• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Persentase Responden dalam Elemen Persepsi (Harapan/Keyakinan)

HASIL DAN ANALISIS A. Demografik Responden

B. Pengetahuan Komunitas Muslim Terhadap Produk Halal Dalam penelitian ini, pengetahuan komunitas muslim

1. Distribusi Persentase Responden dalam Elemen Persepsi (Harapan/Keyakinan)

Dari data yang berhasil dihimpun melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa persepsi komunitas muslim untuk mengonsumsi produk halal adalah ‚sangat positif‛ berada dalam rentang antara 89% sampai dengan 95%. Dari indikator ini menunjukkan adanya harapan (keinginan) yang ‚sangat tinggi‛ dari komunitas muslim untuk mengonsumsi produk halal. Dengan kata lain, mayoritas responden menunjukkan harapan (keinginan) yang sangat tinggi agar ‚semua makanan dan minuman dalam kemasan serta makanan dan minuman yang di-sajikan restoran/rumah makan terjamin kehalalannya‛. Harapan yang sangat tinggi tersebut didukung oleh keyakinan komunitas muslim bahwa jika mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal akan ber-pengaruh negatif terhadap tubuh. Berdasarkan ajaran agama, komunitas muslim meyakini bahwa setiap makan-an ymakan-ang dimakmakan-an akmakan-an membentuk sikap dmakan-an perilaku. Sikap dan perilaku terbentuk dari makanan yang dikon-sumsi. Oleh karena itu mengonsumsi sesuatu yang haram akan berpengaruh negatif terhadap tubuh. Survey men-catat bahwa ada 95% responden mendukung pernyataan

Bab IV. Hasil dan Analisis

adanya pengaruh negatif jika mengonsumsi produk tidak halal. Selain itu sebanyak 89% memastikan tidak akan membeli suatu produk kemasan atau makanan di suatu restoran terkecuali mereka yakin bahwa produk yang akan mereka konsumsi terjamin kehalalannya.

Gambaran secara jelas dari kecenderungan dimaksud dapat dilihat dari tabel berikut ini.

Tabel 8. Distribusi Persentase Respon jawaban dan

Mean Skor untuk elemen Persepsi.

No. Pernyataan

Distribusi Persentase Respon Jawaban

M ea n s kor N Sa nga t ti da k se tuj u Tidak s etuj u Aga k s etuj u Se tuj u Sa nga t s etuj u % % % % % 1.

Sebagai seorang muslim saya berharap bahwa semua makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan terjamin kehalalannya

0 1 4 26 69 4.62 764

2.

Mengonsumsi makanan dan minuman dlm kemasan dan makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan yang tidak halal akan memberikan pengaruh negatif terhadap tubuh kita

1 2 6 39 52 4.40 764

3.

Saya tidak akan membeli makanan dan minuman dlm kemasan, makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan kecuali saya yakin bahwa makanan dan minuman itu halal

0 2 9 38 51 4.39 764

Tabel di atas tidak saja menunjukkan bahwa persepsi responden memiliki kecenderungan kearah yang ‚sangat positif‛ tetapi sekaligus mengindikasikan bahwa tingkat kehati-hatian komunitas muslim dalam memilih untuk

mengonsumsi/tidak mengonsumsi suatu produk makanan dan minuman adalah sangat tinggi. Penelitian ini me-ngungkap pula fakta bahwa ada sejumlah tanda/pedo-man/clue yang umumnya digunakan oleh umat Islam untuk membangun persepsi bahwa produk yang disajikan di suatu restoran/rumah makan terjamin kehalalannya. Tanda/pedoman/clue tersebut adalah sebagaimana tertera dalam tabel berikut ini.

Tabel 9. Distribusi Persentase jawaban respoden dan mean skor indikator yang diyakini menunjuk-kan kehalalan produk pada suatu restoran.

