• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Sekolah

Sekolah yang diteliti terdiri dari empat sekolah dasar, yaitu dua SDN di Kota Bogor dan dua SDN di Kabupaten Bogor. Sekolah dasar yang terdapat di kota meliputi SDN 01 Lawang Gintung yang berakreditasi A dan SDN Cimanggu Kecil yang berakreditasi B. Sedangkan sekolah dasar yang terdapat di kabupaten meliputi SDN 01 Pajeleran yang berakreditasi A dan SDN 01 Kotabatu yang berakreditasi B. Keempat sekolah dasar ini semuanya memiliki kantin, sedangkan yang mempunyai penjaja luar hanya tiga sekolah yaitu SDN 01 Lawang Gintung, SDN Cimanggu Kecil, dan SDN 01 Kota Batu. Gambaran keadaan kantin dan penjaja luar di kota dan kabupaten dapat dilihat pada Lampiran 1.

SDN 01 Lawang Gintung adalah sekolah yang terletak di kota dengan akreditasi A yang beralamat di Jalan Lawang Gintung, berada dekat jalur kendaraan umum. Sekolah ini memiliki luas tanah kurang lebih 1693 m2, yang terdiri dari bangunan seluas 865 m2, halaman seluas 728 m2. Jumlah guru dan staf pegawai sekolah sebanyak 18 orang PNS dan 13 orang Non PNS. Jumlah siswa sebanyak 632 orang dengan jumlah kelas sebanyak 13 kelas.

SDN Cimanggu Kecil adalah sekolah yang terletak di kota dengan status akreditasi B yang beralamat di Jalan Cimanggu Kecil No. 35, letaknya berada agak ke dalam sehingga tidak begitu banyak kendaraan umum yang melaluinya. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1977 dan mulai beroperasi pada tahun 1978 yang memiliki luas tanah seluas 1660 m2. Jumlah guru dan staf pegawai sekolah sebanyak 19 orang PNS dan dua orang honorer. Jumlah siswa sebanyak 555 orang yang terdiri dari 276 laki-laki dan 279 perempuan, dengan jumlah kelas sebanyak 16 kelas.

SDN 01 Pajeleran adalah sekolah yang terletak di kabupaten dengan status akreditasi A yang beralamat di Jalan Dadi Kusmayadi, letaknya tepat di pinggir jalan raya sehingga banyak dilalui oleh kendaraan umum. Sekolah ini memiliki luas tanah seluas 3697 m2, dengan luas bangunan seluas 972 m2. Jumlah guru dan staf pegawai 24 orang PNS dan 10 orang Non PNS. Jumlah siswa sebanyak 1089 orang yang terdiri dari 585 laki-laki dan 504 perempuan, dengan 26 rombel (rombongan belajar).

SDN 01 Kotabatu adalah sekolah yang terletak di kabupaten dengan status akreditasi B yang beralamat Jalan Kapten Jusuf No. 01, letaknya tepat di

pinggir jalan raya sehingga banyak dilalui oleh kendaraan umum. Jumlah guru 16 orang, sedangkan untuk jumlah siswa sebanyak 353 orang yang terdiri dari 182 laki-laki dan 171 perempuan.

Fasilitas Sekolah

Fasilitas sekolah merupakan faktor pendukung dalam keamanan pangan di lingkungan sekolah. Kondisi fasilitas sekolah menurut wilayah disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kondisi fasilitas sekolah menurut wilayah

Kota Kabupaten

Fasilitas

A B A B

- Tempat sampah tertutup di kelas

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada - Tempat sampah tertutup di

sekolah

Ada Ada Ada Ada

- Tempat pembuangan sampah akhir

Tidak ada Tidak ada Ada Ada - Jarak saluran pembuangan

air/limbah dengan penjaja di luar sekolah (m)

≤ 10 ≤ 10 Tidak ada penjaja luar

≤ 10

- Jarak pembuangan sampah dengan penjaja di luar sekolah (m)

