENGONSUMSI

PRODUK HALAL

Editor:

Muchith A. Karim

KEMENTERIAN AGAMA RI

BADAN LITBANG DAN DIKLAT

PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN

(2)

Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)

perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal/Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI

edisi I, Cet. 1 ……

Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI xxviii + 115 hlm; 14,8 x 21 cm

ISBN : 978-979-797-354-4

Hak Cipta pada Penerbit

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit

Cetakan Pertama, Nopember 2013

PERILAKU KOMUNITAS MUSLIM PERKOTAAN DALAM MENGONSUMSI PRODUK HALAL

Editor:

Muchith A Karim

Desain cover dan Lay out, oleh:

Zabidi

Penerbit:

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421 www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id

(3)

KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN

KEAGAMAAN

uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat merealisasikan ”Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku tahun 2013 ini merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2012.

Buku hasil penelitian yang diterbitkan sebanyak 8 (delapan) naskah. Buku-buku yang dimaksud sebagai berikut: 1. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. 2. Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja

Aparatur Kementerian Agama.

3.

Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di

Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat.

4. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi

Produk Halal.

5. Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah

Bidang Keagamaan.

6. Pandangan Pemuka Agama terhadap Ekslusifisme Agama di

(4)

7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina

Damai Etnorelijius di Indonesia.

8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.

Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan. Di samping itu, diharapkan pula buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia.

Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan sambutan bagi terbitnya buku-buku ini.

2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan prolog atas buku-buku yang diterbitkan.

3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat hadir di depan para pembaca yang budiman.

4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

(5)

dari sisi substansi maupun teknis, kami mohon maaf dan berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan perbaikan buku-buku yang kami terbitkan selanjutnya dan semoga bermanfaat. Semoga bermanfaat.

Jakarta, Oktober 2013 Kepala,

Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Prof. Dr. H. Dedi Djubaidi, M.Ag. NIP. 19590320 198403 1 002 8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.

Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan. Di samping itu, diharapkan pula buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia.

Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan sambutan bagi terbitnya buku-buku ini.

2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan prolog atas buku-buku yang diterbitkan.

3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat hadir di depan para pembaca yang budiman.

4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

(6)
(7)

SAMBUTAN

KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT

KEMENTERIAN AGAMA RI

Assalamu‟alaikum wr, wb.

omunitas muslim di seluruh dunia telah membentuk segmen pasar yang potensial dikarenakan pola khusus mereka dalam mengonsumsi suatu produk. Pola konsumsi ini diatur dalam ajaran Islam yang disebut dengan syari‟at. Dalam ajaran

syari‟at, tidak diperkenankan kaum muslim untuk

mengonsumsi produk-produk tertentu karena substansi yang dikandungnya atau proses yang menyertainya tidak sesuai dengan ajaran syari‟at tersebut. Dengan adanya aturan yang tegas ini maka para pemasar memiliki sekaligus barrier dan kesempatan untuk mengincar pasar khusus kaum muslim.

Populasi kaum muslimin yang sedemikian besar menjadi pasar yang potensial untuk dimasuki. Meskipun negara sekelas Amerika Serikat yang notabene jumlah kaum muslimin di sana adalah minoritas, namun diperkirakan ada sekitar empat sampai sembilan juta orang yang memeluk agama Islam, yang pola belanja dan konsumsi produk mereka sejalan dengan ajaran agama Islam atau ingin menyesuaikan pola konsumsinya dengan ajaran agamanya. Indonesia sendiri, dengan populasi kaum muslimin yang mencapai 87% dari jumlah total warga negara, dengan sendirinya pasar Indonesia merupakan pasar konsumen muslim yang demikian besar.

Pemahaman yang semakin baik tentang agama membuat konsumen muslim menjadi semakin selektif dalam pemilihan produk yang dikonsumsi. Khusus di Indonesia konsumen muslim dilindungi oleh lembaga yang secara khusus bertugas

(8)

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

untuk mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh konsumen muslim di Indonesia. Lembaga ini adalah Lembaga Pengawasan dan Peredaran Obat dan Makanan - Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Lembaga ini mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan sertifikat halal sehingga produk yang telah memiliki sertifikat halal tersebut dapat memberi label halal pada produknya. Artinya produk tersebut secara proses dan kandungannya telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran agama Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen muslim.

Produk-produk yang mendapat pertimbangan utama dalam proses pemilihannya berdasarkan ketentuan syari‟at yang menjadi tolok ukur untuk konsumen muslim adalah produk-produk makanan dan minuman. Ketidakinginan masyarakat muslim untuk mengonsumsi produk-produk haram akan meningkatkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses pemilihan produk (high involvement). Dengan begitu akan ada produk yang dipilih untuk dikonsumsi dan produk yang disisihkan akibat adanya proses pemilihan tersebut. Proses pemilihannya sendiri akan menjadikan kehalalan sebagai parameter utamanya. Ketentuan ini membuat keterbatasan pada produk-produk makanan untuk memasuki pasar umat muslim. Konsumen muslim sendiri juga bukan tanpa kesulitan untuk memilih produk-produk yang mereka konsumsi menjadi produk dalam kategori halal dan haram. Tentunya untuk memeriksakan sendiri kondisi kehalalan suatu produk adalah kurang memungkinkan. Hal

(9)

ini berkaitan dengan masalah teknis dalam memeriksa kehalalan suatu produk, seperti uji kimia, pengamatan proses serta pemeriksaan kandungan produk.

Perilaku komunitas ini dalam mengonsumsi produk halal sesungguhnya bergantung bagaimana mereka memiliki pengetahuan tentang apa itu halal. Meskipun ajaran agama telah memberikan panduan yaitu melalui al-Qur’an dan Hadits akan tetapi dengan arus informasi dan berkem-bangnya teknologi kemasan produk telah memberikan pena-waran yang menggiurkan dapat mempengaruhi perilaku itu sendiri. Perilaku dalam mengonsumsi produk halal dapat dilihat dari seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang telah ada label halal, seberapa sering mereka mengon-sumsi produk yang diragukan kehalalannya serta seberapa sering mereka mengajak orang lain untuk mengonsumsi produk halal dan mencegah orang lain mengonsumsi produk tidak halal. Selain faktor pengetahuan akan produk halal, persepsi terkait pentingnya halal itu sendiri dapat berpe-ngaruh terhadap perilaku. Persepsi itu dapat berupa keyakin-an ykeyakin-ang tinggi akkeyakin-an pentingnya mengonsumsi produk halal, tingkat harapan/keinginan komunitas muslim perkotaan untuk memperoleh produk halal serta persepsi tentang pentingnya labelisasi halal.

Tinggi rendahnya pengetahuan dan persepsi komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal tidak terlepas dari aktifitas keagamaan yang dilakukan. Semakin rajin komunitas muslim perkotaan mencari informasi terkait produk halal maka secara alami akan meningkatkan pengetahuan dan untuk mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh

konsumen muslim di Indonesia. Lembaga ini adalah Lembaga Pengawasan dan Peredaran Obat dan Makanan - Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Lembaga ini mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan sertifikat halal sehingga produk yang telah memiliki sertifikat halal tersebut dapat memberi label halal pada produknya. Artinya produk tersebut secara proses dan kandungannya telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran agama Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen muslim.

Produk-produk yang mendapat pertimbangan utama dalam proses pemilihannya berdasarkan ketentuan syari‟at yang menjadi tolok ukur untuk konsumen muslim adalah produk-produk makanan dan minuman. Ketidakinginan masyarakat muslim untuk mengonsumsi produk-produk haram akan meningkatkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses pemilihan produk (high involvement). Dengan begitu akan ada produk yang dipilih untuk dikonsumsi dan produk yang disisihkan akibat adanya proses pemilihan tersebut. Proses pemilihannya sendiri akan menjadikan kehalalan sebagai parameter utamanya. Ketentuan ini membuat keterbatasan pada produk-produk makanan untuk memasuki pasar umat muslim. Konsumen muslim sendiri juga bukan tanpa kesulitan untuk memilih produk-produk yang mereka konsumsi menjadi produk dalam kategori halal dan haram. Tentunya untuk memeriksakan sendiri kondisi kehalalan suatu produk adalah kurang memungkinkan. Hal

(10)

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

persepsi sikap terhadap produk halal. Faktor lingkungan seperti ceramah pemuka agama, dorongan keluarga juga ikut berperan dalam menentukan tingkat pengetahuan dan per-sepsi itu akan produk halal.

