• Tidak ada hasil yang ditemukan

Almatsier S. 1994. Penuntun Diet Anak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Anonimous. 1990. Lokakarya Program Intervensi Proyek Makanan Jajanan. IPB-

TNO-VU 27 Desember 1990 Kerjasama Indonesia Belanda. Bogor.

Anonimous. 2006. Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS). www.bpom.go.id

Andarwulan et al. 2009. Laporan Akhir Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional 2008. Direktorat Surveilan Penyuluhan Keamanan Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Pangan Berbahaya. BPOM RI dan SUCOFINDO.

Artista. 2009. Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah.

http://www.UNScybernews.co.id. [7 April 2009].

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Berita Resmi Statistik. http://www.bps.go.id. [ 14 Maret 2009].

Departemen Kesehatan RI. 2001. Kumpulan Modul Kursus Penyehatan Makanan Bagi Pengusaha Makanan Dan Minuman. Jakarta : Yayasan Pesan. Fardiaz D. dan S. Fardiaz. 1994. Proyek Makanan Jajanan. Bogor : Materi

Semiloka Program Intervensi Pembinaan Usaha Makanan Jajanan Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM IPB).

Fatima L. I. dan Liliek, 2002. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Penjamah Makanan Terhadap Aspek Keamanan Pangan di Usaha Katering. Media Gizi & Keluarga, 26(2). Institut Pertanian Bogor.

Husaini dkk. 1993. Kebiasaan Makan Konsumsi Jajanan dan Aspek-aspek Kesehatan Anak SD . Laporan Proyek Penelitian Gizi tahun 1992/1993. Pusat penelitian Dan Pengembangan Gizi Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Dep.Kes. RI.

Judarwanto W. 2006. Antisipasi Perilaku Makan Anak di sekolah. http:/www.pdpersi.co.id. [ 14 Maret 2009].

Khomsan A. 2000. Tehnik Pengukuran Pengetahuan. Diktat yang tidak dipublikasikan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian Bogor.

Mudjajanto E.S. 2005. Keamanan Makanan Jajanan Tradisional dalam Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta : Kompas.

Muhilal, D. Damayanti . 2006. Gizi Seimbang Untuk Anak Usia Sekolah Dasar. Jakarta : PT. Primamedia Pustaka.

Mukrie, A. B. Ginting, I. Ngadiarti, A. Hendrorini, N. Budiarti, Tugiman A. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Akademi Gizi, Depkes RI, Jakarta

Nasoetion A. dan E. S. Wirakusumah. 1991. Pangan Dan Gizi untuk Kelompok Khusus. Laboratorium Gizi Masyarakat. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Nuraida L. et al. Menuju Kantin Sehat di Sekolah. Bogor : SEAFAST Center. Papalia DE. dan Olds SW. 1981. Human Development. USA : Mc Grow-Hill, Inc.

Rachmawati E. 2005. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta : Kompas.

Sanim B. 1994. Produsen Makanan Jajanan. Semiloka Program Diseminasi Pembinaan Usaha Makanan Jajanan. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat IPB dengan Pemda TK. II Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Slamet J.S. 1998. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Solo: Dabara Publisher. Saparinto C dan D. Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta :

Kanisius.

Subandriyo V.U. 1994. Sanitasi dan Keselamatan Kerja Pada Usaha Jasa Boga. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Suryono. 2008. Tujuh Puluh Lima Kantin Sekolah Tak Sehat. [2 Maret 2009] Syafiq A. et al. 2007. Gizi Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen. Bogor : Ghalia Indonesia.

Sztainer D et al. 2005. Associations with School Food Environment and Policies. www.ijbnpa.org.

Winarno F.G. 1997. Keamanan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

___________. 1991. Proyek Makanan Jajanan. Majalah Pangan, Vol II (9). Bogor.

Yusuf A. L. 2004. Studi Keamanan Mikrobiologis Makanan di Kantin Asrama Putri Tingkat Persiapan Bersama IPB [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan dan gizi merupakan komponen yang sangat penting dalam pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar dalam meningkatkan status gizi. Oleh karena itu anak sekolah dasar perlu mendapatkan pembinaan mengenai pengetahuan bagaimana memilih makanan jajanan yang sehat baik di lingkungan sekolah, rumah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas, karena anak usia sekolah adalah investasi bangsa.

Menurut Winarno (1997) menyebutkan bahwa makanan jajanan adalah jenis makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Umumnya makanan jajanan ini dibagi empat kelompok yaitu makanan utama (main dish), panganan (snacks), golongan minuman, dan buah-buahan segar. Makanan jajanan memiliki jenis yang sangat banyak dan sangat bervariasi dalam bentuk, rasa, dan harga.