≤ 10 ≤ 10 Tidak ada penjaja luar

≥ 10

- Ketersediaan air di sekolah Ada Ada Ada Ada

- Sumber air berasal PAM PAM PAM Sumur

- Kualitas air Bersih Bersih Bersih Bersih - Ketersediaan air untuk

penjaja di luar sekolah

Ada Tidak ada Tidak ada penjaja luar

Tidak ada - Terdapat tempat cuci tangan

- Tersedia sabun Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada

- Jumlah tempat cuci tangan 6 4 9 4

- Terdapat KM/WC Ada Ada Ada Ada

- Jumlah KM/WC 9 6 15 4 - Kebersihan KM/WC Sebagian bau dan agak kotor Seluruhnya bau dan kotor Sebagian bau dan agak kotor Seluruhnya bersih

- Terdapat aliran listrik Ada Ada Ada Ada - Jumlah daya listrik 3200 Kw 1350 Kw 2200 VA 900 Kw

Fasilitas sekolah yang memadai diperlukan untuk peningkatan kualitas mutu pendidikan di Indonesia. Kenyamanan belajar dan keberhasilan proses belajar mengajar suatu sekolah sangat tergantung dari peraturan sekolah yang diterapkan maupun keberadaan fasilitas sekolah (Andarwulan et al 2008).

Fasilitas tempat sampah yang disediakan sekolah adalah tempat sampah yang tertutup dan tempat cuci tangan yang tersedia tidak terdapat sabun. Fasilitas sekolah pada wilayah kota dan kabupaten umumnya hampir sama. Yang membedakan fasilitas dari masing-masing sekolah adalah jumlah dari fasilitas yang disediakan oleh sekolah. Sekolah yang berakreditasi A umumnya memiliki fasilitas dalam jumlah yang lebih banyak daripada sekolah yang berakreditasi B, hal ini disebabkan karena jumlah murid pada sekolah dengan status akreditasi A juga lebih banyak daripada sekolah yang berakreditasi B. Kondisi Kantin

Kondisi lingkungan kantin secara tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi makanan dan minuman jajanan yang dijual. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha dari pengelola kantin serta warga sekolah lain dalam menjaga kebersihan kantin sekolah. Tiap-tiap sekolah memiliki kondisi kantin yang berbeda-beda, yang dilihat dari kondisi bangunan, kondisi air, tempat penyimpanan, tempat pengolahan dan penyajian, serta sanitasi higiene dan limbah.

Berdasarkan kondisi bangunan yang meliputi dinding kantin yang kedap air, kepemilikan ventilasi dan lantai kantin, langit-langit kantin dalam keadaan bersih. Dari tiga bagian kondisi bangunan kantin sekolah yang terletak di kota maupun di kabupaten hampir sama yaitu semua kantin memiliki dinding yang kedap air, tidak memiliki ventilasi dikarenakan kantin berbentuk terbuka. Bentuk kantin yang seperti ini menyebabkan pencemaran udara dari lingkungan sekitar mudah masuk ke dalam ruangan kantin, yang ditambah pula jarak antara kantin dengan jalan raya cukup dekat sehingga sangat mudah terkontaminasi. Menurut Nuraida et al (2009) kantin dengan ruang yang terbuka harus mempunyai tempat tertutup untuk persiapan dan pengolahan serta penyajian makanan dan minuman. Sebagian besar kantin memiliki lantai, dinding, langit-langit kantin dalam keadaan kurang bersih.

Dalam hal kondisi air yang terdapat di kantin berdasarkan wilayah kota dan kabupaten, secara keseluruhan sekolah memiliki suplai air yang cukup, tidak berbau dan tidak berwarna yang digunakan untuk pengolahan dan pencucian makanan jajanan yang bersumber dari PDAM. Begitu juga jika dilihat berdasarkan status akreditasi, dapat dikatakan bahwa status akreditasi tidak mempengaruhi kualitas air yang disediakan oleh pihak sekolah.