No. Pernyataan

Distribusi Persentase Respon Jawaban

M ea n s kor N Sa nga t T idak se tuj u Tidak s etuj u Aga k s etuj u Se tu ju Sa nga t s etuj u % % % % %

1. Ada simbol ke-Islaman (gambar masjid, gambar ka’bah, foto

habib 2 22 28 33 15 3.37 764

2. Ada tulisan Arab “halal” yang dipampang 1 7 16 43 34 4.03 764

3. Tidak menyediakan menu makanan dan minuman yang

tidak halal 0 3 8 41 48 4.34 764

4. Cara mengolah makanannya thayyib/sesuai dengan ketentuan

agama 0 0 2 42 56 4.52 764

5. Ada sertifikasi halal dari MUI 0 0 5 36 59 4.54 764

6. Mendapatkan informasi dari teman/kerabat tentang

kehalalannya 0 5 18 53 24 3.94 764

7.

Lingkungan atau tempat restoran/rumah makan tidak berdekatan dengan restoran/rumah makan yang menjual makanan dan minuman yang tidak halal

1 7 21 40 31 3.92 764

Berdasarkan tabel di atas, indikator utama yang paling diyakini menunjukkan kehalalan produk yang disajikan pada suatu restoran/rumah makan adalah

Bab IV. Hasil dan Analisis

meliputi tiga hal, yakni adanya sertifikasi halal dari MUI, cara mengolah makanannya thayyib/ sesuai dengan keten-tuan agama, serta tidak menyediakan menu makanan dan minuman yang tidak halal.

Untuk indikator pertama, terdapat 95% responden meyakini bahwa jika sebuah restoran/rumah makan memiliki sertifikasi halal dari MUI maka restoran tersebut dipastikan sajiannya dianggap halal. Kedua, cara meng-olah makanan sesuai ketentuan Islam, dinilai 98% res-ponden sebagai indikasi bahwa restoran itu halal. Ketiga indikator ‚tidak menyediakan menu makanan dan minuman yang tidak halal‛ diyakini 85% responden. Indikator lain yang memperoleh penilaian cukup tinggi adalah informasi dari rekan/kerabat tentang keberadaan restoran yang halal (77%). Sementara Indikator lokasi restoran yang menjual makanan atau minuman tidak halal‛ besaran persentase 71% yang menarik, indikator simbol keagamaan seperti gambar masjid, Ka’bah dan foto Habib yang dipampang ternyata tidak sepenuhnya diyakini oleh responden sebagai petunjuk kehalalan sajian suatu restoran. Terbukti hanya 48% responden yang percaya bahwa simbol keagamaan merupakan tanda bahwa restoran itu halal. Uniknya, dibandingkan dengan simbol-simbol keagamaan lainnya indikator tulisan Arab halal lebih tinggi diyakini sebagai restoran halal. Ada 77% responden meyakini bahwa jika ada tulisan Arab ‚halal‛ mengidentifikasikan sebagai restoran yang halal.

Secara keseluruhan urutan indikator yang diyakini sangat penting dan diyakini menunjukkan kehalalan

produk pada sebuah restoran/rumah makan adalah sebagai berikut.

Hasil diagram di atas menunjukkan bahwa serti-fikasi halal dari MUI diasumsikan sebagai petunjuk utama yang diyakini bahwa restoran itu halal. Hasil dari mean skor menunjukkan nilai 4,54 (dalam skala 5). Cara mengolah makanan dan minuman sesuai ketentuan agama yang telah diketahui sebelumnya oleh responden menunjukkan skala kepentingan yang tinggi. Selanjutnya adalah restoran yang tidak menyediakan minuman yang memabukkan (khamer) serta restoran yang tidak me-nyediakan menu tidak halal. Sedangkan indikator simbol keagamaan dan lingkungan dinilai sebagai indikator yang memiliki tingkat kepentingan agak tinggi meskipun lebih rendah dari indikator lainnya.

Kecenderungan responden dalam membangun per-sepsi berdasarkan petunjuk/tanda sebagaimana diuraikan di atas, ternyata bervariasi antara kota satu dengan yang lain. Hal ini dijelaskan dalam uraian berikut.

