• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman

1. Beberapa bakteri asam laktat yang penting pada proses ensilase ... 11 2. Keunggulan Itik Mojosari Alabio ... 16 3. Rekomendasi kebutuhan gizi pakan itik berdasar umur ... 16 4. Rataan pH, koloni bakteri asam laktat (BAL), total asam pada minggu ke 4 ... 25 5. Persentase pakan pada saluran pencernaan itik setelah 4 jam pencekokan... 30 6. Kandungan protein kasar silase ransum komplit (100% BK)... 31 7. Performa itik yang diberi silase dengan kadar air berbeda ... 33

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kurva pertumbuhan bakteri... 7 2. Lactobacillus... 9 3. Pengaruh kadar air terhadap pertumbuhan mikroorganisme ... 13 4. Bagan alur kegiatan penelitian... 24 5. pH silase dengan kadar air dan waktu penyimpanan berbeda... 26 6. Koloni BAL silase dengan kadar air dan waktu penyimpanan berbeda ... 27 7. Total asam silase dengan kadar air dan waktu penyimpanan berbeda ... 29

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Analisis kualitas silase ransum komplit berbahan baku lokal... 42 2. Analisis uji laju alir pakan... 44 3. Analisis pengaruh pemberian silase terhadap performa itik Mojosari Alabio

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemakaian bahan baku pakan lokal dalam industri pakan khususnya pakan unggas, masih sangat terbatas. Selain karena kualitas dan ketersediaan yang tidak terjamin, saat ini pakan lokal mempunyai harga yang relatif lebih mahal dari impor. Upaya untuk meningkatkan pemakaian pakan lokal telah dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Namun upaya ini belum sepenuhnya berhasil, karena adanya faktor- faktor pendukung yang belum diperhatikan seperti penyediaan sarana, prasarana, dan teknologi.

Terkait dengan teknologi pasca panen, dipandang perlu untuk mencari terobosan teknologi yang murah, sederhana, dan mempunyai fungsi ganda. Dibandingkan dengan teknologi pengeringan, teknologi fermentasi anaerob menjadi silase lebih menjanjikan untuk diterapkan di Indonesia.

Pembuatan silase ransum komplit selain untuk pengawetan juga dimaksudkan agar bahan baku pasca panen yang berkadar air tinggi langsung dapat digunakan, sehingga secara aplikatif teknologi ini dapat memotong jalur produksi pakan menjadi lebih singkat. Bahan baku yang dijadikan silase dari bahan bukan hijauan untuk pakan unggas telah diteliti, namun baru terdiri atas satu atau dua bahan baku saja, misalnya silase ikan (Indriati 1983) atau silase ikan-gaplek (Ridla et al. 2001).

Kajian pendahuluan penggunaan ransum silase berkadar air 50% pada ayam broiler umur 1-5 minggu, menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dalam hal pertambahan bobot badan dan konversi ransum dibandingkan dengan ransum bentuk kering. Meskipun demikian konsumsi ransum nyata menurun (Ramli 2005). Lebih jauh performa organ-organ vital ayam yang mendapat ransum silase tidak menunjukkan kelainan, yang mencerminkan amannya ransum silase untuk unggas. Terkait dengan kajian tersebut, maka kajian ransum silase berbahan baku lokal pada itik penting untuk dilakukan dalam rangka menggali informasi- informasi lain yang diperlukan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengkaji pengaruh kandungan air terhadap kualitas silase ransum komplit, (2) mempelajari laju alir pakan silase pada saluran pencernaan itik, (3) mengevaluasi efek pemberian silase ransum komplit terhadap performa itik.

Manfaat Penelitian

Menciptakan tren baru teknologi pakan unggas di Indonesia agar terwujudnya ketahanan pakan, sehingga secara tidak langsung mendukung ketahanan pangan. Mengatasi krisis air dengan cara menggunakan kadar air yang ada pada bahan baku pakan.