Dalam kesempatan ini kami tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam penyusunan dan penerbitan buku ”Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi

Produk Halal”. Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat

bagi kita semua.

Jakarta, Oktober 2013 Pgs. Kepala

Badan Litbang dan Diklat

Prof. Dr. H. Machasin, MA NIP. 19561013 198103 1 003

(11)

PROLOG

URGENSI SERTIFIKASI PRODUK HALAL

BAGI UMAT ISLAM

Oleh: Maulana Hasanudin

ِمٍِْحَزنا ِهمْحَزنا ِللها ِمْسِب

Pendahuluan

emajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini telah merambah seluruh aspek bidang kehidupan umat manusia; tidak saja membawa berbagai kemudahan, kenyamanan, dan kesenang-an, melainkan juga menimbulkan sejumlah persoalan. Aktifitas dan hasil eksperimen baru yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, atau bahkan tidak pernah terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di berbagai negeri, termasuk di Indonesia, pada dasawarsa terakhir ini semakin tumbuh subur dan meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan, penemuan, maupun aktifitas dan hasil eksperimen baru sebagai produk dari kemajuan tersebut, umat senantiasa bertanya-tanya, bagaimanakah kedudukan hal tersebut dalam pandangan ajaran dan hukum Islam.

Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetika, telah membanjiri pasar Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Produk-produk tersebut banyak mendapat perhatian dari umat Islam, apalagi jika berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan (baik sebagai bahan tambahan atau bahan penolong) yang haram atau tidak suci. Dengan demikian, produk-produk olahan tersebut bagi umat Islam jelas bukan merupakan

K

persepsi sikap terhadap produk halal. Faktor lingkungan

seperti ceramah pemuka agama, dorongan keluarga juga ikut berperan dalam menentukan tingkat pengetahuan dan per-sepsi itu akan produk halal.

Dalam kesempatan ini kami tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam penyusunan dan penerbitan buku ”Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi

Produk Halal”. Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat

bagi kita semua.

Jakarta, Oktober 2013 Pgs. Kepala

Badan Litbang dan Diklat

Prof. Dr. H. Machasin, MA NIP. 19561013 198103 1 003

(12)

Prolog

persoalan sepele, tetapi merupakan persoalan besar dan serius. Oleh karena itu, wajarlah jika umat Islam sangat berkepentingan untuk mendapat ketegasan tentang status hukum produk-produk tersebut, sehingga apa yang akan mereka konsumsi tidak menimbulkan keresahan dan keraguan.

Umat Islam, sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki agar produk-produk yang akan dikonsumsi tersebut dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut ajaran Islam, mengon-sumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis menjelaskan hal tersebut. Di antaranya sebagai berikut:

اٌَ

اٌٍَُأ

ُساَىنا

اُُْهُك

اَمِم

ىِف

ِضْرَلأْا

ًلاَلاَح

اًبـٍِـَط

اُُْعِبَتّـَتَلاََ

ِتاَُُطُخ

،ِناَطٍَْشّنا

ًَُوِإ

ْمُكَن

ٌَُدَع

ٌهٍِْبُم

(

ةزقبنا

:

868

)

"Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terda-pat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS. al-Baqarah [2]: 168).

اٌَ

اٌٍَُأ

َهٌِْذَنا

َمآ

اُُْى

اُُْهُك

ْهِم

ِتاَبـٍَِط

ْمُكاَىْقَسَراَم

اَُْزُكْشاََ

ِلله

ْنِإ

ْمُتّْىُك

ُياٌَِإ

َنَُْدُبْعَت

(

ةزقبنا

:

871 )

"Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah" (QS.

al-Baqarah [2]: 172).

اُُْهُكََ

اَمِم

ُمُكَقَسَر

ُللها

ًلاَلاَح

،اًبٍِـَط

اُُقَتاََ

َللها

ْيِذَنا

ْمُتّْوَأ

ًِِب

َنُُْىِمْؤُم

(

ةدئامنا

:

88

)

"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya" (QS. al-Ma'idah [5]: 88).

(13)

اُُْهُكَف

اَمِم

ُمُكَقَسَر

ُللها

ًلاَلاَح

،اًبٍِـَط

اَُْزُكْشاََ

َتَمْعِو

ِللها

ْنِإ

ْمُتّْىُك

ُياٌَِإ

َنَُْدُبْعَت

(

محىنا

:

881

)

"Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya menyem-bah" (QS. al-Nahl [16]: 114).

Ayat-ayat di atas bukan saja menyatakan bahwa mengonsumsi yang halal hukumnya wajib karena merupakan perintah agama, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salahsatu bentuk perwujudan dari rasa syukur dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengon-sumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan.

Mengonsumsi yang tidak halal (haram) menyebabkan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah SWT. Nabi saw. dalam sebuah hadisnya menyatakan:

اٌٍََُأ

ُساَىنا

!

َنِإ

َللها

ٌبٍَِط

ُمَبْقٌََلا

َلاِإ

اًبـٍِـَط

.

َنِإََ

َللها

َزَمَأ

َهٍِْىِمْؤُمْنا

اَمِب

َزَمَأ

ًِِب

َهٍِْهَسْزُمْنا

.

َلاَقَف

:

اٌٍََُأاٌَ

ُمُسُزنا

اُُْهُك

َهِم

ِتاَبـٍِـَطنا

اُُْهَمْعاََ

،اًحِناَص

ًِْوِإ

اَمِب

َنُُْهَمْعَت

ٌمٍِْهَع

.

َلاَقََ

:

اٌَ

اٌٍَُأ

َهٌِْذَنا

اُُْىَمآ

اُُْهُك

ِم

ْه

ِتاَبـٍَِط

ْمُكاَىْقَسَراَم

(

ياَر

مهسم

هع

ًبأ

ةزٌزٌ

.)

.

1

"Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah adalah ëayyib

(baik), tidak akan menerima kecuali yang ëayyib (baik dan halal); dan Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Ia perintahkan kepada para rasul. Ia berfirman, 'Hai rasul-rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan' (QS. al-Mu'minun [23]: 51), dan berfiman pula, 'Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu...' (QS. al-Baqarah [2]: 172) (HR. Muslim

dari Abu Hurairah).

1Imam Muslim, Sahih Muslim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), juz I, h. 448. persoalan sepele, tetapi merupakan persoalan besar dan

serius. Oleh karena itu, wajarlah jika umat Islam sangat berkepentingan untuk mendapat ketegasan tentang status hukum produk-produk tersebut, sehingga apa yang akan mereka konsumsi tidak menimbulkan keresahan dan keraguan.

Umat Islam, sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki agar produk-produk yang akan dikonsumsi tersebut dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut ajaran Islam, mengon-sumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis menjelaskan hal tersebut. Di antaranya sebagai berikut:

اٌَ

اٌٍَُأ

ُساَىنا

اُُْهُك

اَمِم

ىِف

ِضْرَلأْا

ًلاَلاَح

اًبـٍِـَط

اُُْعِبَتّـَتَلاََ

ِتاَُُطُخ

،ِناَطٍَْشّنا

ًَُوِإ

ْمُكَن

ٌَُدَع

ٌهٍِْبُم

(

ةزقبنا

:

868

)

"Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terda-pat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS. al-Baqarah [2]: 168).

اٌَ

اٌٍَُأ

َهٌِْذَنا

َمآ

اُُْى

اُُْهُك

ْهِم

ِتاَبـٍَِط

ْمُكاَىْقَسَراَم

اَُْزُكْشاََ

ِلله

ْنِإ

ْمُتّْىُك

ُياٌَِإ

َنَُْدُبْعَت

(

ةزقبنا

:

871 )

"Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah" (QS.

al-Baqarah [2]: 172).