Bab IV. Hasil dan Analisis

Tabel 10. Mean Skor Indikator yang Diyakini Menun-jukkan Kehalalan Produk pada Suatu Restoran Setiap Kota. No Pernyataan K O T A Ja ka rta B an dun g D en pas sar B at am Sur ab aya So lo M an ad o 1

Ada simbul ke-Islaman (gambar masjid, gambar ka’bah, foto habib).

3.26 3.16 3.48(3) 3.64(1) 2.92 3.09 4.08

2 Ada tulisan Arab “ halal ” yang

dipampang. 4.02 4.09 4.14 4.23 3.93 3.85 3.95

3

Tidak menyediakan menu makanan dan minuman yang tidak halal. 4.18(4) 4.57(4) 4.28 4.45 4.32(4) 4.36(4) 4.20 4 Cara mengolah makanannya thayyib/sesuai dengan ketentuan agama 4.41(2) 4.65(1) 4.57(2) 4.55(3) 4.47(2) 4.50(1) 4.51(2)

5 Ada sertifikasi halal dari MUI 4.49(1) 4.59(3) 4.64(1) 4.56(2) 4.52(1) 4.44(2) 4.52(1)

6 Mendapatkan informasi dari teman/kerabat tentang kehalalannya 3.85 3.97 4.02 4.05 3.85 3.83 4.02 7

Lokasi atau tempat restaurant/rumah makan tidak berdekatan dengan restoran/rumah makan yang menjual makanan dan minuman yang tidak halal

3.82 3.97 3.79 4.17 3.87 3.53 4.30(4)

Catatan : Angka dalam kotak menunjukan mean skor sedangkan angka (1),(2),(3),(4) menunjukan urutan tingkat keyakinan utama

Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa komunitas Muslim di Kota Jakarta, Bandung, Surabaya dan Solo

mempunyai kecenderungan yang sama dalam meyakini sebuah restoran itu halal atau tidak yaitu berdasarkan 3 indikator utama. Indikator itu adalah ada sertifikasi MUI,

tidak menyediakan menu makanan/minuman yang tidak halal, serta cara mengolah makanan dan minuman di restoran/warung tersebut sesuai ketentuan agama. Ketiga indikator tersebut

dijadikan sebagai pertimbangan tertinggi dalam menilai kehalalan produk sebuah restoran dibanding dengan simbol-simbol agama.

Berbeda dengan kecenderungan yang ada di empat kota di atas, komunitas muslim yang tinggal di Batam, Denpasar dan Manado menggunakan indikator lain dalam membangun persepsi kehalalan produk sebuah restoran. Komunitas muslim di Kota Batam dan Denpasar lebih mengutamakan adanya simbol-simbol keagamaan seperti gambar mesjid, ka’bah, foto tokoh agama, untuk meng-identifikasi bahwa restoran/warung makan itu adalah halal. Mereka menilai bahwa ketika restoran menampilkan simbol-simbol agama Islam, maka mereka meyakini bahwa restoran/warung makan tersebut adalah halal.

Khusus untuk komunitas muslim yang berdomisili di Kota Denpasar dan Manado, mereka meyakini bahwa suatu restoran itu halal atau tidak, ketika di dalam tidak ditemukan sertifikasi halal mereka akan mendasari penilaiannya kepada identitas etnik pemiliknya (Suku Minahasa/Bali dengan suku Gorontalo/Padang/Madura). Kecenderungan ini tergambar dalam cross-tabulasi beri-kut:

Bab IV. Hasil dan Analisis

Tabel 11. Crosstabulasi Identitas Pemilik Restoran dan Kota

Kota * Identitas Pemilik Restoran Crosstabulation

Identitas Pemilik Restoran

Total Sa nga t Tidak Penti ng Tidak Penti ng Aga k Pe nti ng Pe nti ng Sa nga t Pe nti ng K o t a