Hipotesis

1. Semakin tinggi kadar air silase maka kualitas silase semakin baik.

2. Laju alir pakan silase semakin cepat seiring dengan peningkatan kadar air.

3. Performa itik yang diberi silase ransum komplit tidak berbeda dengan ransum kontrol.

TINJAUAN PUSTAKA

Silase

Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi anaerob dengan kandungan air yang tinggi. Ensilase adalah prosesnya, sedangkan tempat pembuatannya dinamakan silo (Sapienza & Bolsen 1993). Silase dapat dibuat dari berbagai jenis hasil panen. McDonald et al. (1991) menuliskan bahwa silase merupakan bahan pakan yang diproduksi secara fermentasi, yaitu dengan cara pencapaian kondisi anaerob. Bolsen et al. (2000) menambahkan bahwa silase adalah bahan pakan yang diproduksi melalui proses fermentasi, bahan tersebut berupa tanaman, hijauan, limbah pertanian yang mengandung kadar air lebih dari 50%.

Karakteristik dari hasil panen ideal yang dapat dibuat silase adalah yang mengandung kecukupan substrat untuk proses fermentasi, yaitu dalam bentuk karbohidrat yang terlarut dalam air (water soluble carbohydrates = WSC), kapasitas buffer yang relatif rendah dan kandungan bahan kering di atas 200 g /kg. Idealnya dapat dipadatkan pada saat dimasukkan ke silo setelah dipanen. WSC tergantung pada spesies, masa penanaman bahan, tahap pertumbuhan, iklim, dan level penyubur tanaman yang dipakai. Kapasitas buffer adalah kemampuan untuk mempertahankan perubahan pH (McDonald et al. 1991).

Pembuatan silase tidak tergantung pada musim. Keberhasilan pembuatan silase berarti memaksimalkan nutrien yang dapat diawetkan (Sapienza & Bolsen 1993). Schroeder (2004) menyatakan ba hwa silase dapat mengurangi tenaga kerja dan kehilangan nutrisi dengan proses fermentasi yang akhirnya akan mengawetkan hasil panen. Balitbang (2003) mengungkapkan bahwa pembuatan silase dapat mengatasi kekurangan pakan ternak pada musim kemarau serta mena mpung kelebihan produksi pakan atau memanfaatkan pakan pada saat pertumbuhan terbaik. Silase dapat memaksimalkan feed intake dan mengurangi pencemaran udara (Pieper 1996).

Prinsip penting dalam pembuatan silase adalah mempercepat terjadinya kondisi anaerob dan mempercepat terbentuknya suasana asam. Faktor yang

mendukung prinsip tersebut adalah: tahap kematangan bahan pada saat dipanen, tipe fermentasi yang terjadi pada saat penyimpanan di silo, tipe penyimpanan yang digunakan, serta metode panen dan saat pemberian silase pada ternak (Schroeder 2004). Pieper (1996) menuliskan proses fermentasi yang optimum pada silase juga dipengaruhi oleh lingkungan. Kualitas silase dipengaruhi oleh faktor biologi yaitu tahap kematangan bahan pakan juga teknologi yang dipergunakan saat pembuatan silase (Bolsen et al. 2000).

Ensilase

Ensilase adalah nama yang diberikan untuk proses yang terjadi saat silase disimpan di tempat penyimpanan (silo). Selama proses ensilase sejumlah asam diperoleh sebagai hasil fermentasi WSC. Walaupun kandungan protein, asam amino dan asam organik dapat memenuhi fungsi sebagai substrat fermentasi, struktur karbohidrat adalah sumber utama substrat yang dibutuhkan (McDonald et al. 1991). Secara tidak langsung proses ensilase berfungsi untuk mengawetkan komponen nutrien dalam silase. Semakin cepat pH turun semakin dapat ditekan enzim proteolisis yang bekerja pada protein, mikroba yang tidak diinginkan semakin cepat terhambat, dan kecepatan hidrolisis polisakarida semakin meningkat hingga menurunkan serat kasar silase (Sapienza & Bolsen 1993).