اُُْهُكََ

اَمِم

ُمُكَقَسَر

ُللها

ًلاَلاَح

،اًبٍِـَط

اُُقَتاََ

َللها

ْيِذَنا

ْمُتّْوَأ

ًِِب

َنُُْىِمْؤُم

(

ةدئامنا

:

88

)

"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya" (QS. al-Ma'idah [5]: 88).

(14)

Prolog

Dalam lanjutan hadis di atas Nabi menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan dan badannya berlumur debu. Sambil menjulurkan tangan ke langit, ia berdoa, 'Ya Tuhan, Ya Tuhan..." (Berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Tuhan --pen.). Akan tetapi, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia selalu menyantap yang haram. Oleh karena itu, Nabi memberikan komentar, "Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya?"2

Dari uraian singkat di atas jelaslah bahwa masalah halal dan haram bagi umat Islam sangatlah urgen dan besar artinya, karena diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah SWT sangat bergantung pada kehalalan segala apa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, wajarlah jika masalah halal dan haram tersebut mendapat perhatian serius dari umat Islam.

Sertifikat Halal

Jika pada zaman dulu kehalalan dan kesucian makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika tidak merupakan suatu persoalan serius karena bahannya jelas-jelas halal dan cara pemerosesannya pun tidak bermacam-macam, kini tentu persoalannya tidak sesederhana itu. Sehingga, kita sebagai umat Islam sering dihadapkan pada pertanyaan seperti, "Bolehkah kita mengonsumsi makanan anu, bolehkah kita menikmati minuman anu, bolehkah kita menggunakan obat atau kosmetika anu?"

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bagi umat Islam, tidak dipandang berlebihan. Sebab, bagi mereka, kesucian dan kehalalan sesuatu yang akan dikonsumsi mutlak harus diperhatikan, karena hal tersebut sangat menentukan diterima

(15)

atau ditolaknya amal ibadah kita oleh Allah SWT sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Pertanyaan berikutnya, dapatkah setiap orang mengetahui produk mana yang halal dan suci, dan produk mana pula yang haram atau tidak suci? Dengan kemajuan iptek dan kemampuan rekayasa luar biasa di bidang pengolahan pangan, obat dan kosmetika dewasa ini, kiranya cukup beralasan jika dikatakan bahwa untuk mengetahui kehalalan dan kesucian hal-hal tersebut bukanlah persoalan mudah. Dengan kata lain, tidak setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya. Sebab, untuk mengetahuinya, diperlukan pengetahuan cukup memadai tentang pedoman atau kaidah-kaidah syari'ah Islam. Itulah kiranya apa yang telah disinyalir oleh Nabi SAW dalam sebuah hadis yang cukup populer:

اَمٍَُىٍَْبََ

"Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati (menjauhkan diri) dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..." (HR. Muslim).3

Hadis ini menunjukkan bahwa yang haram itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; akan tetapi, dalam hadis itu pun disebutkan cukup banyak pula hal yang

3Al-Shan'ani, Subul as-Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.), juz IV,

h. 171.

Dalam lanjutan hadis di atas Nabi menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan dan badannya berlumur debu. Sambil menjulurkan tangan ke langit, ia berdoa, 'Ya Tuhan, Ya Tuhan..." (Berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Tuhan --pen.). Akan tetapi, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia selalu menyantap yang haram. Oleh karena itu, Nabi memberikan komentar, "Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya?"2

Dari uraian singkat di atas jelaslah bahwa masalah halal dan haram bagi umat Islam sangatlah urgen dan besar artinya, karena diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah SWT sangat bergantung pada kehalalan segala apa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, wajarlah jika masalah halal dan haram tersebut mendapat perhatian serius dari umat Islam.

Sertifikat Halal

Jika pada zaman dulu kehalalan dan kesucian makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika tidak merupakan suatu persoalan serius karena bahannya jelas-jelas halal dan cara pemerosesannya pun tidak bermacam-macam, kini tentu persoalannya tidak sesederhana itu. Sehingga, kita sebagai umat Islam sering dihadapkan pada pertanyaan seperti, "Bolehkah kita mengonsumsi makanan anu, bolehkah kita menikmati minuman anu, bolehkah kita menggunakan obat atau kosmetika anu?"

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bagi umat Islam, tidak dipandang berlebihan. Sebab, bagi mereka, kesucian dan kehalalan sesuatu yang akan dikonsumsi mutlak harus diperhatikan, karena hal tersebut sangat menentukan diterima

(16)

Prolog

samar (syubhat), yang status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh banyak orang.

Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat maupun kosmetika menurut hemat penulis kiranya dapat diketogorikan ke dalam kelompok musytabihat (syubhat), apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang tidak suci dan/atau haram. Bagi umat Islam hal tersebut jelas bukan merupakan persoalan sederhana, tetapi merupakan persoalan besar dan serius. Terlebih lagi jika mengingat lanjutan hadis di atas yang menyatakan bahwa "Barang siapa yang terjerumus ke dalam

syubhat, ia terjerumus ke dalam yang haram".

Berdasarkan makna yang tersurat maupun tersirat dalam hadis tersebut, bagi umat Islam mengonsumsi atau menggunakan produk olahan --yang menurut hemat penulis termasuk kelompok musytabitah (syubhat)-- perlu dihindari kecuali setelah diketahui dengan jelas kehalalannya. Hanya saja, upaya untuk mengetahui kehalalan suatu produk olahan dengan cara meneliti secara seksama terhadap bahan-bahan yang digunakan dan proses pembuatannya bukanlah pekerjaan mudah. Demikian juga, melarang --dalam arti mengharamkan-- umat untuk mengonsumsi atau mengguna-kannya pun akan menimbulkan kesulitan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan, atau setidaknya untuk mengurangi kesulitan ini, umat Islam hendaknya meneliti terlebih dahulu apakah produk yang akan dikonsumsi itu sudah memperoleh Sertifikat Halal dari lembaga yang berkompeten atau belum. Jika sudah, kiranya tidak perlu meragukan kehalalannya. Sebab, pada umumnya, sepanjang pengetahuan penulis lembaga tersebut sangat berhati-hati dan tidak akan

(17)

memberikan Sertifikat Halal (SH) kecuali untuk produk yang sudah benar-benar diyakini kehalalannya. Di sinilah letak urgensi sertifikasi halal.

Kehadiran buku “Prilaku Komunitas Muslim Perkotaan

dalam Mengonsumsi Produk Halal” patut disyukuri dan

direspon secara positif oleh kita semua. Pengetahuan responden terhadap konsep produk halal yang berada pada level “sangat tinggi” sebagaimana diinformasikan oleh buku ini, patut kita syukuri. Keinginan responden agar semua produk yang beredar terjamin kehalalannya dan dilakukan labelisasi halal perlu kita respon dengan positif. Demikian juga, kesadaran untuk mengonsumsi produk halal yang hanya berada pada level “tinggi” patut kita respon dengan positif dan ditindaklanjuti. „Ala kulli hal, buku ini bermanfaan bagi kita semua.[]

samar (syubhat), yang status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh banyak orang.

Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat maupun kosmetika menurut hemat penulis kiranya dapat diketogorikan ke dalam kelompok musytabihat (syubhat), apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang tidak suci dan/atau haram. Bagi umat Islam hal tersebut jelas bukan merupakan persoalan sederhana, tetapi merupakan persoalan besar dan serius. Terlebih lagi jika mengingat lanjutan hadis di atas yang menyatakan bahwa "Barang siapa yang terjerumus ke dalam

syubhat, ia terjerumus ke dalam yang haram".