Jakarta % within Count 11 30 11 43 15 110 Kota 10.0% 27.3% 10.0% 39.1% 13.6% 100.0% Bandung % within Count 22 23 23 29 13 110

Kota 20% 21% 21% 26% 12% 100.0% Denpasar % within Count 17 16 17 39 21 110

Kota 15% 15% 15% 35% 19% 100% Batam % within Count 7 23 16 46 18 110

Kota 6.4% 20.9% 14.5% 41.8% 16.4% 100% Surabaya % within Count 9 31 25 31 14 110

Kota 8% 28% 23% 28% 13% 100% Solo % within Count 22 28 20 31 9 110

Kota 20% 25% 18% 28% 8% 100% Manado % within Count 3 10 21 51 19 104

Kota 3% 10% 20% 49% 18% 100% Total % within Count 91 161 133 270 109 764

Kota 12% 21% 17% 35% 14% 100%

Dari analisis cross tabulasi di atas terlihat jelas bahwa responden yang tinggal di Kota Denpasar, Batam dan Manado menilai identitas pemilik restoran sangat penting untuk diperhatikan ketika akan mengonsumsi makanan di

restoran/rumah makan dibandingkan di kota lainnya. Tercatat 54% - 67% responden di ketiga kota tersebut menilai identitas pemilik restoran menjadi sedemikian penting untuk dijadikan pedoman. Di Jakarta, kecen-derungan serupa sebesar 52% berada sedikit di bawah kecenderungan di tiga kota tersebut. Sedangkan respon-den yang tinggal di Kota Surabaya, Solo dan Bandung kurang memperhatikan identitas pemilik restoran sebagai indikator terjaminnya kehalalan produknya. Hal itu terlihat dari besaran prosentase di tiga kota terakhir, yang hanya mencapai kurang dari 50%. Fenomena semacam ini wajar, jika mengingat lingkungan budaya di Bali dan Manado adalah dominan budaya non-muslim, karenanya penduduk muslim setempat lebih mengedepankan aspek etnik dan budaya dalam menilai sesuatu ketimbang simbol-simbol tertentu.

2. Persepsi Responden terhadap Labelisasi/Sertifikasi Halal Hasil survey menunjukkan bahwa 96% dari 764 responden setuju dan sangat setuju terhadap labelisasi halal pada produk kemasan, karena labelisasi halal pada produk menunjukkan identitas suatu produk, sekaligus menunjukkan bahwa produk itu layak dikonsumsi oleh umat Islam, sebab tidak mengandung sesuatu yang diharamkan agama. Identitas produk itu sangat perlu untuk membedakan terhadap yang tidak sesuai aturan agama.

Bab IV. Hasil dan Analisis

Tabel 12. Tingkat Kebutuhan Sertifikasi/Labelisasi Halal

No. Pernyataan

Distribusi Persentase Respon Jawaban M ea n s kor N S ama s eka li tida k pe rlu Kur ang pe rlu C ukup pe rlu P erl u S anga t pe rlu % % % % %

1. Apakah Undang-undang Sertifikasi/Labelisasi produk

halal diperlukan? 0 1 5 27 67 4.60 764

Sebagaimana ditampilkan dalam tabel di atas, sebanyak 719 responden (94%) mengharapkan adanya undang-undang yang mengatur tentang sertifikasi atau labelisasi produk halal. Undang-undang ini diharapkan mampu mengatur segala proses terkait produk halal, sekaligus sebagai payung hukum yang dapat digunakan dalam mengatasi masalah sertifikasi/labelisasi produk halal, karena hanya melalui undang-undang inilah masya-rakat muslim akan terlindungi dalam memperoleh/ mengonsumsi produk halal.

Ketika ditanyakan sejauhmana responden menge-tahui peraturan perundang-undangan yang terkait dengan produk halal, mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, hal ini tergambar dalam tabel berikut:

Tabel 13. Pengetahuan tentang Peraturan Produk Halal

No. Pernyataan

Distribusi Persentase Respon Jawaban

M ea n s kor N S anga t ti da k menge tahui Kur ang menge tahui C ukup menge taui M enge tahui S anga t menge tahui % % % % % 1.