Tujuan utama dari ensilase adalah mencegah kembali masuknya dan sirkulasi udara selama penyimpanan. Jika terjadi kontak kembali dengan oksigen, maka aktivitas mikroba aerob akan terjadi sehingga dapat menyebabkan kerusakan material bahan dan selanjutnya akan memproduksi racun. Tujuan kedua adalah untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan seperti Clostridia karena akan memproduksi asam butirat dan merusak asam amino hingga menurunkan nilai nutrisi silase (McDonald et al. 1991).

Secara garis besar proses pembuatan silase terdiri atas 4 fase yaitu: (1) fase aerob, (2) fase fermentasi, (3) fase stabil, dan (4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Fase aerob pada pemb uatan silase terdiri dari dua macam proses yaitu proses respirasi dan proses proteolisis yang disebabkan oleh adanya aktivitas enzim

yang berada pada bahan. Dampak negatif dari fase aerob dapat dihindarkan dengan cara penutupan silo yang dilakukan dalam waktu yang singkat dan cepat (Sapienza & Bolsen 1993). Fase aerob atau fase respirasi yang terjadi di awal ensilase melibatkan 3 proses penting yaitu: glikolisis, siklus kreb, dan rantai respirasi. Glikolisis menghasilkan 2 ATP, siklus kreb menghasilkan 2 ATP, sedangkan rantai respirasi menghasilkan 34 ATP. Suatu sel yang melakukan respirasi akan menghasilkan energi dua puluh kali lebih banyak dari pada sel yang mengalami fermentasi. Proses respirasi ini membakar karbohidrat dan memproduksi panas, sehingga waktu yang digunakan untuk fase ini harus diminimalkan.

Prinsip fermentasi adalah tercapainya kondisi anaerob (McDonald et al. 1991). Pada fase fermentasi (respirasi anaerobik) menghasilkan 2 ATP per 1 molekul glukosa (Winarno & Fardiaz 1979). Fase fermentasi dicapai saat keadaan anaerobik, maka mikroba anaerob mulai tumbuh. Bakteri asam laktat (BAL) adalah mikroflora yang terpenting tumbuh karena pakan ternak akan diawetkan oleh asam laktat yang diproduksinya. Mikroorganisme yang lain seperti Enterobacteriaceae, spora clostridia, ragi dan kapang memiliki pengaruh yang negatif pada kualitas silase. Mikroorganisme ini berkompetisi dengan (BAL) untuk memfermentasi karbohidrat dan memproduksi senyawa yang mengganggu proses pengawetan pakan ternak (Bolsen et al. 2000).

Fase awal fermentasi silase yaitu saat pertumbuhan bakteri yang menghasilkan asam asetat terjadi. Bakteri ini memfermentasi karbohidrat terlarut dan menghasilkan asam asetat sebagai hasil akhirnya. Produksi asam asetat akan menurunkan pH, hingga pertumbuhannya akan terhambat bila pH di bawah 5. Hal ini sebagai pertanda bahwa fase awal fermentasi berakhir dan akan dilanjutkan dengan fermentasi berikutnya. Penurunan pH terus berlangsung sehingga meningkatkan pertumbuhan kelompok bakteri anaerob yang lain, kelompok bakteri ini menghasilkan asam laktat. BAL memfermentasi karbohidrat terlarut. Pengawetan silase yang efisien terdiri lebih dari 60% asam laktat sebagai asam organik yang diproduksi. Fase ini adalah fase terpanjang pada proses ensilase dan akan terus berlangsung sampai dicapai pH yang cukup rendah untuk pertumbuhan semua

bakteri. Ketika pH ini dicapai maka bahan pakan akan tahan disimpan. Tidak akan terjadi proses kerusakan sepanjang silase tetap terpelihara dari udara (Schroeder 2004).

