• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak agroindustri gula tebu terhadap produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit) petani dan perekonomian

7 SINTESA HASIL DAN KONSEP PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GULA TEBU DI JAWA TIMUR

7.1 Dampak agroindustri gula tebu terhadap produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit) petani dan perekonomian

wilayah pada kondisi aktual

Dampak agroindustri gula tebu terhadap produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit) petani dan perekonomian wilayah menunjukkan bahwa agroindustri gula tebu mempunyai dampak positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada model pengembangan agroindustri gula tebu menggambarkan grafik yang selalu mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan data aktual produksi tebu yang menunjukkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Dampak agroindustri gula tebu pada produksi GKP juga menunjukkan dampak positif. Produksi GKP dipengaruhi oleh luas areal dan produktivitas tebu yang dihasilkan. Luas areal menunjukkan tren yang selalu meningkat. Peningkatan ini karena adanya jaminan kepastian harga yang diterima oleh petani (Pakpahan, 2004 dan Disbun Jatim, 2014). Mahardika (2004) menunjukkan bahwa luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi gula nasional. Dukungan kebijakan seperti Kepmenperindag no.643/MPP/Kep/2002 mengenai dana penyangga bagi petani terbukti mampu meningkatkan produktivitas gula.

Provinsi Jawa Timur pada tahun 2011 tercatat menyumbang 44,81% terhadap luas areal tebu di Indonesia. Posisi ke dua yang memiliki luas areal terbesar kedua adalah Lampung (26,10%), Jawa Tengah (11,89%), dan Jawa Barat (5,13%). Luas areal perkebunan tebu yang berada di propinsi Jawa Timur tercatat mulai tahun 2012 dan tahun 2013 luas areal perkebunan tebu mengalami peningkatan sebesar 15, 576 juta ha menjadi 17, 539 juta ha. Peningkatan tersebut disebabkan adanya pengembangan luas areal tanaman perkebunan, khususnya di Pulau Madura. Dalam lima tahun terakhir (tahun 2009-2013) luas areal tebu di Jawa Timur mengalami peningkatan tertinggi yang cukup signifikan. Peningkatan luas areal tersebut disumbang oleh perluasan di Pulau Madura juga perluasan di kawasan TULABO (Tuban, Lamongan, dan Bojonegoro) (Disbun Jatim, 2014). Sejalan dengan peta pemanfaatan ruang Provinsi Jawa Timur, terdapat perluasan lahan untuk pengembangan perkebunan tebu ke depan. Dinas Pertanian Jawa Timur menetapkan areal tanaman pangan seluas 1,017 juta ha yang didasarkan pada Perda Provinsi Jawa Timur no. 5 tahun 2012 tentang tata ruang Jawa Timur. Sedangkan kawasan peruntukan perkebunan seluas 398.036 ha yang diperuntukkan untuk tanaman semusim yakni tebu. Kawasan peruntukan tanaman tebu tersebar di 21 Kabupaten, yakni: 1) Kabupaten Bangkalan; 2) Kabupaten Blitar; 3) Kabupaten Bojonegoro; 4) Kabupaten Bondowoso; 5) Kabupaten Gresik; 6) Kabupaten Jember; 7) Kabupaten Jombang; 8) Kabupaten Kediri; 9) Kabupaten Lamongan; 10) Kabupaten Lumajang; 11) Kabupaten Madiun; 12) Kabupaten Magetan; 13) Kabupaten Malang; 14) Kabupaten Mojokerto; 15) Kabupaten Ngawi; 16) Kabupaten Probolinggo; 17) Kabupaten Sampang; 18) Kabupaten Sidoarjo; 19) Kabupaten Situbondo; 20) Kabupaten

Tuban, dan 21) Kabupaten Tulungagung. Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Timur no. 5 Tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi Jatim tahun 2011-2031.

Perluasan areal tebu juga mendapat dukungan dari pemerintah pusat, di mana pemerintah pusat bekerjasama dengan kementerian atau lembaga terkait untuk meningkatkan program perluasan areal tebu. Program tersebut tertuang dalam roadmap Industri Gula Nasional (IGN) yakni RIGN. Bentuk perluasan lahan yakni bekerjasama dengan Kementrian Kehutanan dengan program hutan produksi yang bisa dikonversi dengan cara pengajuan terhadap Kementrian kehutanan dan program alih fungsi lahan (APL). Perluasan areal tebu tersebut menyumbang terhadap peningkatan tebu yang merupakan bahan baku GKP. Hartono (2012) menyatakan bahwa produksi hablur dan produksi tebu dipengaruhi secara positif oleh luas perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta.