Tempat penyimpanan bahan baku, makanan jadi, serta tempat penyimpanan peralatan juga tidak jauh berbeda antara kota dengan kabupaten, begitu juga jika dilihat berdasarkan status akreditasi. Sebagian besar kantin sekolah mempunyai tempat penyimpanan khusus baik untuk bahan baku, makanan jadi, dan peralatan, hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kontaminasi. Berdasarkan tempat pengolahan dan penyajian terdapat perbedaan antara kantin sekolah yang terletak di kota dengan kabupaten, tempat pengolahan dan penyajian lebih baik di kota daripada kantin sekolah di kabupaten. Begitu juga jika dilihat berdasarkan status akreditasi terdapat perbedaan, di mana tempat pengolahan dan penyajian pada kantin akreditasi A lebih baik daripada kantin yang berakreditasi B. Data kondisi kantin sekolah disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kondisi kantin sekolah menurut wilayah

Kota Kab Kondisi Kantin A B A B 1. Kondisi Bangunan - Kedap air - Terdapat ventilasi

- Lantai, dinding, langit-langit kantin bersih

Ya Tdk Ya Ya Tdk Tdk Ya Tdk Tdk Ya Tdk Tdk 2. Kondisi Air

- Memiliki suplai air yang cukup untuk pengolahan

- Air tidak berbau dan berwarna

Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya 3. Tempat Penyimpanan

- Terdapat tempat penyimpanan bahan baku - Terdapat tempat penyimpanan makanan jadi - Terdapat tempat penyimpanan peralatan

Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tdk Ya Ya Tdk Ya Ya 4. Tempat Pengolahan dan Penyajian

- Ruang pengolahan bersih

- Terdapat penerangan yang cukup - Terdapat ventilasi udara

- Tempat penyajian tersedia meja dan kursi dalam jumlah yang cukup

Ya Ya Ya Ya Tdk Tdk Tdk Tdk Ya Ya Tdk Tdk Ya Ya Tdk Tdk 5. Sanitasi, Higiene dan Pembuangan Limbah

- Terdapat bak cuci piring dengan suplai air yang mengalir

- Terdapat alat cuci/pembersih

- Pengolah menggunakan celemek dan penutup kepala

- Terdapat tempat sampah tertutup dan cukup - Kantin bebas sampah di dalam maupun luar - Terdapat saluran pembuangan air

Tdk Ya Ya Tdk Ya Ya Tdk Ya Tdk Tdk Ya Tdk Ya Ya Ya Tdk Ya Ya Ya Tdk Tdk Tdk Ya Ya

Di lihat dari segi sanitasi, higiene, dan pembuangan limbah, kantin yang terletak di kota dan kabupaten hampir sama, namun jika dilihat berdasarkan status akreditasi sedikit berbeda. Kantin sekolah dengan status akreditasi A memiliki sanitasi, higiene, dan pembuangan limbah lebih baik daripada kantin sekolah dengan status akreditasi B. Dengan kata lain status akreditasi mempengaruhi sanitasi, higiene dan pembuangan limbah di kantin. Kantin yang tidak memiliki bak pencucian piring dengan suplai air yang mengalir namun memiliki alat pencuci/pembersih yaitu menggunakan ember dalam melakukan pencucian.

Penjaja PJAS

Penjaja PJAS adalah orang yang berjualan makanan jajanan anak sekolah baik itu orang yang mengelola kantin maupun yang berjualan di luar sekolah yang masih berada di sekitar lingkungan sekolah. Penjaja kantin yang dijadikan responden adalah orang yang memiliki kantin karena pemilik kantin juga melakukan praktek yang sama dengan orang yang membantu dalam pengolahan, walaupun yang mengolah kantin biasanya lebih dari satu orang. Menurut Muhilal dan Damanyati (2006) penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Penjaja kantin yang dijadikan responden hanya pemilik kantin, orang yang membantu dalam proses pengolahan tidak dijadikan responden karena pemilik kantin merupakan perwakilan dari masing-masing kantin.