Masa fermentasi aktif berlangsung selama 1 minggu sampai 1 bulan. Hijauan yang dibuat silase dengan kandungan air 65% masuk dalam kategori ini, sedangkan bila kandungan air lebih rendah dari 40-50% proses fermantasi berlangsung sangat lambat. Fermentasi normal dengan kandungan air 55-60% masa fermentasi aktif akan berakhir antara 1-5 minggu. Fermentasi akan terhenti disebabkan kehabisan substrat gula untuk proses fermentasi (Sapienza & Bolsen 1993). Pada saat ini silase telah terfermentasi dan dapat terus bertahan selama beberapa tahun sepanjang silase tidak kontak dengan udara.

Masa aktif pertumbuhan BAL berakhir karena berkurangnya WSC, maka ensilase memasuki fase stabil. BAL memfermentasi gula yang dirombak dari hemiselulosa, sehingga menyebabkan lambatnya penurunan pH. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kekuatan silo dalam mempertahankan suasana anaerob (Bolsen et al. 2000). Pada fase stabil proses pertumbuhan dan kematian BAL seimbang, sehingga tidak terjadi lagi peningkatan asam laktat yang diproduksinya. Di samping itu sejumlah bakteri Clostridia dimungkinkan tumbuh, hal ini akan kembali menaikkan pH (Schroeder 2004).

Fase pengeluaran untuk pakan ternak dilakukan setelah silase melewati masa simpan yang cukup. Menurut Schroeder (2004) hampir 50% bahan kering dirusak oleh mikroba aerob yang menyebabkan kebusukan, terjadi pada fase ini. Oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase, kehilangan bahan kering terjadi karena mikroorganisma aerob akan mengkonsumsi gula, hasil akhir fermentasi dan nutrien terlarut lainnya dalam silase (Sapienza & Bolsen 1993).

Bolsen et al. (2000) menuliskan tentang penelitian yang menunjukkan silase per hari mengalami kehilangan bahan kering sekitar 1.5-3.0% tiap meningkatnya suhu 8-120C pada fase pemberian pada ternak. Pada fase terjadi pula peningkatan pH dengan kisaran peningkatan 4.0-7.0 dengan konsentrasi pertumbuhan ragi dan kapang yang cukup tinggi.

Tahapan yang terjadi saat terjadinya ensilase ini erat hubungannya dengan fase pertumbuhan yang dialami bakteri. Fase pertumbuhan bakteri terdiri dari 4 fase. Fase-fase tersebut adalah: (1) fase adaptasi (lag phase), (2) fase pertumbuhan logaritmik atau fase pertumbuhan cepat (log phase), (3) fase stabil (stationary phase), dan (4) fase kematian (death phase) (Crueger & Crueger 1984).

Fase adaptasi adalah fase saat mikroba mulai beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan mulai kebagian fase pertumbuhan cepat (logarithmic phase or exponential phase), selanjutnya mencapai populasi yang maksimum dan memasuki fase stabil (stationary phase) di mana terjadi jumlah yang sama besar antara bakteri yang masih mampu membelah diri dan tidak mampu membelah diri lagi. Akhirnya fase pertumbuhan bakteri memasuki fase kematian (death phase) ( Moat et al. 2002).

Fase-fase pertumbuhan bakteri mulai dari awal pertumbuhan sampai akhirnya mati dapat dilihat pada Gambar 1, di bawah ini.

Gambar 1 Kurva pertumbuhan bakteri.

Kualitas Silase

Kualitas silase dicapai ketika asam laktat sebagai asam yang domina n diproduksi, menunjukkan fermentasi asam yang efisien ketika penurunan pH silase terjadi dengan cepat. Semakin cepat fermentasi terjadi, semakin banyak nutrisi yang dikandung silase dapat dipertahankan (Schroeder 2004). Lebih jauh dituliskan pula

1 2

3

4

bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas silase secara umum adalah: kematangan bahan dan kadar air, besar partikel bahan, penyimpanan pada saat ensilase, dan aditif.

Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kualitas silase yaitu: (1) karakteristik bahan (kandungan bahan kering, kapasitas buffer, struktur fisik, dan varietas), (2) tata laksana pembuatan silase (besar partikel, kecepatan pengisian ke silo, kepadatan pengepakan, dan penyegelan silo), (3) keadaan iklim (misalnya suhu dan kelembaban) (Sapienza & Bolsen 1993). Menurut Bolsen et al. (2000) silase yang baik ketika nilai nutrisi yang dikandungnya masih tinggi. McDonald et al. (1991) menuliskan bahwa kualitas silase tidak hanya dilihat dari pengawetan nilai nutrisi saja, tetapi juga berapa banyak silase tersebut kehilangan bahan kering.

Bakteri Asam Laktat

Mikroba penghasil asam laktat ditemukan pertama kali pada tahun 1880 (Crueger & Crueger 1984). Bakteri asam laktat (BAL) adalah bakteri yang mampu memproduksi asam laktat, merupakan bakteri gram positif, dengan memfermentasi gula sebagai fungsi utamanya untuk memproduksi asam laktat (McDonald et al. 1991). Bakteri asam laktat pada umumnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Pada golongan homofermentatif hasil fermentasi terbesar merupakan asam laktat yaitu sekitar 90%, sedangkan pada heterofermentatif jumlah asam laktat yang dihasilkan kurang dari 90% atau seimbang dengan hasil lainnya seperti asam asetat, etanol, CO2 dan sebagainya (Moat et al. 2002).

Ciri khusus dari bakteri asam laktat adalah toleransinya terhadap asam tinggi. Mampu hidup dengan kisaran pH 4.0-6.8, walau ada spesies yang mampu tumbuh pada pH 3.5 yaitu Pediococcus damnosus. Bakteri asam laktat (BAL) yang biasa dan dominan ada pada proses ensilase adalah Streptococci dan Lactobacilli, dengan Lactobacillus plantarum paling sering diisolasi untuk digunakan pada pembuatan silase. Di antara semua BAL, L. plantarum yang termudah dan cepat membentuk koloni pada fase awal ensilase, tahan bersaing dan menghasilkan sejumlah asam laktat dengan cepat (McDonald 1991).

Gambar 2 Lactobacillus (Sumber: Universite Libre de Bruxelles 2005).

Bakteri L. plantarum berbentuk batang gram positif dan tidak membentuk spora. Mampu memfermentasi gula susu menjadi asam laktat dan asam-asam lain. Bersifat anaerobik fakultatif dengan habitat produk persusuan, produk-produk dari daging dan butiran, air, limbah, rongga mulut, vagina, serta saluran pencernaan hewan dan manusia (Pelczar & Chan 1986). L. plantarum dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan mengurangi infeksi dan kehadiran bakteri ini pada usus diduga dapat mengurangi penyerapan cholesterol (Ramberg 2000).

Lactobacillus plantarum mempunyai kelebihan lain yaitu toleran terhadap udara, karena merupakan bakteri fermentatif yang tidak berinteraksi dengan molekul oksigen. Tingginya konsentrasi Mn2+ pada intraseluler L. plantarum, membantu organisme ini membunuh anion superoksida (Moat et al. 2002). Jika suatu organisme mampu tumbuh saat adanya oksigen, maka produk racun seperti hidrogen peroksida dapat tumbuh melalui autooksidasi dari berkurangnya FAD, dan radikal hidroksil akan terbentuk melalui interaksi campuran ini dengan superoksida. BAL dapat memelihara diri dari racun tersebut. Pada bakteri anaerob fakultatif memiliki enzim superoksida dismutase sehingga dapat mengeluarkan enzim peroksidase.

Bakteri asam laktat yang ditambahkan pada fermentasi silase telah dipelajari dan diteliti sejak 1987-1989 menghasilkan lebih dari 50 karya ilmiah. Bakteri yang diinokulasi berhasil menurunkan pH sampai 90%, dengan rasio asam laktat lebih

tinggi dari pada asam asetat, ethanol dan kandunga n amonia yang lebih rendah. Inokulasi BAL sampai 4.2 x 105 cfu per gram silase memperlihatkan penurunan pH yang lebih baik dari pada inokulasi BAL 1.4 x 105 cfu per gram silase. Bahan pakan pasca panen sebelum ditambahkan BAL mengandung sekitar 106 cfu per gram (Bolsen et al. 2000). Kung (2006) menuliskan hasil- hasil penelitian yang menyarankan agar inokulasi yang terbaik dengan kisaran 1 x 105 cfu per gram silase merupakan perbandingan yang cukup dan efisien antara jumlah dan biaya.