Sejauh mana Bapak/Ibu/ Saudara mengetahui peraturan perundang-undangan yang terkait dengan produk halal?

7 40 29 20 4 2.74 764

Tabel di atas menunjukkan bahwa hanya 24% res-ponden yang mengetahui atau sangat mengetahui adanya peraturan tentang produk halal dan 29% cukup mengeta-hui. Sisanya 47% sama sekali tidak mengetahui adanya undang-undang produk halal.

Selain dari persentase tentang labelisasi/pengkodean terhadap produk yang halal, para responden juga memberikan persetujuan terhadap labelisasi/pengkodean terhadap produk yang ‚tidak halal‛. Data di lapangan menunjukkan bahwa 95% responden setuju atau sangat setuju pemberian labelisasi terhadap produk kemasan yang mengidentifikasikan bahwa produk tersebut ‚tidak halal‛. Mengenai sistem penulisan atau labelisasi, 98% responden menilai bahwa penulisan labelisasi halal atau kode tidak halal itu harus tertulis jelas. Dengan labelisasi atau pengkodean yang sederhana, akan mudah diketahui dan dipahami oleh komunitas muslim. Untuk jelasnya simak tabel berikut.

Bab IV. Hasil dan Analisis

Tabel 14. Distribusi Persentase dan Mean Skor Persepsi terhadap Labeliasasi Halal.

No. Pernyataan

Distribusi Persentase Respon Jawaban M ea n s kor N S anga t ti da k se tuj u T idak se tuj u Aga k S etuj u S etuj u S anga t se tuj u % % % % %

1. Semua makanan dan minuman dlm kemasan yang halal perlu

diberikan label halal/tulisan halal. 0 0 4 30 66 4.61 764

2.

Semua makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan yang halal perlu diberikan sertifikasi halal.

0 1 5 38 56 4.50 764

3.

Semua makanan dan minuman dlm kemasan yang tidak halal perlu diberi tanda atau kode yang menyatakan tidak halal.

0 1 4 33 62 4.54 764

4. Label halal pada makanan dan minuman dlm kemasan harus

tertulis jelas. 0 0 2 33 65 4.62 764

5.

Sertifikasi halal pada makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan harus dipampang.

0 1 8 36 55 4.44 764

6.

Label halal/sertifikasi halal untuk makanan dan minuman dlm kemasan yang disajikan di restoran/rumah makan dikeluarkan oleh lembaga resmi.

0 0 4 39 57 4.53 764

7.

Ketika membeli makanan dan minuman dlm kemasan, informasi tentang tanggal kadaluarsa dan komposisi produk penting.

0 0 3 29 68 4.65 764

Dalam kaitannya dengan labelisasi/sertifikasi di restoran, komunitas muslim pada umumnya menunjukkan sikap yang tidak jauh berbeda. Seperti terlihat pada tabel di atas, sekitar 94% responden mendukung adanya sertifikasi halal terhadap restoran/rumah makan. Sertifikasi tersebut harus ditunjukkan pada setiap pengunjung atau dipam-pang pada area yang mudah terlihat, untuk menunjukkan identitas bahwa sajian restoran tersebut layak dikonsumsi oleh komunitas muslim. Tercatat 91% responden

mendu-kung pernyataan bahwa sertifikasi halal pada restoran/ rumah makan harus dipampang di area yang terlihat oleh pelanggan. Selain informasi labelisasi halal atau pengkode-an terhadap produk tidak halal, sekitar 97% responden komunitas muslim mengharapkan adanya informasi ter-kait komposisi dan tanggal kadaluarsa produk.

