• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Tentang Kompetensi Mengadili

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) junctis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844, selanjutnya disebut UU 12/2008), Pasal 29 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

Semula, berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No 32 Tahun 2004, keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon diajukan ke Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung tersebut, dicantumkan lagi dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum ditentukan, “Pemilihan Umum Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; Pasal 236C UU 12/2008 menetapkan, “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan”; Pada tanggal 29 Oktober 2008,

Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi bersama-sama telah menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 di atas;

Bahwa merujuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PHPU.U-X/2012 (Bukti T-1) dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menyatakan bahwa:

“pelanggaran-pelanggaran di dalam sengketa Pemilukada dapat dikategorikan ke

dalam beberapa pelanggaran Pemilu ataupun pelanggaran Pemilukada seperti pelanggaran administratif dan tindak pidana Pemilu, misalnya money politic, intimidasi, dan penganiayaan. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jenis-jenis pelanggaran tersebut masing-masing ditangani oleh instansi yang fungsi dan wewenangnya telah ditentukan oleh Undang-Undang”;

Bahwa Pemohon dalam Surat Keberatannya pada halaman 7 Poin 2 (Pokok-Pokok Permohonan) mendalilkan: “Bahwa alasan permohonan keberatan

Pemohon didasarkan karena telah terjadi pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana yang bersifat massif, terstruktur dan sistematis dalam proses pemilukada Kota Lubuklinggau...”

Bahwa berdasarkan alasan Pemohon di atas maka merujuk kembali pada pertimbangan hukum Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PHPU.D-X/2012 yang menyatakan bahwa Pelanggaran Administratif dan Pelanggaran Pidana masing-masing ditangani oleh instansi yang fungsi dan wewenangnya telah ditentukan oleh Undang-undang, dengan demikian Pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana bukanlah menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya;

Bahwa selanjutnya dalam pertimbangan hukum perkara a quo, Mahkamah berpendapat bahwa pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilu atau Pemilukada atau teknis pelaksanaannya yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan, maka hal ini sepenuhnya menjadi ranah peradilan umum dan/atau PTUN. Dan, Mahkamah menegaskan bahwa pembatalan hasil

Pemilu atau Pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sama sekali tidak dimaksudkan oleh Mahkamah untuk mengambil alih kewenangan badan peradilan lain, maka terhadap pelanggaran administratif atau pelanggaran Pasal 23 ayat (4) Peraturan KPU No. 17 Tahun 2010 adalah sepenuhnya kewenangan peradilan umum untuk mengadilinya, kecuali jika Pemohon dapat membuktikan dan memberi keyakinan hakim bahwa akibat pelanggaran Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2010 itu telah sangat signifikan mempengaruhi perolehan suara Pemohon.

Berdasarkan uraian di atas, sudah patut kiranya Majelis untuk menyatakan bahwa Permohonan Keberatan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima karena Pelanggaran Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2010 adalah bukan termasuk kompetensi Mahkamah untuk mengadilinya.

2. Permohonan Pemohon Salah Subjek (Error in Persona)

ƒ Bahwa Pemohon dalam Surat Keberatannya mendalilkan dalil sebagai berikut: “Bahwa dalam Pemilukada Kota Lubuklinggau juga ditemukan berbagai macam

bentuk intimidasi yang dilakukan oleh Calon Nomor 3, Tim Sukses dan atau tim pemenangan Pasangan Ca/on Nomor 3, sehingga menguntungkan pasangan calon nomor urut 3”

ƒ Bahwa dari dalil Pemohon yang telah kami kutip di atas, sangat kontradiksi/tidak bersesuaian dengan “perihal” yang dimohonkan oleh Pemohon mengenai Keberatan Terhadap Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Lubuklinggau oleh Komisi Pemilihan Umum yang dalam perkara ini sebagai Termohon;

ƒ Bahwa dalam Perkara ini Pemohon telah salah subjek (error in persona) terhadap Pihak yang dimohonkan Keberatannya oleh Pemohon. Karena, dari dalil Pemohon yang telah kami kutip di atas, yang mana menurut dalil Pemohon telah terjadi intimidasi yang dilakukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3, maka dengan demikian telah terjadi kekeliruan yang sangat substansial yang dilakukan oleh Pemohon, yang seharusnya Pemohon mengajukan keberatan kepada Pasangan Calon Nomor Urut 3, Tim Sukses dan atau tim pemenangan Pasangan Calon Nomor Urut 3 dan bukanlah mengajukan keberatan kepada Termohon.

ƒ Bahwa dalil Pemohon pada halaman 8 huruf C tentang adanya Intimidasi yang dilakukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3, maka timbul pertanyaan bagi

kami, kepada siapa intimidasi itu dilakukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3 dan bagaimana bentuk intimidasi yang dilakukan?

ƒ Bahwa dalam konstitusi sangat jelas ditegaskan, Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukanlah berdasarkan kekuasaan (maachstaat), oleh sebab itu segala bentuk pelanggaran yang bersifat administratif, pidana, keperdataan, Tata Usaha Negara, telah dibentuk oleh negara masing-masing instansi yang mempunyai tugas dan kewenangannya sebagaimana yang telah diatur dalam perundang-undangan.

ƒ Bahwa dalam melaksanakan Proses Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Lubuklinggau, Termohon selaku penyelenggara berkoordinasi dengan institusi Penegak Hukum (Polri, Kejaksaan, Pengadilan Negeri) dan instansi Pemerintah serta Panitia Pengawas Pemilihan Umum, tujuannya adalah untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dengan asas umum, Iangsung, bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Maka, jika ada pelanggaran-pelanggaran berupa Pidana Pemilu dan/atau Pidana Umum maka tugas dan kewenangan Panitia Pengawas Pemilu serta Aparat Penegak Hukum yang akan melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana yang telah diatur perundang-undangan. Sehingga menurut hemat kami, adalah kekeliruan yang sangat substansial “jika benar” terjadi intimidasi tetapi perihal intimidasi tersebut tidak dilaporkan kepada Panitia Pengawas Pemilu dan Aparat Kepolisian untuk menindaklanjutinya. ƒ Bahwa oleh karena telah terjadi kekeliruan yang sangat substansial dalam

Keberatan Pemohon sehingga Permohonan Keberatan Pemohon adalah salah subjek (error in persona), sudah cukup alasan hukum bagi Majelis untuk menyatakan menolak keberatan Pemohon untuk seluruhnya;