Jumlah penjaja PJAS pada masing-masing sekolah berbeda-beda. Jumlah penjaja PJAS di SD yang terletak di wilayah kota (20 orang) lebih sedikit daripada kabupaten (27 orang). Penjaja PJAS di kota dan kabupaten sebagian besar merupakan penjaja luar dengan masing-masing persentase 80% dan 66.7%. Sedangkan penjaja pada status akreditasi A (19 orang) lebih sedikit daripada akreditasi B (28 orang), penjaja PJAS pada status akreditasi A sebagian besar (53%) merupakan pengelola kantin dan akreditasi B sebagian besar (89.3%) penjaja luar. Kelompok penjual PJAS menurut wilayah dan status akreditasi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kelompok penjual PJAS menurut wilayah dan status akreditasi Wilayah Status Akreditasi

Kota Kab A B Total

Kelompk Penjual n % n % n % n % n % Kantin 4 20.0 9 33.3 10 53.0 3 10.7 13 27.7 Penjaja luar 16 80.0 18 66.7 9 47.0 25 89.3 34 72.3 Total 20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 47 100.0

Karakteristik Penjaja PJAS

Karakteristik penjaja PJAS meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, dan sarana penjualan. Secara rinci karakteristik penjaja PJAS dapat dilihat pada Lampiran 2. Setiap bagian karakteristik penjaja PJAS dianalisis dengan uji-t untuk melihat perbedaan karakteristik berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. Secara rinci uji beda karakteristik penjaja PJAS dapat dilihat pada Lampiran 3.

Umur

Menurut Hurlock (1995) dalam Rahayu (2004) umur dapat mempengaruhi cara berpikir, bertindak, dan emosi seseorang. Dari hasil penelitian diperoleh umur berkisar antara 18-65 tahun. Umumnya umur responden tergolong pada dewasa awal (68.1%) dan tidak terdapat umur yang tergolong dewasa akhir baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual.

Umur responden berdasarkan letak wilayah, rata-rata responden lebih tua di wilayah kota (37.9 tahun) daripada di kabupaten (34.4 tahun). Sedangkan berdasarkan status akreditasi, rata-rata umur responden pada status akreditasi A lebih muda (33.7 tahun) daripada status akreditasi B (37.4 tahun), pada kelompok penjual rata-rata umur responden di kantin lebih tua (39.4 tahun) daripada penjaja luar (34.6 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada pada usia yang produktif. Menurut Papalia & Old (1986), dewasa awal merupakan masa yang paling ideal dalam periode kehidupan manusia dimana masa penuh vitalitas dan daya tahan paling optimal. Sebaran responden menurut umur disajikan pada Gambar 3. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan umur responden berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual.

65 70.4 73.7 64.3 53.8 73.5 68.1 35 29.6 26.3 35.7 46.2 26.5 31.9 0 20 40 60 80 Kota Kab A B Kantin Penjaja luar W ila y a h S ta tu s A k re d it a s i K e lo m p o k P e n ju a l T o ta l Dewasa Menengah Dewasa Awal

Gambar 3 Sebaran responden menurut umur Jenis Kelamin

Jumlah responden dalam penelitian adalah 47 orang. Umumnya responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 72.3% sedangkan perempuan hanya 27.7%. Berdasarkan wilayah kota, status akreditasi A dan B, serta penjaja luar terdapat lebih dari 60.0% responden yang berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan pada wilayah kabupaten dan kelompok penjual kantin lebih banyak responden yang berjenis kelamin perempuan dengan persentase lebih dari 75.0%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan jenis kelamin berdasarkan wilayah, namun untuk status akreditasi dan kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Sebaran responden menurut jenis kelamin disajikan pada Gambar 4.

25 70.4 63.2 78.6 23.1 91.2 72.3 75 29.6 36.8 21.4 76.9 8.8 27.7 0 20 40 60 80 100 Kota Kab A B Kantin Penjaja luar W ila y a h S ta tu s A k re d it a s i K e lo m p o k P e n ju a l T o ta l Perempuan Laki-laki

Gambar 4 Sebaran responden menurut jenis kelamin Pendidikan

Tingkat pendidikan responden tersebar dari tidak sekolah hingga perguruan tinggi. Sebagian responden berpendidikan SD (57.4%) baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. Sedangkan

responden yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya 4.3%, responden tersebut dengan latar belakang pendidikan S-1 dan D-III.

Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan tingkat pendidikan berdasarkan wilayah, dan kelompok penjual, namun pada status akreditasi menunjukkan adanya perbedaan, hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya responden dengan akreditasi A mempunyai pendidikan yang cukup baik jika dibandingkan dengan responden pada akreditasi B. Menurut Sumarwan (2002) tingkat pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi masalah. Sebaran responden menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan Wilayah Status Akreditasi Kelompok Penjual Kota Kab A B Kantin Penjaja Luar

Total Tingkat Pendidikan n % n % n % n % n % n % n % Tidak Sekolah 1 5.0 1 3.7 - - 2 7.1 - - 2 5.9 2 4.3 SD 13 65.0 14 51.9 11 57.9 16 57.1 5 38.5 22 64.7 27 57.4 SMP 4 20.0 7 25.9 3 15.8 8 28.6 4 30.8 7 20.6 11 23.4 SMA 1 5.0 4 14.8 3 15.8 2 7.1 2 15.4 3 8.8 5 10.6 PT 1 5.0 1 3.7 2 10.5 - - 2 15.4 - - 2 4.3 Total 20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 13 100.0 34 100.0 47 100.0 Pendapatan

Pendapatan perkapita responden berkisar antara Rp. 60.000,00 – >Rp. 1.000.000,00. Pendapatan perkapita berdasarkan BPS 2008 dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu, miskin (<Rp. 176.216,00) dan tidak miskin (>Rp. 176.216,00). Sebagian besar (61.7%) responden umumnya tidak miskin, berdasarkan wilayah, rata-rata pendapatan perkapita responden di kota (Rp. 443.133,00) lebih tinggi daripada di kabupaten (Rp. 409.808,00), sedangkan pada status akreditasi A (Rp. 520.315,00) lebih tinggi daripada B (Rp. 358.625,00), dan berdasarkan kelompok penjual kantin (Rp. 604.307,00) memiliki pendapatan lebih tinggi daripada penjaja luar (Rp. 355.044,00). Berdasarkan wilayah dan kelompok penjual terdapat lebih dari 55.0% responden berkategori tidak miskin. Namun jika dilihat berdasarkan status akreditasi lebih dari 57.0% responden berkategori tidak miskin. Sebaran responden menurut pendapatan disajikan pada Gambar 5.

30 44.4 31.6 42.9 23.1 44.1 38.3 70 55.6 68.4 57.1 76.9 55.9 61.7 0 20 40 60 80 100 Kota Kab A B Kantin Penjaja Luar W ila y a h S ta tu s A k re d it a s i K e lo m p o k P e n ju a l T o ta l Tidak Miskin Miskin

Gambar 5 Sebaran responden menurut pendapatan

Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan pendapatan perkapita responden berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun pada kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini diduga karena penjualan di kantin umumnya menjual jenis pangan jajanan lebih bervariasi, sedangkan penjaja luar masing-masing hanya menjual pangan jajanan satu jenis sehingga rata-rata pendapatan perkapita untuk kantin lebih besar daripada penjaja luar. Pendapatan perkapita yang diukur bukan hanya berasal dari pendapatan yang diterima oleh individu, tetapi diukur juga dari pendapatan yang diterima oleh semua anggota keluarga dimana individu itu berada.

Sarana Penjualan

Dalam Proyek Makanan Jajanan IPB (1993), usaha makanan jajanan dibagi menjadi tiga ketegori berdasarkan cara berjualannya, yaitu pedagang berpangkal (Stationary units), pedagang berpangkal di perkampungan (Residential units), dan berdagang keliling (Ambulatory units). Penjaja makanan dalam kantin sekolah termasuk sebagai pedagang berpangkal, namun untuk penjaja luar merupakan gabungan dari pedagang berpangkal dan keliling karena pada saat jam sekolah penjaja luar berpangkal di sekitar sekolah dan setelah jam sekolah habis mereka berdagang keliling.

Sebagian besar sarana penjualan yang digunakan adalah gerobak dan pikulan berkisar 34.0% hingga 36.2%. Sarana pikulan yang digunakan paling banyak terdapat di kabupaten dengan akreditasi B oleh kelompok penjaja luar (berkisar 33.3% hingga 47.1%), sedangkan sarana gerobak banyak digunakan di kota dengan akreditasi A oleh penjaja luar (berkisar 31.6% hingga 47.1%). Sarana meja umumnya banyak digunakan di kota dengan akreditasi A oleh kelompok penjual kantin (berkisar 29.6% hingga 69.2%).

Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak ada perbedaan sarana penjualan berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun berdasarkan kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan sarana penjualan. Hal ini dikarenakan penjaja luar merupakan pedagang yang berjualan menetap sementara dan berkeliling sehingga lebih banyak menggunakan sarana penjualan pikulan, sedangkan kelompok penjual kantin hampir keseluruhan sarana seperti meja difasilitasi dari sekolah selain tempat yang telah dibuat sedemikian rupa untuk masing-masing penjaja kantin. Sebaran responden menurut sarana penjualan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran responden menurut sarana penjualan Wilayah Status Akreditasi Kelompok Penjual

Kota Kab A B Kantin Penjaja

Luar Total Sarana Penjualan n % n % n % n % n % n % n % Gerobak 9 45.0 8 29.6 6 31.6 11 39.3 1 7.7 16 47.1 17 36.2 Meja 3 15.0 8 29.6 6 31.6 5 17.9 9 69.2 2 5.9 11 23.4 Pikulan 7 35.0 9 33.3 4 21.1 12 42.9 - - 16 47.1 16 34.0 Lemari Display 1 5.0 2 7.4 3 15.8 - - 3 23.1 - - 3 6.4 Total 20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 13 100.0 34 100.0 47 100.0 Profil PJAS

Profil PJAS merupakan gambaran pangan jajanan anak sekolah yang meliputi jenis pangan, kemasan, dan jenis register. Secara keseluruhan jenis pangan yang paling banyak dijual adalah makanan camilan sebesar 67.1% dan sebagian kecil (2.2%) menjual buah. Berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual sebagian besar responden menjual makanan camilan dengan persentase bekisar antara 53.7% hingga 75.9%. Hal ini mencerminkan bahwa banyaknya penjaja PJAS menjual makanan camilan disebabkan karena anak sekolah dasar umumnya lebih menyukai makanan camilan sebagai makanan jajanan dibanding jenis pangan lainnya di sekolah. Sebaran profil PJAS menurut jenis pangan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran profil PJAS berdasarkan jenis pangan Profil PJAS Wilayah Status Akreditasi Kelompok Penjual

Kota Kab A B Kantin Penjaja

Luar Total Jenis Pangan n % n % n % n % n % n % n % Makanan Sepinggan 7 4.5.0 15 7.0 11 7.5 11 4.9 18 9.4 4 2.2 22 5.9 Camilan 102 65.0 147 68.7 79 53.7 170 75.9 113 59.2 136 75.6 249 67.1 Minuman 48 31.0 44 20.6 57 38.8 35 15.6 60 31.4 32 17.8 92 24.8 Buah 0 0 8 3.7 0 0 8 3.6 0 0 8 4.4 8 2.2 Total 157 100.0 214 100.0 147 100.0 224 100.0 191 100.0 180 100.0 371 100.0

Jenis kemasan pangan jajanan anak sekolah bervariasi, sebagian besar kemasan yang paling banyak digunakan oleh penjaja PJAS adalah plastik dengan persentase 78.4% dan yang paling sedikit digunakan adalah sterofoam

dan cup plastik dengan persentase yang sama sebesar 0.3%. Penggunaan kemasan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual sebagian besar menggunakan plastik dengan persentase berkisar antara 70.1% hingga 83.9%. Hal ini disebabkan karena plastik merupakan kemasan yang paling praktis, sehingga penjaja lebih memilih plastik sebagai kemasan makanan jajanan yang dijual. Sebaran profil PJAS menurut kemasan disajikan pada Gambar 6.

Dengan diberlakukannya UU. No. 8 Tahun 1999 yang memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak kepada pelaku usaha yang tidak benar atau informasi yang menyesatkan melalui label. Register pangan merupakan bagian dari label pangan, oleh karena itu label pangan yang merupakan informasi produk harus jelas dan benar mengenai produk yang bersangkutan. Informasi pada label pada label yang tidak benar dapat menyebabkan kejadian yang dapat berakibat fatal bagi konsumen .