Pangan jajanan termasuk kategori pangan siap saji yaitu makanan dan atau minuman yang merupakan hasil proses dengan cara atau metode tertentu, untuk langsung disajikan, sangat banyak dijumpai di lingkungan sekitar sekolah, hampir setiap hari dikonsumsi sebagian besar anak usia sekolah, dan harga terjangkau oleh anak-anak. Dimana pangan jajanan sangat strategis untuk memberi tambahan asupan gizi bagi anak-anak.

Ada tiga alasan mengapa anak suka jajan. Pertama karena anak tidak sempat makan pagi sebelum ke sekolah (karena ibu tidak sempat menyiapkan, anak tidak nafsu makan, atau anak lebih senang jajan). Kedua, alasan psikologis pada anak (gengsi, anak bisa mendapat uang saku). Ketiga, kebutuhan biologis yang perlu dipenuhi (kegiatan fisik yang memerlukan tambahan asupan).

Masalah keamanan pangan jajanan di sekitar sekolah antara lain ditemukannya (1) produk pangan olahan yang tercemar bahan berbahaya (mikrobiologis & kimia), (2) pangan siap saji yang belum memenuhi syarat higiene & sanitasi, dan sumbangan pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Penyebabnya, tata cara penanganan pangan yang mengabaikan aspek keamanan pangan, ketidak tahuan konsumen (anak-anak sekolah & guru) akan pangan jajanan yang aman (Artista 2009).

Pada tahun 2005, Badan POM RI telah melakukan pengujian terhadap 861 contoh/responden makanan jajanan anak di sekolah di 195 sekolah dasar di 18 kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar, dan Padang. Hasil uji menunjukkan bahwa 39.9% (344 contoh/responden) tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Misalnya, es sirup atau buah (48.2%) dan minuman ringan (62.5%) yang banyak dikonsumsi anak-anak mengandung bahan berbahaya dan tercemar bakteri patogen. Jenis lain yang tidak memenuhi syarat adalah saus dan sambal (61.5%) serta kerupuk (56.3%). Dari total contoh/responden tersebut, 10.5% mengandung pewarna yang dilarang, yaitu

Rhodamin B, Methanil Yellow dan Amaranth (BPOM 2005).

Menurut Kepala DKK Sukoharjo Suryono (2008) dalam melakukan Sidak (inspeksi mendadak) di SD 1 Gayam dan SD Jetis 1 Sukoharjo, dengan hasil 75% kantin sekolah yang ada kurang memenuhi syarat kesehatan. Sebab rata- rata kantin sekolah dikelola tukang kebun atau juru kunci sekolah yang kurang memperhatikan kualitas dan keamanan makanan jajanan yang dijualnya. Parahnya kondisi serupa juga dilakukan pada pedagang jajanan yang berjualan di luar sekolah. Di satu sisi jajanan yang disediakan pedagang kurang memenuhi standar kesehatan, namun di sisi lain siswa sangat suka jajanan tersebut.

Masih banyak sekolah, terutama SD dan SMP yang belum memiliki kantin yang memenuhi standar kantin sehat. Dari hasil pemetaan sekolah sehat di 115 kabupaten/kota di 20 provinsi yang dilakukan oleh Depdiknas (2007) menunjukkan 40,2% kantin masih berada di bawah standar. Selain itu banyak ditemukannya produk jajanan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, termasuk perilaku pengelola kantin yang tidak mencerminkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Penyediaan makanan jajanan anak sekolah sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari kepala sekolah. Berdasarkan penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Sebanyak 55 % sekolah yang di survei telah memiliki peraturan tentang PJAS dan terdapat 37 % sekolah yang tidak memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95%) dikeluarkan oleh sekolah meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh suku dinas kecamatan maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar (68,4%) mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65,7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57,0%).

Banyaknya berbagai masalah keamanan pangan jajanan disebabkan karena penjaja pada umumnya belum memenuhi syarat sesuai Permenkes Nomor 236/Menkes/Per/IV/1997 yang telah disempurnakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang persyaratan higiene dan sanitasi makanan jajanan. Hal ini menyebabkan perlunya pengawasan dari pihak sekolah dalam membuat peraturan mengenai makanan jajanan sehat dan menggiatkan kembali peran usaha kesehatan sekolah (UKS).