Lactobacillus plantarum yang ditambahkan 5-10% (dengan kandungan 1.05 x 109 CFU) pada silase limbah udang pada suhu 20-300C berhasil menurunkan pH dari 7 pada hari pertama, menjadi 4.52-4.05 setelah 3 hari proses ensilase. Silase limbah udang yang tidak diinokulasi sebagai kontrol berhasil mencapai pH tersebut pada hari ke 10 (Lien et al. 2005).

Tujuan utama dari penambahan BAL pada silase adalah untuk meningkatkan asam laktat yang diproduksi, dengan meningkatnya produksi asam laktat maka semakin baiklah pengawetan bahan yang dibuat silase. Hal inilah yang menyebabkan harga inokulan silase per ton ditentukan berdasarkan nilai bahan kering yang dapat diawetkannya. Peningkatan pengawetan bahan kering dari silase yang diinokulasi BAL mencapai 5%. Namun silase yang mengandung karbohidrat tinggi belum menunjukkan hasil pengawetan bahan kering yang konsisten terhadap inokulasi BAL (Schroeder 2004).

Beberapa bakteri asam laktat yang berperan dalam proses ensilase dapat dilihat pada Tabel 1. BAL yang diperlihatkan pada tabel lengkap dengan jenis fermentasi yang dilakukan, bentuk serta spesies.

Tabel 1 Beberapa bakteri asam laktat yang penting pada proses ensilase

Genus Fermentasi Glukosa Bentuk Spesies

Lactobacillus Homofermentatif Batang L. acidophilus L. casei

L. coryniformis L. curvatus L. plantarum L. salivarius Heterofermentatif Batang L. brevis

L. buchneri L. fermentum L. viridescens Pediococcus Homofermentatif Coccus P. acidilactici

P. damnosus (cereviceae) P. pentosaceus

Enterococcus Homofermentatif Coccus E. faecalis E. faecium Lactococcus Homofermentatif Coccus L. lactis Streptococcus Homofermentatif Coccus S. bovis

Leuconostoc Heterofermentatif Coccus L. mesenteroides Sumber: McDonald et al. (1991).

Asam Laktat

Asam laktat yang diproduksi oleh BAL merupakan asam organik yang diperoleh lewat proses fermentasi. Ada asam organik yang diperoleh langsung dari siklus kreb, ada juga hasil pemecahan dari glukosa, dan juga sebagai hasil akhir dari piruvat seperti asam laktat, ethanol dan asam asetat. Secara teori 2 mol asam laktat diperoleh dari 1 mol glukosa (Crueger & Crueger 1984).

Menurut Mathews et al. (2000) asam laktat adalah asam organik yang diperoleh melalui proses fermentasi piruvat yang dihasilkan dari jalur glikolisis (protein, asam nukleat, karbohidrat, dan lipid). Pada keadaan anaerob BAL menggunakan NADH mereduksi piruvat menjadi asam laktat yang dikatalisis oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH). Piruvat harus direduksi menjadi laktat ketika jaringan kekurangan oksigen untuk mengoksidasi semua NADH yang terbentuk dalam glikolisis. Selanjutnya laktat mengalami 2 proses metabolisme yaitu: (1) asam laktat diubah kembali menjadi glukosa melalui jalur glukoneogenesis, (2) laktat masuk ke dalam jalur respirasi.