Gambar 6 Profil Kemasan PJAS Gambar 7 Profil Register PJAS Menurut hasil penelitian BPOM 2008, jenis register pangan diikelompokkan menjadi MD (produk dalam negeri), ML (produk luar negeri), SS (siap saji), TTD (tidak terdaftar), dan PIRT (industri rumah tangga). Untuk jenis register umumnya memiliki register MD sebanyak 68.5% dan register makanan yang paling sedikit adalah register PIRT. Profil PJAS menurut register berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual sebagian

besar menggunakan register MD dengan persentase berkisar antara 63.3% hingga 71.9%. Makanan jajanan yang paling banyak dijual yaitu dengan register MD, yang berarti makanan ini diproduksi di dalam negeri dan sudah terdaftar. Register pangan merupakan keterangan yang terdapat di kemasan pangan yang menunjukkan keamanan suatu pangan. Jika pangan yang tidak memiliki register atau tidak terdaftar maka pangan tersebut tidak dapat dijamin keamanannya.

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman responden tentang gizi dan keamanan pangan. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang berpengaruh terhadap praktek dalam pemilihan pangan, pengolahan dan penyimpanan pangan (Andarwulan et al 2008). Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan keamanan pangan Wilayah Status Akreditasi Kelompok Penjual Total

Kota Kab A B Kantin Penjaja Luar

Pengetahuan n % n % n % n % n % n % n % 1. Gizi Baik 2 10.0 6 22.2 4 21.1 4 14.3 4 30.8 4 11.8 8 17.0 Sedang 3 15.0 4 14.8 4 21.1 3 10.7 2 15.4 5 14.7 7 14.9 Kurang 15 75.0 17 63.0 11 57.9 21 75.0 7 53.8 25 73.5 32 68.1 Total 20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 13 100.0 34 100.0 47 100.0 2. Keamanan Pangan Baik 4 20.0 9 33.3 6 31.6 7 25.0 5 38.5 8 23.5 13 27.7 Sedang 6 30.0 13 48.1 6 31.6 13 46.4 5 38.5 14 41.2 19 40.4 Kurang 10 50.0 5 18.5 7 36.8 8 28.6 3 23.1 12 35.3 15 31.9 Total 20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 13 100.0 34 100.0 47 100.0

3. Gizi & Keamanan Pangan

Baik 3 15.0 7 25.9 5 26.3 5 17.9 4 30.8 6 17.6 10 21.3

Sedang 5 25.0 7 25.9 4 21.1 8 28.6 3 23.1 9 26.5 12 25.5

Kurang 12 60.0 13 48.1 10 52.6 15 53.6 6 46.2 19 55.9 25 53.2

Total 20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 13 100.0 34 100.0 47 100.0 Pengetahuan yang diteliti terdiri dari dua bagian yaitu pengetahuan gizi dan pengetahuan keamanan pangan. Pengetahuan gizi dan keamanan pangan dianalisis menggunakan uji beda berdasarkan wilayah, status akreditasi dan kelompok penjual, secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3. Pengetahuan gizi responden berdasarkan wilayah memperoleh skor rata-rata di kota (50) lebih rendah daripada di kabupaten (59.3), responden pada status akreditasi memperoleh skor rata-rata pengetahuan gizi pada akreditasi A (59) lebih baik daripada akreditasi B (52.9), sedangkan pada kelompok penjual memperoleh

skor rata-rata pengetahuan gizi pada kantin (63.1) lebih tinggi daripada penjaja luar (52.4). Secara keseluruhan umumnya pengetahuan gizi masih kurang sebesar 68.1% dan persentase terkecil adalah berpengetahuan sedang 14.9%. Berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual sebagian besar pengetahuan gizi responden berkategori kurang dengan persentase berkisar antara 53.8% hingga 75% responden. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan pengetahuan gizi baik berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. Hal ini diduga karena tingkat pendidikan dari responden yang relatif sama yaitu SD pada Tabel 6, walaupun jika dilihat berdasarkan skor rata-rata pengetahuan gizi sedikit berbeda antara wilayah, status akreditasi dan kelompok penjual.

Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi responden (r=0.463**, p=0.001). Artinya bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan

Dokumen terkait