Perumusan Masalah

Makanan jajanan merupakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan pangan, namun banyak terdapat permasalahan mengenai praktek keamanan PJAS yang meliputi kurangnya higiene sanitasi dari penjaja PJAS maupun penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Permasalahan keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) disebabkan kurangnya perhatian dari pihak sekolah, orang tua, murid, dan penjaja pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Pengawasan dari pihak sekolah dalam membuat peraturan mengenai PJAS yang mengatur tentang murid sekolah, penjaja, dan kantin sekolah sangat mempengaruhi dalam mengurangi risiko bahaya terhadap anak sekolah akibat makanan jajanan yang tidak sehat dan aman.

Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi praktek keamanan PJAS, perlu diketahui melalui penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi saran yang mendukung peningkatan praktek keamanan PJAS oleh penjaja.

Berdasarkan hal tersebut, maka yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah peraturan mengenai PJAS, apabila ada peraturan dipatuhi atau tidak, fasilitas yang diberi pihak sekolah pada penjaja PJAS, menganalisis hubungan antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan PJAS, menganalisis perbedaan penerapan peraturan dan praktek keamanan PJAS di kota dan kabupaten.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji penerapan peraturan dan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik penjaja PJAS.

2. Mengidentifikasi penerapan peraturan yang dibentuk oleh sekolah mengenai PJAS.

3. Mengidentifikasi pengetahuan dan praktek keamanan PJAS.

4. Mengananalisis perbedaan pengetahuan, praktek keamanan PJAS dan penerapan peraturan berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual.

5. Menganalisis hubungan antar variabel (karakteristik responden, pengetahuan, praktek keamanan PJAS dan penerapan peraturan).

HIPOTESIS

1. Tidak ada hubungan penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor.

2. Tidak ada perbedaan penerapan peraturan dan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat terutama pada pihak sekolah, penjaja PJAS, orang tua dan anak usia sekolah tentang pentingnya keamanan makanan jajanan yang sehat dan bebas dari penggunaan BTP yang tidak diperbolehkan oleh pemerintah. Selain itu, diharapkan pula penelitian ini dapat berguna untuk pihak sekolah dalam menentukan kebijakan peraturan mengenai praktek keamanan PJAS di sekitar sekolah.

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Sekolah Dasar

Pada golongan anak sekolah, gigi geligi susu tanggal secara berangsur dan diganti secara permanen. Anak sudah lebih aktif memilih makanan yang disukai. Kebutuhan energi lebih besar karena mereka lebih banyak melakukan aktifitas fisik, misalnya berolah raga, bermain, dan sekolah. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan. Golongan anak sekolah biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas di luar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Makan pagi (sarapan) perlu diperhatikan, untuk mencegah hipoglikemia dan supaya anak lebih mudah menerima pelajaran (Almatsier 1994).

Pada usia sekolah dasar diharapkan memperoleh dasar pengetahuan sebagai bekal penyesuaian pada kehidupan selanjutnya. Sebutan lain untuk

anak sekolah dasar yaitu periode kritis karena masa ini merupakan motivasI untuk berprestasi sehingga membentuk kebiasaan untuk berusaha mencapai

sukses atau bersikap santai. Sekali terbentuk kebiasaan, kebiasaan tersebut akan terus dibawa sampai dewasa (Nasoetion 1991).

Anak-anak mempunyai pemikiran yang terbuka dibandingkan orang dewasa dan pengetahuan yang diterima merupakan dasar bagi pembinaan kebiasaan makannya. Anak-anak umumnya mempunyai hasrat besar untuk ingin tahu dan mempelajarinya lebih jauh. Anak-anak sebagaimana orang dewasa juga memerlukan dorongan yang kuat agar anak itu mau belajar. Misalnya diberi gambaran bahwa anak yang gizinya baik itu dapat tumbuh dengan baik, badannya menjadi besar, kuat, sehat, kulitnya bagus, pintar mudah masuk sekolah lanjutan, dan lain sebagainya (Suhardjo 2003).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan anak yang makan pagi mempunyai sikap dan prestasi sekolah yang lebih baik daripada anak yang tidak sempat sarapan. Penelitian oleh Pollitt, Leibel, dan Greenfield menunjukkan pada anak usia 9-11 tahun dengan gizi baik, makan pagi mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah. Penelitian lain menunjukkan konsentrasi berpikir anak yang tidak makan pagi lebih rendah secara bermakna. Hal ini dapat dijelaskan bahwa agar otak dan sel darah merah dapat bekerja diperlukan energi dari glukosa (karbohidrat). Tanpa sarapan, pada siang hari persediaan glukosa

menurun sehingga anak kekurangan energi yang dibutuhkan otak untuk dapat berkonsentrasi (Muhilal dan Damayanti 2006).