Produktivitas tebu di Jawa Timur juga menyumbang GKP yang bisa dihasilkan. Data menunjukkan bahwa produktivitas tebu di Jawa Timur cukup tinggi dan disumbang oleh TR, di mana TR menumbang  80% tanaman tebu di Jawa Timur. Kondisi mesin PG dalam menggiling tebu juga memberikan sumbangan terhadap GKP yang dihasilkan. Tercatat tren kapasitas mesin antara exclusive dan inclusive menunjukkan selisih yang tidak begitu besar. Selisih ini berarti antara kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Berarti kemampuan menggiling tebu per hari tidak jauh dari kapasitas terpasangnya. Walaupun rata-rata kapasitas mesin di Jawa Timur merupakan kapasitas mesin masuk kategori 2 (kelas 2) yaitu, antara 3000-6000 TCD.

Peningkatan luas areal penting karena dengan semakin luasnya lahan yang bisa ditanami tebu maka jumlah tebu yang dihasilkan juga semakin banyak. Selain sebagai bahan baku utama gula, tebu juga digunakan sebagai bahan baku PDT. Beberapa jenis produk samping yakni ampas (bagasse), tetes (molasse), dan blotong. Ampas, tetes dan blotong, jika diolah lebih lanjut akan menghasilkan beragam PDT. Selama ini produk samping yang dihasilkan dari tebu oleh PG-PG yang ada di Jawa Timur, masih belum banyak diolah lebih lanjut. Produk samping tersebut biasanya digunakan sendiri oleh PG yang bersangkutan sebagai bahan bakar PG (ampas), pupuk (blotong) dan dijual kepada pihak ketiga (tetes) misalnya pada perusahaan makanan, farmasi, rokok dan kosmetik.

Keuntungan PG menunjukkan tren yang meningkat sejalan dengan peningkatan produksi tebu. Keuntungan PG berasal dari bagi hasil berdasarkan rendemen antara petani tebu dengan PG sebagai tempat untuk menggiling tebu menjadi gula. Keuntungan PG merupakan GKP yang dihasilkan (berdasar rendemen) dikali harga gula (yang digunakan harga talangan). Keuntungan PG merupakan sumber pembayaran PAD. Semaakin tinggi rendemen gula yang dihasilkan, maka semakin banyak GKP yang dihasilkan. PG menyumbang terhadap PAD dari Pajak Penerangan Jalan (PPJ) non PLN, Pajak Air Bawah Tanah (PABt), Pajak Penghasilan (PPh) pegawai PG (80% dari total PPh merupakan sharing dengan pusat. Daerah mendapat bagi hasil 80% dan pusat mendapat 20%), sejumlah tertentu gula yang dihasilkan dan retribusi jalan lori. Penerimaan PAD dari PPh orang pribadi sesuai PPh pasal 21 dan penerimaan PAD dari PPh badan dari PG.

Pendapatan petani berasal dari bagi hasil berdasar rendemen yang dihasilkan antara petani sebagai pemilik tebu dengan PG sebagai tempat menggiling tebu menjadi GKP. Bagi hasil berdasarkan rendemen >6% yaitu 70%:30%. Petani sebagai pemilik TR mendapat bagian 70% dari GKP yang dihasilkan dan PG mendapatkan 30% dari GKPyang dihasilkan. Profit petani tebu didapat dari GKP bagian petani dikali dengan harga (yang digunakan harga talangan) dan tetes yang dihasilkan ketika tebu digiling menjadi GKP. Profit PG dari tetes diperoleh dari nilai tetes dikali harga tetes tebu.

Perekonomian wilayah menunjukkan peningkatan positif pada kondisi aktual. Peningkatan ini disumbang dari nilai output GKP dan tetes yang dihasilkan. Pada kondisi aktual, tebu memberikan sumbangan positif bagi perekonomian wilayah. Walaupun sumbangan tersebut kecil, tapi peningkatan tebu yang dihasilkan, baik dari luas areal dan produktivitas dapat meningkatkan perekonomian wilayah.

7.2 Dampak kebijakan RIGN terhadap pengembangan PDT pada produksi