Mengenai institusi yang berhak mengeluarkan serti-fikasi halal produk makanan dan minuman kemasan serta sertifikasi halal pada restoran atau rumah makan, mayo-ritas responden (96%) mengharapkan agar lembaga resmi. Mengingat lembaga resmi akan lebih bisa menjamin pemberian sertifikasi dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, memiliki kekuatan serta memperoleh kepercayaan kuat dari masyarakat. Namun ketika ditanya institusi mana yang dianggap paling pas untuk mengeluarkan sertifikasi labelisasi produk halal, para responden itu tergambar dalam tabel di bawah ini.

Tabel 15. Lembaga yang Berwenang Memberikan Serti-fikasi/Labelisasi Halal.

No. Pernyataan

Distribusi Persentase Respon Jawaban

M ea n s kor N S anga t ti da k se tuj u T idak se tuj u Aga k S etuj u S etuj u S anga t se tuj u % % % % % 1. Kementerian Agama 1 4 12 37 46 4.22 764

2. Majelis Ulama Indonesia. 0 1 5 33 61 4.54 764

3. Kementerian Kesehatan (BPOM). 1 7 9 38 45 4.20 764

Bab IV. Hasil dan Analisis

Dari keempat lembaga yang diajukan kepada res-ponden, ada tiga institusi yang dipandang lebih ber-wenang untuk mengurus masalah produk halal yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan (BPPOM), sedangkan lembaga swasta hanya diberikan kepercayaan oleh 29% responden. MUI dipercaya 94% sebagai lembaga yang berwenang mengurus serti-fikasi/labelisasi halal karena selama ini MUI diketahui banyak terlibat langsung pada kegiatan halal sehingga masyarakat menilai lembaga ini dianggap paling layak. Kementerian Agama mendapat kepercayaan yang sama dengan Kementerian Kesehatan yakni sebesar 83%. Namun berdasarkan interview dengan tokoh aga-ma/masyarakat/akademisi, ada kecenderungan untuk me-milih ketiga lembaga di atas berkolaborasi satu sama lain sesuai peran dan fungsi masing-masing, serta didukung kemampuan lembaga itu.

Pemahaman komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal semakin meningkat, terjadi pada 7 (tujuh) kota sasaran penelitian. Meningkatnya pemahaman mus-lim atas produk halal merupakan dampak sosialisasi secara terus menerus yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ormas. Transformasi sosial yang dialami

komunitas muslim perkotaan menunjukkan

kecenderungan ‘trendy’ sebagaimana maraknya pemakaian jilbab sejak era reformasi. Bahkan di Denpasar Bali dan Menado, meskipun transformasi sosial tidak sederas di 4 (empat) kota lain, namun dalam hal pemahaman tentang produk halal arus mainstraimnya menunjukkan kecenderungan preferensi terhadap produk halal. Kekhawatiran terhadap bahaya produk makanan

dan minuman yang tidak thayyib menguatkan pemahaman bahwa produk halal mengandung bahan yang baik dan sehat.

Komunitas muslim perkotaan dari kalangan akade-misi menginginkan pembentukan sistem jaminan produk halal, bukan hanya UU Jaminan Pangan Halal (JPH), melainkan juga seperangkat regulasi pendukung imple-mentasi keseluruhan sistem jaminan pangan halal. Keber-hasilan program ini secara komprehensif didukung oleh setiap stakeholders terkait produk halal, mulai dari industri produsen produk makanan dan minuman hingga restoran penyedia makanan dan minuman serta retail penjualnya. Pembinaan industri, kerjasama perindustrian, Kemen-terian Kesehatan dengan BP-POMnya termasuk produk jamu-jamuan merupakan agenda penting dalam proses peningkatan pemahaman ini. Beberapa departemen/ kementerian peduli terhadap program-program penyadar-an dpenyadar-an memberikpenyadar-an dukungpenyadar-an sinergis. Konsumen muslim perkotaan setidaknya lebih peka mempertanya-kan label halal atau sertifikasi halal pada mamempertanya-kanan dan minuman yang hendak dikonsumsi serta restoran yang dipilihnya.