Anak yang tidak sempat makan pagi di rumah, anak biasanya membawa bekal makanan ke sekolah. Makanan bekal juga dapat menjadi tambahan makan pagi anak. Makanan tambahan atau makan pagi dibutuhkan sebab kebutuhan gizi anak semakin meningkat sedangkan kemampuan saluran cerna untuk mengonsumsi masih terbatas, sehingga diperlukan makanan bekal (Muhilal dan Damayanti 2006).

Peranan Pangan Jajanan

Pangan jajanan adalah makanan atau minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasaboga, rumah makan/restoran dan hotel (Kepmenkes RI No 942/Menkes/SK/VII/2003).

Menurut Winarno (1997) menyebutkan bahwa pangan jajanan adalah jenis makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Umumnya pangan jajanan ini dibagi empat kelompok yaitu makanan utama (main dish), panganan (snacks), golongan minuman, dan buah-buahan segar. Pangan jajanan memiliki jenis yang sangat banyak dan sangat bervariasi dalam bentuk, rasa, dan harga.

Menurut Fardiaz & Fardiaz (1994), pangan jajanan adalah makanan siap makan atau diolah di lokasi jualan seperti di daerah pemukiman, pertokoan, terminal, pasar, atau dijajakan dengan cara berkeliling. Selain berkontribusi positif di bidang ekonomi, pangan jajanan juga mengandung risiko terhadap kesehatan akibat kontaminasi mikroba, bahan kimia dan pemakaian bahan tambahan non pangan. Persoalan ini timbul mulai dari proses persiapan, pengolahan, dan saat penyajian makanan di lokasi jualan.

Berdasarkan cara kerjanya, pangan jajanan dibagi menjadi dua golongan. Pertama, pangan jajanan stationer yaitu yang bekerja pada lokasi tetap atau pada saat-saat tertentu. Sedangkan yang kedua pangan jajanan ambulatory yaitu yang bekerja dengan menjajakan kemana-mana, misal para pedagang yang menjajakan dagangannya dengan cara berjalan sambil memikul, menyunggi diatas kepala, menggendong di punggungnya, atau dengan menggunakan gerobak dorong, atau sepeda roda tiga (Winarno 1991).

Salah satu tujuan makan adalah agar tubuh sehat. Di sisi lain makanan dapat menjadi salah satu sumber penyakit. Oleh karena itu, hindari makan

makanan dan jajanan yang sudah busuk, tercemar oleh mikroorganisme atau yang mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh. Pangan jajanan yang sehat selain keadaannya segar juga harus bersih, tidak dicemari oleh debu, bahan-bahan pengotor lainnya, dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya.

Pangan jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi pangan jajanan di masyarakat diperkirakan terus meningkat mengingat makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan pangan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat (Mudjajanto 2005)

Berdasarkan hasil penelitian Husaini (1993), pangan jajanan rata-rata menyumbang 14% protein, 22% karbohidrat, 29% lemak, 16% kalsium, 17% zat besi, 8% vitamin A, 43% vitamin B1 dan 12% vitamin C dari total konsumsi setiap hari. Namun, sebanyak 88% dari macam makanan dan minuman jajanan yang dijual di sekitar sekolah mempergunakan satu macam atau lebih zat pewarna.

Jenis makanan jajanan dapat dibagi menjadi tiga kelompok meliputi, minuman (es cendol, es teler, teh, kopi, es sirup, es susu, es kolang-kaling), panganan/snack (combro, pisang goreng, rempeyek, kacang dan lain sebagainya), makanan (meals) contohnya nasi rames, nasi goreng, nasi pecel, lotek, ketoprak dan lain sebagainya (Winarno 1991). Namun menurut Nuraida et al (2009) pangan jajanan dapat dibagi menjadi empat kelompok meliputi, (1) makanan sepinggan (gado-gado, nasi uduk, siomay, bakso, mie ayam, lontong sayur dan lain-lain); (2) makanan camilan dibagi menjadi dua kelompok yaitu camilan basah (goreng pisang, lemper, lumpia, risoles, dan lain-lain) dan camilan kering (produk ekstrusi, keripik, biskuit, kue kering, dan lain-lain); (3) minuman (air putih, minuman ringan dalam kemasan, minuman campur seperti es campur, es cendol, es doger); (4) buah yang dijual dalam bentuk utuh (pisang, jambu, jeruk) maupun kupas dan potong (pepaya, nenas, melon, mangga, dan lain-lain).