Berdasarkan makna yang tersurat maupun tersirat dalam hadis tersebut, bagi umat Islam mengonsumsi atau menggunakan produk olahan --yang menurut hemat penulis termasuk kelompok musytabitah (syubhat)-- perlu dihindari kecuali setelah diketahui dengan jelas kehalalannya. Hanya saja, upaya untuk mengetahui kehalalan suatu produk olahan dengan cara meneliti secara seksama terhadap bahan-bahan yang digunakan dan proses pembuatannya bukanlah pekerjaan mudah. Demikian juga, melarang --dalam arti mengharamkan-- umat untuk mengonsumsi atau mengguna-kannya pun akan menimbulkan kesulitan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan, atau setidaknya untuk mengurangi kesulitan ini, umat Islam hendaknya meneliti terlebih dahulu apakah produk yang akan dikonsumsi itu sudah memperoleh Sertifikat Halal dari lembaga yang berkompeten atau belum. Jika sudah, kiranya tidak perlu meragukan kehalalannya. Sebab, pada umumnya, sepanjang pengetahuan penulis lembaga tersebut sangat berhati-hati dan tidak akan

(18)
(19)

PRAKATA EDITOR

erlindungan dan jaminan pangan halal bagi konsumen sudah selayaknya diberikan oleh pihak yang berwenang, dalam tataran regulasi maupun implementasi. Perilaku mengonsumsi produk halal pada komunitas muslim perkotaan di Indonesia merupakan kajian yang memiliki kompleksitas tersendiri. Hal ini karena banyak faktor baik internal maupun eksternal berkontribusi mem-bangun pola perilaku mengonsumsi produk halal. Selain persoalan regulasi yang belum secara komprehensif menata sistem jaminan pangan halal, stakeholders pemangku kepen-tingan belum cukup melangkah bersama secara sinergis untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen, khu-susnya komunitas muslim perkotaan.

Komunitas muslim perkotaan selama ini menjadi bagian dari trendsetter yang dikonstruksi oleh dinamika perkem-bangan industrialisasi, dominasi budaya lokal dan adaptasi-nya di daerah minoritas muslim. Kearifan lokal yang ter-adaptasi menjadi sebuah pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal serta berbagai faktor yang mempengaruhi konstruksi pola perilaku tersebut penting diteliti.

Naskah buku ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan, persepsi dan perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal serta menggambarkan pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Secara

(20)

Pengantar Editor

praktis urgensi penelitian ini memberikan rekomendasi yang signifikan bagi pemenuhan hak jaminan pangan halal bagi pihak yang berwenang. Selain itu penataan sistem jaminan pangan halal dan tatalaksananya dapat diselenggarakan berdasarkan kebutuhan komunitas muslim perkotaan. Perlin-dungan konsumen komunitas muslim dalam tataran kebi-jakan maupun praktis dapat disusun sesuai dengan hasil-hasil penelitian ini.

Pendekatan kuantitatif dan kualitatif sekaligus (mixed

methods) digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan

gambaran pengaruh beberapa variabel terhadap perilaku, sekaligus mendapatkan data yang mendalam mengenai pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal dengan segala kompleksitasnya.

Penelitian dilakukan pada 7 (tujuh) kota, yaitu DKI Ja-karta, Bandung, Surabaya, Batam, Solo, Denpasar dan Mena-do. Kota-kota tersebut dipilih secara purposive, menggunakan sampling kota yang memiliki kekhususan tertentu, seperti kota dengan jumlah muslim minoritas, dominasi budaya industri serta kota yang mempunyai budaya lokal dominan.

Random sampling dilakukan dengan mengambil sample secara acak dari kerangka sample yang diambil dari populasi muslim perkotaan di 7 (tujuh) kota tersebut. Jumlah respon-den untuk penelitian kuantitatif sebanyak 770 orang. Penarikan sample pada tahap kualitatif dilakukan secara pur-posif dengan pemilihan informan yang paling well inform menganai perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Informan tidak dibatasi jumlahnya, melainkan menggunakan prinsip data saturation, yakni pengumpulan data dari sejumlah informan hingga tidak

(21)

diperoleh informasi baru, artinya telah tercapai kecukupan data kualitatif.

Analisis data dilakukan dengan dua pendekatan yaitu teknis analisis data kuantitatif dan teknik analisis data kuali-tatif. Teknik analisis data kuantitatif diperoleh dari data kuesioner yang diberikan kepada 770 responden dengan teknik purposive sampling sedangkan teknik analisis data kualitatif diperoleh dari sumber informasi tokoh agama/ masyarakat/dosen/pengusaha. Teknik analisis data kuantitatif dilakukan dengan beberapa tahap yaitu uji validitas dan realibilitas kuesioner, analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Sedangkan analisis data kualitatif dilaku-kan menggunadilaku-kan teknik reduksi data, display dan analisis serta kesimpulan. Analisis data kualitatif dimulai dengan mengorganisir informasi dan data, kemudian melakukan

coding, kategorisasi data, menguraikan kasus-kasus sesuai

konteksnya, menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.

Buku yang memuat hasil kajian ini menginformasi-kan antara lain:

1. Secara umum tingkat pengetahuan komunitas muslim di tujuh kota terhadap konsep produk halal berada pada level pengetahuan ”sangat tinggi”. Hal ini ditujukan oleh indeks pengetahuan terhadap produk halal mencapai skor 4,55 (dalam skala 5). Pengetahuan mengenai konsep dasar produk halal itu terutama yang berkenaan dengan produk tidak mengandung babi, tidak mengandung khamr, tidak mengandung organ tubuh manusia dan tidak mengan-praktis urgensi penelitian ini memberikan rekomendasi yang

signifikan bagi pemenuhan hak jaminan pangan halal bagi pihak yang berwenang. Selain itu penataan sistem jaminan pangan halal dan tatalaksananya dapat diselenggarakan berdasarkan kebutuhan komunitas muslim perkotaan. Perlin-dungan konsumen komunitas muslim dalam tataran kebi-jakan maupun praktis dapat disusun sesuai dengan hasil-hasil penelitian ini.

Pendekatan kuantitatif dan kualitatif sekaligus (mixed

methods) digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan

gambaran pengaruh beberapa variabel terhadap perilaku, sekaligus mendapatkan data yang mendalam mengenai pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal dengan segala kompleksitasnya.

Penelitian dilakukan pada 7 (tujuh) kota, yaitu DKI Ja-karta, Bandung, Surabaya, Batam, Solo, Denpasar dan Mena-do. Kota-kota tersebut dipilih secara purposive, menggunakan sampling kota yang memiliki kekhususan tertentu, seperti kota dengan jumlah muslim minoritas, dominasi budaya industri serta kota yang mempunyai budaya lokal dominan.

Random sampling dilakukan dengan mengambil sample secara acak dari kerangka sample yang diambil dari populasi muslim perkotaan di 7 (tujuh) kota tersebut. Jumlah respon-den untuk penelitian kuantitatif sebanyak 770 orang. Penarikan sample pada tahap kualitatif dilakukan secara pur-posif dengan pemilihan informan yang paling well inform menganai perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Informan tidak dibatasi jumlahnya, melainkan menggunakan prinsip data saturation, yakni pengumpulan data dari sejumlah informan hingga tidak

(22)

Pengantar Editor

dung najis. Pengetahuan atas produk halal tersebut dipengaruhi positif signifikan oleh aktifitas keagamaan, lingkungan hidup dan latar belakang pendidikan responden.

2. Persepsi responden terhadap produk halal dan labelisasi produk halal menunjukkan gambaran yang tinggi. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa 95% responden meng-inginkan semua produk yang beredar terjamin kehalalan-nya dan mendukung dilakukankehalalan-nya labelisasi halal pada produk makanan dan minuman kemasan termasuk juga restoran dan rumah-rumah makan.

3. Perilaku responden yang berkaitan dengan kesadaran untuk mengonsumsi produk halal berada pada level ”tinggi” dengan nilai indeks perilaku sebesar 3,84 (dalam skala 5). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa hanya 73% responden memeriksa label halal sebelum memutus-kan membeli produk, 63% responden tidak pernah/jarang mengonsumsi produk yang tidak ada label halal dan 54% responden tidak pernah/jarang makan di restoran yang tidak ada sertifikasi label halal. Terkait perilaku meng-hindari mengonsumsi produk kemasan yang meragukan dan restoran yang meragukan hanya dilakukan oleh 73% - 78% responden. Sedangkan tingkat keaktifan responden dalam mendorong, menginformasikan produk halal dan mencegah produk tidak halal hanya dilakukan oleh 73% - 79% responden. Fenomena yang demikian ini muncul diduga karena faktor masih banyaknya produk kemasan yang belum ada label halal dan restoran yang tersertifikasi

(23)

halal, sehingga hanya 67% responden menyatakan mudah untuk mencari produk halal dan hanya 53% yang menya-takan mudah dalam mencari restoran yang halal.