Kadar Air

Kadar air bahan ditentukan melalui kehilangan berat selama pengeringan di dalam oven dengan waktu 4 jam dan suhu 1030C. Namun untuk campuran bahan biasanya kadar air ditentukan melalui prosedur 4 jam pengeringan dengan suhu 80-850C (Close & Menke 1986). Menurut Winarno (1992) penetapan kandungan kadar air tergantung dari sifat bahannya, pada umumnya kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-1100C selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diua pkan. Penentuan kadar air dengan bahan yang berkadar air tinggi dan mengandung senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatile) menggunakan cara destilasi dengan pelarut tertentu, misalnya toluen, xilol, dan heptana yang berat jenisnya lebih rendah dari pada air.

Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisma untuk pertumbuhannya (Winarno 1992).

Kadar air yang terdapat pada silase mempengaruhi cepat atau lambatnya proses fermentasi. Hijauan yang dibuat silase dengan kadar air 65% menyebabkan fase fermentasi aktif berlangsung selama 1 minggu sampai 1 bulan, sedangkan bila kadar air 40-50% proses fermentasi berjalan sangat lambat. Fermentasi normal

dengan kandungan air 55-60% (Sapienza & Bolsen 1993). Semakin basah hijauan yang disilase semakin banyak panas yang dibutuhkan dan semakin cepat kehilangan bahan kering.

McDonald et al. (1991) menuliskan beberapa kerugian yang dihasilkan dalam pembuatan silase yang berkadar air tinggi yaitu: (1) dapat mengundang fermentasi

yang dilakukan oleh Clostridia, (2) Intake bahan kering menjadi rendah, (3) susah pengepakan dan penanganannya. Pada pengawetan pangan dengan cara pengeringan pengendalian kadar air sangat ketat dilakukan untuk mencegah tumbuhnya bakteri berspora (Syarief & Halid 1993). Pada pembuatan silase rumput, pengurangan kadar air dilakukan dengan cara pelayuan (McDonald et al. 1991).

Gambaran dari hubungan kadar air dengan mutu penyimpanan bahan pangan dapat dilihat pada Gambar 3. Pengaruh kadar air tersebut menggambarkan semakin tinggi kadar air maka pertumbuhan bakteri semakin subur, dengan demikian di dalam pengawetan bahan pangan hal ini harus diperhatikan. Penanganan bahan pakan juga harus memperhatikan hal demikian (Syarief & Halid 1993).

Gambar 3 Pengaruh kadar air terhadap pertumbuhan mikroorganisme.

Air (pelarut) Kelembaban relative (%) 0 5 10 15 20 Enzim Kapang Khamir Bakteri

Kadar air mempengaruhi jumlah bakteri dan laju fermentasi. Pelayuan akan menunda berkembangnya bakteri pada silase rumput, sedangkan penambahan air ke dalam bahan pada permulaannya akan merangsang pertumbuhan bakteri, khususnya Lactobacillus dan organisme gram negatif. Lactobacillus spesies heterofermentatif yang terdapat dalam silase berkadar air tinggi ada sebanyak 75% dan silase berkadar air rendah ada sebanyak 98% (McDonald et al. 1991). Menurut Schroeder (2004) penambahan kadar air pada silase dibutuhkan untuk memudahkan proses pemadatan saat pengepakan silase. Penambahan kadar air juga akan mengurangi kehilangan bahan kering silase.

Jika karbohidrat yang terlarut dalam air tinggi pada silase yang berkadar air tinggi, maka BAL akan sangat aktif sehingga meningkatnya kandungan asam laktat menurunkan pH. Artinya proses fermentasi menjadi terhambat saat kadar air menurun, sehingga pH akan meningkat sedangkan asam laktat, asam asetat, dan asam butirat lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan asam amino menjadi menurun karena aktivitas Clostridia dan enterobacteria akan berkurang seiring menurunnya kadar air (McDonald et al. 1991).

Laju Alir Pakan pada Saluran Pencernaan Itik

Laju alir pakan pada saluran pencernaan erat kaitannya dengan penyerapan pakan. Pencernaan karbohidrat terjadi dimulai dari tembolok yang terjadi sangat cepat, sedangkan aktivitas enzim tertinggi untuk penyerapan karbohidrat terjadi di