Kantin dan Penjaja PJAS

Kantin merupakan salah satu tempat jajan anak sekolah selain penjaja makanan jajanan di luar sekolah. Kantin mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat menentukan perilaku makan jajanan di sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai

pengganti makan pagi dan makan siang di rumah serta camilan dan minuman yang sehat dan bergizi (Nuraida et al 2009).

Penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam mendorong pesan-pesan kesehatan dari kelas dan rumah. Ada kantin yang menyediakan makanan yang sehat dan bergizi. Namun banyak juga yang belum, kepala sekolah dan guru sepertinya belum maksimal dalam mengarahkan kantin sekolah yang menyediakan makanan sesuai dengan PUGS. Selain itu pihak sekolah, kelompok orang tua murid dapat merangsang perubahan agar kantin menyediakan makanan yang sehat, bergizi, dan aman bagi kesehatan (Muhilal dan Damayanti 2006).

Menurut Depkes RI 2001 penjaja makanan jajanan dalam melakukan kegiatan pelayanan penanganan pangan jajanan harus memenuhi persyaratan antara lain :

a. Tidak menderita penyakit yang mudah menular misalnya batuk, pilek, influenza, diare dan penyakit perut serta penyakit sejenisnya;

b. Menutup luka (pada luka terbuka/bisul atau luka lainnya); c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian; d. Memakai celemek dan tutup kepala;

e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan.

Disamping itu penjaja makanan jajanan dalam memberikan pelayanan dilarang antara lain :

a. Menjamah makanan tanpa alat perlengkapan atau tanpa alas tangan;

b. Sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut atau bagian lainnya;

c. Batuk atau bersin dihadapan pangan jajanan yang disajikan dan atau tanpa menutup mulut atau hidung.

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan

Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Menurut Madrie (1981) dalam Fatima (2002), pengetahuan dan pengalaman akan membentuk sikap seseorang. Pengetahuan merupakan fase awal dari keputusan dimana akhirnya seseorang akan bertindak seperti pengetahuan yang diperolehnya.

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman responden tentang gizi dan keamanan pangan.

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh penjaja PJAS. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang berpengaruh terhadap sikap dan praktek dalam pemilihan pangan, pengolahan pangan, dan penyajian pangan. Dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang baik diharapkan para penjaja PJAS akan menerapkan cara pengolahan pangan dan penyajian pangan yang benar (Andarwulan et al

2009).

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai. Seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Walaupun seseorang berpendidikan rendah, jika orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi mengenai gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik (Syafiq et al 2007).

Penjaja PJAS harus memiliki pengetahuan mengenai gizi seimbang, cara pengolahan pangan yang baik, keamanan pangan yang baik, keamanan pangan dan praktek sanitasi dan higiene. Pengetahuan tentang gizi seimbang dan beragam diperlukan dalam menyusun menu sehari-hari yang diperlukan oleh masing-masing kelompok umur anak sekolah, sehingga anak-anak tercukupi kebutuhan gizinya dan tidak bosan mengkonsumsinya. Pengetahuan cara pengolahan pangan yang baik diperlukan dalam memilih cara-cara pengolahan yang tepat, pemilihan bahan baku dan bahan tambahan untuk menghasilkan makanan yang bergizi dan aman.

Pengetahuan tentang keamanan pangan diperlukan untuk mengenali bahaya-bahaya dalam pangan dan menentukan cara pencegahannya. Pengetahuan tentang sanitasi dan higiene diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri dan bahan kimia berbahaya ke dalam pangan. Sedangkan pengetahuan mengenai sarana dan prasarana minimum yang harus dipenuhi oleh penjaja PJAS adalah mewujudkan sarana makanan jajanan yang sehat.

Berdasarkan Semiloka makanan jajanan 1991, terdapat kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku nyata. Produsen dan penjaja makanan jajanan

walaupun alasannya tidak terlalu jelas. Para penjaja mengetahui masalah yang berhubungan dengan nilai gizi makanan dan penggunaan bahan tambahan tertentu yang membahayakan.

Peraturan Makanan Jajanan

Peraturan makanan jajanan adalah suatu standar atau persyaratan kesehatan yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijaksanaan hendaknya tidak hanya restriktif tetapi juga stimulatif, konstruktif dan fasilitatif yang berbeda-beda menurut kategori usaha makanan jajanan. Keragaman produk yang tinggi mengharuskan agar pendekatan kebijaksanaan hendaknya berorientasi makro dan nasional, artinya program pembinaan terkait dengan berbagai sektor dalam kerangka

Dokumen terkait