• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksepsi Tentang Perbaikan Permohonan Pemohon adalah Merubah Permohonan Pemohon menjadi Permohonan Baru

B. Dalam Pokok Perkara

1. Eksepsi Tentang Perbaikan Permohonan Pemohon adalah Merubah Permohonan Pemohon menjadi Permohonan Baru

a. Bahwa Pemohon dalam Persidangan Pertama hari Rabu, 7 November 2012 telah mengajukan Perbaikan Permohonan Keberatan Terhadap Keputusan KPU Kota Lubuklinggau Nomor 47 Tahun 2012 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Lubuklinggau Tahun 2012; b. Bahwa antara permohonan Pemohon awal dengan perbaikan Permohonan

Pemohon telah terjadi perbedaan yang sangat signifikan dan substansial yang mana Pemohon telah merubah semua materi Permohonan sehingga menjadi materi permohonan baru;

c. Bahwa terhadap hal tersebut, dapat dikatakan Perbaikan Permohonan Pemohon sudah tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) huruf a Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2012 oleh karenanya permohonan Pemohon haruslah dinyatakan tidak dapat diterima; 2. Eksepsi tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi

a. Bahwa Pemohon dalam judul permohonannya serta dalam posita maupun petitum yang dimohonkan keberatan dan dimintakan pembatalannya adalah antara lain:

ƒ Surat Keputusan KPU Kota Lubuklinggau Nomor 47 Tahun 2012 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Dalam pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Lubuklinggau Tahun 2012;

ƒ Berita Acara Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Kota Lubuklinggau tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Lubuklinggau;

b. Bahwa Keputusan KPU Kota Lubuklinggau Nomor 47 Tahun 2012 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Dalam pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Lubuklinggau Tahun 2012, yang dimintakan pembatalan dan dinyatakan tidak sah adalah bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pembatalan atau menyatakan sah atau tidak sahnya melainkan Peradilan lain yakni Peradilan Tata Usaha Negara;

c. Terlebih lagi berdasarkan Pasal 4 Peraturan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008, bahwa Keputusan KPU Kota Lubuklinggau Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Dalam pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Lubuklinggau Tahun 2012 bukanlah merupakan objek Perselisihan Pemilukada;

d. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD1945), Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) junctis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844, selanjutnya disebut UU 12/2008), Pasal 29 ayat (1) huruf dUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

e. Semula, berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon

diajukan ke Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung tersebut, dicantumkan lagi dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum ditentukan, “Pemilihan Umum

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara Iangsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pasal 236C UU

12/2008 menetapkan, “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara

pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan betas) bulan sejak undang-undan ini diundang-undangkan; Pada tanggal 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah

Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi bersama-sama telah menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 di atas; f. Bahwa merujuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PHPU.D-X/2012

(Bukti T-1) dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menyatakan bahwa “pelanggaran-pelanggaran di dalam sengketa Pemilukada dapat

dikategorikan ke dalam beberapa pelanggaran Pemilu ataupun pelanggaran Pemilukada seperti pelanggaran administratif dan tindak pidana Pemilu, misalnya money politic, intimidasi, dan penganiayaan. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jenis-jenis pelanggaran tersebut masing-masing ditangani oleh instansi yang fungsi dan wewenangnya telah ditentukan oleh Undang-Undang”;

g. Bahwa berdasarkan alasan Pemohon di atas maka merujuk kembali pada pertimbangan hukum Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PHPU.D-X/2012 yang menyatakan bahwa pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana masing-masing ditangani oleh instansi yang fungsi dan wewenangnya telah ditentukan oleh Undang¬undang,

dengan demikian Pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana bukanlah menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya; h. Bahwa selanjutnya dalam pertimbangan hukum perkara a quo, Mahkamah

berpendapat bahwa pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilu atau Pemilukada atau teknis pelaksanaannya yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka hal ini sepenuhnya menjadi ranah peradilan umum dan/atau PTUN.

i. Dan, Mahkamah menegaskan bahwa pembatalan hasil Pemilu atau Pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sama sekali tidak dimaksudkan oleh Mahkamah untuk mengambil alih kewenangan badan peradilan lain, maka terhadap pelanggaran administratif atau pelanggaran Pasal 23 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2010 adalah sepenuhnya kewenangan peradilan umum untuk mengadilinya, kecuali jika Pemohon dapat membuktikan dan memberi keyakinan hakim bahwa akibat pelanggaran Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2010 itu telah sangat signifikan mempengaruhi perolehan suara Pemohon.

Berdasarkan uraian di atas, sudah patut kiranya Majelis untuk menyatakan bahwa Permohonan Keberatan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima karena Pelanggaran Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2010 adalah bukan termasuk kompetensi Mahkamah untuk mengadilinya.