4. Berdasarkan hasil analisis jalur dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pengetahuan responden dengan persepsi mereka terhadap produk halal. Peningkatan pengetahuan responden atas produk halal secara positif akan meningkatkan persepsi terhadap produk halal. Pengetahuan dan persepsi secara bersama berpengaruh positif terhadap perilaku responden dalam mengonsumsi produk halal. Meskipun demikian penga-ruh persepsi secara langsung dinilai lebih tinggi diban-dingkan pengetahuan. Apa yang dipersepsikan oleh res-ponden tentang produk halal akan lebih dominan ber-pengaruh terhadap perilakunya dibandingkan apa yang diketahuinya.

5. Aktifitas keagamaan secara positif signifikan mempunyai kontribusi terbesar terhadap peningkatan pengetahuan dan persepsi responden akan produk halal dibandingkan faktor lingkungan dan pendidikan. Hal ini mengindi-kasikan bahwa perlunya mendorong komunitas muslim sering melakukan aktifitas keagamaan, hal ini akan sejalan dengan peningkatan pengetahuan/pemahaman komunitas muslim serta peningkatan persepsi positif akan produk halal.

6. Realitas sosial yang berhasil diungkap oleh penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan peraturan perundang-dung najis. Pengetahuan atas produk halal tersebut

dipengaruhi positif signifikan oleh aktifitas keagamaan, lingkungan hidup dan latar belakang pendidikan responden.

2. Persepsi responden terhadap produk halal dan labelisasi produk halal menunjukkan gambaran yang tinggi. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa 95% responden meng-inginkan semua produk yang beredar terjamin kehalalan-nya dan mendukung dilakukankehalalan-nya labelisasi halal pada produk makanan dan minuman kemasan termasuk juga restoran dan rumah-rumah makan.

3. Perilaku responden yang berkaitan dengan kesadaran untuk mengonsumsi produk halal berada pada level ”tinggi” dengan nilai indeks perilaku sebesar 3,84 (dalam skala 5). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa hanya 73% responden memeriksa label halal sebelum memutus-kan membeli produk, 63% responden tidak pernah/jarang mengonsumsi produk yang tidak ada label halal dan 54% responden tidak pernah/jarang makan di restoran yang tidak ada sertifikasi label halal. Terkait perilaku meng-hindari mengonsumsi produk kemasan yang meragukan dan restoran yang meragukan hanya dilakukan oleh 73% - 78% responden. Sedangkan tingkat keaktifan responden dalam mendorong, menginformasikan produk halal dan mencegah produk tidak halal hanya dilakukan oleh 73% - 79% responden. Fenomena yang demikian ini muncul diduga karena faktor masih banyaknya produk kemasan yang belum ada label halal dan restoran yang tersertifikasi

(24)

Pengantar Editor

undangan yang melindungi konsumen (muslim) dari mengonsumsi produk tidak halal sangat dibutuhkan dan merupakan suatu hal yang sifatnya sangat mendesak. Untuk itu pemerintah dan DPR dinilai perlu ”lebih aktif”, agar pemerintah dan DPR tidak dinilai lamban dalam hal penyelesaian undang-undang produk halal.

Faktor internal dan eksternal berkelindan secara simultan memberikan pengaruh kepada pembentukan pola perilaku mengonsumsi produk halal. Pendidikan formal maupun non-formal pendidikan masa kecil di surau, harus selalu menanamkan bahwa makan dan minum harus memperhatikan kehalalan. Jadi, pendidikan non-formal dalam keluarga memgang peranan penting dalam membangun pola mengonsumsi produk halal, namun pendidikan tidak berdiri sendiri mengendali pola perilaku komunitas. Faktor eksternal yang telah menginternalisasi, seperti dominan budaya lokal, kondisi industrialisasi dan heterogenitas yang tinggi pada lokasi tujuh kota yang diteliti telah membangun pola yang khas pada masing-masing kota. Kota industri seperti Surabaya, Bandung, DKI Jakarta dan Batam memberikan corak tertentu pada pola perilaku komunitas muslim, demikian pula kota-kota dominan budaya lokal seperti Solo serta kota-kota dengan penduduk muslim sebagai minoritas seperti Bali dan Menado.

Faktor lainnya yang mendukung pembentukan sosiali-sasi oleh muballigh/mubalighat semakin intensif, ditambah pengawasan yang baik dari pemerintah dapat mensukseskan penyelenggaraan penataan pola mengonsumsi produk halal pada komunitas muslim.

(25)

Saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan buku ini pada masa yang akan datang. Kami berharap semoga buku ini dapat menambah wawasan para pembaca, dan bagi pihak-pihak yang berwenang dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan.

Jakarta, Oktober 2013 Editor:

Muchith A. Karim undangan yang melindungi konsumen (muslim) dari

mengonsumsi produk tidak halal sangat dibutuhkan dan merupakan suatu hal yang sifatnya sangat mendesak. Untuk itu pemerintah dan DPR dinilai perlu ”lebih aktif”, agar pemerintah dan DPR tidak dinilai lamban dalam hal penyelesaian undang-undang produk halal.

Faktor internal dan eksternal berkelindan secara simultan memberikan pengaruh kepada pembentukan pola perilaku mengonsumsi produk halal. Pendidikan formal maupun non-formal pendidikan masa kecil di surau, harus selalu menanamkan bahwa makan dan minum harus memperhatikan kehalalan. Jadi, pendidikan non-formal dalam keluarga memgang peranan penting dalam membangun pola mengonsumsi produk halal, namun pendidikan tidak berdiri sendiri mengendali pola perilaku komunitas. Faktor eksternal yang telah menginternalisasi, seperti dominan budaya lokal, kondisi industrialisasi dan heterogenitas yang tinggi pada lokasi tujuh kota yang diteliti telah membangun pola yang khas pada masing-masing kota. Kota industri seperti Surabaya, Bandung, DKI Jakarta dan Batam memberikan corak tertentu pada pola perilaku komunitas muslim, demikian pula kota-kota dominan budaya lokal seperti Solo serta kota-kota dengan penduduk muslim sebagai minoritas seperti Bali dan Menado.

Faktor lainnya yang mendukung pembentukan sosiali-sasi oleh muballigh/mubalighat semakin intensif, ditambah pengawasan yang baik dari pemerintah dapat mensukseskan penyelenggaraan penataan pola mengonsumsi produk halal pada komunitas muslim.

(26)
(27)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan

Keagamaan ... iii Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI ... vii

Prolog, oleh: Dr. H. Maulana Hasanuddin, M.Ag ... xi

Prakata Editor ... xix DAFTAR ISI ... xxvii BAB I PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang Masalah ... B. Batasan Masalah ... C. Rumusan Masalah ... D. Tujuan Penelitian ... E. Kegunaan Penelitian ... 1 1 7 8 9 9 BAB II PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIK ...

A. Deskripsi Teoritik ... 1. Produk Halal ... 2. Konsep tentang Sikap (Attitude)... 3. Perilaku Konsumen Muslim ... 4. Restoran ... B. Prior Research ... 11 11 11 12 14 18 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... B. Populasi dan Sampel ... C. Instrumen Penelitian ... D. Skala Pengukuran ... E. Model dan Hipotesis Penelitian ... F. Teknik Analisa Data ... G. Waktu ... 25 25 25 27 31 32 34 37 BAB IV HASIL DAN ANALISIS ...

(28)

Daftar Isi

B. Pengetahuan Komunitas Muslim terhadap Produk Halal ... C. Persepsi Komunitas Muslim terhadap Produk Ha-lal... D. Perilaku Komunitas Muslim dalam Me-ngonsumsi Produk Halal ... E. Korelasi antara Pengetahuan, Persepsi dan

Perilaku Konsumen Muslim terkait Produk Halal ...

47 56 74 93 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...

A. Kesimpulan ... B. Rekomendasi ... 107 107 109 DAFTAR PUSTAKA ... 113

(29)

B. Pengetahuan Komunitas Muslim terhadap Produk Halal ... C. Persepsi Komunitas Muslim terhadap Produk Ha-lal... D. Perilaku Komunitas Muslim dalam Me-ngonsumsi Produk Halal ... E. Korelasi antara Pengetahuan, Persepsi dan

Perilaku Konsumen Muslim terkait Produk Halal ...