Pemahaman mengenai produk halal tidak dapat dilepaskan dari dukungan akademisi melalui kesertaan perguruan tinggi ditingkatkan untuk siap mengcover hasil-hasil pembinaan dan realisasi konsumsi produk halal (thayyib).

Pemahaman komunitas muslim tentang konsumsi produk halal didasari pemahaman atas perintah untuk mengonsumsi makanan halal dan thayyib merupakan

Bab IV. Hasil dan Analisis

perintah bagi seluruh manusia, sebagaimana seruan dalam al-Quran, menggunaan seruan kepada An-Naas, bukan hanya untuk muslim. Saat ini kebutuhan terhadap sertifikasi halal datang dari banyak industri makanan dan minuman.

Komunitas muslim perkotaan mayoritas memahami tentang produk halal melalui seruan mubaligh/mubalighat dalam ceramah-ceramah yang menyerukan untuk mem-perhatikan label halal. semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin sadar dan memahami tentang produk halal serta berperilaku mengonsumsi produk halal. Fenomena yang dapat dilihat ketika ada isu bakso mengandung babi di Kota Surabaya, pembeli langsung sepi ternyata restoran Cina/non muslim banyak dan pengunjungnya tidak seramai setelah mendapat sertifikasi halal.12 Fenomena serupa juga terjad di DKI Jakarta, Solo, maupun Batam, meski tidak seluruhnya mengemuka terekspose di media massa.

Pentingnya pembinaan dan pendidikan dalam sosialisasi produk halal telah dirasakan oleh masyarakat. Pemahaman masyarakat terus meningkat melalui peran

stakeholders, termasuk ormas-ormas Islam. Kesadaran

sebagai tanggung jawab bersama terus meningkat dengan dibangunnya sinergi program pembinaan yang dilakukan secara formal termasuk dalam kurikulum sekolah yang harus menyatukan ipteks dengan imtaq. Selain itu diperlukan penguasaan manajemen sehingga ketika mereka terjun di dunia kerja mampu melaksanakan fungsi

12 Sebagaimana disampaikan oleh K.H. Imam Thabrani, tokoh agama,

manajerial dengan baik, seperti rumah sakit, apotik, perusahaan dimanage secara Islami. Begitu pula dalam hal mengusahakan produk makanan dan minuman, obat-obatan, kosmetik yang berstandar halal, setidaknya memahami titik-titik kritis suatu produk. Tuntutan komu-nitas muslim perkotaan terhadap kehalalan makanan dan minuman semakin besar ditunjukkan oleh tuntutan konsumen untuk disertifikatkan produk makanan dan minuman. Pertanyaan detil tentang dagingnya halal, serti-fikasinya mana sudah biasa ditanyakan konsumen. Restoran-restoran lokal yang sudah mengembangkan

fran-chise juga lebih mendapatkan trust dari masyarakat setelah

sertifikasi.13

‚Mengenai pemahaman komunitas muslim perkotaan tentang produk halal, meskipun tidak sampai detil dalilnya tapi mereka mengerti tentang apa yang diharamkan oleh agama, bahkan yang tidak baik atau berbahaya bagi tubuh mereka juga semakin tercerahkan‛.14 Pemahaman komunitas muslim terhadap kehalalan preoduk yang merupakan komponen utama sehingga perasaannya dapat tunduk kepada apa yang difahaminya. Hal ini akan menuntun kebiasaan untuk memenuhan kebutuhan makanan dan minuman-nya sehingga terbentuklah perilaku. Inilah pembentukan karakter muslim, yang menjadi pilar penyusunan pola perilaku mengonsumsi produk halal pada komunitas muslim.

13 Hasil wawancara dengan Roni Susanto, Marketing Manager beberapa restoran dan produk makanan minuman (mamin), pada tanggal 30-31 Oktober 2011

14 Hasil wawancara dengan tokoh agama-tokoh agama, tanggal 27 Oktober - 3

Bab IV. Hasil dan Analisis

D. Perilaku Komunitas Muslim dalam Mengonsumsi Produk

Dokumen terkait