47 56 74 93 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...

A. Kesimpulan ... B. Rekomendasi ... 107 107 109 DAFTAR PUSTAKA ... 113 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ndonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Sayangnya, mereka tak terlindungi dari produk-produk yang tak halal. Sebab, banyak produk makanan dan minuman yang beredar di sekitar kita tak berlabelkan halal. Hal ini sangat meng-khawatirkan karena pemerintah bersifat pasif, produsen malas mendaftarkan kehalalan produknya, masyarakat acuh tak acuh. Ketiga hal tersebut merupakan salah satu penyebab lambatnya kesadaran masyarakat atas kehalalan produk di Indonesia. Padahal, ini merupakan kewajiban produsen atau perusahaan untuk mendaftarkan produknya untuk melin-dungi konsumen dari produk yang tidak halal. Sementara komunitas muslim perkotaan di seluruh dunia telah mem-bentuk segmen pasar yang potensial dikarenakan pola khusus mereka dalam mengonsumsi produk halal. Di Amerika Seri-kat yang notabene kaum muslimin di sana jumlahnya minori-tas, diperkirakan mencapai empat sampai sembilan juta pemeluk agama Islam, pola konsumsi produk mereka sejalan dengan ajaran Islam atau pola konsumsinya ingin menyesuai-kan dengan ajaran agamanya. Sementara di Indonesia, yang populasi kaum muslimnya mayoritas dari jumlah total warga negara tentu merupakan pasar konsumen muslim yang besar.

Menyadari hal tersebut maka pemerintah berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dalam mengonsumsi produk tidak halal. Hal ini merupakan implementasi dari

(30)

Bab I. Pendahuluan

amanat sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain dalam pasal 30 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan yang mengatur label dan iklan pangan yang menyatakan (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia yang dikemas untuk diperdagang-kan wajib mencantumdiperdagang-kan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan; (2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. keterangan tentang halal; dan f. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa.

Di Indonesia, konsumen muslim dilindungi oleh instansi pemerintah dalam hal ini Badan Pengawasan Produk Obat dan Makanan (BPPOM) yang bertugas mengawasi produk-produk yang beredar di masyarakat. Selain itu ada kesepakatan kerjasama antara Kementerian Agama, Badan Pengawasan Produk Obat dan Makanan (BPPOM) dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika – Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) yang bertugas secara khusus mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh konsumen muslim di Indonesia.

BPOM mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan persetujuan, pencantuman tulisan/ logo halal pada label berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM-MUI dan telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan

(31)

tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen muslim.

Secara khusus pola konsumsi umat Islam sebetulnya telah diatur dalam ajaran Islam yang disebut dengan syari’at. Dalam ajaran syari’at, tidak diperkenankan bagi kaum muslim untuk mengonsumsi produk-produk tertentu yang substansi kandungan atau proses yang menyertainya tidak sesuai dengan ajaran syari’at tersebut. Syari’at Islam sangat tegas menghendaki umat Islam untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan melaksanakan apa saja yang diperintahkan. Hal ini membuat konsumen muslim bukanlah konsumen yang permissive dalam perilaku pola konsumsinya. Mereka dibatasi oleh kehalalan dan keharaman yang dimuat dalam nash al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi panduan utama bagi mereka.

Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 168 yang artinya: ‚Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi

baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu‛, dan dalam Hadits Riwayat Salman

Alfarisi RA: ‚Rasulullah SAW ditanya tentang hukum mentega,

keju, dan bulu binatang. Beliau menjawab, halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, haram adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan sesuatu yang Allah diamkan (tidak ditetapkan hukumnya) maka termasuk yang diampuni‛. (Ali Mustofa Ya’kub: 33).

Berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits di atas, maka ketentuan syari’at inilah yang menjadi tolok ukur utama konsumen muslim dalam proses pemilihan produk-produk makanan dan minuman. Ketidakinginan masyarakat muslim

(32)

Bab I. Pendahuluan

untuk mengonsumsi produk-produk haram akan mening-katkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses pemilihan produk (high involvement). Dengan demikian akan ada produk yang pilih untuk dikonsumsi dan produk yang disisihkan akibat adanya proses pemilihan tersebut. Proses pemilihannya sendiri akan menjadikan kehalalan sebagai parameter utama-nya. Ketentuan ini membuat keterbatasan pada produk-produk makanan untuk memasuki pasar umat Muslim. Konsumen Muslim sendiri bukan tanpa kesulitan untuk memilih produk-produk yang mereka konsumsi menjadi produk dalam kategori halal dan haram. Tentunya untuk memeriksakan sendiri kondisi kehalalan suatu produk adalah kurang memungkinkan. Hal ini berkaitan dengan masalah teknis dalam memeriksa kehalalan suatu produk, seperti uji kimia, pengamatan proses serta pemeriksaan kandungan produk.

Keberadaan LPPOM-MUI dapat membantu masyarakat memudahkan proses pemeriksaan kehalalan suatu produk. Dengan mendaftarkan produk untuk diaudit keabsahan halalnya oleh LPPOM-MUI sebuah perusahaan dapat men-cantumkan label halal pada produk tersebut. Hal itu berarti produk tersebut telah halal untuk dikonsumsi umat Muslim dan hilanglah barrier nilai yang membatasi produk dengan konsumen muslim. Dengan adanya label halal ini konsumen muslim dapat memastikan produk mana saja yang boleh mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan mencan-tumkan label halal pada kemasannya. Secara teori maka, untuk para pemeluk agama Islam yang taat, persepsi, sikap dan motivasi mereka menentukan pilihan produk makanan halal yang diwakili dengan label halal.

(33)

Seiring dengan pesatnya perkembangan media dan mudahnya informasi yang dapat diperoleh konsumen, akan turut mempengaruhi pola konsumsi mereka. Labelisasi halal yang secara prinsip adalah label yang memberi informasi kepada pengguna produk yang berlabel tersebut, bahwa produknya benar-benar halal dan nutrisi-nutrisi yang dikandungnya tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan secara syariah sehingga produk tersebut boleh dikonsumsi. Dengan demikian produsen yang tidak mencantukan label halal pada kemasannya dianggap belum mendapat persetujuan lembaga berwenang (LPPOM-MUI) untuk diklasifikasikan kedalam daftar produk halal atau dianggap masih diragukan kehalalannya. Keadaan label itu akan membuat konsumen muslim berhati-hati untuk memutuskan mengonsumsi atau tidak produk-produk tanpa label halal tersebut.

Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata halal dalam sebuah lingkaran. Peraturan pelabelan yang dikeluarkan Ditjen POM (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, mewajibkan para produsen makanan untuk mencantumkan label tambahan yang memuat informasi tentang kandungan (ingredient) produk makanan tersebut. Sehingga konsumen dapat memperoleh informasi yang dapat membantu mereka untuk menentukan sendiri kehalalan suatu produk. Kondisi masyarakat Muslim yang menjadi konsumen dari produk-produk makanan yang beredar dipasar, namun mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya mereka konsumsi selama ini. Sebagai orang Islam yang memiliki aturan yang sangat

(34)

Bab I. Pendahuluan

jelas tentang halal dan haram, seharusnya konsumen Muslim terlindungi dari produk-produk yang tidak halal atau tidak jelas kehalalannya (syubhat). LPPOM MUI memberikan sertifikasi halal pada produk-produk yang lolos audit sehingga produk tersebut dapat dipasang label halal pada kemasannya, sehingga masyarakat dapat mengonsumsi pro-duk tersebut dengan aman.

Kenyataan yang berlaku pada saat ini adalah bahwa LPPOM-MUI memberikan sertifikat halal kepada produsen-produsen obat dan makanan yang secara sukarela mendaf-tarkan produknya untuk diaudit LPPOM-MUI. Dengan begitu produk yang beredar dikalangan konsumen muslim bukanlah produk yang secara keseluruhan memiliki label halal yang dicantumkan pada kemasannya. Artinya masih banyak produk yang beredar di masyarakat belum memiliki sertifikat halal yang diwakili label halal pada kemasan produknya. Oleh karena itu konsu-men muslim akan dihadapkan pada produk-produk halal yang diwakili label halal yang ada pada kemasannya dan produk yang tidak memiliki label halal pada kemasannya diragukan kehalalan produknya. Maka keputusan untuk membeli produk yang berlabel halal atau tidak, akan sepenuhnya ditentukan oleh konsumen sendiri.

Perilaku komunitas muslim dalam mengonsumsi produk halal sesungguhnya tergantung bagaimana mereka memiliki pengetahuan terkait apa itu halal. Meskipun Qur’an dan al-Hadits telah memberikan panduan tentang kehalalan suatu produk, akan tetapi dengan semakin berkembangnya arus informasi dan teknologi kemasan produk yang telah mem-berikan penawaran menggiurkan akan dapat memengaruhi prilaku itu sendiri. Perilaku dalam mengonsumsi produk halal

(35)

dapat dilihat dari seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang telah ada label halal, seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya serta seberapa sering mereka mengajak orang lain untuk mengonsumsi produk halal dan mencegah orang lain mengonsumsi produk tidak halal. Selain faktor pengetahuan atas produk halal, persepsi masyarakat mengenai pentingnya kehalalan itu sendiri dapat berpengaruh terhadap perilaku. Persepsi dapat berupa keyakinan yang tinggi atas pentingnya mengonsumsi produk halal, tingkat harapan/keinginan komu-nitas muslim perkotaan untuk memperoleh produk halal serta persepsi tentang pentingnya labelisasi halal.

Tinggi rendahnya pengetahuan dan persepsi komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal tidak terlepas dari aktifitas keagamaan yang mereka lakukan. Semakin rajin komunitas muslim perkotaan mencari informasi mengenai produk halal maka secara alami akan meningkatkan pe-ngetahuan dan persepsi dan sikap terhadap produk halal. Faktor lingkungan seperti dorongan keluarga, ceramah agama, ikut berperan dalam menentukan tingkat penge-tahuan dan persepsi terhadap produk halal.

Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih jelas serta bukti ilmiah mengenai perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal, Puslitbang Kehidupan keagamaan akan melakukan penelitian tentang ‚Perilaku Komunitas Muslim dalam Mengonsumsi Produk Halal‛. B. Batasan Masalah

Mengingat keterbatasan waktu dan dana yang ada, maka dalam penelitian ini dibatasi pada perilaku komunitas muslim perkotaan terhadap produk-produk makanan dan

(36)

Bab I. Pendahuluan

minuman dalam bentuk kemasan yang diproduksi oleh pabrikan serta makanan dan minuman yang disajikan di restoran.

Penelitian dibatasi dengan mengkaji komunitas muslim perkotaan karena muslim perkotaan adalah trendsetter yang secara disadari atau tidak, merupakan konstruksi atas dinamika industrialisasi, dominasi budaya lokal maupun daerah minoritas muslim. Representasi tiga karakteristik kota ini terdapat pada 7 (tujuh) kota, yaitu DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Batam, Solo, Menado dan Denpasar..

C. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas permasalahan ini selanjutnya dirinci ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Seberapa besar tingkat pengetahuan komunitas muslim perkotaan terhadap konsep dasar produk halal ?

2. Seberapa besar penilaian/persepsi sikap mereka terhadap produk halal dan labelisasi halal?

3. Seberapa besar kesadaran komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal?

4. Adakah pengaruh yang signifikan antara pengetahuan tentang konsep dasar produk halal dengan persepsi dan sikap terhadap produk halal ?

5. Adakah pengaruh yang signifikan antara pengetahuan tentang konsep dasar produk halal dan persepsi serta sikap atas produk halal terhadap perilaku mengonsumsi produk halal?

(37)

6. Bagaimana pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui tingkat pengetahuan komunitas muslim per-kotaan terhadap konsep dasar kehalalan produk baik makanan dan minuman kemasan maupun makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan/restauran. 2. Mengetahui tingkat persepsi dan sikap mereka terhadap

produk halal.

3. Mengetahui pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal.

4. Menguji adakah pengaruh yang signifikan pengetahuan konsep dasar kehalalan produk dengan persepsi masya-rakat terhadap perilaku produk halal.

5. Menguji ada tidaknya pengaruh signifikan antara pengetahuan tentang konsep dasar kehalalan produk dengan persepsi dan sikap terhadap produk halal atas perilaku mengonsumsi produk halal.

6. Mengidentifikasi pola perilaku komunitas muslim per-kotaan dalam mengonsumsi produk halal

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:

1. Bahan masukan bagi Kementerian Agama RI dan instansi lainnya dalam merumuskan kebijakan yang terkait dengan produk halal.

(38)

Bab I. Pendahuluan

2. Referensi bagi instansi terkait sebagai bahan kajian lebih lanjut.

(39)

BAB II

PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIK

A. Deskripsi Teoritik

1. Produk Halal

alal berasal dari bahasa Arab yaitu halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Dalam kamus fiqih, kata halal dipahami sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Istilah ini, umumnya berhubungan dengan masalah makanan dan minuman. Lawan dari kata halal adalah haram. Haram berasal dari bahasa Arab yang bermakna, suatu perkara yang dilarang oleh syara’ (agama). Mengerjakan perbuatan yang haram berarti berdosa dan mendapat pahala bila ditinggalkan. Misalnya, memakan bangkai binatang, darah, minum khamr, memakan barang yang bukan miliknya atau hasil mencuri. Menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Ya’kub, MA suatu makanan atau minuman dikatakan halal apabila masuk kepada 5 kriteria, yaitu: 1) Makanan dan minuman tersebut thayyib (baik) yaitu sesuatu yang dirasakan enak oleh indra atau jiwa tidak menyakitkan dan menjijikkan. Dalam surat al-Maidah ayat 4 yang artinya: ‛Mereka bertanya kepadamu, ‚Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah, dihalalkan bagimu yang baik-baik‛. 2) Tidak mengandung dharar (bahaya); 3) Tidak mengandung najis; 4) Tidak memabukkan dan 5) Tidak mengandung organ tubuh manusia. Dalam penelitian ini produk halal bukan hanya dinyatakan halal secara syar’i namun juga telah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Produk ini mudah dikenali dengan adanya label halal

(40)

Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik

yang dikeluarkan oleh MUI pada kemasannya. Produk halal yang akan dilihat mencakup makanan dan minuman yang dikemas yang dikelola oleh pabrik makanan dan minuman yang dihidangkan oleh restoran/rumah makan.

2. Konsep tentang Sikap (Attitude)

Sikap mulai menjadi fokus pembahasan dalam ilmu sosial semenjak abad 20. Secara bahasa, Oxford Advanced Learner Dictionary (Hornby, 1974) mencantumkan bahwa sikap (attitude), berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu ‚Manner of placing or holding the body, and way of feeling, thinking

or behafing‛. Sikap adalah cara menempatkan atau membawa

diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Thomas dan Znaneiecki (1920) menegaskan bahwa sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perikau tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang murni dari individu, tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh individu (Coser, dalam www.bolender.com). Dalam buku karya Kagan dan Havemann ‚an attitude is an organized an enduring set of beliefs

and feelings toward some kind of abject or situation and predisposition to behave toward it in a particular way‛. Attitude

(sikap) adalah suatu tatanan keyakinan dan perasaan yang terorganisir dan berlangsung terus terhadap suatu objek atau situasi dan kecenderungan untuk berprilaku terhadapnya dengan cara tertentu. Jadi ada 3 (tiga) elemen yang mem-bentuk attitude (sikap) yaitu: a) Elemen kognitif

(41)

(pengetahu-an/kepercayaan), elemen emosional (persepsi/perasaan/afek-si) dan 3) Elemen perilaku.1

Sikap adalah pengorganisasian yang relatif lama dari proses motivasi, persepsi dan kognitif yang relatif menetap pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek kehidupannya. Sikap individu ini dapat diketahui dari beberapa proses motivasi, emosi, persepsi dan proses kognitif yang terjadi pada diri individu secara konsisten dalam berhubungan dengan obyek sikap. Menurut Oskamp (1991) mengemukakan bahwa sikap dipengaruhi oleh proses evaluatif yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, mempelajari sikap berarti perlu juga mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi proses evaluatif, yaitu: a) Faktor genetik dan fisiologik, individu membawa ciri sifat tertentu yang menentukan arah perkembangan sikap, namun di pihak lain faktor fisiologik juga memainkan peranan penting dalam pembentukan sikap melalui kondisi-kondisi fisiologik, missal-nya usia, atau sakit sehingga harus mengonsumsi obat ter-tentu; b) Pengalaman personal, pengalaman yang dialami langsung akan memberikan pengaruh yang lebih kuat daripada pengalaman yang tidak langsung; c) Pengaruh orang tua sangat besar, terhadap kehidupan anak-anaknya. Sikap orang tua akan dijadikan role model bagi anak-anaknya; d) Kelompok sebaya atau kelompok masyarakat, ada kecenderungan bahwa seorang individu berusaha untuk sama dengan teman sekelompoknya; e) Media massa ter-masuk salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku makan masyarakat (Ekonomi Islam, 2008).

1 Kagan dan Havemann: Psychology: An Introduction, New York, Harcourt Brace

(42)

Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik

3. Perilaku Konsumen Muslim

Perilaku dalam bahasa Inggris disebut dengan ‚behavior‛ yang artinya kelakuan tindak-tanduk.2 Perilaku juga terdiri dari dua kata peri dan laku, peri yang artinya sekeliling, dekat melingkupi.3 Dan laku artinya tingkah laku, perbuatan, tindak tanduk. Secara etimologi perilaku artinya apa yang dilakukan oleh seseorang.4 Perilaku (behavior) is ‚the activities of an

organism, both overt, or observable (such as motor behavior), and covert, or hidden (such as thinking)‛. Perilaku adalah kegiatan

suatu makhluk hidup, baik yang nampak atau dapat dilihat (seperti perilaku gerakan) atau apa yang tidak nampak atau tersembunyi (seperti berfikir).5 Dari uraian di atas nampak jelas bahwa perilaku itu adalah kegiatan atau aktivitas yang melingkupi seluruh aspek jasmaniah atau rohaniah yang bisa dilihat.

Perilaku konsumen seperti perilaku pada umumnya dipengaruhi oleh aspek kultural, sosial, personal dan karak-teristik. Faktor kultural dianggap yang paling besar peng-aruhnya terhadap keinginan dan perilaku seseorang. Agama merupakan elemen kunci dalam kultur kehidupan yang mempengaruhi perilaku dan keputusan membeli. Religion is a

system of beliefs and prakcties by which group of people interprets and responds to what they feel is supernatural and sacred

(Johnstone, 1975 dikutip dari Shafie & Othman, 2008). Pada umumnya agama mengatur tentang apa yang diperbolehkan

2 John M. Echol, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1996),

cet. Ke-3, h,80.

3 Pedoman Umum Ejaan Bahsa Indonesia yang disempurnakan, Bandung: CV.

Pustaka Setia, 1996, cet, ke-5, h. 91.

4 Mar’at, Sikap Manusia terhadap Perubahan serta Pengukurannya, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1982, h. 274.

(43)

dan apa yang dilarang untuk dilakukan, termasuk perilaku konsumsi. Agama dapat mempengaruhi perilaku konsumen khususnya pada keputusan membeli.

Berkaitan dengan perilaku individu yang berbeda-beda, maka untuk mempelajari dan menganalisa perilaku diper-lukan adanya suatu model yang dapat menggambarkan sebuah rancangan untuk membantu mengembangkan teori yang mengarahkan penelitian perilaku konsumen dan sebagai bahan dasar untuk mempelajari pengetahuan yang terus berkembang mengenai perilaku konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Menurut Henry Assael yang dikutip oleh Sutisna (2002) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen yaitu:

 Faktor individu konsumen menjelaskan bahwa pilihan untuk membeli suatu produk dipengaruhi oleh variabel gagasan (kebutuhan, motivasi, sikap, persepsi) dan karak-teristik konsumen (demografi, gaya hidup, kepribadian).  Menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang

mem-pengaruhi keputusan konsumen adalah faktor budaya (norma masyarakat, sub pekerjaan), kelompok referensi (teman, sub budaya), kelas sosial (pendapatan, jenis pekerjaan), kelompok referensi (teman, keluarga), situasi dimana barang atau jasa dikonsumsi).

 Menjelaskan tentang variabel yang berada di bawah kontrol pemasar yaitu bauran pemasaran. Dalam hal ini strategi pemasaran yang lazim dikembangkan oleh pemasar yaitu yang berhubungan dengan produk apa yang akan ditawarkan, penentuan harga jual produknya,

(44)

Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik

strategi promosinya, dan bagaimana melakukan distribusi produk pada konsumen. Selanjutnya pemasar harus mengevaluasi strategi pemasaran yang dilakukan dengan melihat respon konsumen untuk memperbaiki strategi pemasaran di masa depan. Sementara itu konsumen individual akan mengevaluasi pembelian yang telah dilakukannya.

Menurut Amirullah (2003), faktor-faktor yang mem-pengaruhi keputusan membeli konsumen secara sederhana dibagi dalam dua bagian, yaitu: a) kekuatan internal, seperti: pengalaman, belajar, kepribadian dan konsep diri, motivasi dan ketertiban, sikap dan keinginan; b) kekuatan eksternal, seperti: faktor budaya, sosial, lingkungan ekonomi, dan bauran pemasaran.

Perilaku konsumen secara umum digambarkan sebagai suatu proses dari pencarian, pemilihan, sampai pada keputusan membeli sesuatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik maupun psikis. Dalam studi perilaku konsumen, hal ini mencakup beberapa hal seperti apa yang dibeli konsumen, mengapa konsumen membeli? Kapan mereka membelinya? Dimana mereka membelinya? Berapa sering mereka membelinya? Dan berapa sering mereka menggunakannya? (Sumarwan, 2002).

Perilaku komunitas muslim perkotaan dalam meng-konsumsi produk halal dapat dilihat dari seberapa sering komunitas muslim perkotaan mengonsumsi produk yang mereka ragu akan kehalalannya dan seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang tidak ragu. Apabila komunitas muslim perkotaan sering mengonsumsi produk yang mereka sendiri ragu kehalalannya menunjukkan perilaku yang buruk,

Gambar

Tabel 1  Jadwal Penelitian
Tabel 2.  Distribusi Persentase Responden dan Mean Skor  Indikator Produk Halal
Tabel 3. Uji F Tingkat Pengetahuan Produk Halal
Tabel 6.   Statistik Deskriptif Tingkat Pengetahuan Ber- Ber-dasarkan Kota
+7

Referensi

Dokumen terkait

Scater plot hujan tahunan vs ketinggian stasiun HThn_rrt (sub-wilayah 1) Dari ke dua gambar tersebut, dapat dikatakan bahwa ada korelasi positif antara jumlah hujan

Pada jenis tantrum membanting barang, ketika sebuah keluarga mengalami broken home yang tinggi, maka anak sebagian besar mengalami tingkatan tantrum membanting

Perbedaan Antara Bahasa pemrograman C dan C++ meskipun bahasa-bahasa tersebut menggunakan sintaks yang sama tetapi mereka memiliki perbedaan, C merupakan bahasa

Disebut ladder diagram karena teknik pemrograman ini menggunakan diagram yang bentuknya mirip seperti tangga. Sistem penulisan program dengan ladder diagram ini adalah

Distribusi pangan: menjaga stabilitas pasokan pangan dan harga, pengurangan impor dan peningkatan kemandirian pangan, serta peningkatan akses rumah tangga terhadap

2)  Anak  menjadi pendiam,  menarik diri,  merasa diri  hampa atau sebaliknya  menjadi  agresif  dan  keras  kepala  menentang  orang  tua.  Akhirnya 

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih kepada bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas, tentang berbagai hal yang terkait dengan objek yang diteliti,

Pemilihan Bibit Ternak (contoh: ternak kambing/domba). Pemilihan bibit ternak bertuju- an untuk memperoleh bangsa-bangsa ternak yang memiliki sifat- sifat produktif potensial